Dari Kereta ke Batubara, Vice Versa
Pertanyaan Dr Andry Dachlan yang merupakan seorang dokter dengan expertise di ranah wellness medicine, tentang jaringan kereta api Sumatera, memantik hasrat keingintahuan saya untuk menggali dan mengelaborasi secara lebih mendalam data-data perkeretaapian di pulau Sumatera.
Tak dapat dipungkiri, kereta api sebagai alat produksi barang dan jasa, adalah salah satu sarana yang pada masanya memegang peran teramat penting dalam meningkatkan kapasitas produksi di era pasca revolusi industri.
Dimana revolusi industri adalah perubahan besar dalam cara memproduksi barang dan jasa yang dimulai pada abad ke-18 di Inggris. Revolusi industri ditandai dengan penggunaan mesin-mesin untuk menggantikan tenaga manusia. Yang pada saat saya masih belajar di sekolah dasar kerap disampaikan bahwa revolusi ini ditandai dengan penemuan mesin pemintal benang mekanik oleh James Watt pada tahun 1784 dan kereta uap pada tahun 1804.
Pembangunan kereta api di Sumatera pertama kalinyapun ditujukan untuk angkutan barang, terutama hasil tambang dan hasil hutan. Sebagaimana disebutkan dalam buku Sejarah Perkeretaapian di Indonesia, penelitian dan persiapan pembangunan kereta api di Sumatera sudah dimulai sejak 1875.
Pengadaan kereta api di jalur Sumatera waktu itu adalah untuk mengangkut hasil tambang di batu bara di Ombilin, Sawahlunto, ke pelabuhan di Teluk Bayur, Sumatera Barat. Pembangunan dari Sawahlunto ke Teluk Bayur selesai pada 1984 dan sejak itu pula kereta api dibuka untuk umum.
Perlahan-lahan, pembangunan jaringan kereta di Sumatera meluas. Hanya, tidak seperti di Jawa yang setiap rel lintasan terhubung menjadi satu, di Sumatera terputus-putus. Jalur kereta di Aceh berdiri sendiri, Sumatera Barat berdiri sendiri, demikian juga dengan lintasan di Sumatera Selatan dan Lampung.
Sementara sejarah perkeretaapian di Sumatera Utara yang diawali dari kawasan Medan-Deli Serdang menurut jurnal berjudul History of Railways Medan (1886-1942) yang dipublikasikan pada tahun 2018 oleh akademisi Universitas Riau, Haston Ranap Erwin, Ridwan Melay dan Bunari; cikal bakal dibangunnya kereta api di Medan tak terlepas dari kehadiran perusahaan perkebunan tembakau, De Deli Maatschappij. Perusahaan ini dibangun oleh Jansen , P.W Clemen, Cremer, dan Nienhuys di Labuhan pada tahun 1866.
Perkebunan ini sangat berkembang sehingga bisa membangun 22 perusahaan di beberapa titik pada tahun 1874. Melihat bisnis tembakau berkembang cukup pesat, T Cremer selaku manager perusahaan pun menganjurkan agar jaringan kereta api dibangun di Deli.
“Bahkan beliau mendesak agar jalur kereta api dapat segera dibangun dan direalisasikan. Dia menganjurkan pembukaan jalan yang menghubungkan antara Medan-Berastagi,” tertulis dalam jurnal tersebut.
Di saat itu pula, Belawan telah berkembang sebagai bandar kapal ekspor hasil perkebunan ke Eropa sehingga mendorong laju percepatan pembangunan jaringan kereta api yang menghubungkan daerah-daerah perkebunan di Sumatra Timur.
Namun pemerintah menganggap jalur transportasi sungai dinilai cukup lambat dalam proses angkutan hasil produksi perkebunan menuju Belawan. Pemerintah Belanda pun merencanakan pembangunan jaringan kereta api yang menghubungkan Belawan-Medan-Delitua-Timbang Langkat (Binjai).
Pada bulan Juni 1883, proyek perkebunan Belanda dipindahtangankan dari Deli Matschappij kepada Deli Spoorweg Matschappij (DSM). Pada tahun itu pula, presiden komisaris DSM, Peter Wilhem Janssen merealisaikan pembangunan rel kereta api yang menghubungkan Medan-Labuhan pada tanggal 25 Juli 1886.
Setelah itu, Pemerintah Belanda turut membuka cabang-cabang jaringan lintasan ke Serdang-Perbaungan-Serdang Hulu dan seluruh jaringan lintasan 63 mil (108 km) selesai di tahun 1889. Apabila perkebunan-perkebunan baru mulai di buka ke arah selatan maka jalan kereta api juga turut menyusul dibuka ke arah selatan tersebut.
Dosen Antropologi di Universitas Negeri Medan (Unimed) Erond L Damanik mengatakan memang situs kereta api yang pertama dibangun di Kota Medan berada di Labuhan. Rel kereta api itu dibangun perdana sepanjang 17 km dari Labuhan ke Medan.
Masih menurut Erond, Sejarah kereta api di Medan sekaligus memulai sejarah telepon dan telegraf di Sumatera Utara. Juga kehadiran Titi Gantung atau sejumlah titi besar seperti di Kuala Deli mau ke Belawan. Terakhir, meskipun batal, Sultan Deli punya kereta api dalam kota sendiri terdiri dari dua gerbong. Namun, tram ini tidak sempat beroperasi karena takluknya Belanda ke Jepang tahun 1942.
Sedangkan sejarah kereta api di Aceh dimulai pada tahun 1876, saat Pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api pertama di Aceh. Jalur kereta api ini bernama Atjeh Tram, yang menghubungkan Pelabuhan Ulee Lheue di Banda Aceh dengan Krueng Mane.
Berikut adalah beberapa peristiwa penting dalam sejarah kereta api di Aceh:
– Pada tahun 1916, nama Atjeh Tram diubah menjadi Atjeh Staats Spoorwegen (ASS).
– Pada tahun 1919, kereta api di Aceh sudah terhubung dengan Deli Serdang, Sumatera Utara.
– Pada tahun 1942, kereta api di Aceh diambil alih oleh Pemerintah Jepang.
– Pada tahun 1970-an, kereta api di Aceh berhenti beroperasi karena konflik dan penurunan infrastruktur.
– Pada tahun 2023, PT Kereta Api Indonesia (KAI) mengoperasikan kembali Kereta Api Cut Meutia dengan rute Krueng Mane–Bungkaih–Krueng Geukueh.
Pembangunan jalur kereta api di Aceh sendiri, sejak awal oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda bertujuan untuk mendukung aktivitas ekonomi, khususnya dalam pengangkutan hasil bumi seperti kopi, tembakau, dan kelapa sawit yang saat itu menjadi komoditas utama Aceh.
Sementara sejarah kereta api di Sumatera Barat dimulai pada tahun 1887, ketika Pemerintah Kolonial Belanda menerbitkan izin kepada Staatsspoorwegen ter Sumatra’s Westkust (SSS) untuk membangun jalur kereta api.
Berikut beberapa peristiwa penting dalam sejarah kereta api di Sumatera Barat:
– Pada tahun 1889, pembangunan jalur kereta api di Sumatera Barat dimulai.
– Pada tahun 1891, jalur kereta api Lubuk Alung-Padang Panjang selesai dibangun.
– Pada tahun 1892, jalur kereta api Padang-Teluk Bayur dan Solok-Muaro Kalaban selesai dibangun.
– Pada tahun 1894, jalur kereta api Muaro Kalaban-Sawahlunto selesai dibangun.
– Pada tahun 1896, jalur kereta api Bukittinggi-Payakumbuh selesai dibangun.
– Pada tahun 1908, jalur kereta api Lubuk Alung-Pariaman selesai dibangun.
– Pada tahun 2003, operasi kereta api di jalur Teluk Bayur-Sawahlunto berhenti karena pasokan batubara dari Sawahlunto terhenti.
– Saat ini, jalur kereta api Padang-Pariaman sepanjang 52 km masih beroperasi secara rutin.
Di Sumatera bagian Selatan yang kini menjadi divisi regional paling produktif bagi PT KAI, lintasan keretanya pertama kali dibangun sepanjang 12 kilometer dari Panjang menuju Tanjungkarang, Lampung. Jalur rel ini mulai dilalui kereta, 3 Agustus 1914.
Dimana pada waktu yang bersamaan dilaksanakan juga pemasangan dan pembangunan lintasan rel dari Kertapati, menuju Kota Prabumulih, Sumatera Selatan. Sampai 1914, jalur rel lintas Kertapati hingga Prabumulih mencapai jarak 78 kilometer.
Perlahan, jalur rel kemudian dikembangkan untuk pengangkutan batu bara dari tempat penambangannya di Tanjung Enim. kemudian dikembangkan juga jalur ke Lahat. Di Kota Lahat ada sebuah bengkel besar kereta (sekarang dinamakan Balai Yasa Lahat) yang berfungsi untuk perbaikan dan perawatan kereta api. Jalur-jalur yang terputus di Sumatera Selatan ini perlahan akhirnya bertemu.
Kini, panjang seluruh jalur rel yang dikelola PT Kereta Api Divisi Regional III Sumsel mencapai lebih dari 600 kilometer dengan 224 jembatan. Data di PT KA Divre III, jalur antara Tanjung Enim dan Tarahan panjangnya 411 kilometer.
Kecepatan maksimum kereta untuk jalur ini adalah 90 kilometer per jam meskipun dengan kondisi rel dan kereta tidak memungkinkan mencapai kecepatan maksimal.
Sementara jalur Kertapati–Prabumulih mempunyai panjang 77,8 kilometer, Muaraenim–Lahat sepanjang 38,3 kilometer, dan Lahat-Lubuk Linggau sepanjang 117 kilometer. Sebagian besar masih memakai rel kecil tipe R25 dan R33, sedangkan 20 kilometer sudah menggunakan rel R41. Panjang rel dengan tipe R25 sekitar 70 kilometer.
Tak dapat dipungkiri bahwa salah satu peran kereta api di Sumatera adalah pengangkutan hasil tambang batu bara. Selain tambang batu bara di Sawah Lunto Sumatera Barat yang sudah tidak berproduksi, maka ada tambang Ombilin, masih di Sumatera Barat juga, dan tambang Tanjung Enim yang dikelola oleh BUMN pertambangan; PT Bukit Asam. Sejarah tambang batu bara Bukit Asam dimulai pada tahun 1919, saat Belanda melakukan eksplorasi batubara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Penambangan dilakukan dengan metode terbuka (open-pit mining).
Berikut adalah beberapa peristiwa penting dalam sejarah tambang batu bara Bukit Asam:
– Pada tahun 1942, tambang di Tanjung Enim diambil alih oleh Jepang.
– Pada tahun 1950, pemerintah Indonesia berusaha mengambil alih kembali aset dan wilayah operasional perusahaan.
– Pada tahun 1981, didirikan Perusahaan Perseroan (Persero) Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA).
– Pada tahun 1990, pemerintah Indonesia menggabungkan Perum Tambang Batu Bara ke dalam PTBA.
– Pada tahun 2002, PTBA melakukan penawaran saham perdana (Initial Public Offering) dan mengubah namanya menjadi PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
– Pada tahun 2017, PTBA bergabung dalam Holding BUMN Industri Pertambangan; MIND ID
Produksi batu bara PT Bukit Asam Tbk (PTBA) pada tahun 2023 mencapai 41,94 juta ton. Angka ini meningkat 12,94% dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 37,14 juta ton.
Produksi batu bara PTBA berasal dari beberapa unit pertambangan, di antaranya:
– Unit Pertambangan Tanjung Enim (UPTE)
– Unit Pertambangan Ombilin (UPO)
– Unit pertambangan di Kalimantan Timur yang dioperasikan oleh PT Internasional Prima Coal
Komoditas batu bata untuk kebutuhan energi nasional yang dikapalkan dari pelabuhan Tarahan ke PLTU di wilayah Jawa, khususnya Muara Karang, menggunakan fasilitas transportasi angkutan barang kereta api. Dikenal sebagai kereta api batu bara rangkaian panjang atau Babaranjang. Dimana satu rangkaian KA angkutan batu bara Babaranjang di Sumatera bagian selatan itu dapat menarik 61 gerbong atau 3.000 ton sekaligus. Jika diangkut truk butuh kurang lebih 120 truk.
Angkutan batu bara memang mendominasi angkutan barang di KAI, dengan total 45.764.456 ton atau 80,12% dari keseluruhan angkutan barang KAI yang pada tahun 2024 mencapai 57.144.338 ton. Angkutan batu bara lebih terpusat di Sumatera bagian selatan yang biasanya dibutuhkan untuk mendukung pasokan energi nasional.
Berbicara dalam konteks ketahanan energi, suka atau tidak suka, dengan berbagai ekses dan dampak mulai dari proses pertambangan sampai saat dikonversi menjadi energi, batubara masihlah tetap menjadi aset energi nasional yang sangat potensial.
Cadangan batubara nasional Indonesia pada Maret 2024 adalah 35 miliar ton. Cadangan ini merupakan bagian dari sumber daya batubara Indonesia yang mencapai 134 miliar ton.
Dimana cadangan batubara Indonesia berada di berbagai daerah, terutama di pulau Sumatera dan Kalimantan.
Beberapa daerah dengan cadangan batubara terbesar di Indonesia adalah: Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.
Cadangan batubara yang ada di Indonesia dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan diekspor. Dalam menentukan cadangan batubara, perlu memperhitungkan dilution dan losses yang terjadi saat proses penambangan.
Tapi tentu amat perlu dipertimbangkan berbagai metoda pemanfaatan energi dari batubara melalui pendekatan yang berbeda. Salah satunya dengan penerapan teknologi yang dapat menghasilkan proses konversi energi batubara yang lebih ramah lingkungan.
Pada sekitaran tahun 2018 saat saya masih kerap beraktivitas di Pusat Penelitian Minyak dan Gas, lembaga yang dikenal sebagai Lemigas, salah satu unit eselon 2 di bawah naungan Balitbang ESDM, saya kerap mendengar diskusi tentang CBM.
Apa itu CBM?
CBM atau Teknologi coal bed methane adalah teknik mengekstrak gas metana dari lapisan batu bara. Teknologi ini menggunakan sumur vertikal dan horizontal untuk mengebor lapisan batu bara dan memompa keluar air tanah.
Proses ekstraksi CBM antara lain meliputi:
– Mengebor sumur ke dalam lapisan batu bara
– Memompa keluar air tanah yang terkandung di dalam lapisan batu bara
– Mengurangi tekanan hidrostatik di dalam lapisan batu bara
– Gas yang terperangkap di dalam batu bara terlepas
– Gas yang diperoleh dikirim ke jaringan pipa gas alam atau sistem kompresor udara
Pada intinya CBM dapat menghasilkan gas alam nonkonvensional yang terbentuk selama proses pembatubaraan. Gas ini terdiri dari lebih dari 90% metana dan dapat digunakan sebagai sumber energi bersih.
Sementara batubara yang baik untuk produksi CBM memiliki karakteristik:
– Kandungan gas yang tinggi, Permeabilitas yang baik, Kedalaman yang kurang dari 1000 meter.
Secara umum menurut Zao (2017), minyak dan gas bumi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu secara konvensional yang terdapat pada tight sandstone oil, tight limestone oil, heavy oil, oil-sand oil dan oil-shale oil. Kedua, adalah sumber daya non-konvensional yang meliputi tight sandstone gas, coal bed methane, shale gas, shale oil dan natural gas hydrates.
Sumberdaya non-konvensional memiliki permeabilitas dan viskositas yang relatif rendah, serta dimungkinkan untuk mengubah karakteristik permeabilitas maupun viskositas untuk dilakukan produksi. Adapun yang dimaksud dengan sumber daya non-konvensional adalah tight gas, tight oil, shale gas, shale oil, coal bed methane dan lapangan migas dengan rasio permeabilitas dan viskositas yang rendah.
Di Indonesia, Migas Non-Konvesional (MNK) diatur dalam Permen ESDM No. 05 Tahun 2012 Pasal 1 Ayat 1, yaitu sumber daya minyak dan gas bumi yang diusahakan dari reservoir tempat terbentuknya minyak dan gas bumi dengan permeabilitas rendah antara lain shale oil, shale gas, tight sand gas, gas metana batubara dan methane-hydrate dengan mengunakan teknologi tertentu seperti fracturing.
Gas metana batubara dihasilkan melalui mekanisme pembentukan batubara (baik pada tahap penggambutan maupun pembatubaraan). Proses tersebut diawali dari terakumulasinya material organik yang berasal dari tumbuhan yang kemudian mengalami pembebanan akibat burial sehingga meningkatkan suhu dan tekanan, serta perubahan karakteristik fisika dan kimia material organik. Gas metana pada gas metana batubara terbentuk melalui dua mekanisme yaitu secara biogenik sebagai hasil dari aktivitas penguraian oleh mikroba anaerobik pada fase awal. Proses kedua yaitu secara termogenik, dimana pembebanan yang mengakibatkan peningkatan suhu dan tekanan yang mengakibatkan gas metana termogenik umum dijumpai pada batubara dengan peringkat tinggi dan pada kedalaman yang jauh lebih dalam.
Gas metana batubara umumnya terdistribusi melalui dua proses penyimpanan gas dalam batubara, yaitu free gas dan adsorbed gas (King, 1993). Mekanisme secara adsorpsi memiliki peran yang paling besar hingga 98%, dimana gas metana batubara tersimpan dalam micropores, rekahan dan juga cleat.
Dalam melakukan eksplotasi gas metana batubara dilakukan dengan proses dewatering (memompa air keluar) sehingga akan mengurangi tekanan. Adsorb gas akan terdifusi dari micropore menuju cleat dan selanjutnya mengalir ke sumur produksi melalui sistem cleat.
Selain proses dewatering, produksi CBM juga bisa dilakukan dengan injeksi CO2 dan N, karena batubara memiliki kemampuan untuk menyimpan gas metana dan gas lain seperti nitrogen dan karbon dioksida secara adsorpsi pada micropores. Injeksi nitrogen dan karbon dioksida ini akan meningkatkan laju produksi CBM, metode ini dikenal sebagai Enhanced Coal Bed Methane Recovery (ECBMR). Penelitian mengenai ECBMR di Indonesia sendiri juga telah dilakukan pada beberapa lapangan penghasil batubara di Indonesia oleh Anggara (2013).
Di Indonesia, aktivitas terkait pemanfaatan CBM masih berada di tahap awal dari eksplorasi, sehingga hanya ada data sumberdaya (resource) CBM di Indonesia dan belum ada data mengenai jumlah cadangannya (reserve).
Per 2020, terhitung sumberdaya CBM di Indonesia sebesar 71,40 Tcf, tersebar pada enam cekungan besar pembawa batubara (PSDMBP, 2021). Cekungan Kutai menjadi cekungan dengan potensi CBM terbesar, diikuti dengan Cekungan Barito, Cekungan Sumatera Selatan, Cekungan Sumatera Tengah, Cekungan Ombilin, dan Cekungan Berau.
Eksploitasi metana melalui teknologi prosesing CBM tampaknya dapat diselaraskan dengan konsep CCS. Dimana Teknologi carbon capture and storage (CCS) ialah praktik penangkapan dan penyimpanan emisi karbon sehingga tidak terlepas ke atmosfer.
Sederhananya, karbon dari industri di berbagai sektor ditangkap untuk disuntikkan ke perut bumi. Karbon dioksida (CO₂) yang ditangkap juga dimanfaatkan untuk memberikan penambahan (incremental) produksi minyak ataupun gas bumi sehingga disebut carbon capture, utilization and storage (CCUS).
Penyimpanan CO₂ bisa dilakukan di depleted reservoir ( servoir migas yang telah mengalami penurunan produksi). Alternatif lain, penyimpanan CO2 di saline aquifer (reservoir air bersalinitas tinggi).
Berdasarkan perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi penyimpanan CO2 di Indonesia total mencapai 577 gigaton, yang terdiri dari depleted reservoir (4,85 gigaton) dan saline aquifer (572,77 gigaton). Angka itu dari penghitungan 20 cekungan (basin) di sejumlah wilayah di Indonesia yang statusnya sudah berproduksi.
Sebagai salah satu energi fosil dengan kompleksitas spektrum masalahnya, batubara harus diakui sampai hari ini masih menjadi salah satu tulang punggung pemenuhan kebutuhan energi dunia. Batu bara memiliki banyak kegunaan, di antaranya sebagai bahan bakar pembangkit listrik, bahan bakar industri, dan bahan bakar transportasi.
Batu bara merupakan salah satu bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan listrik. Batu bara steam atau lignit digunakan dalam pembangkit listrik, selain itu batu bara juga digunakan sebagai bahan bakar utama dalam produksi baja, semen, kertas, dan alumina.
Batu barapun digunakan dalam industri kimia dan farmasi. Dimana batu bara juga masih digunakan untuk memanaskan tungku dalam proses produksi keramik.
Batu bara dapat digunakan sebagai bahan bakar transportasi, dalam bentuk seperti Coal Water Mixture (CWM). CWM merupakan campuran batu bara dan air yang dapat digunakan sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM).
Selain itu, batu bara juga dapat digunakan untuk:/ membantu proses pembuatan pupuk dan produksi gas alami. Batu bara juga digunakan untuk produksi berbagai produk kimia hulu seperti fenol dan naftalen.
Jenis-jenis batubara berdasarkan kualitasnya dibedakan berdasarkan kadar karbon dan nilai kalorinya. Berikut adalah beberapa jenis batubara berdasarkan kualitasnya:
– Gambut, batubara yang masih dalam tahap awal pembentukan, dengan kadar karbon yang rendah dan kadar air yang tinggi.
– Lignite, batubara yang memiliki kadar karbon 25-35% dan nilai kalori 3500-4600 kcal/kg. Batubara ini memiliki warna cokelat gelap dan tekstur kayu.
– Sub-bituminus, batubara yang memiliki kadar karbon 35-45% dan nilai kalori 4600-5700 kcal/kg. Batubara ini memiliki warna cokelat kehitaman dan lebih lunak dari bituminus.
– Bituminus, batubara yang memiliki kadar karbon 45-86% dan nilai kalori 5700-8300 kcal/kg. Batubara ini memiliki warna hitam dan sering menunjukkan pita-pita mengkilap.
– Antrasit, batubara yang memiliki kadar karbon 86-98% dan nilai kalori >8300 kcal/kg. Batubara ini memiliki warna hitam mengkilap dan keras.
Pemanfaatan batubara sebagai catu daya pembangkitan listrik sebenarnya sangat sederhana. Dimana Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara bekerja dengan cara membakar batu bara untuk menghasilkan uap, kemudian uap tersebut digunakan untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik.
Batu bara dihancurkan menjadi tepung batu bara, lalu tepung batu bara halus dicampur dengan udara panas, dimana campuran batu bara dan udara panas tersebut akan disemprotkan ke dalam boiler bertekanan tinggi.
Air lalu dialirkan ke dalam boiler melalui pipa di dinding.
Air yang “dimasak” tersebut akan menjadi uap yang kemudian dialirkan ke tabung untuk memisahkan uap dari air. Selanjutnya uap akan dialirkan ke superheater untuk meningkatkan suhu dan tekanan uap. Kemudian uap yang memiliki tekanan dan suhu tinggi dialirkan ke turbin. Gerakan putaran turbin inilah yang diubah menjadi energi listrik oleh generator.
Emisi gas buang dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara meliputi karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NO), dan partikulat. Pembakaran satu pon batu bara menghasilkan 2,07 pon CO2, dan menghasilkan lebih dari 211 pon CO2 per juta *British thermal unit (BTU)* energi. Pemerintah menetapkan baku mutu emisi SO2 untuk PLTU batu bara pada tahun 1995 sebesar 1500 mg/m3, dimana teknologi untuk menurunkan emisi SO2 telah dapat mengurangi emisi hingga 70%.
Untuk mengurangi emisi gas buang dari PLTU batu bara, pemerintah menerapkan program cofiring. Program ini dilakukan dengan mencampur bahan bakar fosil dengan bahan bakar energi terbarukan (EBT) seperti biogas, biomassa, atau hidrogen.
Jadi akhirul kalam, lucu juga ya kalau dipikir-pikir, revolusi industri dipantik oleh penemuan Richard Trevithick berupa kereta antik yang dicatudayai mesin uap James Watt hingga dapat melaju dengan cantik. Belakangan hari, mesin uap itu menggunakan batubara sebagai sumber penghasil panasnya. Lalu di tahap selanjutnya, kereta yang semula berbahan bakar batubara, mengambil peran sebagai moda pengangkut batubara juga. Demikianlah dongeng peradaban manusia, yang kerap memecahkan masalah dengan menciptakan masalah baru. Emosi gas buang dan banyak hal lainnya.
Tapi di sisi lain, kita juga patut mensyukuri dan menyadari bahwa dari setiap masalah yang dihadirkan dalam kehidupan itulah kita senantiasa memiliki motivasi untuk terus belajar dan mematutkan diri sebagai khalifah yang akan selalu dituntut untuk menghasilkan solusi. Dari kondisi itulah lahir peradaban bukan ? 🙏🏾🙏🏾🩵
https://irps.or.id/2021/01/sejarah-kereta-api-di-kertapati-tanjungkarang/ (Dardela Yasa Guna)
https://www.detik.com/sumut/berita/d-7178302/sejarah-kereta-api-di-medan-yang-dibangun-karena-pesatnya-bisnis-tembakau (Goklas Wisely)
https://ugrg.ft.ugm.ac.id/artikel/mengenal-coal-bed-methane-dan-potensinya-di-indonesia/ (Aulia Agus Patria)