Tauhid Nur Azhar

Kota Peri di Jalur Sutra

Suhu malam itu terjun bebas menyentuh angka 4°C di bawah nol. Sambil menahan dingin di pukul 01.00 dini hari, saya berdiri di depan teras kamar di lantai 5 sebuah hotel tua dengan gaya arsitektur sosialis khas era USSR, tepat di depan alun-alun kota Bukhara.

Secangkir kopi Kapal Api dari sachet yang saya bawa dari Indonesia menemani dan menghangatkan malam dengan aromanya yang khas. Saya memang menyengaja keluar ke teras di malam yang membekukan ini, terdorong oleh rasa penasaran untuk menikmati lanskap dan gemerlapnya lampu kota Bukhara di sisi modern yang merupakan warisan masa pembangunan di masa Uni Soviet masih berjaya.

Unik rasanya, membayangkan bahwa di sisi kota yang berbeda, di bawah langit yang sama, berdiri dengan megahnya bangunan-bangunan berwarna pastel senada dengan tanah yang telah menyimpan cerita tentang peradaban dari hampir 30 abad yang lalu.

Sisi kota yang berbeda dimana kemarin siang sempat saya jelajahi secara singkat. Menelusuri lorong demi lorong dengan para penjaja kupluk bulu khas Kaukasia dan aneka merchandise ramah menyapa. Pipi mereka merah dan senyum senantiasa merekah. Tapi sensasi yang saya rasakan saat berjalan di terowongan-terowongan antar bangunan berwarna tanah itu adalah suatu perasaan yang tak dapat saya bayangkan. Formulasi sempurna antara gairah dan rasa keingintahuan yang tetiba membuncah. Lorong dan terowongan itu seolah membawa saya terlontar ke masa berabad-abad yang lampau. Masa di mana kota tua Bukhara berjaya sebagai oase singgah para kabilah pedagang rempah di Jalur Sutra.

Aroma rempah yang khas dan penuh eksotika mencumbu hidung berbaur dengan semerbaknya bau gurih roti Naan yang baru keluar dari tungku tanah liat. Suara adzan mengalun merdu dari menara masjid berpadu dengan hiruk pikuk pedagang di pasar tradisional. Inilah Bukhara, kota oasis di tengah gurun pasir Uzbekistan yang seakan membekukan waktu di masa keemasan Jalur Sutra.

Bukhara, yang namanya berarti biara yang beruntung, memang menyimpan sejuta pesona yang membuatnya layak disebut sebagai salah satu kota terindah di Asia Tengah. Didirikan lebih dari 2.500 tahun yang lalu, Bukhara menjadi saksi bisu kejayaan berbagai peradaban, dari Persia, Sogdiana, hingga Samanid. Lokasinya yang strategis di jalur perdagangan antara Timur dan Barat menjadikannya pusat pertukaran budaya, ilmu pengetahuan, dan agama.

Menjelajahi Bukhara laksana membuka lembaran-lembaran sejarah. Di jantung kota tua, berdiri megah Poi Kalan, kompleks bangunan yang terdiri dari Masjid Kalan dengan menara bata setinggi 47 meter, Madrasah Mir-i-Arab yang masih aktif hingga kini, dan Madrasah Ulugh Beg, peninggalan Dinasti Timurid yang tersohor.

Tak jauh dari sana, terdapat Benteng Ark, simbol kekuasaan para penguasa Bukhara selama berabad-abad. Benteng yang menjulang gagah ini dulunya merupakan kota mini yang lengkap dengan istana, masjid, penjara, dan bahkan tempat pencetakan uang.

2 hari sebelum malam yang dingin di teras hotel ini, saya sempat singgah ke sebuah kedai kopi di belakang Poi Kalan. Kedai itu hampir tak terlihat dari tepi jalan yang dikhususkan bagi pedestrian. Nyelempit dan pintu masuknya sempit. Tapi begitu kita masuk ke dalamnya ada kehangatan yang tiba-tiba menyeruak selaras dengan dengung percakapan yang dipenuhi aura keakraban. Aroma roti yang sedang dipanggang berpadu mesra dengan bau kopi yang tengah diseduh.

