Jadah Bale Merapi 2
Hari di Perdikan Ngeboan Werdomartani mulai beranjak siang. Matahari mulai naik, menerangi tanah subur di sekitar Joglo tempat Ki Catur Brojodento dan Ki Ajar Teguh Supriadi melanjutkan perbincangan mereka. Suasana pagi yang tenang berganti dengan udara yang lebih hangat, namun perbincangan kedua sahabat itu semakin menghangat pula ketika topik beralih ke masa kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo, salah satu raja terbesar dalam sejarah Nusantara.
“Sultan Agung…,” ujar Ki Catur sambil tersenyum tipis. “Beliau adalah sosok yang selalu kuingat dengan rasa kagum dan hormat. Memimpin Kesultanan Mataram dari tahun 1613 hingga wafatnya di tahun 1645, Sultan Agung bukan hanya seorang raja, tetapi seorang visioner yang ingin menyatukan Jawa di bawah kekuasaannya dan mengusir kekuatan asing dari Nusantara.”
Ki Ajar mengangguk pelan, membenarkan ucapan sahabatnya. “Betul, Ki Catur. Nama aslinya, Raden Mas Jatmika atau Raden Mas Rangsang, menjadi legenda tersendiri. Ia bukan hanya dikenal di Jawa, tetapi di seluruh Nusantara karena keberaniannya menantang VOC. Beliau tidak takut menghadapi musuh yang datang dari Barat, meskipun mereka dipersenjatai dengan teknologi yang jauh lebih maju.”
Ki Catur menghirup dalam-dalam kopi sangrainya, mengenang masa-masa ketika ia masih bertugas sebagai Lurah Prajurit di bawah panji Sultan Agung. “Masih ingatkah engkau, Ki Ajar, ketika Sultan memerintahkan penyerbuan ke Batavia di tahun 1628 dan 1629? Saat itu, Mataram sudah kuat dan VOC mulai menguasai sebagian perdagangan di Nusantara. Batavia, di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen, menjadi ancaman bagi kedaulatan Jawa.”
Ki Ajar meneguk kopinya, matanya bersinar penuh kenangan. “Tentu, Ki Catur. Aku masih ingat dengan jelas. Pada tahun 1628, Sultan Agung mengirim Tumenggung Bahurekso dari Kendal memimpin armada laut yang kuat, terdiri dari kapal-kapal Jawa yang kokoh. Tumenggung Suro Agul Agul juga ikut serta dalam serangan darat dengan ribuan prajurit. Namun, VOC lebih siap dari yang kita perkirakan. Benteng-benteng mereka di Batavia sangat sulit ditembus.”
Ki Catur menghela napas panjang, mengenang kegagalan yang pahit itu. “Ya, memang benar. Meskipun kita berhasil mendekati benteng Batavia, persediaan logistik kita habis. Aku ingat bagaimana Tumenggung Bahurekso dan pasukan lautnya harus berjuang keras melawan angin dan gelombang, serta serangan balasan VOC yang tak terduga. Apalagi setelah kegagalan serangan pertama, Sultan Agung tak putus asa. Pada tahun 1629, beliau mengirim serangan kedua dengan persiapan lebih matang.”
Ki Ajar tersenyum tipis. “Sayangnya, persediaan pangan kita disabotase, Ki Catur. JP Coen memang licik. Ia berhasil membakar lumbung-lumbung padi di sepanjang jalur pasokan Mataram. Kegagalan Adipati Ukur untuk mempertahankan wilayah di sekitar Cirebon juga melemahkan strategi kita. Tetapi aku selalu ingat keberanian Tumenggung Suro Agul Agul dan pasukan Bahurekso. Mereka bertarung dengan gagah berani meski banyak yang akhirnya gugur.”
“Ya, keberanian mereka tidak tertandingi,” jawab Ki Catur dengan sorot mata penuh hormat. “Namun, kau ingat kisah Ki Bagus Wanabaya? Bersama putrinya, Nyimas Utari, mereka melakukan aksi yang berani—bahkan sebagian dari kita percaya bahwa merekalah yang berhasil membunuh Jan Pieterszoon Coen.”
Ki Ajar mengangguk. “Benar, Ki Bagus Wanabaya adalah seorang pejuang yang tidak hanya bertarung di medan perang, tetapi juga menggunakan taktik gerilya yang cerdik. Banyak yang mengatakan bahwa setelah penyerangan besar Sultan Agung, Ki Bagus dan Nyimas Utari menyusup ke Batavia dan berhasil membunuh Coen. Coen meninggal dunia pada 21 September 1629, tak lama setelah serangan Mataram kedua berakhir. Banyak yang mengatakan kematiannya disebabkan oleh penyakit, tapi cerita tentang pembunuhan rahasia itu tetap hidup di antara para prajurit.”
“Legenda itu mungkin benar,” ujar Ki Catur sambil tersenyum penuh arti. “Bagaimana pun juga, kematian Coen membawa pukulan moral bagi VOC. Mereka kehilangan pemimpin yang tangguh, sementara Sultan Agung terus memperkuat Mataram, meski akhirnya tak berhasil menaklukkan Batavia.”
Ki Ajar terdiam sejenak, meresapi semua kenangan itu. “Ki Catur, meskipun serangan Mataram ke Batavia tidak berhasil sepenuhnya, tetapi semangat perjuangan Sultan Agung masih menginspirasi banyak orang. Beliau tak hanya seorang raja, tapi juga simbol perlawanan terhadap penjajahan asing. Kepemimpinannya dalam mengintegrasikan wilayah-wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga ke daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura, menunjukkan kekuatan dan visi yang luar biasa.”
Ki Catur mengangguk setuju. “Benar, Ki Ajar. Sultan Agung adalah sosok yang berani dan tegas. Walaupun kita gagal di Batavia, beliau berhasil memperkuat Mataram sebagai pusat kekuasaan di Jawa. Dan yang paling penting, beliau menyatukan Jawa di bawah satu panji, sesuatu yang sulit dilakukan oleh raja-raja sebelumnya.”
Hari semakin siang, matahari menembus sela-sela dedaunan. Ki Catur dan Ki Ajar terdiam sejenak, mengenang masa-masa penuh perjuangan itu. Meskipun banyak kisah kepahlawanan dan kegagalan yang mereka alami, kedua sahabat itu tahu bahwa Sultan Agung dan pasukannya telah menorehkan sejarah besar yang akan terus diingat sepanjang masa.
Perbincangan mereka pun berakhir, namun kenangan tentang Sultan Agung dan perjuangannya terus hidup, bukan hanya di ingatan mereka, tetapi juga di tanah Jawa yang mereka cintai.
~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593 – 1645) adalah raja Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Sultan Agung merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Siang itu, angin sepoi-sepoi dari lembah Merapi bertiup lembut, membawa aroma daun-daun basah yang menenangkan. Ki Ajar Teguh dan Ki Catur tengah menikmati hidangan mangut welut dan sambal tumpang di atas tikar anyaman bambu di pringgitan. Sesekali mereka bercakap-cakap tentang berbagai ilmu kanuragan dan kejayaan Nusantara.
Namun, ketenangan siang itu tiba-tiba terusik oleh suara riuh di arah gerbang Perdikan. Teriakan pengawal terdengar jelas, mengisyaratkan sesuatu yang tak diinginkan tengah terjadi.
“Kembali lagi mereka,” gumam Ki Catur, meletakkan sendoknya di mangkuk dan mendongak ke arah keributan. Matanya menatap tajam ke arah Ki Ajar. “Kelompok begal Selo sepertinya tak tahu kapan harus berhenti.”
Ki Ajar hanya tersenyum tipis sambil tetap duduk bersila. “Mereka memang tak kenal jera, Ki Catur. Tampaknya ilmu yang kita tunjukkan kemarin belum cukup memberi mereka pelajaran.”
Dari kejauhan, tampak pasukan pengawal Perdikan tengah menghadapi sekelompok begal yang mendesak masuk. Kali ini, gerombolan itu lebih terlatih. Gerakan mereka cepat dan penuh perhitungan, menguasai ilmu bela diri yang tak bisa diremehkan. Mereka berhasil menerobos beberapa pengawal dan tampak jelas bahwa mereka mengincar hewan ternak, rojokoyo, milik Perdikan.
Di tengah-tengah kekacauan itu, Suromenggolo, yang beberapa waktu lalu telah dikalahkan oleh Ki Ajar, kini memimpin gerombolan dengan penuh dendam. Wajahnya tampak marah, penuh tekad untuk menebus kekalahannya.
“Kita harus turun tangan, Ki?” tanya Ki Catur, bersiap untuk bangkit dari tempat duduknya. Tangan kirinya sudah menggenggam gagang keris yang terselip di pinggang.
Namun, Ki Ajar tetap tenang di tempatnya. Ia mengangkat satu tangan untuk menenangkan Ki Catur. “Tidak perlu terburu-buru, Ki. Kita bisa atasi ini tanpa harus bangkit.”
Lalu, Ki Ajar memejamkan mata sejenak, tubuhnya tampak rileks, dan ia menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Tanpa suara, ia mengerahkan Aji Sirep, sebuah ilmu yang dapat membuat musuh tertidur lelap tanpa perlawanan. Matanya tetap terpejam, namun energi sirep yang kuat memancar dari tubuhnya, menjalar ke seluruh penjuru Perdikan.
Dalam hitungan detik, kepala gerombolan, Suromenggolo, yang tadinya tampak begitu garang, tiba-tiba tersentak. Matanya perlahan-lahan menutup, dan tubuhnya yang besar itu mulai oleng, seakan kehilangan tenaga. Di tengah medan, Suromenggolo jatuh terduduk, tertidur dengan nyenyak seperti seorang bayi di buaian. Para begal yang melihat pimpinannya tiba-tiba terlelap pun terkejut, dan kekacauan mulai mereda.
Satu per satu, anggota gerombolan lain yang ikut terpengaruh oleh aji sirep mulai merasakan kantuk yang luar biasa. Tubuh-tubuh mereka mulai limbung, dan dalam hitungan menit, seluruh kelompok begal terkapar tak berdaya di tanah. Para pengawal Perdikan yang awalnya kewalahan kini dapat bergerak bebas untuk mengamankan para begal yang sudah tertidur pulas itu.
“Kita ringkus mereka semua,” seru salah satu pengawal, yang segera mengikat tangan dan kaki Suromenggolo yang masih tertidur lelap.
Sementara itu, Ki Ajar membuka matanya kembali dengan tenang. Ia tersenyum pada Ki Catur. “Kadang-kadang, yang kita butuhkan hanyalah ketenangan dan pikiran jernih. Tak perlu menghunus pedang jika ilmu ini masih bisa berguna.”
Ki Catur tertawa kecil. “Sungguh luar biasa, Ki Ajar. Ilmu sirepmu benar-benar tak tertandingi. Rasanya seperti menonton prajurit yang tertidur dalam medan perang, sesuatu yang mustahil terjadi, kecuali oleh tanganmu.”
“Semua ada waktunya, Ki. Jika kita bisa menghindari pertumpahan darah, maka itulah yang terbaik. Dan hari ini, mereka belajar bahwa melawan Perdikan Werdomartani bukanlah pilihan bijak.”
Setelah para begal dibawa pergi oleh pengawal untuk diadili, Ki Ajar dan Ki Catur melanjutkan santap siangnya. Suasana kembali tenang, dan suara alam di sekitar joglo perlahan mengambil alih.
“Kelak mereka akan mengingat hari ini,” ujar Ki Catur sambil menyendok nasi, “dan mungkin, hanya mungkin, mereka akan berpikir dua kali sebelum mencoba lagi.”
Siang mulai menjelang sore di Perdikan Ngeboan. Udara hangat, dan bau wangi tanah basah dari kebun di belakang joglo bercampur dengan aroma mangut welut yang baru saja disantap oleh Ki Ajar Teguh Supriadi dan Ki Catur Brojodento. Ki Catur duduk dengan tenang, sesekali menyesap kopinya, matanya menyelidik pada sahabat lamanya, Ki Ajar, yang dari tadi tersenyum ringan—seolah-olah ada sesuatu yang tersimpan di balik senyumnya.
“Aku tahu, Ki Ajar. Kedigdayaanmu itu bukan hanya karena laku prihatin dan ilmu kanuragan yang kau kuasai dengan sempurna. Ada darah besar yang mengalir di nadimu. Kau masih keturunan Brawijaya V, bukan?” ujar Ki Catur akhirnya, membuka topik yang selama ini tak pernah mereka bicarakan secara langsung.
Ki Ajar Teguh hanya tersenyum. “Benar, Ki. Kakek buyutku adalah Brawijaya V, raja terakhir Majapahit yang tersingkir dari tahtanya. Nasib kerajaan itu memang sudah digariskan untuk mengalami kehancuran, meski segala daya dan upaya telah dilakukan.”
Ki Catur mengangguk, hatinya mahfum. Sejarah Majapahit selalu menjadi topik menarik, terutama saat membicarakan perjalanannya dari kejayaan hingga keruntuhan. Mereka berdua sudah sering membicarakan sejarah Majapahit dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, tetapi kali ini, ada keintiman yang lebih dalam—seakan-akan mereka sedang menyelami sebuah warisan besar yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
“Majapahit dimulai dari seorang pria perkasa, Raden Wijaya, yang dengan cerdik memanfaatkan kekuatan Mongol untuk mengusir musuh-musuhnya di Jawa,” Ki Catur memulai ceritanya. “Kertarajasa Jayawardhana, gelar yang ia pakai setelah menjadi raja, mendirikan dasar kerajaan yang kelak akan menjadi kerajaan terbesar di Nusantara.”
“Namun, tak mudah bagi keturunannya,” lanjut Ki Ajar. “Anaknya, Jayanegara, meski bergelar Sri Jayanegara, dikenal sebagai raja yang lemah dan mudah dipengaruhi oleh orang-orang sekelilingnya. Pemerintahannya penuh dengan pemberontakan, dan ia berakhir dibunuh oleh tabibnya sendiri, Tanca.”
“Untung ada Tribhuwana Wijayatunggadewi,” ujar Ki Catur dengan nada penuh hormat. “Ia, bersama dengan Gajah Mada, mampu memulihkan kekacauan dan memperluas wilayah Majapahit dengan Sumpah Palapa yang agung. Puncaknya adalah masa pemerintahan putranya, Hayam Wuruk, atau yang dikenal dengan Sri Rajasanagara. Di masa itulah, Majapahit mencapai puncak kejayaannya.”
“Benar,” sahut Ki Ajar, “di bawah Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Majapahit menguasai Nusantara hingga Malaka, Tumasik, dan sebagian dari Filipina. Kebesaran mereka tak tertandingi. Tapi setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, kerajaan itu perlahan-lahan mengalami kemunduran.”
Ki Catur menghela napas panjang. “Memang. Setelah Hayam Wuruk, pemerintahan Majapahit tidak pernah benar-benar stabil. Pemerintahan Wikramawardhana, meski masih mempertahankan kerajaan, diwarnai perang saudara yang disebut Perang Paregreg. Lalu setelahnya, Ratu Suhita menjadi pemimpin, yang walaupun berusaha keras, tak mampu mengembalikan kejayaan yang sama.”
“Dinasti Brawijaya menjadi penanda akhir kejayaan Majapahit,” lanjut Ki Ajar. “Mulai dari Kertawijaya, yang bergelar Brawijaya I, hingga Brawijaya V, yang tersingkir oleh kekuatan Demak dan akhirnya hilang di perbatasan sejarah.”
Ki Catur menatap dalam ke arah sahabatnya. “Keturunan Brawijaya yang masih ada, seperti dirimu, Ki Ajar, adalah saksi hidup akan kejayaan itu. Sejarah mungkin mencatat keruntuhan, tapi dalam dirimu, ilmu Majapahit masih hidup.”
Ki Ajar menunduk dengan rendah hati. “Itu semua tak lebih dari warisan yang harus dijaga. Kedigdayaan ilmu kanuragan dan budi pekerti yang luhur, itulah yang ditanamkan oleh para leluhur. Meski Majapahit runtuh, nilai-nilai itu tak boleh hilang.”
“Dan kau telah menjaga warisan itu dengan sangat baik,” sahut Ki Catur. “Majapahit mungkin jatuh, tapi selama orang-orang seperti dirimu masih ada, jejaknya tak akan pernah hilang dari Nusantara.”
Matahari semakin tinggi, membanjiri joglo dengan sinar keemasan. Percakapan mereka berlanjut tentang para raja dan ratu yang pernah memerintah Majapahit—bagaimana pergantian kekuasaan dan intrik-intrik di istana seringkali menjadi penyebab kejatuhan dinasti besar itu.
“Nama-nama seperti Kertawijaya, Brawijaya I, hingga Girindrawardhana mungkin tak seagung Hayam Wuruk di mata sejarah, tapi mereka adalah bagian penting dari perjalanan panjang Nusantara,” ujar Ki Ajar. “Dan jangan lupakan Patih Udara, penguasa terakhir Majapahit, yang mencoba bertahan menghadapi kekuatan Demak sebelum akhirnya Majapahit benar-benar runtuh pada 1527.”
Ki Catur merenung. “Banyak yang hilang dari sejarah, tapi yang terpenting adalah bahwa kebesaran itu tetap hidup dalam ingatan dan laku kita sehari-hari. Sejarah mungkin mengajarkan kita tentang keruntuhan, tapi juga memberi pelajaran berharga tentang ketahanan.”
“Benar, Ki,” sahut Ki Ajar. “Karena yang sejati, kebesaran itu tak hanya soal luasnya wilayah atau banyaknya bala tentara. Kebesaran yang sejati ada pada jiwa dan budi pekerti. Dan itulah yang tetap kita jaga, dari zaman Majapahit hingga kini.”