Kisah 3 Kota Ajaib
Dua hari ini saya asyik masyuk terhipnotis oleh buku karya Zaky Yamani yang berjudul Perjalanan Mustahil Samiam dari Lisboa. Buku yang merupakan hasil residensi kepenulisan sang penulis di Lisabon Portugal pada tahun 2017, dan rencananya akan diterbitkan dalam bentuk trilogi. Saya baru saja mulai memasuki bab-bab awal buku kedua yang semakin menarik saja plot ceritanya.
Buku itu berisi kisah fiksi sejarah abad pertengahan yang terasa amat nyata karena berdasar dan bersandar pada fakta-fakta yang digali dari sumber-sumber referensi sejarah yang otentik. Ada kisah pencarian jalan ke pulau-pulau sumber rempah di timur, penaklukan Goa di India, dan Malaka di semenanjung Malaya, sampai gerakan sempalan ksatria Templar dan berbagai dinamika dalam serangkai cerita lintas budaya yang mengambil latar Turki di masa Ottoman, sampai soal perbudakan dan kolonialisme yang pada gilirannya tak hanya mengeksploitasi sumber daya alam, melainkan juga memanipulasi manusia-manusia dan peradaban di dalamnya.
Juga tentang sejarah Nusantara, tentang dinasti kerajaan Sunda terakhir yang terdesak oleh kekuatan Banten, Cirebon, dan Demak yang perlahan tapi pasti mulai menghegemoni wilayah pesisir utara Jawa.
Buku ini banyak berkisah tentang kota-kota ajaib di Asia Tengah, kekejaman perang, dan berbagai intrik licik dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Tapi yang menarik bagi saya, sebagian kota-kota ajaib yang dibahas dan menjadi latar dalam buku itu, juga kota-kota favorit saya, yang selalu ingin saya jelajahi lagi dan lagi, dan saya rasa meski telah berulangkali didatangi, masih akan ada banyak misteri di balik lorong-lorong tua kota dengan tingkap-tingkap tersembunyi itu.
Konstantinopel atau Istanbul misalnya. Saya ke sana beberapa tahun lalu melalui sebuah perjalanan yang penuh drama. Saat transit di Changi saya dilarikan ke RS karena mengalami hilang kesadaran di area boarding. Walhasil perjalanan tertunda satu hari dan rasa panik serta cemas melanda keluarga. Ajaib, setelah beristirahat 2-3 jam di Changi General Hospital, saya pulih dan dapat melanjutkan penerbangan di keesokan harinya.
Tapi rasanya segenap drama dan perjuangan serta derasnya doa anggota keluarga yang membuat saya dapat segera pulih itu tak sia-sia, pengalaman sejarah di Istanbul yang saya rasakan pada kunjungan yang pertama itu sungguh luar biasa.
Kota yang pertama kali melihatnya telah membuat saya dan istri tersayang langsung jatuh cinta. Bangunan-bangunan tua dengan konstruksi batu yang kokoh dengan jalan makadam dan lorong-lorong suram yang dijaga kucing-kucing gemuk bermata biru, sungguh selaras dengan gambaran tentang kisah kota mistis di abad pertengahan.
Masjid-masjid tak bernama di sudut-sudut kota dengan pintu kayu menjulang dan minaret yang hanya bisa saya bayangkan di buku-buku sejarah abad pertengahan Eropa hadir di sana. Di selang-selingi oleh kedai-kedai Kahwa yang tak kalah tua, di sepanjang jalan batu menurun dari istana Topkapi sampai ke tepian Selat Bosphorus.
Kecipak ombak manja selat Bosphorus yang membawa arus ke laut Marmara membuat saya tak kuasa menahan diri untuk tak berenang di sana. Saya nyemplung dengan suka cita, di depan dermaga yang banyak dihinggapi burung Camar yang asyik mengintai segerombolan Sardinella yang melompat-lompat menggoda.
Rumpun-rumpun bunga di depan jendela vila-vila kayu tua menambah asri tepian Selat yang menjadi legenda karena memisahkan dua benua, Asia dan Eropa.
Kota ini awalnya didirikan sebagai koloni Yunani bernama Byzantium sekitar tahun 657 SM oleh para pemukim dari Megara. Lokasinya yang strategis di sepanjang Selat Bosphorus membuatnya menjadi pusat perdagangan yang penting.
Pada abad ke-2 M, Byzantium menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi. Hingga pada tahun 330 M, Kaisar Romawi Konstantinus Agung mendirikan kembali kota ini sebagai ibukota baru Kekaisaran Romawi dan menamakannya Konstantinopel.
Konstantinopel dengan cepat menjadi pusat politik, budaya, dan ekonomi kekaisaran Romawi Timur. Dimana Konstantinopel menjadi pusat Kekaisaran Byzantium setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5.
Selama periode ini, kota ini berkembang pesat dan menjadi pusat utama seni, arsitektur, dan budaya Kristen Ortodoks.
Banyak situs peradaban dari era ini yang masih bertahan sampai hari ini, dan terus menjadi magnet bagi kota Istanbul, salah satunya adalah bangunan ajaib yang bernama Hagia Sophia.
Hagia Sophia dibangun oleh Kaisar Justinian I pada abad ke-6, dan merupakan salah satu karya arsitektur paling ikonik di dunia. Awalnya berfungsi sebagai katedral Kristen Ortodoks, kemudian menjadi masjid setelah penaklukan Utsmaniyah, dan sekarang setelah sempat menjadi semacam museum dan destinasi wisata, fungsinya sebagai masjid telah dikembalikan.
Ada lagi struktur tua yang dikenal sebagai Tembok Theodosian, dimana Theodosian Walls ini adalah dinding pertahanan yang dibangun oleh Kaisar Theodosius II pada abad ke-5 untuk melindungi kota dari berbagai serangan selama berabad-abad.
Ada lagi Istana Blachernae yang merupakan salah satu istana kekaisaran Byzantium terpenting dan menjadi pusat pemerintahan selama periode akhir Byzantium.
Pada tahun 1453, Sultan Mehmed II dari Kesultanan Utsmaniyah menaklukkan Konstantinopel, dsn mengakhiri Kekaisaran Byzantium, serta mengubahnya menjadi ibukota Utsmaniyah. Kota ini kemudian dinamai Istanbul.
Mehmed II dan penerusnya mengubah banyak gereja Byzantium menjadi masjid, membangun istana, masjid baru, dan infrastruktur kota.
Beberapa konstruksi yang dibangun di era Ottoman/Ustmaniyah antara lain adalah Topkapi Palace, sebuah Istana yang dibangun oleh Sultan Mehmed II dan menjadi pusat pemerintahan dan tempat tinggal Sultan Utsmaniyah selama beberapa abad. Kompleks ini sekarang menjadi museum yang menyimpan banyak artefak bersejarah.
Dalam konteks tempat ibadah, dinasti Ustmaniyah telah membangun Masjid Sultan Ahmed (Masjid Biru), yang dibangun pada awal abad ke-17 oleh Sultan Ahmed I, masjid ini terkenal dengan kubahnya yang besar dan terdiri dari enam menara.
Lalu ada Masjid Suleymaniye, yang dibangun oleh arsitek terkenal Mimar Sinan atas perintah Sultan Suleiman yang Agung, masjid ini adalah salah satu contoh terbaik arsitektur Utsmaniyah.
Setelah jatuhnya Kesultanan Utsmaniyah setelah Perang Dunia I, Mustafa Kemal Ataturk memimpin gerakan untuk mendirikan Republik Turki pada tahun 1923. Ibu kota negara baru dipindahkan ke Ankara, tetapi Istanbul tetap menjadi pusat budaya dan ekonomi.
Kota berikutnya yang juga menjadi latar novel Perjalanan Mustahil Samiam dari Lisboa adalah Isfahan. Kota yang saya amat sepakat dengan penulis Samiam dari Lisboa, Zaky, adalah permata dari semua peradaban di Asia Tengah dengan Jalur Sutra nya. Isfahan adalah sepotong surga kreativitas manusia yang merepresentasikan betapa hebatnya Allah SWT mengaruniakan daya estetika pada otak manusia.
Isfahan, yang kerap disebut pula sebagai Nesf-e-Jahan atau kota Setengah Dunia, adalah salah satu kota bersejarah paling penting di Iran dan merupakan bekas ibu kota Persia selama dinasti Safavid. Kota ini dikenal karena arsitektur indah, jembatan-jembatan bersejarah, dan bangunan-bangunan megah yang mencerminkan kejayaannya di masa lalu.
Isfahan sendiri mengalami masa kejayaan terbesar selama dinasti Safavid (1501-1736), terutama di bawah pemerintahan Shah Abbas I yang memindahkan ibu kota ke Isfahan pada awal abad ke-17. Shah Abbas mengembangkan kota ini menjadi pusat kebudayaan, perdagangan, dan seni.
Kota yang dibelah sungai Zayandeh ini menggambarkan betapa air dan manusia adalah suatu formula dimana lempung-lempung peradaban dapat dibentuk menjadi keramik-keranuk budaya berestetika luar biasa.
Selain sebagai sumber daya air dan elemen penting dalam owmnuhan pangan dan ketahanan masyarakat, di atas sungai itu juga terbentang jembatan-jembatan indah seperti jembatan Si o se Pol (jembatan 33 Lengkung) yang dibangun pada abad ke-17. Jembatan ini adalah salah satu yang paling ikonik di Isfahan, terkenal dengan arsitekturnya yang elegan dan lampu-lampu yang menerangi malam hari.
Lalu ada jembatan Khaju yang juga dibangun pada masa Shah Abbas II, dimana jembatan ini tidak hanya berfungsi sebagai jembatan tetapi juga sebagai bendungan dan tempat rekreasi.
Lalu ada jembatan Shahrestan yang merupakan jembatan yang tertua di Isfahan, dan berasal dari periode Sassanid.
Karya arsitektur hebat lainnya di Isfahan dapat dilihat di istana Chehel Sotoun atau Istana Empat Puluh Tiang yang merupakan sebuah kompleka kerajaan yang dibangun oleh Shah Abbas II pada abad ke-17.
Istana ini terkenal dengan kolam besar di depannya yang merefleksikan pantulan tiang-tiang istana, hingga memberikan kesan ada empat puluh tiang. Dinding-dinding istana Chehel Souton dihiasi dengan lukisan dinding yang menggambarkan sejarah Persia.
Di pusat kota Isfahan terdapat alun-alun Naqsh-e Jahan, yang juga dikenal sebagai Alun-alun Imam, yang merupakan salah satu alun-alun terbesar di dunia dan merupakan situs warisan dunia UNESCO.
Dibangun pada abad ke-17, alun-alun ini dikelilingi oleh beberapa bangunan bersejarah yang penting, termasuk, masjid Shah (Masjid Imam) yang dibangun oleh Shah Abbas I, dimana masjid ini terkenal dengan kubah biru besar dan dekorasi kaligrafi geometrik yang rumit. Lalu ada masjid Sheikh Lotfollah, masjid yang unik karena tidak memiliki menara dan minaret, tetapi memiliki kubah berornamen yang sangat indah.
Masih di lokasi yang sama, ada pula istana Ali Qapu yang merupakan tempat tinggal resmi raja-raja Safavid dan memiliki balkon yang memberikan pemandangan alun-alun yang spektakuler.
Tak hanya istana, ada pula bazaar Qeysarieh, pasar tradisional terbesar yang terletak di ujung utara alun-alun dan merupakan pusat perdagangan yang sangat penting pada masa itu.
Selain masjid Shah dan M
Masjid Sheikh Lotfollah, Isfahan memiliki banyak masjid bersejarah lainnya seperti, masjid Jameh yang merupakan salah satu masjid tertua di Iran yang telah mengalami banyak renovasi dan perluasan selama kekuasaan berbagai dinasti. Lalu ada masjid Hakim yang dibangun pada abad ke-17 di atas reruntuhan masjid yang lebih tua dari periode Buyid.
Selain bangunan-bangunan dan konstruksi bersejarah yang telah disebutkan di atas, Isfahan juga memiliki banyak situs peninggalan Safavid lainnya seperti: Chahar Bagh atau jalan utama yang dipenuhi taman-taman dan madrasah-madrasah (sekolah-sekolah Islam).
Lalu ada istana Hasht Behesht yang diikenal sebagai Istana Delapan Surga , dimana istana ini adalah contoh indah arsitektur Safavid dengan taman-taman dan air mancur.
Kota terakhir yang ingin saya ulas dalam tulisan ini, memang belum saya jumpai dibahas khusus di novel Samiam, tapi ada 1-2 kali disebut terkait dengan karavan saray, rest area di jalur Sutra yang menyediakan penginapan para pengembara dan pusat pemeliharaan hewan tunggang yang kelelahan dalam perjalanan. Tentu juga sebagai pusat perbekalan yang menyediakan air dan makanan. Kota itu adalah Bukhara, kota favorit saya di Asia Tengah.
Kunjungan perdana saya disaat musim dingin tengah mencapai puncaknya, membuat saya semakin jatuh cinta dengan kota yang satu ini. Arsitektur abad pertengahan yang masih sangat terjaga, dengan struktur bangunan yang ditopang soko guru berupa satu batang utuh pohon Karagach, serta labirin kota dengan bangunan-bangunan berwarna pastel kuning kecoklatan dengan tone lembut, konstruksi kubah-kubah setengah bola dan menara-menara yang menjulang, membuat kota ini tampak seperti kota Peri yang punya nuansa magis teramat kuat.
Berjalan mengarungi labirin coklat krem nan beledu dengan pepohonan gundul yang rantingnya bercabang-cabang menggambarkan geometri fraktal, membuat perjalanan di Bukhara adalah suatu perjalanan yang seolah melontarkan kita ke dalam lorong waktu dan membuat kita kembali ke abad pertengahan.
Bukhara, adalah kota sangat tua di Uzbekistan, yang juga merupakan salah satu kota paling bersejarah di Asia Tengah. Dengan sejarah yang membentang lebih dari dua milenium, Bukhara telah menjadi pusat penting dalam berbagai peradaban, dari Persia kuno hingga Kekaisaran Rusia.
Kota ini terkenal dengan arsitektur Islamnya yang megah, madrasah, masjid, dan pasar yang mencerminkan kejayaan masa lalu.
Bukhara sendiri telah menjadi pusat kebudayaan, perdagangan, dan ilmu pengetahuan sejak zaman kuno. Kota ini pertama kali disebutkan dalam teks-teks Cina kuno dan dikenal sebagai pusat peradaban Persia.
Selama Abad Pertengahan, Bukhara menjadi pusat penting dalam Jalur Sutra dan memainkan peran kunci dalam penyebaran Islam di Asia Tengah.
Pada abad ke-9 dan ke-10, di bawah kekuasaan dinasti Samanid, Bukhara mencapai puncak kejayaannya sebagai pusat kebudayaan dan ilmiah dunia Islam. Banyak ilmuwan terkenal, seperti Avicenna (Ibnu Sina), lahir atau bekerja di kota ini. Pada abad ke-16, Bukhara menjadi ibu kota Kekhanan Bukhara dan berkembang menjadi pusat pendidikan Islam yang penting.
Penanda bahwa Bukhara adalah pusat pendidikan pada masanya, adalah adanya madrasah-madrasah yang menjadi tempat belajar dan pengajaran yang telah berlangsung selama berabad-abad. Beberapa madrasah terkenal di kota ini antara lain: madrasah Mir-i-Arab yang dibangun pada abad ke-16 oleh Sheikh Abdullah Yamani, dimana madrasah ini adalah salah satu institusi pendidikan tertua dan masih berfungsi sampai sekarang. Arsitekturnya yang indah dengan kubah besar dan dekorasi yang rumit menjadikannya salah satu landmark utama Bukhara.
Lalu ada madrasah Ulugh Beg yang dibangun oleh Ulugh Beg, seorang ilmuwan dan penguasa Timurid pada abad ke-15, madrasah ini adalah bagian dari tiga madrasah yang ia bangun di Samarkand dan Gijduvan.
Ulugh Beg, yang nama aslinya adalah Mīrzā Muhammad Tāraghay bin Shāhrukh, adalah seorang pangeran Timurid yang lahir pada 22 Maret 1394 di Sultaniyeh (sekarang Iran) dan wafat pada 27 Oktober 1449. Beliau dikenal sebagai salah satu ilmuwan dan astronom terbesar pada masanya serta sebagai pemimpin yang bijaksana.
Ulugh Beg adalah cucu dari Timur Lang (Tamerlane), pendiri Kekaisaran Timurid. Pada usia muda, ia telah menunjukkan minat yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Pada tahun 1409, ayahnya, Shah Rukh, mengangkatnya sebagai gubernur Samarkand, yang kemudian menjadi pusat kekuasaan dan kegiatan ilmiah di bawah pemerintahan Ulugh Beg.
Ulugh Beg kelak dikenal karena kontribusinya dalam bidang astronomi. Pada tahun 1420, ia mendirikan observatorium di Samarkand, yang dikenal sebagai Observatorium Ulugh Beg. Di sini, ia dan tim astronomnya melakukan pengamatan bintang dan planet yang menghasilkan data observasi yang sangat akurat.
Beberapa kontribusi utama Ulugh Beg dalam bidang astronomi meliputi: Zij-i-Sultani yang merupakan katalog bintang dan diterbitkan pada tahun 1437, yang berisi posisi lebih dari 1.000 bintang. Katalog ini dianggap sebagai salah satu karya astronomi paling akurat hingga penemuan teleskop.
Ulugh Beg juga membuat formula Penentuan Tahun Tropis, dimana Ulugh Beg menghitung panjang tahun tropis (tahun surya) dengan tingkat akurasi yang luar biasa untuk zamannya, yaitu sekitar 365,2421986 hari, hanya selisih 58 detik dari pengukuran modern.
Ulugh Beg juga berhasil melakukan Observasi Pergerakan Planet, dimana beliau dan timnya membuat pengamatan dan perhitungan yang sangat akurat tentang pergerakan planet-planet dalam tata surya.
Ulugh Beg sangat mendukung pengembangab pendidikan dan ilmu pengetahuan. Selain observatoriumnya, ia mendirikan beberapa madrasah (sekolah Islam) di seluruh wilayah kekuasaannya, yang paling terkenal adalah Madrasah Ulugh Beg di Samarkand dan Bukhara. Dimana Madrasah itu menjadi pusat pembelajaran bagi para sarjana dari berbagai disiplin ilmu, termasuk matematika, astronomi, dan filsafat.
Selain madrasah Ulugh Beg, di Bukhara ada pula madrasah Abdulaziz Khan yang dibangun pada abad ke-17, dimana bangunan madrasah ini terkenal karena dekorasi interior mewahnya dan berfungsi sebagai pusat pendidikan Islam yang memiliki murid dari berbagai penjuru Asia dan kawasan timur tengah.
Bukhara juga memiliki banyak masjid bersejarah yang mencerminkan kejayaan arsitektur Islam seperti masjid Kalyan yang dilengkapi dengan menara Kalyan yahg tingginya mencapai 48 meter. Masjid ini dibangun pada abad ke-16 dan merupakan salah satu masjid terbesar di Asia Tengah.
Lalu ada masjid Maghoki-Attar, salah satu masjid tertua di Bukhara, dibangun pada abad ke-12 di atas reruntuhan kuil Zoroastrian. Masjid ini merupakan contoh awal arsitektur Islam di wilayah ini.
Pasar-pasar tua di Bukhara memainkan peran penting dalam kehidupan ekonomi dan sosial kota, adapun beberapa pasar penting di Bukhara antara lain adalah,pasar Toki Zargaron. Pasar ini adalah pusat perdagangan perhiasan dan logam mulia sejak abad ke-16. Lalu ada pasar Toki Sarrafon yang dikenal sebagai pusat pertukaran uang dan perdagangan tekstil.
Kemudian ada pasar Toki Telpak Furushon dimana pasar ini adalah pusat perdagangan barang-barang rumah tangga dan karpet.
Selain madrasah dan masjid, Bukhara memiliki banyak situs bersejarah lainnya yang mencerminkan perkembangan peradaban Asia Tengah seperti benteng Bukhara atau Ark of Bukhara. Benteng ini adalah kompleks bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal penguasa dan pusat pemerintahan kota selama berabad-abad. Benteng ini telah mengalami berbagai renovasi dan perbaikan sejak dibangun pertama kali pada abad ke-5.
Lalu ada mausoleum Ismail Samani yang dibangun pada abad ke-10. Mausoleum ini adalah salah satu contoh terbaik arsitektur Islam awal di Asia Tengah. Mausoleum ini dibangun untuk menghormati Ismail Samani, pendiri dinasti Samanid.
Ada pula kompleks Bolo Haouz yang terletak di sebelah barat benteng Bukhara, dimana kompleks ini terdiri dari sebuah masjid, menara, dan kolam air yang dibangun pada abad ke-18.
Selama berabad-abad Bukhara telah menjadi pusat penting dalam bidang sains, filsafat, dan kesusastraan. Banyak ilmuwan, penyair, dan filsuf terkenal lahir atau bekerja di sini, termasuk perawi hadist yahg sangat terkenal Imam Bukhori, hingga menjadikannya salah satu pusat kebudayaan terpenting di dunia Islam.
Ada satu peristiwa yang sangat berkesan saat saya mengunjungi makam Imam Bukhori di tepian Bukhara, tetiba oleh sang juru kunci saya diminta untuk memimpin doa. Bayangkan kekagetan dan kegugupan saya saat diminta berdoa di pusara salah satu ulama terbesar dalam sejarah peradaban Islam tersebut.
Nama lengkap Imam Bukhari adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Beliau lahir pada 13 Syawal 194 H atau 21 Juli 810 M di Bukhara, Uzbekistan. Ayahnya adalah Ismail bin Ibrahim yang merupakan seorang ulama sekaligus murid dari Imam Malik bin Anas.
Sejak usia sangat dini, 10 tahun, Imam Bukhari telah belajar agama pada Syech Ad Dakhili, dan menurut catatan sejarah beliau telah menjadi hafiz Quran di usia sangat belia.
Memasuki usia 16 tahun, Imam Bukhari sudah mengkhatamkan hafalan hadist-hadist di dalam kitab karangan Waki al-Jarrah dan Ibnu Mubarak. Lalu Imam Bukhari berangkat ke Mekkah dan Madinah untuk memperdalam ilmu agama dan ilmu hadistnya.
Dua tahun setelah belajar di dua kota suci tersebut, Imam Bukhari menerbitkan kitab hadist pertamanya, Kazaya Shahabah wa Tabi’in. Setelah itu, ia menghabiskan waktu bertahun-tahunnya mengunjungi berbagai kota untuk menemui para periwayat hadist, dan akhirnya melahirkan sebuah karya masterpiece yang sampai hari ini masih menjadi rujukan utama dalam proses penelusuran hadist shahih, yaitu: Shahih Bukhari.
Demikianlah sekelumit kisah 3 kota ajaib di dunia, yang terletak antara lain di Asia Tengah dan batas benua antara Eropa dan Asia itu. Semoga kisah-kisah perjalanan dan muhibah dalam rangka mempelajari peradaban itu dapat memberi hikmah lebih mendalam bagi kita dalam upaya lebih mengenal karakter dan dinamika jiwa serta nalar manusia yang sedemikian berwarna dan terkadang menghadirkan berbagai fakta yang nyaris tak pernah kita duga.
Selamat membaca juga, jika berminat, novel Samiam yang telah memantik saya menulis artikel ini.
Salam Peradaban