Animasi Club Edisi Ke-31 Suguhkan 7 Film Bertema Lingkungan
SLEMAN-Animasi Club edisi ke-31 yang mengusuh tema “Nature/Creature” menyuguhkan tujuh film animasi bertema lingkungan, Minggu (29/01/2023) di Balai Merapi, Sleman. Film-film tersebut sukses memantik beragam respons menarik dari para penonton.
Sebanyak 36 orang meramaikan pemutaran film. Mereka terdiri dari kreator animasi, aktivis lingkungan, mahasiswa, bahkan jurnalis. Sebanyak tujuh film pendek animasi bertema lingkungan diputar selama 1 jam.
Animasi tersebut sengaja dipilih dari berbagai negara asal filmmaker yang berbeda. Adapun film yang diputar yakni Kasat Mata dari Indonesia, Re-animal dari Spanyol, Notun Fasal (New Harvest) dari India, 5’23 Before the end of a world dari Perancis, Orbit dari Belanda, Corn dari Honduras, dan The Isle of Trashes dari Korea Selatan.
Narasumber dalam pemutaran film ini AG. Irawan, Aktivis Lingkungan & Pegiat Sungai mengatakan salah satu yang dibutuhkan aktivis lingkungan adalah media visual, apalagi animasi yang sangat imajinatif membawa pesan-pesan lingkungan menjadi lebih dahsyat. “Yang jelas misi saya adalah, sungai-sugai kita kembali menjadi sumber mata air bagi kehidupan kita. Bukan saja sebagai tempat mengalirkan air,” kata dia.
Ia bermimpi jika ada perda yang mewajibkan setiap orang/penduduk wajib mandi di sungai, maka sungai akan kembali dirawat (bersih).
“Berdasarkan penelitian yang kami sepanjang 2020 sd 2022 di beberapa sungai besar di DIY, kami menemukan bahwa air sungai mengandung timbal yang besarannya 3000x ambang batas. Dari manakah itu? Dari resapan limbah air bekas cucian motor/mobil/karpet dan laundry yang merembes (drainase) ke sungai,” ucap dia.
Kemudian muncul pertanyaan, kira-kira apa yang akan terjadi jika PDAM kemudian memakai sungai (yang mengandung timbal) menjadi sumber utama konsumsi air masyarakat? “Nah, dampak itu bisa digambarkan atau disuarakan melalui film animasi dengan sangat dahsyat. “Animasi bisa menjadi mediasi yang kritis, sekaligus mencoba menawarkan solusi. Saya kira luar biasa,” papar dia.
Kenapa harus sungai? Menurutnya, sebenarnya tidak hanya sungai, tetapi setiap orang dekat sekali dengan sungai daripada hutan. Oleh karena itu masyaralat bisa memulai dari yang dekat.
“Saya punya tagline sederhana untuk itu. X bukan segala-galanya, tetapi segala sesuatu bisa dimulai dari X. X adalah variable bebas. Contohnya, animasi bukan segala-galanya, tetapi segala sesuatu bisa dimulai dari animasi,” terang dia.
Beberapa penonton terlihat merespons film-film yang diputar dengan berbagai sudut pandang menarik. Salah satu penonton, Gunawan menyampaikan keresahannya akan sedikitnya animasi-animasi bertema lingkungan untuk konsumsi anak-anak dan publik lokal/Indonesia.
Jika pun ada, rata-rata adalah karya animasi dari luar negeri (subtropis) yang tentu saja kurang spesifik dengan keberagaman satwa di Indonesia sendiri (tropis).
Ia kemudian memberikan sebuah contoh konkrit berupa karyanya dalam bentuk buku bergambar. Buku tersebut bercerita tentang Elang Jawa, yang menurutnya tidak banyak sumber referensi yang bisa diceritakan dalam karya sederhana untuk media penyampaian cerita ke anak-anak.
Lida, seorang animator menyampaikan gagasan bagaimana sebaiknya cerita-cerita tersebut diperkuat dengan ilmu sains, dan bukan hanya mistis/mitologi belaka. Menurutnya sains akan menjadikan penonton menjadi lebih dekat dengan kehidupan dan lingkungannya.
Beda dengan Wildan, warga Demak yang sedang meniti karier di Yogyakarta. Ia yakin mitologi atau cerita mistis lainnya bisa dipakai sebagai pendekatan guna menyuarakan pesan menjaga keseimbangan ekologi. Ia mencontohkan sungai di kampungnya yang dulunya kotor menjadi bersih karena faktor cerita mitologi.