Saya duduk sendirian di pojok kedai, sambil menikmati secangkir cappucino dan sepotong apple struddle yang teksturnya unik; crispy, fluffy, dan bagian dalamnya terasa soft sekali. Tapi yang termahal dari posisi itu adalah; pemandangan kedai yang dipenuhi oleh orang-orang yang saling bercengkerama dan saling bertukar cerita dengan binar-binar ceria mewarnai kedua bola matanya.

Damai rasanya melihat manusia berbagai bangsa bisa begitu akrab saling bertukar rasa dengan katalis segelas kopi yang dahulu bernama kahwa atau Java. Jawa yang ternyata mampu menyatukan dunia dalam ruang selera yang dapat menumbuhkan benih cinta pada sesama.

Di negeri peri ini tampaknya memang banyak kejadian ajaib dapat terjadi, demikian pula berbagai peristiwa yang menautkan kita pada nilai iman dan taqwa. Di tengah eksotika arsitektur Islam Bukhara yang megah dan banyak dibangun di masa dinasti Timurid dan Samanid, terselip sebuah situs yang memancarkan aura kesederhanaan sekaligus keagungan sejarah, yaitu Sumur Ayub atau Chashma-Ayub.

Sumur ini bukan sekadar sumber air biasa, melainkan dipercaya sebagai jejak peninggalan Nabi Ayub AS, tokoh yang kisahnya terabadikan dalam Al-Quran.

Menurut kepercayaan setempat, saat Nabi Ayub AS mendapat ujian berupa penyakit (kulit) yang teramat berat, lokasi beliau saat itu berada di Bukhara saat ini.

Dengan segenap kepasrahan dan keikhlasan, beliau berdoa kepada Zat yang Maha Menciptakan dan menghentakkan kakinya ke tanah. Seketika, muncullah mata air yang jernih yang kemudian menyembuhkan penyakitnya. Sumur inilah yang kemudian dikenal sebagai Sumur Ayub.

Di atas sumur tersebut, didirikan sebuah bangunan mausoleum pada abad ke-14 oleh penguasa Dinasti Timurid. Bangunan dengan kubah berbentuk kerucut ini menampilkan perpaduan arsitektur Persia dan Asia Tengah. Di dalamnya, terdapat sumur yang airnya dipercaya memiliki khasiat penyembuhan.

Selain Chasma Ayub, terdapat beberapa petilasan menarik di sekitarnya yang menambah kekayaan spiritual kota Bukhara. Sepelemparan batu dari sana terdapat mausoleum Ismail Samani yang memiliki fasad geometrik unik dari abad ke-10. Lokasi ini merupakan makam Ismail Samani, pendiri Dinasti Samanid. Arsitekturnya yang indah dengan ukiran geometris organik yang unik menjadikan makam ini salah satu tonggak pencapaian arsitektur Islam di masa-masa awal.

Saat di Bukhara saya juga sempat singgah dan menunaikan ibadah sholat Zuhur di masjid Bolo Hauz. Masjid tua yang dibangun pada abad ke-18 ini terkenal dengan tiang-tiang kayu yang menopang serambi berukir indah. Tiang-tiang kayunya yang menjulang tinggi dan menopang serambi masjid dengan kokoh itu dikenal sebagai iwan.

Tiang-tiang ini bukan hanya menopang struktur masjid, tetapi juga menjadi elemen estetika yang penting dengan ukiran dan detailnya yang rumit. Kayu yang digunakan untuk membangun tiang-tiang ini adalah kayu elm. Elm, atau dalam bahasa lokal dikenal sebagai karagach, adalah jenis kayu keras yang kuat dan tahan lama, cocok untuk konstruksi di daerah dengan iklim ekstrem seperti Bukhara. Kayu elm juga memiliki pola serat yang indah, yang semakin menambah keindahan tiang-tiang di masjid resmi para Emir Bukhara ini.

Selain elm, beberapa sumber menyebutkan bahwa kayu poplar dan walnut juga digunakan dalam konstruksi masjid ini, kemungkinan untuk elemen-elemen dekoratif atau bagian-bagian lain dari struktur masjid.
Penggunaan kayu-kayu lokal ini menunjukkan kearifan masyarakat Bukhara di masa lalu dalam memanfaatkan sumber daya alam sekitar untuk menciptakan bangunan yang indah dan fungsional.

Kemarin, seusai sholat Zuhur, seorang imam sepuh yang mungkin tertarik dengan penampilan saya yang asing mencoba berkomunikasi dengan berbagai bahasa; Arab, Inggris, dan juga bahasa lokal yang dikenal sebagai bahasa O’zbekcha atau O’zbek tili. Walhasil meski tak bisa sepenuhnya saling mengerti, kami berpelukan dan berfoto selfie, seperti itulah indahnya silaturahmi. Meski sulit berkomunikasi secara verbal, tapi ternyata masih banyak cara tanpa narasi yang bisa menautkan pesan antar hati dengan sepenuh hati.

Tak jauh dari masjid Bolo Hauz ada madrasah unik dari abad ke-19 yang memiliki empat menara dengan dekorasi yang berbeda-beda. Meskipun ukurannya relatif kecil, Chor Minor menarik perhatian karena bentuknya yang tidak biasa. Tapi sejujurnya yang saat itu menarik bagi saya bukanlah fasad dari madrasah itu, melainkan seorang penjual sate hawker yang membakar dan menjajakan satenya di dekat madrasah itu. Dagingnya besar-besar, lebih besar dari ukuran sate Klathak Pak Pong di Jogja. Bumbunya tampak sederhana, tapi saat dibakar menghasilkan aroma yang begitu luar biasa.

Bukhara juga dikenal sebagai pusat spiritualitas, terutama bagi pengikut Tarekat Naqsyabandi. Di sini terdapat Mausoleum Bahauddin Naqsybandi, pendiri tarekat sufi yang berpengaruh luas di dunia Islam. Kompleks pemakaman ini selalu ramai dikunjungi peziarah dari berbagai negara.

Berada di tengah gurun, Bukhara memiliki iklim kontinental yang ekstrem. Musim panas sangat panas dan kering dengan suhu mencapai 40°C, sementara musim dingin sangat dingin dengan suhu bisa turun hingga di bawah nol derajat. Namun, cuaca yang keras ini tidak menyurutkan keramahan penduduknya. Suku Tajik yang menjadi mayoritas penduduk Bukhara dikenal ramah dan terbuka pada pendatang.

Berkunjung ke Bukhara tak lengkap rasanya jika tak mencicipi kuliner khasnya. Plov, nasi yang dimasak dengan daging domba, wortel, dan kismis, merupakan hidangan nasional Uzbekistan yang wajib dicoba. Selain itu, ada juga manti, semacam pangsit berisi daging yang dikukus, shashlik, sate daging panggang, dan samsa, pastry isi daging yang dipanggang dalam tungku tanah liat.

Saya sendiri punya cerita menarik tentang Plov. Mungkin bagi sebagian kalangan beranggapan bahwa Plov punya cita rasa yang tak jauh berbeda dengan nasi Briyani, Mandi, atau Kabsah yang amat dikenal di timur tengah, tapi bagi saya yang tengah kedinginan karena telah berjalan sekitar 2 mil (3,2 km) di suhu -1°C dengan hanya berbekal satu jaket fancy tipis dari Uniqlo, melihat proses masak, berdiang di tungku tempat nasi dalam kuali dipanggang, dan menyendoki nasi dan potongan daging ke dalam nampan dalam keadaan panas dan mengepulkan asap beraroma rempah yang begitu menggugah selera, adalah sepotong pengalaman surgawi yang akan sangat sulit dilupakan. Nikmat dan sensasional sekali.

Bukhara memang sebuah kota yang teramat memikat dengan perpaduan sejarah, budaya, dan keramahan penduduknya. Sebuah destinasi yang wajib dikunjungi bagi para penjelajah yang ingin merasakan pesona Jalur Sutra yang seolah terbekukan di garis waktu.

Ketika seruput terakhir kopi Kapal Api dari cangkir yang saya pegang di teras kamar di lantai 5 ini saya teguk, suhu telah jatuh 1° lebih rendah. Tubuh saya menggigil dan kehangatan kamar seolah memanggil-manggil. Saya pun masuk kembali ke kamar mungil dengan penghangat itu. Kasur single nya cukup luas dan teramat nyaman. Empuk seperti tidur di atas awan yang bertumpuk. Selimut bulunya terasa sangat lembut. Sayapun meringkuk dengan nikmat, menyesap segenap rasa hangat yang membasuh segenap rasa penat.

Sebuah catatan kecil dari sebuah kota peri di musim dingin kontinental, dengan berbagai keajaiban yang selalu terjadi di dalamnya.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts