Menikmati Kopi, Memandangi Merapi
Hujan baru saja reda. Airnya membasuh daun-daun bunga kenanga. Pada rumput yang terhampar, bulir-bulir air menggelayut sebelum pecah membasahi kaki telanjang seorang bocah yang berlarian menggiring bola plastik. Bocah itu–Banyu namanya, terus menggiring bola berusaha melewati hadangan Angger, bocah seumuran yang menjadi lawan bermain.
Tak jauh dari mereka, Nabila memperhatikan sambil mengayunkan tubuh mungilnya pada ayunan kayu yang seratus kali lebih kokoh dari dirinya. Rumput yang basah sama sekali tak menjadi penghalang bagi anak-anak untuk bermain. Pada halaman seluas 150 meter persegi, mereka seperti menemukan dunianya; bermain. “Anak saya, si Banyu itu, selalu minta ke sini setiap libur. Dia suka main bola dan sepedaan,” terang Arman.
Tinggal di kota Jogja, Arman tidak memiliki halaman yang luas untuk anaknya yang aktif. Karena itu, begitu menemukan warung yang memiliki halaman luas, Arman langsung cocok. Apalagi, warung ini juga menyediakan beberapa mainan tradisional seperti egrang bambu dan bakiak.
Sementara bocah-bocah asyik dengan permainanya, beberapa pasang orang tua duduk di kursi kayu di bawah bangunan limasan berukuran 8×13 meter. Menghadap ke utara, gunung Merapi tampak anggun. Awan putih yang melilit pinggang gunung menyerupai selendang.
Pada meja-meja terhidang teh poci, kopi vulkani dan pisang goreng. Beberpa gelas wedang lahar juga tersaji. Minuman berbahan jahe, sereh dan kayu manis ini memang paling cocok untuk mengusir hawa dingin yang menyergap. Begitulah sore di warung Bale Merapi. Anak-anak bermain di halaman, sedang para orang tua duduk mengawasi sambil menikmati hidangan.
“Kami terinspirasi dengan gunung Merapi yang mengeluarkan beragam material vulkanis setiap kali erupsi. Nah, wedang lahar ini bahannya dari beberapa rempah di kaki gunung Merapi yang berkhasiat untuk menghangatkan badan, ” terang Budhe Rawi, kepala dapur warung Bale Merapi.
Sama dengan wedang lahar, kopi vulkanik juga terinspirasi dari gunung teraktif nomor dua di dunia. Disajikan hanya dengan ditubruk, kopi ini meruapkan aroma khas dengan rasa gurih di ujung tegukan. “Tujuan saya ke sini ya karena kopi (vulkanik) dan singkong goreng,” ungkap Himawan yang sudah menjadi pelanggan sejak warung ini berdiri pada September 2021 silam.
Selain singkong goreng, warung ini juga menyuguhkan pisang goreng, mendoan dan jadah goreng. Camilan terakhir menjadi favorit para pengunjung yang memesan kopi vulkanik maupun wedang lahar.
Terletak di Jalan Raya Ngebo, Dusun Wonorejo, Desa Wedormatani, Kecamatan Ngemplak, Sleman, DIY, warung Bale Merapi buka dari jam 07.00 WIB hingga pukul 20.00 WIB. Bagi penggemar masakan klasik seperti brongkos, rebung, lodeh tempe, garang asem, dan sayur lompong, warung ini adalah “klangenan”. “Yang aku nggak nyangka, ternyata di sini juga ada jengkol yang endes banget. Makanya setiap kali ke Jogja, aku pasti mampir ke sini,” terang Nunit, wisatawan asal Jakarta.
Nunit bukan satu-satunya pengunjung yang terkejut bisa menemukan jengkol di Jogja. Sejumlah tamu lain mengaku hal yang sama. Mereka menganggap kehadiran jengkol ini bisa menjadi alternatif pengganti bagi yang tidak suka masakan manis yang menjadi ciri khas Jogja.
Tidak sulit untuk menjangkau warung ini. Dari Malioboro, hanya butuh sekitar 30 menit perjalanan dengan menggunakan mobil pribadi. Sedang dari kawasan wisata gunung Merapi, waktu tempuh yang diperlukan juga sama, sekitar 30 menit. Candi Plaosan dan Prambanan adalah obyek wisata terdekat dengan warung ini. Anda hanya butuh waktu 15 menit dengan mobil sebagai moda transportasi.
***