Tauhid Nur Azhar

Kacamata Pintar di Montjuic

Tepat 10 tahun yang lalu, saat itu musim dingin tak bersalju membuat kota Barcelona membeku. Gang-gang berbatu cobble di Gothic Area dipenuhi lalu lalangnya orang-orang dengan jaket tebal dan mantel berbulu. Sementara di sudut-sudutnya panaderia (kedai roti) kecil diantri oleh mereka yang ingin mendapatkan sekeping pastry dan secangkir kopi. Cafe con miel yang berlapis-lapis antara kopi, susu, dan krim menjadi pilihan saya, sementara banyak orang lebih suka kopi Carajillo, kopi hangat dengan espresso yang dicampur dengan liquor yang tentu tak dapat saya konsumsi karena kandungan alkoholnya.

Sambil berjalan cepat meninggalkan kawasan La Rambla saya gigit sepotong Casadielles yang terbuat dari tepung terigu, minyak zaitun, dan gula sebagai bahan adonannya, lalu buah Kenari yang disangrai sebagai isinya. Lezat dan renyah sekali, satu gigit casadielles dan satu seruput con miel akan berpadu sempurna dengan suhu 7°C dan langit biru beledu di sekitarmu.

Buah kenari di casadielles mengingatkanku akan Maluku, dan sejarah panjang imperialisme dengan spirit gold, gospel, and glory yang memang diawali di tanah ini. Di semenanjung Iberia dan Catalunya, juga Andalusia inilah tercatat sejarah awal interaksi peradaban yang semula bahkan tak pernah terbayangkan.

Panaderia pun dari nama dan salah satu produknya, Empanada, sampai hari ini masih menjadi bagian dari budaya kuliner di tanah air kita. Panada kata orang Sulawesi Utara dan Maluku, pastel kata orang Jawa, dan Jalangkote kata orang Makassar, adalah bentuk turunan Empanada yang berasal dari Iberia. Bersama Pestinos, ia menjadi bagian dari pastry klasik negeri ini.

Lalu darimanakah gerangan buah kenari sangrai di casadielles saya? Karena kenari hanya dihasilkan oleh ekosistem tropis Indonesia timur sampai ke Pasifik, dan sebagian Afrika. Dimana derah asalnya terutama adalah Maluku sampai Vanuatu. Paling tidak ada dua spesies yang biasa menghasilkan buah kenari, yaitu Canarium vulgare Leenh dan C. indicum L. Selain itu, dari luar Indonesia ada spesies lainnya yaitu C. harveyi dan C. solomonense. Jadi dalam casadielles renyah nan gurih inipun ada harta pusaka Indonesia di dalamnya.

Pusaka hayati yang begitu didamba kaum pedagang Eropa pada abad pertengahan yang ditandai dengan besarnya hasrat untuk tak hanya menguasai jalur perdagangannya saja, melainkan juga daerah pusat produksinya.

Maka tak heran jika di ujung La Rambla di kawasan pelabuhan Barcelona, di Plaça Portal de la Pau, s/n, Ciutat Vella, 08001 tepatnya, berdiri gagah menjulang setinggi 60 meter, sebuah monumen dengan sosok Christoper Columbus bercokol di atasnya, menunjuk ke suatu tempat rahasia di arah timur laut, meski ia sejatinya tiba di benua Amerika. Tepatnya di kepualauan Bahama.

Columbus berlayar dari Spanyol pada 3 Agustus 1492 untuk mencari rute perairan menuju Asia. Setelah mengarungi Samudra Atlantik selama lebih dari dua bulan, Columbus mendarat di Pulau San Salvador.
Columbus menggambarkan penduduk asli pulau tersebut sebagai orang yang ramah dan polos. Ia juga terpesona dengan keindahan alam pulau tersebut.

Belajar dari kesalahan navigasi Columbus yang sebenarnya orang Genoa itu, saya tak mau mengulangi kesalahan arahnya itu, bergegas saya berbelok kiri dan berjalan cepat ke arah placa d’espanya yang terletak di kaki bukit Montjuic.

Hari ini saya punya janji penting sehubungan dengan uji coba salah satu teknologi garda depan yang akan menghibridisasi manusia dengan teknologi itu sendiri, smart glasses dari Google, yang dinamai Google Lens.

Tapi rupanya saya tiba di bukit Montjuic lebih cepat dari yang saya duga. Janji temu di tangga air mancur museum masih setengah jam lagi. Cukuplah waktu bagi saya untuk membenamkan diri dalam senja keemasan Barcelona yang saya nikmati seorang diri dari tepi bukit kecil ini.

Saat menjelang senja di musim dingin seperti ini, Bukit Montjuïc di Barcelona berubah menjadi lanskap yang begitu mempesona. Udara dingin yang menggigit terasa lembut di kulit, dan langit biru musim dingin yang cerah membingkai keindahan bukit ini dengan sempurna. Kabut tipis terkadang menggantung di lerengnya, menyelimuti taman-taman dan monumen yang tersebar di sepanjang bukit.

Dari puncak Montjuïc, pemandangan kota Barcelona tersaji dengan dramatis dan romantis. Di sisi timur, laut Mediterania berkilauan diterpa cahaya matahari musim dingin yang lembut. Pelabuhan Barcelona yang telah menjadi denyut nadi perdagangan kota sejak zaman Romawi, tampak sibuk dengan kapal-kapal yang lalu lalang. Di sisi barat, Sungai Llobregat mengalir dengan tenang, menghubungkan dataran subur Catalunya dengan laut. Dalam harmoni geografis inilah, Barcelona menemukan identitasnya sebagai kota pelabuhan yang dinamis dan bersejarah.

Nama Montjuïc sendiri berasal dari bahasa Catalan yang berarti Bukit Yahudi, merujuk pada keberadaan pemakaman Yahudi di lerengnya pada Abad Pertengahan. Sejak zaman Romawi, bukit ini telah menjadi benteng alami dan tempat strategis untuk memantau aktivitas di pelabuhan. Pada tahun 1640, sebuah kastil dibangun di puncaknya selama Perang Kemerdekaan Catalunya, yang kemudian diperluas pada abad ke-18. Kastil Montjuïc kini menjadi tempat wisata dan museum, menyimpan jejak sejarah panjang kota ini.

Montjuïc juga menjadi saksi momen-momen penting dalam sejarah modern Barcelona. Pada tahun 1929, bukit ini menjadi pusat Exposición Internacional de Barcelona, pameran internasional yang memamerkan kemajuan teknologi dan budaya. Banyak bangunan indah dibangun untuk acara ini, termasuk Poble Espanyol, sebuah desa miniatur yang merepresentasikan gaya arsitektur dari seluruh Spanyol, dan Palau Nacional, yang kini menjadi rumah bagi Museum Seni Catalunya.

Dari tangga depan Palau Nacional itulah saya melepaskan pandangan mata dan bersirobok pandang dengan menara-menara katedral yang tinggi menjulang. Ya, itulah Sagrada Familia, karya bertumbuh nan tak pernah usai dari sang maestro sendiri, Antonio Gaudi. Gaudi adalah Barcelona dan juga sebaliknya.

Katedral yang belum selesai ini adalah karya terbesar Gaudí. Dalam musim dingin, fasadnya yang megah tampak lebih menakjubkan, diterangi oleh sinar matahari rendah yang memperjelas detail ukirannya. Sagrada Família adalah simbol Barcelona, perpaduan antara spiritualitas dan seni modern.

Gaudi dengan segenap ide organiknya yang tampaknya terus tumbuh di otaknya, juga membangun taman cantik yang dipenuhi desain absurd asimetris khas dirinya. Taman indah ini, dengan mosaik keramiknya yang penuh warna, menjadi tempat yang tepat untuk berlindung dari dinginnya musim dingin. Kita bisa berjalan di jalan setapak berbatu, sembari menikmati pemandangan kota yang terbentang di bawahnya, dan desain-desain aneh dari imajinasi Gaudi. Taman ini dikenal sebagai Park Guell.

Meski tak terlihat jelas dari Montjuic, tapi saya tahu persis ada bangunan-bangunan ikonik lain karya arsitek jenius Katalan yang satu ini. Casa Batlló dan Casa Milà (La Pedrera), dua bangunan ikonis di Passeig de Gràcia, yang juga karya besar Gaudi, menampilkan sisi lain dari kejeniusannya. Di musim dingin seperti ini, balkon-balkon dan atap berbentuk gelombangnya tampak seperti lanskap rumah-rumah di negeri dongeng, karena selain desain asimetrik organiknya, terdapat pula “penampakan” figur-figur unik sebagai ornamen fasadnya.

Akhirnya teman yang berjanji akan membawakan “sesuatu” yang amat berharga untuk dicobapun tiba. Sambil berlari-lari kecil ia meminta maaf dan berkata bahwa cukup sulit menemukan bus yang kosong dari _Fira Gran Via_ lokasi Mobile World Congress 2014, ke arah Placa d’Espanya. Kami memang janjian untuk bertemu di Palau Nacional karena setelahnya saya akan registrasi event innovation di gedung yang terletak tepat di bawahnya. Tak hanya itu saja, sebenarnya saya juga menginap di sebuah homestay kecil di gedung bernama Vilella yang berada di kaki bukit Montjuic.

Tak sabar saya ingin mencoba benda ajaib yang dibawanya. Benda itu tak lain dan tak bukan adalah prototipe Google Lens yang baru saja di announce Google satu tahun sebelumnya. Ya, benda itu sebuah smart glasses, alias kacamata cerdas.

Benda yang menurut saya saat itu (2014) akan menjadi bagian dari revolusi teknologi hibrid yang akan membaurkan konsep entitas manusia di masa depan. Dimana dunia teknologi atau mesin akan semakin membaur dengan keseharian manusia. Salah satu inovasi yang perlahan menyelinap ke dalam kehidupan kita tak lain dan tak bukan adalah smart glasses ini. Perangkat yang menjanjikan pengalaman digital yang imersif tanpa memerlukan layar ponsel atau komputer. Dengan mengenakan smart glasses, dunia menjadi panggung data yang langsung ditampilkan di depan mata pengguna. Namun, bagaimana perangkat ini bekerja? Apa potensi dan tantangan di baliknya? Saat itu saya masih belum punya jawaban yang cukup memadai, terlebih jika pada kenyataannya hari ini, teknologi itu dapat bersanding dengan AI dan chip otak. Penggabungan sempurna antara ras biologis dan keluarga mesin akan segera menjadi kenyataan yang mengasyikkan bukan?

Smart glasses pertama kali dikenal luas pada tahun 2013 melalui Google Glass. Meski tidak bertahan lama di pasar karena isu privasi dan harga, perangkat ini memperkenalkan konsep bahwa informasi digital bisa diakses secara langsung tanpa mengalihkan perhatian dari dunia nyata. Kini, teknologi ini telah berevolusi, mengintegrasikan kecerdasan buatan (AI), sensor canggih, dan lensa optik yang revolusioner.

Menurut Milgram dan Kishino dalam penelitian mereka tentang augmented reality (AR), teknologi ini bekerja dengan memperkaya dunia nyata menggunakan elemen virtual secara real time. Dengan lensa khusus, pengguna dapat melihat informasi seperti peta, cuaca, atau bahkan detak jantung mereka sendiri tanpa memegang perangkat.

“Smart glasses adalah salah satu wujud nyata dari wearable computing,” ujar Steve Mann, seorang ahli teknologi wearable dari Kanada. “Perangkat ini tidak hanya alat, tetapi perpanjangan dari kemampuan manusia untuk memproses informasi”, sambungnya dengan penuh kepastian.

Lensa pada smart glasses adalah inti dari pengalaman AR. Berbeda dengan lensa kacamata biasa, lensa ini menggunakan teknik optik waveguide untuk memproyeksikan gambar digital langsung ke mata pengguna. Teknologi waveguide bekerja dengan memanfaatkan serangkaian pantulan internal pada lensa untuk menyampaikan gambar dari proyektor mini yang terpasang di bingkai kacamata.

Beberapa perangkat, seperti Microsoft HoloLens, bahkan menggunakan teknik light field display, yang menciptakan ilusi objek tiga dimensi secara lebih alami. Lensa ini terbuat dari bahan khusus seperti kaca polimer berlapis, yang dirancang untuk mengarahkan cahaya ke retina tanpa mengaburkan pandangan pengguna terhadap dunia nyata.

Selain itu, sensor dan kamera yang terintegrasi membantu perangkat ini membaca lingkungan pengguna. Dengan teknologi computer vision, smart glasses dapat mengenali wajah, benda, atau bahkan teks di sekitar pengguna, lalu menampilkan informasi yang relevan melalui lensa.

Kekuatan smart glasses terletak pada integrasi dengan akal imitasi/AI. Teknologi ini memungkinkan perangkat mengenali situasi dan kebutuhan pengguna. Misalnya, AI dapat menganalisis arah pandangan pengguna untuk menampilkan informasi secara kontekstual.

Akal Imitasi memberikan keajaiban pada smart glasses. Kemampuan untuk mengenali lingkungan, menganalisis data, dan merespons secara real time membuat perangkat ini menjadi asisten pribadi yang cerdas, kata Dr. Andrew Ng, pakar kecerdasan artifisial.

Beberapa fungsi AI yang telah diterapkan dalam smart glasses antara lain meliputi, proses pengenalan objek yang dapat membantu pengguna mengenali lokasi, wajah, atau produk tertentu.

Natural Language Processing(NLP) yang memungkinkan pengguna memberikan perintah suara, seperti tampilkan arah ke warung Padang terdekat.

Context-Aware Systems Memberikan informasi berbasis lokasi dan waktu, seperti jadwal kereta api yang disedot dari Access by KAI atau pengingat rapat, resume presentasi dll.

Penggunaan smart glasses di masa depan dapat merambah berbagai sektor. Dalam dunia industri, perangkat ini dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi kerja. Microsoft HoloLens, misalnya, digunakan oleh teknisi untuk menampilkan panduan langkah demi langkah dalam memperbaiki mesin tanpa perlu membuka buku manual.

Di bidang medis, dokter dapat memanfaatkan smart glasses untuk melihat hasil pemindaian atau catatan pasien tanpa perlu mencari file print out atau foto. Bahkan operasi minimal invasive cardiac surgery atau MICS plus telesurgery sebagaimana yang belum lama ini dipraktekkan di Rumah Sakit Jantung Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita dengan operator utama Dr.dr Duddy Arman Hanafy, SpBTKV (K) akan dapat berjalan dengan jauh lebih efisien dan presisi dengan menggunakan teknologi smart glasses.

Beberapa perusahaan teknologi biomedis juga telah mengembangkan perangkat yang diharapkan dapat membantu pasien dengan gangguan penglihatan. Konsepnya, dengan bantuan AI, smart glasses dapat memberikan deskripsi audio tentang lingkungan sekitar pengguna. Bahkan di masa depan, smart glasses yang terkoneksi dengan neuron chip yang ditanam di area asosiasi penglihatan (lobus oksipital), akan dapat mengirim pesan visual secara langsung untuk diterjemahkan dalam bentuk konfigurasi biolistrik yang akan dianalisis dan diasosiasikan sebagai gambaran citra sensorik, sebagaimana pada proses fisiologi visual normal.

Smart Glasses yang terintegrasi dengan neuron chip dengan kapasitas BCI (brain computer interface) juga dapat menjadi alternatif dalam pengoperasian UAV/ unmanned air vehicle atau drone, disamping fungsi kendali autonomousnya. Dan yang menarik bagi saya pribadi, saya ingin menciptakan wahana pariwisata mix reality yang dapat menampilkan segenap elemen pariwisata eksotik secara visual melalui smart glasses, dan berbagai sensasi sensorik lainnya seperti suhu dingin, hembusan angin kencang, suara hewan liar dll, melalui integrasi neuronchip yang terkoneksi dengan area asosiasi sensorik di otak kita. Seru banget kayaknya ya? 🫣

Bukit Montjuic kembali sepi, malam telah datang menyelimuti, dan kerlip lampu dari arah pantai Barceloneta, playa de la Barceloneta yang dipenuhi tempat hiburan tak mampu mengusir rasa dingin yang mulai membekukan sumsum tulang._l

Bergegas saya berjalan menuruni bukit ke arah gedung tua Vilallea, saat melewatinya saya tak berbelok dan memasukinya, melainkan meneruskan berjalan kaki sekitar 100 meter dan berbelok ke kiri sekali, lalu ke kanan, dan memasuki sebuah warung di gedung tua dengan arsitektur khas Mediterania dengan lengkung ala Moor nya. Secangkir kecil Kahwa kental khas Maroko sudah tersedia di sana. Saya seruput sambil duduk sendiri di sudut, melamun, membiarkan isi pikiran melangut dan isi hati melangit.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts