Tauhid Nur Azhar

Jaga Laut Indonesia

Pagi ini sambil mendengar Abah Iwan Abdulrachman legenda Wanadri yang romantis menyenandungkan karya masterpiece nya bersama Kang Aryono Huboyo Djati yang berjudul Burung Camar, lagu yang juga pernah dipopulerkan oleh Teh Vina Panduwinata di dekade 80an, saya termenung. Pepasir putih di sela kaki saya terus bergulir seiring dengan debur ombak pantai Kedonganan yang seolah tak kenal lelah datang, dan datang lagi melabuh segenap keluh kesah, seolah ingin menghapus segenap resah dalam pusar dinamika alam yang gelisah.

Burung camar tinggi melayang
Bersahutan di balik awan
Membawa angan-anganku jauh meniti buih
Lalu hilang jauh di lautan

Oh bahagia tiada terperi. Indah nian derap jiwaku
Tak kenal duka derita. Tak kenal nestapa.
Ceria penuh pesona

Tiba-tiba kutertegun lubuk hatiku tersentuh
Perahu kecil terayun nelayan tua di sana
Tiga malam bulan tlah menghilang
Langit sepi walau tak bermega

Tiba-tiba kusadari lagu burung camar tadi
Cuma kisah sedih nada duka hati yang terluka
Tiada teman berbagi derita
Bahkan untuk berbagi cerita

Burung camar tinggi melayang
Bersahutan di balik awan
Kini membawa anganku yang tadi melayang
Jatuh dia dekat di kakiku

Burung Camar dan laut adalah satu kesatuan yang seolah tak terpisah, dan kini pikiran saya yang semula gundah, justru tergugah. Laut di hadapan saya ini sesungguhnya adalah anugerah. Faktor pengubah yang menjadi amanah untuk diolah menjadi paket rahmah. Bukankah pasar ikan di belakang saya ini adalah etalase yang jelas tentang kekayaan keragaman dan keberlimpahan sumber daya bahari lautan kita?

Laut kita, laut bangsa Indonesia luasnya amat menakjubkan, mencapai 6.400.000 km², mencakup beberapa komponen batasan, seperti landas kontinen dengan luasan 2.800.000 km², perairan laut wilayah kedaulatan (perairan kepulauan + laut teritorial) dengan luasan 3.250.000 km². Lalu ada zona ekonomi eksklusif dengan luasan 3.000.000 km², laut teritorial dengan luasan 290.000 km². Berikut zona tambahan seluas 270.000 km², lalu perairan pedalaman dan perairan kepulauan seluas 3.110.000 km²

Dari data di atas, terkuaklah fakta bahwa Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia dengan garis pantai terpanjang kedua, 99.083 km, dimana luas laut Indonesia mencapai 2/3 dari luas wilayah Indonesia.

Terletak di pertemuan 2 benua dan 2 samudera, serta berada di garis khatulistiwa dengan iklim tropisnya, sudah barang tentu Indonesia adalah negara maritim dengan potensi sumber daya bahari yang luar biasa.

Dengan posisi geografis seperti itu, maka Indonesia, negara kepulauan tropis terbesar di dunia, memiliki dinamika iklim dan cuaca yang unik dan kompleks. Letak geografisnya yang strategis itu pula yang menjadikannya sebagai media interaksi berbagai faktor regional dan global dinamika iklim dan cuaca.

Fenomena alam seperti IOD, El Niño, La Niña, arus laut, dan angin muson berpadu sedemikian rupa dan menciptakan sebuah simfoni yang mempengaruhi kehidupan jutaan penduduk di sepanjang pesisir Nusantara.

Samudra Hindia dan Pasifik memiliki peran sentral dalam mengatur iklim Indonesia. Indian Ocean Dipole (IOD), sebuah fenomena osilasi di Samudra Hindia, mempengaruhi pola curah hujan di Indonesia melalui telekoneksi atmosfer (Saji et al., 1999). IOD positif cenderung mengurangi curah hujan, sementara IOD negatif meningkatkannya.

Sementara El Niño-Southern Oscillation (ENSO), dengan dua fase utamanya yaitu El Niño dan La Niña, juga memberikan dampak signifikan. El Niño, yang ditandai dengan pemanasan anomali suhu permukaan laut di Pasifik tengah dan timur (Bjerknes,1969), biasanya menyebabkan kekeringan di Indonesia, meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan. Sebaliknya, La Niña, yang ditandai dengan pendinginan suhu permukaan laut, seringkali membawa curah hujan berlebih, meningkatkan potensi banjir dan tanah longsor.

Demikian pula arus laut, seperti Arus Lintas Indonesia (Arlindo), berperan dalam mendistribusikan panas dan uap air di wilayah Indonesia, sehingga berkontribusi pada variabilitas iklim regional (Gordon et al., 2012). Arlindo membawa massa air hangat dan lembap dari Pasifik ke Samudra Hindia, mempengaruhi suhu permukaan laut dan distribusi uap air.

Terdapat pula Angin Muson yang berkontribusi sebagai pengatur pola musim di Indonesia. Monsun Asia, yang bertiup dari Desember hingga Februari, membawa uap air dari Laut China Selatan dan Samudra Pasifik, menyebabkan musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. Mekanisme monsun ini dipengaruhi oleh perbedaan pemanasan antara benua Asia dan Australia (Ramage, 1971). Sedangkan Monsun Australia, yang bertiup dari Juni hingga Agustus, bersifat kering dan membawa udara dingin dari Australia, mengakibatkan musim kemarau. Variabilitas monsun ini berpengaruh signifikan terhadap pola curah hujan di Indonesia (Aldrian dan Susanto, 2003).

Dinamika iklim dan luasan lautan Indonesia itu juga menjadikan Indonesia sebagai negara bahari dengan potensi perikanan yang luar biasa. Biodiversitas laut Indonesia antara lain disebabkan karena posisi geografinya yang terletak di jantung Coral Triangle, sebuah area dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Beberapa jenis biota laut yang ditemukan di Indonesia antara lain; ikan dengan lebih dari 2.500 jenis/spesies, termasuk ikan karang, ikan pelagis, dan ikan demersal. Bahkan beberapa di antaranya merupakan jenis ikan endemik Indonesia yang langka, seperti ikan Coelacanth di laut Sulawesi, dan ikan pari manta.

Di lautan Indonesia juga terdapat diversitas moluska dengan lebih dari 2.500 jenis moluska, termasuk kerang, cumi-cumi, dan gurita. Juga crustacea dengan lebih dari 1.500 jenis krustasea, termasuk udang, kepiting, dan lobster.

MacArthur dan Wilson (1967) dalam buku “The Theory of Island Biogeography” menjelaskan bahwa keanekaragaman hayati di suatu pulau dipengaruhi oleh faktor luasan pulau dan jarak pulau tersebut dari daratan utama. Indonesia, dengan ribuan pulau, memiliki keanekaragaman hayati lyang tinggi sesuai dengan teori ini.

Sementara Prof. Suharsono, lahli oseanografi dari BRIN, menyatakan bahwa potensi bahari Indonesia sangat besar, namun pengelolaannya harus dilakukan secara berkelanjutan untuk menjaga kelestarian sumber daya (Suharsono, 2015). Terlebih lautan Indonesia dengan sebaran terumbu karangnya yang istimewa, kerap disebut sebagai hamparan hutan tropis bawah laut yang penuh pesona, dan warisan dunia yang menjadi penjaga keseimbangan ekosistem, termasuk pengaruhnya pada kesetimbangan iklim global.

Luas terumbu karang Indonesia diperkirakan mencapai 51 ribu kilometer persegi, atau 18% dari terumbu karang di dunia. Sementara luas ekosistem terumbu karang di Indonesia mencapai 2,53 juta hektare pada 2021. Sulawesi memiliki ekosistem terumbu karang terluas di Indonesia, yaitu 894.076,88 hektare.

Konsentrasi sebaran terumbu karang tertinggi berada di bagian tengah dan timur perairan Indonesia, seperti Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku. Indonesia juga memiliki 41 jenis karang famili Fungiidae, yang merupakan sekitar 90% dari total 43 jenis di dunia.

Terumbu karang dan ekosistem padang lamun serta hutan mangrove yang merupakan tempat pemijahan alami bagi banyak spesies ikan, crustacea, dan moluska, berkorelasi dengan tingginya potensi perikanan tangkap dan budidaya di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu produsen ikan tangkap terbesar di dunia. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2021, produksi perikanan tangkap mencapai 7,31 juta ton. Potensi lestari sumber daya ikan laut Indonesia diperkirakan mencapai 12,54 juta ton per tahun (KKP, 2020).

Sementara upaya eksploitasi sumber daya bahari dengan mengedepankan prinsip keberlanjutan dan kelestarian, diwujudkan dalam bentuk budidaya perikanan. Data KKP tahun 2021 menunjukkan produksi budidaya perikanan telah mencapai 12,66 juta ton, dan telah melampaui produksi perikanan tangkap. Beberapa komoditas unggulan budidaya perikanan dan produk bahari di Indonesia antara lain adalah, Udang, di mana Indonesia merupakan salah satu produsen udang terbesar di dunia, dengan jenis unggulan seperti udang windu (Penaeus monodon) dan vaname (Penaeus vannamei).
Lalu ada budidaya Ikan Bandeng (Chanos chanos sp), di mana budidaya bandeng telah lama dilakukan di Indonesia, terutama di daerah pesisir Jawa. Lalu ada pula budidaya rumput laut, dimana Indonesia merupakan produsen rumput laut terbesar di dunia, dengan jenis unggulan seperti Eucheuma cottonii dan Gracilaria sp.

Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam budidaya rumput laut. Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia menyumbang sekitar 30% produksi rumput laut dunia. Budidaya rumput laut tersebar di berbagai wilayah, terutama di Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Rumput laut memiliki banyak manfaat, antara lain sebagai bahan baku industri makanan, farmasi, dan kosmetik.

Tak hanya sumber daya bahari berupa potensi hayati saja yang menjadi anugerah laut Indonesia, melainkan juga potensi bangkitan energi yang dapat menjadi bagian dari bauran pasokan energi ada pula di dalamnya.
Gelombang dan arus laut sebagai sumber energi terbarukan amat besar potensinya di Indonesia. Namun harus diakui, memang masih belum dimanfaatkan secara optimal.

Beberapa jenis energi laut yang dapat dikembangkan di Indonesia antara lain adalah; energi gelombang, dimana Indonesia memiliki garis pantai yang panjang dengan gelombang yang cukup besar, sehingga berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber energi listrik. Lalu kekuasaan ada potensi energi arus laut, di mana arus laut seperti Arlindo memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumber energi listrik.

Lalu seiring dengan kemajua teknologi terkait turbin dan sistem pembangkitan listrik, ada juga potensi pengembangan Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), dimana perbedaan suhu antara permukaan laut dan kedalaman laut dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik. Belum lagi di sepanjang pesisir dapat dikembangkan sistem pembangkit listrik tenaga angin dan surya serta bioreaktor yang dapat menghasilkan biohidrogen dari pertanian Alga.

Di penghujung tulisan ini, yang memang harus segera diakhiri karena posisi matahari yang meninggi dan panas terik telah mulai datang menghampiri, saya ingin menyitir bagian akhir dari syair Burung Camar yang dilagukan oleh Kang Iwan Abdulrachman di atas,

Burung Camar tinggi melayang, bersahutan di balik awan. Kini membawa anganku yang tadi melayang, jatuh dia di dekat kakiku….

Besar harapan, jangan sampai berbagai potensi bahari yang sebagaimana telah dibahas di atas, hanya menjadi sebatas angan yang melambung dan melayang tinggi menembus awan, lalu jatuh di dekat kaki kita. Lahir terlalu dini sebagai mimpi dan harapan yang teraborsi.

Mengapa ?

Ya tentu saja karena kita tidak mengelolanya dengan bijaksana. Over eksploitasi, aktif melakukan disonansi antropogenik yang merusak, misal dengan terus menggelontori laut dengan limbah industri, plastik, limbah organik bersumber domestik, perilaku manipulatif dengan merusak terumbu karang dan pesisir pantai, sampai dampak perubahan lingkungan darat akibat peran aktif manusia.

Secara langsung dan tidak langsung perubahan homeostasis iklim karena dinamika perubahan daya dukung lingkungan di daratan akan mempengaruhi pula kualitas ekosistem lautan. Emisi gas rumah kaca dari industri, transportasi, dan deforestasi dapat memperkuat efek rumah kaca, menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim (IPCC, 2021). Hal ini tentu berdampak pada keseimbangan ekosisten lautan yang merupaka bagian terintegrasi dari sistem iklim global.

Polusi udara tidak hanya berdampak pada kualitas udara dan kesehatan masyarakat, tetapi juga dapat memengaruhi pola curah hujan (Ramanathan et al., 2001), yang berdampak pada siklus hidrologi dan perubahan komposisi air yang masuk ke lautan. Kebakaran hutan dan lahan, baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun manusia, dapat menghasilkan asap yang mencemari udara dan melepaskan karbon dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer, berkontribusi pada pemanasan global (Page et al., 2002). Pemanasan global dan peningkatan kadar karbon mengakibatkan fenomena bleaching pada terumbu karang. Padahal terumbu karang dan vegetasinya adalah bagian dari sistem pengolah karbon global.

Maka sambil merenungkan bait terakhir lagu Burung Camar itu, marilah kita bersama mulai menjaga dan memelihara laut kita. Anugerah terindah yang pernah ada bagi bangsa Indonesia.🙏🏾🩵🇲🇨

Daftar Bacaan Lanjut

– Aldrian, E., & Susanto, R. D. (2003). Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. International Journal of Climatology, 23(14), 1735-1752.

– Bjerknes, J. (1969). Atmospheric teleconnections from the equatorial Pacific. Monthly Weather Review, 97(3), 163-172.

– Gordon, A. L., Bryden, H. L., & Stommel, H. M. (2012). Ocean circulation. Oxford University Press.

– IPCC. (2021). Climate Change 2021: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Masson-Delmotte, V., P. Zhai, A. Pirani, S.L. Connors, C. Péan, S. Berger, N. Caud, Y. Chen, L. Goldfarb, M. I. Gomis, M. Huang, K. Leitzell, E. Lonnoy, J.B.R. Matthews, T. K. Maycock, T. Waterfield, O. Yelekçi, R. Yu and B. Zhou (eds.)]. Cambridge University Press.

– Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2020). Statistik kelautan dan perikanan Indonesia 2020.

– Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2021). Statistik kelautan dan perikanan Indonesia 2021.

– MacArthur, R. H., & Wilson, E. O. (1967). The theory of island biogeography. Princeton University Press.

– Page, S. E., Siegert, F., Rieley, J. O., Boehm, H. D. V., Jaya, A., & Limin, S. (2002). The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature, 420(6911), 61-65.

– Ramage, C. S. (1971). Monsoon meteorology. Academic Press.

– Ramanathan, V., Crutzen, P. J., Kiehl, J. T., & Rosenfeld, D. (2001). Aerosols, climate, and the hydrological cycle. Science, 294(5549), 2119-2124.

– Saji, N. H., Goswami, B. N., Vinayachandran, P. N., & Yamagata, T. (1999). A dipole mode in the tropical Indian Ocean. Nature, 401(6751), 360-363.

– Suharsono. (2015). Pengelolaan sumber daya kelautan Indonesia secara berkelanjutan. Penerbit LIPI Press.

– World Bank. (2021). Climate Risk Country Profile: Indonesia.

http://agrivita.ub.ac.id/index.php/agrivita/article/view/1080

https://journals.ums.ac.id/index.php/fg/article/view/5774

https://eu.wikipedia.org/wiki/Kriosfera
https://en.wikipedia.org/wiki/Gemma_Narisma

Special Feature: Peat’s muddy past

https://de.wikipedia.org/wiki/Kohlenstoffdioxid_in_der_Erdatmosph%C3%A4re

How Do Ocean Currents Affect Temperature?

https://jurnal.fmipa.unila.ac.id/JSM/article/view/2753/0

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts