Jejak-Jejak Warga Dunia di Indonesia
Hari ini saya mendapat tugas untuk mengisi suatu kegiatan peningkatan kapasitas SDM di PT Kaltim Medika Utama (Metacare) yang lokasi pelaksanaannya di kota kecil nan indah dan sejuk di Jawa Timur, kota Batu.
Perjalanan saya tempuh dari Bandung dengan transit semalam di kota budaya Surakarta, atau lebih dikenal sebagai Solo, untuk menziarahi perhelatan budaya tahunan yang bagi penggemar musik Nusantara bergenre keroncong bersifat sakral, Solo Keroncong Festival.
Beragam pendapat dan fakta sejarah tentang lahirnya musik keroncong di Indonesia, tapi sebagian besar sejarawan berpendapat ada pengaruh musik tradisional Portugis yang dikenal sebagai Fado.
Maklumlah pada abad ke 17, aktivitas dagang dan diplomasi antara Jayakarta yang kelak menjadi Batavia dan kemudian Jakarta, dengan peradaban Portugis yang bermarkas di Goa India dan Malaka di semenanjung Malaya cukup erat dan kental.
Sebagian data sejarah musik tradisi juga mencatat adanya peran kelompok masyarakat yang dikenal sebagai mestizos, atau kelompok masyarakat campuran dua ras dari pernikahan antar bangsa, Portugis dan warga lokal. Kelompok mestizos ini lah yang dianggap merupakan cikal bakal warga Kampung Tugu Jakarta Utara yang sampai hari ini masih aktif melestarikan budaya musik keroncong.
Warga kampung Tugu sangat kreatif dalam berinovasi di bidang musik. Kreativitas warga Kampung Tugu, akhirnya melahirkan tiga jenis gitar yang diberi nama Jitera, Prunga serta Macina.
Dimana Jitera adalah sebutan untuk gitar besar, Prunga sebutan untuk gitar sedang, serta Macina sebutan untuk gitar kecil. Saat ini di budaya keroncong Nusantara dikenal instrumen petik Cak dan Cuk yang menjadi ciri khas.
Keroncong berkembang menjadi musik pemersatu bangsa dan banyak komposer besar Indonesia seperti Ismail Marzuki memilih genre musik yang satu ini sebagai salah satu media penghantar karya-karya jenialnya.
Solo Keroncong Festival atau SKF 2024 hari kedua yang saya ziarahi, berlangsung syahdu, khusyu’, dan penuh dengan dinamika kerinduan yang mendamba untuk diobati. Tombo kangen kata orang Jawanya. Lantunan rancak maestro budaya global yang banyak berkiprah di mancanegara Peni Candrarini yang berkolaborasi dengan siswa-siswa penuh talenta dari SMKN 8 Surakarta dan beberapa perancang busana muda, membuka gelaran hari kedua dengan performa panggung yang luar biasa.
Memikat seperti biasa, Peni, sang Sinden laut selatan, menunjukkan rentang vokalnya yang ambitius dan menurut taksiran kasar saya, mencapai 2,5 oktaf tingginya. Sungguh suatu penguasaan ilmu pernafasan dan olah vokal yang luar biasa.
Selipan cengkok pentatonik di sela-sela komposisi, menjadikan lagu Peni membuat saya merinding dan tak terasa, secara subtil, selarik rasa kebanggaan akan kebesaran bangsa Nusantara ini meruap memenuhi rongga dada.
Peni memang pahlawan budaya di era batas antar negara perlahan mulai sirna. Ia mungkin avatar representasi Indonesia yang membentuk rupa dunia lewat karya.
Kolaborasi ciamik Keroncongisasi dengan beberapa penampil yang membawakan mulai musik tradisi seperti Padang Bulan sampai lagu tasawuf syahdu Mas Panji Sakti, mengoyak kesadaran kita akan batas dan keterbatasan yang banyak pagarnya dibangun oleh manusia-manusia itu sendiri.
Lirik hidup adalah perjalanan yang diantarkan Panji Sakti dengan iringan gesekan string dan kocokan cuk khas keroncong, bercumbu mesra dengan siulan flute, dan tentu saja vokal mistis Mas Panji.
Panji Sakti yang ternyata memang sangat sakti dalam mengolah kata menjadi lirik yang dalam dan bermakna, seolah melantunkan jerit kerinduan seorang hamba yang amat mendamba kehadiran sumber cinta nya.
Dan mungkin itu juga hal yang sama dengan yang dirasakan oleh Mas Lilik dan Mas Heruwa dari Gondomanan, tepatnya gang Sayidan tepi kali Code di kawasan sub urban Jogja. Hanya mungkin mereka mengekspresikannya dengan cara yang berbeda. Maklumlah, namanya orang jatuh cinta, tentu ada-ada saja polah tingkahnya untuk mengekspresikan apa yang dirasanya. Sulit untuk diumbar dalam kata-kata, maka jadilah gelora musik yang mempesona. Membuai banyak manusia dalam lantunan doa yang diserap dalam setiap gerak dan nada.
Pagi harinya setelah sempat berkeliling alun-alun dan Pasar Klewer serta kampung Batik Kauman dengan berjalan kaki, saya melanjutkan perjalanan dengan KA Malioboro Ekspres pukul 10.25 dari stasiun Balapan yang melekat di benak banyak ummat manusia karena jasa maestro campur sari Mas Didi Kempot.
Senyum salam sapa dari murid tercinta yang merupakan abdi pelayanan jasa kereta api di area boarding, mengingatkan saya akan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bebas sifat transaksional. Senyum tulus dan genggaman hangat tangan saat bersalaman, rasanya memupua kekhawatiran akan fobia hubungan yang hanya berdasarkan kepentingan.
Ketulusan dan keikhlasan itu pulalah yang saya lihat jelas dilakukan rekan-rekan OTC yang saya prakirakan berasal dari wilayah kerja Daop 8 atau RMU BO 8 yang bertugas di KA Malioboro Ekspres.
Pada saat kereta api mendekati stasiun Kepanjen, terjadi sedikit kehebohan karena ada satu keluarga yang membawa seorang anak dengan kondisi disabilitas yang harus menggunakan kursi roda aka turun. Barang bawaan mereka pun banyak. Ada seorang nenek yang juga sudah cukup sepuh ikut bersama mereka. Tentu proses keluar dari KA di stasiun singgah dengan waktu transit tak lama akan sangat mendebarkan bukan?
Mas OTC berkacamata yang bertugas saat itu sigap menelepon rekannya, OTC stasiun Kepanjen, untuk bersiaga di dekat lokasi berhenti gerbong eksekutif 3, dan bersiap menyambut di tangga kereta.
Mas kacamata dan rekan OTC on board sigap menyiapkan jalan dan membantu proses debarkasi penumpang. Melihat itu, saya yang berada di single seat paling dekat tergerak untuk turut membantu, anak yang masih berada di kursi roda saya gendong, agar kursi roda dapat diturunkan dengan cepat, dan selanjutnya anak yang saya gendong saya serahkan pada OTC di peron.
Mas-mas OTC menurunkan koper, nenek, sang Ibu dll, lalu mentransfer dengan smooth bantuan mereka pada rekan-rekan OTC dari stasiun Kepanjen yang juga sangat sigap membantu.
Yang menjadi catatan penting saya dari peristiwa itu adalah, inisiatif yang luar biasa dari Mas OTC KA Malioboro Ekspres itu inspiratif dan bisa memotivasi banyak orang untuk ingin turut membantu, termasuk saya. Tindakan kecil yang mampu membangkitkan rasa kemanusiaan dan kepedulian kita semua akan sesama.
Tampaknya bangsa ini perlu lebih banyak Mas dan Mbak yang punya mental pengabdian seperti Mas OTC Malioboro Ekspress itu, yang dengan tulus berkhidmat pada kemanusiaan terlepas dari fakta bahwa itu sudah bukan bagian dari kewenangan dan beban tugas. Luar biasa bangganya saya pada beliau yang masih belia ini.
Menjelang senja dengan menumpang sepeda motor jasa layanan transportasi daring yang dikemudikan Mas Ibnu Sina, seorang Aremania, saya tiba di sebuah hotel tua yang dibangun di akhir abad ke 19, tepatnya pada sekitaran tahun 1891 oleh keluarga pengusaha yang berasal dari Armenia. Lah kok mirip dengan driver Gojek saya?
Lalu Armenia itu negara apa dan dimana? Mengapa seperti Portugal dalam hal keroncong, kok bisa membuat hotel di Indonesia?
Armenia adalah sebuah negara yang terletak di wilayah Kaukasus Selatan Eurasia. Negara yang kaya akan sejarah dan memiliki beragam latar budaya.
Armenia berbatasan dengan Turki di barat, Georgia di utara, Azerbaijan di timur, dan Iran serta eksklave Nakhchivan dari Azerbaijan di selatan.
Armenia dikenal sebagai negara pertama di dunia yang mengadopsi Kristen sebagai agama resmi pada tahun 301 Masehi. Gereja Apostolik Armenia merupakan bagian integral dari identitas nasional.
Populasi Armenia saat ini sekitar 2,963 juta jiwa (2023).
Armenia memiliki lanskap yang beragam, dari pegunungan yang menjulang tinggi hingga lembah-lembah yang subur. Gunung Ararat, gunung yang diduga memiliki bukti-bukti arkeologis sebagai tempat terdamparnya kapal Nabi Nuh, yang terletak di perbatasan dengan Turki, adalah simbol nasional Armenia.
Luas wilayah Armenia adalah 29.743 kmΒ², dengan iklim kontinental dengan musim panas yang panas dan musim dingin yang ekstrem dingin.
Dalam aspek ekonomi Armenia disokong oleh sektor pertanian, pertambangan, dan pariwisata. PDB per 2022 mencapai $13,67 miliar, dengan Pendapatan Per Kapita $4.600. Mata uang resmi adalah Dram Armenia (AMD).
Peradaban dan budaya tua Armenia cukup unik dan merepresentasikan kekhasan kawasan konjugasi yang sarat dengan fenomena-fenomena lintas budaya. Seni Kochari dan alat musik Duduk adalah bagian dari konstruksi seni dan budaya Armenia yang mengadaptasi banyak kearifan dari berbagai penjuru mata angin.
Yerevan, ibu kotanya dan kota terbesar di Armenia, menawarkan berbagai museum, monumen, dan pusat budaya. Lalu ada pula danau Sevan yang merupakan salah satu danau air tawar tertinggi di dunia, yang terletak di ketinggian sekitar 1.900 meter di atas permukaan laut.
Armenia juga memiliki Kuil Garni, satu-satunya kuil pagan yang tersisa, diduga dibangun pada abad pertama Masehi. Selain itu ada pula situs Biara Geghard, situs warisan dunia UNESCO yang terkenal dengan biara-biara yang diukir dari batu karang.
Lalu siapa dan hotel apa yang dibangun keluarga dari Armenia itu? Keluarga Sarkies, nama dari warga Armenia yang berkarya di Indonesia itu.
Martyrose Ter Martin Sarkies tepatnya. Martyrose adalah seorang pengusaha perhotelan yang ternama dan memiliki beberapa hotel besar di Asia Tenggara seperti Rafless Hotel di Singapura, Hotel Strand di Birma, Hotel Oranje atau sekarang lebih dikenal sebagai Hotel Majapahit di Surabaya dan Hotel Niagara di Lawang.
Terkait dengan peran ekonomi warga Armenia di daerah koloni Belanda dan Inggris ini, bahkan jauh sebelum itu telah ada seorang Armenia bernama Codja Solima yang sudah berada di Makassar pada tahun 1656.
Sejumlah perusahaan milik orang Armeniapun diketahui telah berkantor di Hindia Belanda. Di Makassar ada Michael, Stephens & Co yang didirikan pada 1870-an oleh Minas Stephens dan John Marcar Michaels. Perusahaan yang bergerak di bidang tembakau ini juga punya cabang di kota lain seperti Singaraja (Bali) dan Ampenan (Lombok).
Ada pula Zorab, Mesrope & Co yang didirikan Martyrose Mackertich Zorab dan James Aviet Mesrope di Surabaya pada 1884. Perusahaan besar yang bergerak di bidang perkebunan gula dan tapioka ini bermarkas di Buleleng, Bali.
Dari pelbagai aktivitas niaga orang Armenia di Hindia Belanda, barangkali salah satu peninggalan bangunan yang masih difungsikan sebagaimana tujuan awalnya adalah penginapan yang kini bernama Hotel Majapahit. Berlokasi di Jalan Tunjungan No. 65, Surabaya, hotel tersebut didirikan pada 1910 oleh Lucas Martin Sarkies, seorang Armenia kelahiran Teheran, 1876.
Bangunan hotel ini adalah saksi bisu peristiwa-peristiwa penting selama Revolusi 1945-1949. Ketika Jepang mendarat pada 1942, bangunan itu disulap jadi Hotel Yamato yang dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai tempat insiden perobekan bendera Belanda menjadi merah putih oleh pemuda Surabaya. Peristiwa 10 November 1945 turut mengubah nama bangunan ini menjadi Hotel Merdeka.
Lucas Martin Sarkies yang mendirikan Hotel Oranje di Surabaya adalah putra Martin Sarkies. Baik Martin, Tigran, Aviet dan Arshak adalah Sarkies bersaudara yang telah sukses dikenal sebagai pionir bisnis perhotelan mewah di Asia Tenggara di zamannya. Mereka semua adalah orang Armenia yang semula tinggal di Isfahan, Persia.
Pada 1880-an empat serangkai Sarkies memperkenalkan kombinasi gaya arsitektur Asia-Eropa yang kala itu masih asing dan menjadi sesuatu yang unik di kawasan Asia Tenggara.
Bisnis hotel keluarga Sarkies berbasis di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Myanmar. Kehadirannya di kawasan Asia Tenggara membawa kebaruan dalam pengelolaan hotel. Karena kuatnya koneksi keluarga Sarkies ke jejaring bisnis Persia, mereka dapat mendatangkan kaviar telur ikan Laut Kaspia yang sangat mewah.
Ketika Stamford Raffles mencapai Pulau Singapura, keluarga Sarkies yang lain turut berlayar untuk mengadu nasib di tanah baru itu. Dua pertiga dari seluruh rumah dagang yang dibuka di Singapura jatuh ke tangan Aristarchus dan Aratoon Sarkies. Sementara Sarkies lainnya, C. Johannes Shahnazar, pindah ke Batavia dan mendirikan perusahaan Edgar & Co yang juga ada di Surabaya dan Singapura.
Nah hotel tua di depan balai kota Amongtani kota Batu itu adalah salah satu karya Martin Sarkies yang tampaknya terpesona dengan alam Indonesia. Kini hotel dengan nilai heritage tinggi itu sudah dialihtangankan dan dikelola oleh grup El Hotel milik Enggartiasto Lukito.
Letak hotel yang amat strategis membuat saya dapat berolahraga di pagi hari dengan berjalan kaki, menuju ke satu lagi bentuk akulturasi budaya yang berbentuk tempat peribadatan di tepian gunung api, candi Songgoriti.
Salah satu candi tertua peradaban Medang dan dinasti Isyana di Jawa Timur yang dibangun di masa awal pemerintahan Mpu Sindok pada abad ke 9.
Candi Songgoriti juga dikenal sebagai Candi Supo (karena dianggap didirikan oleh Mpu Supa, utusan Mpu Sindok) pertama ditemukan pada tahun 1799 oleh van Ijsseldijk, lalu diperbaiki oleh arkeolog Belanda pada 1849 oleh Rigg dan Brumund pada tahun 1863. Renovasi besar-besaran dan inventarisasi dilakukan oleh Knebel pada tahun 1902 dan pada tahun 1921β1938.
Konstruksi candi dapat dikatakan adalah salah satu tahapan perkembangan peradaban yang telah mengadopsi berbagai nilai budaya dari berbagai latar belakang dan lokus yang terafiliasi dengan model interaksi antar manusia dengan manusia serta dengan lingkungannya.
Ilmu dan pengetahuan terkait dapat berkembang dan tumbuh seiring dengan standarisasi dan format agar sebuah ketrampilan dapat direplikasi. Stapathi dan silpa sastra, atau arsitek dan pekerja trampil pembangun candi dapat menilai fungsi candi secara multi dimensi. Baik dari aspek spiritual, sosial, dan kearifan ekologi yang bersifat kolegial dan membentuk nilai-nilai dasar komunal.
Candi Songgoriti adalah salah satu bentuk kearifan untuk menjaga nilai lingkungan melalui pendekatan holistik yang bersifat meta spiritual. Karena ternyata candi yang satu ini dibangun tepat di mata air panas vulkanik yang sampai hari ini setelah 15 abad berlalu masih terus memberi manfaat bagi masyarakat. Indah sekali bukan?
Sambil berjalan pulang untuk menunaikan tugas mengajar di perusaahan healthcare Metacare yang merupakan metamorfosis dari Kaltim Medika Utama, saya sempat membuka WA dan mendapati satu pesan dari sahabat yang mewartakan kepergian sahabat tercinta ke haribaan-Nya… Selamat jalan Kakakku Dr dr Noor Wijayahadi, MKes. Sahabat perjuangan di UKM Malaysia saat studi S3. Kami semua tahu engkau orang yang sangat sholeh dan sangat baik, terlalu baik malah. Tak pernah mau menyinggung perasaan orang lain, halus, lembut, dan amat perhatian kepada setiap rekan. Semoga Allah lah yang akan membalas segenap kebaikan mu Mas, berlipat-lipat tentunya.
Saya menepi sejenak dan duduk di atas buk jembatan sepi di hutan pinus Songgoriti, terdiam dan menangis sambil memanjatkan doa untuk mu Mas. Sayup terdengar dari kampung di lembah Songgokerto lirik lagu dari Sal Priadi yang berjudul Gala Bunga Matahari.
Lagu tentang mereka-mereka yang dicinta dan kini telah tiada…
….ceritakan padaku
bagaimana tempat tinggalmu yang baru.
Adakah sungai sungai itu benar benar dilintasi dengan air susu…
Juga badanmu tak sakit sakit lagi…
Kau dan orang orang di sana muda lagi…
Semua pertanyaan temukan jawaban…
Hati yang gembira sering kau tertawa…
Sugeng tindak Mas Noor Gusti Allah lebih menyayangimu daripada kami semua ππΎππΎ