Tauhid Nur Azhar

Jadah di Bale Merapi

Malam merambat pelan di Bale Merapi, perdikan Ngeboan. Ki Catur Brojodento, seorang ahli kanuragan dan sejarah dari Padukuhan Kalasan, duduk bersila di lantai joglo. Di depannya, Ki Ajar Teguh Supriadi, kepala perdikan Ngeboan, tengah menyesap wedang secang dengan tenang. Di antara mereka tersaji jadah bakar, nasi dalam bakul, dan bothok mlanding yang masih mengepul.

“Ki Ajar,” Ki Catur memulai, sambil mengamati bayangan Merapi di kejauhan yang perlahan memerah di puncaknya. “Kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara, yang kita lihat pertama kali dari Belanda di Jayakarta tahun 1596, sebetulnya sudah didahului oleh Portugis yang merongrong kepentingan Jawa di Malaka. Bagaimana mungkin kita bisa lupa pada Pangeran Sabrang Lor yang hendak mendesak mereka?”

Ki Teguh mengangguk pelan. “Jawa, terutama Demak di masa itu, sudah memperhitungkan kekuatan lautnya. Kapal Jung Jawa… ah, Alfonso de Albuquerque, raja muda Portugis di Goa, India, bahkan sampai khawatir terhadap kita. Sungguh luar biasa betapa mereka gentar pada kekuatan laut Jawa yang mengancam.”

“Tapi bagaimana mungkin tidak?” Ki Catur tersenyum samar. “Dengan perjanjian Tordesillas dan Saragossa, mereka seperti serigala berebut wilayah di Timur. Padahal sejatinya, negeri kita ini hanya menjadi medan silang mereka. Tordesillas, Saragossa… semua itu cuma siasat dua raksasa, Spanyol dan Portugis, membagi Nusantara seperti papan catur.”

Angin malam menyusup halus di sela-sela bambu pringgitan. Percikan aliran sungai kecil di sisi joglo mengiringi percakapan itu, disela suara jengkerik yang menambah suasana hening.

“Ya, perjanjian Saragossa pada tahun 1528, mereka tetapkan garis meridian di Jailolo. Mengelabui kekuatan kita di Timur Nusantara, mengklaim sebagian wilayah Papua,” Ki Teguh melanjutkan. “Namun, Pangeran Sabrang Lor dan Ratu Kalinyamat jelas bukan tokoh yang bisa diremehkan. Lihatlah bagaimana mereka menantang Portugis di Malaka.”

“Benar. Tapi sayang, nasib Nusantara di tangan para penguasa sering kali tersangkut dalam politik yang lebih besar. Mereka sibuk mengamankan wilayahnya sendiri, sementara Belanda akhirnya mengambil alih Batavia dari tangan Jayakarta.” Ki Catur menghela napas. “Dan kini kita harus memetakan ulang masa depan Nusantara. Apa yang akan terjadi pada anak-cucu kita setelah ini, Ki Ajar?”

Ki Teguh memandang jauh ke arah Merapi. “Kewaskitaan kita harus lebih tajam dari sekadar melihat masa lalu. Nusantara ini, akan terus berada di bawah tekanan bangsa asing, entah Belanda, Portugis, atau bahkan bangsa lain di masa depan. Tapi kita harus yakin, selalu ada jalan untuk menjaga harga diri dan kehormatan kita.”

Pijar lava di puncak Merapi makin terang, seakan turut menjadi saksi percakapan dua sahabat itu. Malam terus merangkak, namun di hati mereka, percikan waskita kian berkobar.

Ki Catur menggeser duduknya, meraih secangkir wedang secang yang mulai dingin. Setelah menyesapnya pelan, ia melanjutkan, “Tapi kita tak boleh lupa, Ki Ajar. Sebelum bangsa Eropa tiba dan memulai babak penjajahan, kita sudah menyaksikan kebangkitan besar dari tanah Jawa. Kerajaan Mataram Islam, yang didirikan oleh Panembahan Senopati. Bagaimana menurutmu, perjuangan Panembahan itu untuk menyatukan tanah Jawa di bawah satu payung kekuasaan?”

Ki Ajar tersenyum tipis, mengangguk dalam, lalu berkata, “Panembahan Senopati, atau Danang Sutawijaya, dia bukan hanya seorang raja. Dia adalah lambang perubahan. Dari seorang penguasa kecil di Mentaok, ia menjelma menjadi pendiri sebuah kerajaan yang nantinya akan mengguncang tatanan Jawa. Dengan ilmu kanuragannya, ia berhasil menaklukkan berbagai wilayah. Tapi perjuangan itu tak lepas dari pengaruh gaib.”

“Tentu, pertalian Mataram dengan kekuatan mistis, hingga Ratu Kidul sekalipun,” sela Ki Catur sambil tersenyum penuh makna. “Panembahan Senopati bahkan disebut memiliki kesaktian yang mampu menggetarkan bumi dan langit. Ada yang percaya, ia mengendalikan elemen alam untuk memenangkan pertempuran.”

“Betul, Ki Catur. Namun lebih dari sekadar kekuatan fisik dan gaib, Panembahan punya kecerdikan politik. Dengan menundukkan Kadipaten-kadipaten kecil seperti Pajang, Demak, dan Pati, ia perlahan mengonsolidasikan kekuasaan di tanah Jawa. Tidak ada yang bisa menandingi wawasannya tentang strategi pertempuran dan diplomasi.”

Ki Catur mengangguk, menghela napas panjang. “Tapi harga yang harus dibayar juga tak sedikit. Pertumpahan darah antar keluarga, perebutan kekuasaan, serta intrik yang menghancurkan persatuan Jawa di masa setelahnya. Ketika Panembahan Senopati wafat, banyak orang yang mulai meragukan apakah kerajaan ini bisa bertahan lama.”

“Kamu benar, Ki Catur,” jawab Ki Ajar, matanya menerawang seakan memanggil ingatan-ingatan lama. “Sultan Agung Hanyakrakusuma, putranya, yang kemudian melanjutkan kebesaran Mataram. Di bawah kekuasaannya, Mataram mencapai puncak kejayaan. Namun di sisi lain, kedatangan Belanda di Batavia mulai mengancam tatanan Nusantara.”

Sebuah jeda sunyi mengisi obrolan mereka sejenak. Jengkerik terus bersenandung di sekitar pringgitan, sementara lava Merapi terlihat semakin menyala di kejauhan, seakan mencerminkan bara yang masih menyala di hati dua tokoh itu.

Ki Catur melanjutkan dengan nada lebih serius, “Sultan Agung adalah raja besar, seorang visioner yang ingin menaklukkan Batavia. Namun, di sisi lain, ia juga menguatkan akar budaya Jawa. Kalender Jawa yang kita pakai hingga sekarang itu warisannya, Ki Ajar. Ia menyatukan kalender Hijriyah dengan sistem Saka yang sudah lama dianut Jawa.”

“Benar, Sultan Agung paham betul pentingnya menjaga kearifan lokal sekaligus membuka diri terhadap dunia luar. Namun, serangan ke Batavia, meski gagah, tak sepenuhnya berhasil. Di situlah titik awal kita melihat kemunduran. Belanda, dengan kekuatan lautnya, perlahan menancapkan pengaruhnya di Nusantara. Mataram mulai terjebak dalam permainan politik kolonial.”

Ki Ajar menatap Ki Catur dengan sorot mata tajam. “Namun, Ki Catur, meskipun Mataram tak sepenuhnya menang dalam perang dengan Belanda, tak bisa kita pungkiri bahwa mereka meninggalkan warisan besar. Rasa keagungan Jawa, semangat perlawanan, hingga upaya menjaga kehormatan tanah ini tetap tumbuh dalam setiap detak jantung orang Jawa.”

Ki Catur tersenyum dalam, “Benar, Ki Ajar. Warisan itu tetap hidup, meskipun dalam situasi sulit. Dan selama kita masih mengenangnya, masih menjaga semangat itu, Nusantara tidak akan pernah benar-benar kalah.”

Suara aliran sungai kecil terdengar semakin lembut, seperti menyelaraskan diri dengan percakapan mereka. Malam semakin pekat, namun obrolan dua ahli kanuragan dan sejarah ini tak akan pernah padam, seakan memetakan nasib Nusantara di bawah bayang-bayang Merapi yang terus membara.

Ki Catur menggerakkan badannya sedikit, merasakan kehangatan yang mulai merayap dari dalam joglo. “Ki Ajar, salah satu kejayaan yang sering terlupakan dari Jawa adalah kekuatan maritim kita. Kita terlalu sering dibutakan oleh keagungan Mataram di darat, padahal kekuatan laut kita pernah begitu besar, hingga bisa mencapai Malaka. Jung Jawa, kapal raksasa yang menjadi kebanggaan pelaut-pelaut kita, itu bukti nyata kekuatan maritim Jawa.”

Ki Ajar tersenyum, mengangguk. “Jung Jawa memang luar biasa. Kapal itu tak hanya sekadar besar, tapi juga tangguh. Panjangnya bisa mencapai seratus kaki, dengan lebar yang menakjubkan. Bayangkan, dalam satu jung bisa memuat hingga 500 prajurit dan puluhan meriam. Lebih dari itu, kapal itu dilengkapi dengan ruang-ruang yang bisa menyimpan bekal dan peralatan perang untuk ekspedisi berbulan-bulan.”

Ki Catur menatap tajam ke arah puncak Merapi yang memerah, seolah terinspirasi oleh lava yang terus menyala. “Bahan pembuat jung pun tak main-main, Ki Ajar. Dari kayu jati yang kokoh, yang terkenal tak mudah lapuk oleh air laut. Setiap lembar papan yang digunakan dipilih dengan teliti. Bahkan sambungannya pun disempurnakan dengan sistem pasak kayu, tanpa paku besi, yang membuatnya tahan lama dan fleksibel menghadapi gelombang besar lautan.”

Ki Ajar tersenyum tipis, matanya berkilat. “Tidak banyak bangsa yang bisa membuat kapal sekuat itu. Pasukan di dalamnya juga luar biasa. Setiap kapal bisa membawa lebih dari 200 prajurit elit yang terlatih dalam pertempuran laut. Dan bukan hanya jumlah yang membuat mereka hebat, tapi juga persenjataan mereka. Meriam-meriam besar dipasang di dek utama, siap menghancurkan kapal musuh dari jarak jauh.”

“Bandingkan dengan armada Portugis, Ki Ajar,” lanjut Ki Catur. “Kapal-kapal mereka, seperti caravel dan carrack, memang canggih dengan teknologi Eropa, tapi ukurannya lebih kecil dibandingkan jung kita. Carrack terbesar mereka mungkin bisa membawa sekitar 50-100 orang, dan meskipun memiliki meriam, jumlahnya jauh lebih sedikit dari kapal Jung Jawa. Dan satu hal lagi, kapal-kapal Portugis itu lebih rentan terhadap gelombang besar karena bentuknya yang lebih tinggi di bagian buritan, membuatnya sulit bermanuver di lautan tropis seperti kita.”

Ki Ajar menatap Ki Catur dengan pandangan yang dalam. “Itu sebabnya Dom Alfonso de Albuquerque, saat mendengar kekuatan Jung Jawa, merasa terancam. Ia tahu betul bahwa armada Portugis tak akan mudah menaklukkan kekuatan laut Jawa. Apalagi jika kita bicara soal kapal perang. Selain unggul dalam jumlah, prajurit-prajurit kita punya pengalaman tempur yang tak bisa diremehkan.”

“Namun, sayangnya, bukan hanya di laut pertempuran berlangsung,” ujar Ki Catur sambil menghela napas. “Intrik politik di darat sering kali lebih licik dari pertempuran laut. Pada akhirnya, meski kita punya kekuatan laut yang dahsyat, Portugis berhasil menancapkan kuku mereka di Malaka melalui jalur diplomasi dan pengkhianatan. Itulah yang sering terlupakan dari sejarah kejayaan maritim kita.”

Ki Ajar mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian menambahkan, “Kejayaan maritim kita di masa Demak dan Mataram memang pernah mencapai puncaknya, tapi kita gagal mempertahankannya. Saat kekuatan laut Demak Bintara mulai menurun, sementara Belanda dan Portugis terus memperkuat armada mereka, kita perlahan tersingkir. Tapi, semangat laut itu tak pernah benar-benar hilang.”

Ki Catur tersenyum penuh arti. “Dan semangat itu, Ki Ajar, adalah warisan yang harus kita jaga. Seperti halnya Merapi yang tak pernah padam, kita harus terus menjaga kekuatan dan harga diri bangsa ini, baik di darat maupun di laut. Armada laut kita mungkin pernah terpuruk, tapi selama ada yang mengenang, kekuatan maritim Nusantara akan selalu hidup.”

Malam semakin larut, angin membawa hawa sejuk dari gunung, namun perbincangan dua sahabat ini kian hangat. Mereka tahu, perbincangan mereka bukan hanya tentang masa lalu, melainkan juga tentang masa depan.

Angin malam yang membawa kesejukan dari Merapi mengalir lembut di antara tiang-tiang joglo. Ki Catur meraih segenggam jadah bakar yang tersisa, mengunyah pelan, lalu kembali berbicara, kali ini dengan nada lebih rendah, seakan membahas sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertempuran laut.

“Ki Ajar, selain kekuatan laut, ada satu lagi aspek penting yang sering terlupakan dari peradaban Nusantara—teknologi senjata api dan mesiu. Meski kita mengenal senjata tradisional seperti keris dan tombak, tak bisa kita pungkiri bahwa kekuatan senjata api pada akhirnya yang menentukan banyak kemenangan di medan perang.”

Ki Ajar mengangguk pelan, memandang ke arah gelap di luar joglo, seolah-olah melihat bayangan sejarah yang jauh. “Benar, Ki Catur. Meskipun teknologi senjata api pertama kali dikenal di Nusantara pada zaman Majapahit, saat mereka menciptakan cetbang, kemajuan besar dalam penggunaan senjata api datang pada masa Mataram, ketika ilmu mesiu dan artileri kita mendapat pengaruh dari Turki Utsmani. Sultan Agung sendiri, bahkan memiliki hubungan diplomatik dengan mereka.”

“Cetbang… senjata andalan Majapahit,” Ki Catur menimpali, sambil menerawang. “Senjata ini tak hanya digunakan untuk pertempuran darat, tapi juga dipasang di kapal-kapal jung Jawa. Bentuknya seperti meriam kecil yang bisa menembakkan peluru logam dan batu, bahkan bisa digunakan untuk melempar api. Peninggalan Majapahit ini menunjukkan bahwa kita sudah lama menguasai teknologi artileri.”

Ki Ajar menyela dengan senyum tipis, “Kamu tahu, Ki Catur, cetbang Majapahit itu sangat fleksibel. Bisa digunakan sebagai meriam jarak dekat untuk melumpuhkan musuh atau sebagai senjata anti-kapal. Ini menunjukkan bahwa leluhur kita sudah memahami betul pentingnya artileri dalam pertempuran laut maupun darat.”

“Tapi setelah runtuhnya Majapahit, teknologi itu sempat tertinggal hingga Mataram Islam bangkit,” ujar Ki Catur, suaranya mengandung nada prihatin. “Barulah setelah Sultan Agung dan para penerusnya menjalin hubungan dengan Kesultanan Utsmaniyah, kita mendapatkan pengetahuan yang lebih maju tentang senjata api dan mesiu.”

Ki Ajar kembali mengangguk, kali ini dengan lebih semangat. “Ya, Kesultanan Utsmaniyah, mereka adalah salah satu peradaban yang paling maju dalam teknologi senjata api dan mesiu pada masa itu. Mataram mendapatkan akses ke teknologi bedil—senapan sederhana—dan meriam yang lebih besar dan lebih kuat dari apa yang kita kenal sebelumnya. Meski kita telah memiliki cetbang, senjata-senjata baru ini memperluas kemampuan kita dalam pertempuran jarak jauh.”

“Tidak hanya itu, Ki Ajar,” lanjut Ki Catur, “kita juga mempelajari bagaimana mengorganisir artileri dengan lebih baik. Sultan Agung, misalnya, menggunakan meriam besar dalam serangannya ke Batavia. Sayangnya, meskipun memiliki teknologi dan strategi yang canggih, kondisi alam dan logistik membuat serangan itu gagal.”

Ki Ajar termenung sejenak, lalu berkata, “Benar, serangan ke Batavia itu memang tidak berhasil. Namun teknologi senjata api dari Turki telah mengubah cara kita berperang. Kita tidak lagi hanya mengandalkan keberanian prajurit, tetapi juga kecerdikan dalam memanfaatkan teknologi baru.”

Ki Catur tersenyum tipis. “Dan pada akhirnya, itulah yang membuat peradaban berkembang. Kombinasi antara tradisi leluhur kita, seperti cetbang, dan inovasi dari luar, seperti mesiu dan senapan Turki, membuat kita lebih kuat. Namun sayangnya, Ki Ajar, meskipun kita menguasai teknologi itu, pada akhirnya kekuatan kolonial Barat yang memiliki mesin perang yang lebih modern menundukkan kita.”

“Ya, meskipun kita punya cetbang, bedil, dan meriam, Eropa—terutama Belanda—pada akhirnya memiliki kapal perang yang lebih besar, senapan yang lebih presisi, dan artileri yang lebih kuat,” Ki Ajar menyahut dengan nada datar. “Tapi jangan lupakan, Ki Catur, bahwa warisan kita bukan hanya tentang kekalahan. Teknologi dan ilmu yang kita warisi, entah dari Majapahit atau dari Mataram, tetap menjadi bukti betapa cerdiknya nenek moyang kita dalam memanfaatkan segala sumber daya.”

Ki Catur mengangguk pelan. “Benar, Ki Ajar. Dan warisan itu tetap hidup, meski kita kalah di medan perang, kita menang dalam menjaga martabat dan tradisi. Mesiu mungkin tak lagi berbunyi di tanah ini, tapi semangat perlawanan dan kecerdikan leluhur kita tetap ada dalam darah setiap anak Nusantara.”

Suara aliran sungai kecil di samping joglo semakin terdengar jelas, berpadu dengan nyanyian jengkerik yang makin syahdu. Ki Ajar dan Ki Catur duduk diam sejenak, menikmati ketenangan malam, sambil merenungi kisah panjang Nusantara yang terukir dalam dentuman meriam dan kilatan senjata. Di bawah bayangan Merapi yang terus menyala, semangat perjuangan itu terus hidup, seperti api yang tak pernah padam.

Malam mulai menipis, dan fajar perlahan menyingsing dari balik puncak Merapi. Cahaya merah jambu yang muncul di langit memberikan suasana keheningan yang berbeda. Suara jengkerik mulai redup, digantikan oleh kicauan burung-burung hutan. Ki Ajar dan Ki Catur masih duduk di atas tikar, wedang secang yang tadi hangat kini mulai dingin. Namun, semangat mereka tak surut. Obrolan terus mengalir, kali ini menuju bagian lain dari sejarah Nusantara yang jarang dibicarakan—Salaka Nagara, kerajaan tua yang pernah berjaya di pesisir barat Pulau Jawa.

Ki Catur memulai dengan nada pelan, namun penuh antusias. “Ki Ajar, di antara semua peradaban besar yang pernah hidup di Nusantara, Salaka Nagara mungkin salah satu yang paling misterius. Sebuah kerajaan kuno yang terletak di Teluk Lada, di mana sekarang menjadi bagian dari Banten. Konon, di sanalah seorang raja perkasa bernama Aki Tirem memimpin kerajaannya dengan kebijaksanaan dan kekuatan.”

Ki Ajar tersenyum tipis, kemudian menanggapi, “Ah, Salaka Nagara. Namanya saja sudah membawa bayangan keagungan, Salaka, yang berarti perak. Seperti yang tercatat dalam sejarah, kerajaan ini diperkirakan berdiri pada abad pertama Masehi, jauh sebelum Tarumanegara atau Sriwijaya. Aki Tirem, sang pendiri, adalah seorang pemimpin yang tidak hanya cerdik, tetapi juga disegani oleh semua suku di wilayah sekitarnya.”

“Satu hal yang menarik dari Salaka Nagara,” lanjut Ki Catur, “adalah bahwa kota ini disebut sebagai Argyre oleh Ptolomeus, seorang geografer dari Eropa. Dalam catatannya, Ptolomeus menyebut Argyre sebagai ‘kota perak,’ kota yang diyakini kaya akan hasil tambang perak. Banyak yang beranggapan bahwa Argyre tak lain adalah Salaka Nagara, dengan ibu kotanya yang terletak di dekat pantai Teluk Lada.”

Ki Ajar mengangguk setuju. “Ya, Ptolomeus menyebutnya sebagai kota di ujung dunia yang jauh, terletak di wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Nusantara. Meski pengetahuan mereka tentang geografi kita masih terbatas, Salaka Nagara sudah dikenal bahkan hingga ke benua Eropa. Ini menunjukkan betapa pentingnya kerajaan ini sebagai pusat perdagangan dan pelayaran di masa lampau.”

Ki Catur menyesap sisa wedang secang, kemudian melanjutkan, “Tidak hanya itu, Salaka Nagara juga dikenal sebagai kerajaan yang memanfaatkan sumber daya alamnya dengan sangat baik. Sebagai penghasil perak dan logam mulia lainnya, kerajaan ini menjadi salah satu pusat perdagangan utama di perairan barat Nusantara. Pedagang-pedagang dari India, Persia, hingga Tiongkok datang ke pelabuhan-pelabuhan mereka untuk berdagang.”

“Namun, bukan hanya kekayaan alam yang membuat Salaka Nagara dihormati,” Ki Ajar menambahkan. “Aki Tirem, meski usianya sudah lanjut saat memerintah, dikenal sebagai pemimpin yang mampu menjaga stabilitas kerajaan dari ancaman luar. Ketika pengaruh India mulai menyebar ke wilayah Nusantara, Salaka Nagara tetap bertahan dengan identitas dan kekuatannya sendiri.”

Ki Catur merenung sejenak, lalu berkata, “Ada satu kisah menarik tentang Aki Tirem yang sering diceritakan turun-temurun. Dikatakan bahwa sebelum wafat, ia menunjuk menantunya, Dewawarman, seorang bangsawan dari India, untuk menggantikan tahtanya. Dewawarman inilah yang kemudian meneruskan kejayaan Salaka Nagara dan mendirikan Dinasti Dewawarman, yang berperan penting dalam menyebarkan pengaruh Hindu-Buddha di Nusantara.”

“Dan dengan itulah, Salaka Nagara menjadi bagian penting dari sejarah awal Nusantara, sebagai jembatan antara kebudayaan asli kita dengan pengaruh luar yang mulai masuk,” ujar Ki Ajar, memandang ke arah cakrawala yang mulai terang. “Namun, meski pengaruh luar datang, Aki Tirem dan Salaka Nagara tetap mempertahankan jati diri Nusantara.”

Pagi itu, perlahan kabut mulai naik dari lembah, dan sinar matahari menembus celah-celah pepohonan. Joglo Perdikan Bale Merapi, yang semalam diselimuti kehangatan perbincangan sejarah, kini diterangi oleh cahaya fajar yang membawa harapan baru. Kedua sahabat itu duduk diam sejenak, merenungi kejayaan yang pernah hidup di Nusantara. Salaka Nagara mungkin sudah tenggelam dalam sejarah, tapi kisahnya terus hidup di dalam hati mereka, sebagai pengingat bahwa di setiap sudut Nusantara, ada cerita tentang kebesaran yang tak boleh dilupakan.

“Ki Catur, tak peduli seberapa jauh kita dari masa itu,” ujar Ki Ajar akhirnya, “jejak-jejak Salaka Nagara tetap ada, menjadi bagian dari darah dan napas bangsa ini.”

“Benar, Ki Ajar,” jawab Ki Catur dengan senyum penuh makna. “Sejarah bukan hanya tentang masa lalu. Ia adalah kompas yang akan membawa kita menuju masa depan.”

Dan dengan itu, mereka berdua memandang pagi yang semakin cerah, siap menyambut hari baru dengan semangat yang tak pernah padam, seperti cahaya Merapi yang terus menyala di kejauhan.

Pagi yang cerah menyelimuti joglo Perdikan Bale Merapi. Setelah sarapan jadah bakar dan kopi sangrai yang harum, Ki Catur Brojodento dan Ki Ajar Teguh Supriadi duduk dengan santai, menikmati sisa embun yang masih menggantung di dedaunan. Pembicaraan mereka berlanjut, mengalir secara alami ke kebesaran peradaban Nusantara lainnya. Kali ini, mereka membahas kerajaan-kerajaan yang lahir dari wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya, khususnya tentang Ratu Shima dari Kalingga dan kejayaan kerajaan-kerajaan Mataram Kuno serta Medang.

Ki Catur membuka percakapan dengan pandangan serius. “Ki Ajar, pernahkah engkau merenung tentang bagaimana wilayah ini, dari Kalingga hingga ke Sunda Galuh, dipersatukan oleh Sanjaya, dan pada akhirnya membentuk kejayaan Mataram?”

Ki Ajar mengangguk, mengangkat cangkir kopinya sebelum menjawab. “Tentu, Ki Catur. Ratu Shima dari Kalingga adalah sosok yang sangat berperan dalam menanamkan dasar-dasar keadilan dan ketegasan di wilayah ini. Kalingga, di bawah pemerintahannya, terkenal dengan hukumnya yang sangat ketat. Ada kisah tentang emas yang diletakkan di tengah jalan, tak ada seorang pun yang berani menyentuhnya, karena takut melanggar hukum Ratu Shima. Itulah cikal bakal disiplin yang menjadi landasan kuat bagi kerajaan-kerajaan yang datang kemudian.”

“Benar,” lanjut Ki Catur, “dan setelah wafatnya Ratu Shima, kerajaan Kalingga memang mengalami kemunduran. Namun, Sanjaya, yang merupakan keturunannya, berhasil membangkitkan kembali kejayaan wilayah ini. Ia menyatukan Sunda Galuh dan Kalingga, dan dari situ, terbentuklah dinasti baru yang kemudian dikenal sebagai Mataram Kuno.”

Ki Ajar, yang dikenal sebagai seorang ahli sejarah dan kanuragan, tampak terpesona dengan cara Sanjaya mempersatukan dua wilayah yang besar dan kaya akan budaya. “Sanjaya bukan hanya seorang raja yang kuat dalam hal militer, tapi ia juga seorang pemimpin visioner. Ia tidak hanya memikirkan tentang penaklukan wilayah, tapi juga bagaimana menyatukan kekuatan-kekuatan yang ada untuk membangun peradaban yang kokoh.”

“Betul sekali, Ki Ajar. Kita dapat melihat jejak dari kebesaran itu di candi-candi yang masih berdiri hingga kini. Mulai dari Sojiwan, Kedulan, Kalasan, Sari, hingga Ijo dan Prambanan, semua itu adalah saksi bisu dari kejayaan Mataram Kuno dan Medang,” tambah Ki Catur, sambil menatap jauh ke cakrawala seolah membayangkan kebesaran masa lalu.

Ki Ajar meneguk kopinya pelan, lalu melanjutkan, “Candi-candi itu bukan sekadar bangunan batu. Mereka adalah simbol peradaban yang sangat maju. Bayangkan saja, arsitektur Prambanan dan Sewu yang rumit dan megah—itu adalah bukti bahwa pada zaman itu, Nusantara sudah memiliki pengetahuan tinggi dalam hal teknologi bangunan dan spiritualitas. Dinasti-dinasti Mataram Kuno, terutama setelah masa Sanjaya, mampu menciptakan peradaban yang menyatukan aspek religius, budaya, dan politik.”

“Saya setuju,” ujar Ki Catur. “Candi Kalasan dan Sari, misalnya, menunjukkan bahwa Mataram tak hanya menguasai teknologi bangunan, tapi juga seni yang sangat tinggi. Relief-relief yang menghiasi dinding candi itu adalah hasil karya seniman yang tidak hanya terampil dalam hal teknik, tetapi juga memiliki kedalaman spiritual yang luar biasa.”

“Ya,” kata Ki Ajar, “dan jangan lupakan juga Candi Plaosan, Sambisari, dan Banyunibo. Setiap candi memiliki karakteristik yang berbeda, tetapi semuanya mencerminkan kebesaran peradaban yang pernah tumbuh di sini. Dari candi-candi itulah kita bisa menelusuri bagaimana pengaruh Hindu dan Buddha berkembang bersama-sama, membentuk masyarakat yang heterogen namun harmonis.”

Ki Catur mengangguk, meresapi setiap kata. “Ki Ajar, bukankah menarik bagaimana kerajaan Mataram Kuno dan Medang tidak hanya kuat dalam hal politik dan militer, tapi juga dalam hal spiritualitas dan seni? Sanjaya dan keturunannya benar-benar berhasil menciptakan keseimbangan antara kekuatan duniawi dan kekuatan spiritual.”

Ki Ajar tersenyum, menatap sahabatnya dengan penuh kekaguman. “Mungkin itulah rahasia kejayaan mereka, Ki Catur. Sebuah peradaban tidak akan besar hanya dengan kekuatan fisik, tetapi juga dengan kekuatan jiwa dan pikiran. Dan itu yang mereka wariskan kepada kita.”

Ki Catur menghela napas panjang, seolah-olah terbawa oleh perenungan mendalam tentang masa lalu. “Ya, jejak kebesaran itu masih bisa kita lihat hingga hari ini, dari setiap batu yang disusun menjadi candi, dari setiap relief yang mengisahkan cerita-cerita epik masa lalu. Sayangnya, tidak semua orang di zaman sekarang mampu merasakan kedalaman sejarah itu.”

“Mungkin karena kita terlalu sibuk dengan urusan duniawi, sehingga lupa untuk merenungkan kebesaran leluhur kita,” jawab Ki Ajar dengan nada bijak. “Namun, selagi ada orang-orang seperti kita yang masih memperbincangkan sejarah ini, kebesaran Nusantara tidak akan pernah benar-benar hilang.”

Cahaya pagi semakin terang, menyinari hamparan sawah yang hijau di sekitar joglo. Perbincangan mereka melayang, seolah membentuk jembatan waktu antara masa lalu dan masa kini. Ki Catur dan Ki Ajar tahu bahwa mereka tidak hanya berbicara tentang sejarah, tetapi tentang sebuah warisan yang harus dijaga, dihargai, dan diajarkan kepada generasi mendatang. Sebab, seperti yang mereka yakini, kebesaran Nusantara masih hidup dalam setiap cerita yang diwariskan, dan dalam setiap batu yang masih berdiri kokoh di antara candi-candi yang pernah mereka sebut.

Bersambung

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts