Tauhid Nur Azhar

Akhir Pekan Bersama Mbak Anik, Mas Perry, dan Suhono Sensei

Kehebohan akhir pekan dimulai. Berbagai agenda mulai disusun untuk mengoptimalkan waktu. Padatnya program antara bakar kalori dan perbaikan asupan gizi, saling sengkarut, simpang siur hingga itinerary terasa agak ngawur.

Wah apakah ada korelasi di antara extra spending di masa prei ini dengan peningkatan pendapatan? Kayaknya sih enggak jugajuga, tapi sebagai warga negara yang baik, saya mah sedang berusaha mematuhi anjuran Pak Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia, untuk meningkatkan pembelanjaan personal.

Mengapa demikian? Tentunya sebagai upaya konstruktif untuk membantu mengatasi kondisi kontraksi ekonomi yang antara lain ditandai dengan penurunan daya beli konsumen yang berakibat pada terjadinya deflasi.

Selain itu kontraksi ekonomi dapat ditandai dengan: Penurunan Produk Domestik Bruto (PDB), penurunan produksi industri, penurunan ketersediaan lapangan kerja, juga terjadinya peningkatn pemutusan hubungan kerja.

Kontraksi ekonomi yang berlangsung selama dua kuartal berturut-turut atau lebih disebut resesi. Resesi adalah bentuk kontraksi ekonomi yang lebih parah dan dapat menyebabkan penurunan standar hidup.

Lalu PDB itu barang apa toh? Kok Bapak Doktor sekelas Pak Perry Warjiyo yang alumni SD Gawok dan SMP Gatak Sukoharjo serta lama mukim di Iowa untuk meraih gelar PhD nya (bukan Pizza Hut Divery ya), begitu concern dan serius menyikapinya? Bukannya beliau itu bagian dari otoritas moneter ya? Kalau PDB kan semestinya domain nya Mbak Anik yang alumni University Illinois Urbana 🍾 ya? Putri dari Prof Satmoko dan Prof Retno Sriningsih yang asli warga ngapak-ngapak zone, Gombong ini menamatkan SMP nya di Bandar Lampung loh, sebelum hijrah dan menjadi bagian dari warga ALSTE, alias alumni SMA Negeri 3 Semarang, bareng dengan sohibnya yang bernama Mbak Retno Marsudi, Ibu Menlu yang berani menyanggah PM Benyamin Suka Tahu.

Produk Domestik Bruto (PDB) adalah ukuran utama untuk mengukur aktivitas perekonomian suatu negara. PDB merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi dalam suatu negara.

PDB dihitung dengan cara menjumlahkan nilai akhir dari barang dan jasa yang dihitung berdasarkan total nilai barang-jasa yang dihasilkan suatu negara. PDB dihitung dengan memperhitungkan nilai tambah di setiap tahap proses produksi, termasuk biaya produksi, upah pekerja, dan keuntungan perusahaan.

PDB memiliki beberapa kegunaan, di antaranya: Mengevaluasi kinerja pembangunan ekonomi suatu negara, Mengukur perkembangan ekonomi pada suatu negara, Mengetahui struktur perekonomian suatu negara, Sebagai landasan perumusan kebijakan pemerintah.

PDB per kapita merupakan ukuran kekayaan nasional secara keseluruhan. PDB per kapita menunjukkan berapa banyak nilai produksi ekonomi yang dapat dikaitkan dengan setiap warga negara.

Ya wajar kalau Pak Perry yang mengurusi perputaran uang concern, karena ya memang kedua faktor fondasi ekonomi itu saling terkait dan terikat satu sama lainnya.

La ekonomi moneter itu apa lagi? Kalau piturut Prof Haryo Kuncoro, guru besar ilmu ekonomi di Universitas Negeri Jakarta, pengertian sederhana tentang Ekonomi Moneter merujuk pada bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari mengenai sifat, fungsi, serta pengaruh uang dalam berbagai kegiatan ekonomi.

Singkat kata (beliau), ekonomi moneter berbicara mengenai bagaimana uang itu bekerja. Namun, secara substansial banyak hal terkait didalamnya, misal pasar uang, tingkat suku bunga, inflasi, kebijakan moneter, permasalahan dalam kebijakan moneter hingga sistem moneter internasional dan persoalan krisis keuangan.

Mengapa kita perlu mempelajari ekonomi moneter ? Mengapa Pak Perry Warjiyo, si anak Gowok itu sampai perlu mencsri gelar PhD soal moneter nun jauh di Iowa ? Karena dengan ilmu moneter kita dapat mengetahui secara mendalam mengenai jalannya mekanisme pasar uang, pengaruh tingkat bunga dalam perekonomian, bagaimana negara mengatur persoalan inflasi, kebijakan negara dalam membuat kebijakan moneter, serta cara kerja sistem moneter internasional hingga mempelajari krisis keuangan yang sempat melanda Indonesia.

Selain itu, kita juga dapat menganalisis secara tajam beberapa fenomena moneter dalam kaitannya dengan kebijakan moneter terhadap perekonomian negara.

Pada akhirnya, dengan mempelajari ekonomi moneter akan menambah khazanah pengetahuan sehingga diharapkan kita menjadi lebih kritis dalam menyikapi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah, khususnya kebijakan pengaturan uang dan perbankan untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi.

Pengetahuan tentang ekonomi moneter juga dapat memberikan masukan kepada pemerintah dalam mengambil sebuah kebijaksanaan melalui teori ekonomi moneter yang telah dipelajari sehingga kebijakan tersebut menjadi efektif dan efisien dalam mencapai tujuannya.

La kalau Mbak Anik sekolah apa di Amerika nya? Beliau du University of Illinois banyak mendalami kajian kebijakan ekonomi. Pas banget dengan jabatan beliau sebagai menteri keuangan saat ini bukan?

Malah menurut penilaian subjektif penulis, beliaulah menteri keuangan terbaik sepanjang Republik Indonesia berdiri. Keberhasilan beliau yang sangat menonjol adalah dalam menegakkan integritas yang menjadi marwah kementerian yang beliau pimpin. Terobosan inovatif dalam strategi pembangkitan ekonomi pasca pandeminya juga terbukti ces pleng.

Pada 2022, kepemimpinan Mbak Anik berhasil mengembalikan defisit APBN ke level di bawah 3%, yaitu 2,38% atau (2,35% setelah audit, sesuai batas yang ditetapkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, setelah sebelumnya selama dua tahun berturut-turut sejak 2020 mencatatkan defisit yang tinggi akibat pandemi.

Hal ini merupakan akselerasi setahun dari batas waktu sesuai Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang memperkenankan defisit lebih dari 3% hingga tahun 2022. Pencapaian ini berlanjut pada 2023 dengan berhasil ditekannya defisit ke level 1,65% dari PDB, yang merupakan defisit APBN terendah Indonesia sejak 2011. Keren pisan kan Mbak Anik?

Ruang lingkup dan domain Mbak Anik selaku MoF, ministry of finance Republik Indonesia, berfokus pada konsep kebijakan fiskal. Dimana konsep fiskal adalah kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah untuk mengelola pendapatan dan pengeluaran negara agar ekonomi negara tetap stabil.

Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi makro yang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kata fiskal berasal dari bahasa Latin fiscus yang merupakan nama seseorang yang memiliki kekuasaan atas keuangan pada zaman Romawi kuno.

Beberapa aspek perekonomian yang termasuk dalam kebijakan fiskal adalah: Utang piutang, Belanja pemerintah, Perpajakan.

Kebijakan fiskal dapat dilakukan melalui dua kontrol, yaitu ekspansif dan kontraktif:

* Kebijakan fiskal ekspansif dilakukan dengan menambah pengeluaran dan mengurangi tingkat pajak.

* Kebijakan fiskal kontraktif dilakukan dengan mengurangi pengeluaran dan memperbesar pajak.

Kebijakan fiskal Mbak Anik meski selaras dengan kebijakan moneter Mas Perry, tetap berbeda misi, karena kebijakan Mas Perry bertujuan untuk menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat suku bunga dan jumlah uang yang beredar.

Tapi baik Mbak Anik atau siapapun penggantinya, demikian juga Mas Perry dan siapapun juga suksesornya, akan berhadapan dengan situasi baru yang lahir karena adanya shifting teknologi. Ini bukan soal cryptocurrency atau digital and circular economy ya. Ini soal behaviour alias perilaku gen-gen baru mulai milenial, Z, sampai Alfa dan juga Sigma yang bisa mempengaruhi kondisi perekonomian lokal, nasional, regional, bahkan global loh.

Konsep paralel universe generasi baru ini adalah hasil dari lahirnya suatu peradaban yang di Indonesia, antara lain dibidani oleh guru sekaligus idola saya, Prof Suhono Harso Supangkat dari STEI ITB. Digital Twin, demikian istilah double atau dunia multiversa yang tercipta karena adanya penetrasi teknologi yang berhasil menciptakan habitat atau ruang hidup baru yang bersifat digital.

Atas nama efisiensi proses dan energi alias effort, migrasi digital tak terhindari. Eksodus yang terjadi komplit pisan. Meliputi identitas, proses administrasi kependudukan, model bisnis, marketplace, layanan publik, sampai komunikasi intimacy tak lagi berada di dimensi fisikal, semua dikonversi menjadi bagian dari peradaban digital yang dicari lewat mesin peramban, bukan lagi bertanya dan mencari di sekitar lingkungan.

Menurut Suhono sensei, digital twin adalah model virtual dari objek fisik, proses, hubungan, dan perilaku yang dapat digunakan untuk mensimulasikan perilakunya. Di mana perkembangannya saat ini dan di masa depan, akan menempatkan ruang atau dimensi virtual justru sebagai ruang hidup utama, dimana segenap relasi dan interaksi serta berbagai aktivitas komunikasi sampai transaksi dapat terjadi.

Kehadiran fisik kita akan semakin terdilusi, dan makin kehilangan arti. Pertemuan fisik tak lagi menjadi opsi, karena banyak pilihan digital yang hemat energi dapat menjadi alternatif yang jauh lebih diminati.

Tetapi oh tetapi, dengan migrasi masif yang mendorong terjadinya pergeseran pondasi, dapat saja memantik terjadinya kegagalan konstruksi. Terutama terkait dengan struktur sosial dan psikologi yang gagap karena mendadak harus bertransformasi.

Era digital akan melahirkan beberapa kondisi patologi sosial dan masalah psikologi. Cepat, rapat, dan padatnya informasi akan melahirkan berkurangnya akurasi, eksplorasi maknawi, dan kesempatan untuk berkontemplasi.

Kondisi banjir informasi dengan tingkat akurasi yang perlu dimoderasi dan tak sempat dikurasi, apalagi dikritisi melalui proses analitik yang presisi, menjadikan informasi dan data seolah menjadi benteng-benteng sosial yang menghasilkan ekosistem distorsi.

Ekosistem informasi yang menjadi habitat populasi dengan tingkat kecemasan tinggi karena merasa dinilai oleh berbagai entitas yang turut menentukan kualitas persepsi berdasar opini. Gen Z mengenalnya sebagai FOPO, fear of other people’s opinion.

Hubungannya dengan ekonomi, baik moneter maupun fiskal apa? Juga hubungannya dengan Mbak Anik dan Mas Perry apa? Ya banyak dong, karena baik itu FOPO, FOMO (fear of missing out), YOLO (You Only Live Once), dan OVT (Online Vigilance and Tiredness), itu akan mengubah pola konsumsi, transaksi, sampai pengambilan keputusan strategis dalam konteks ekonomi.

Tekanan sosial melalui media digital dapat mengakibatkan proses pembentukan persepsi yang bersifat apriori. Meyakini suatu hal yang belum menjadi kenyataan. Kekhawatiran akan memuncak dan membuncah hingga menimbulkan ekses.

Ekses tersebut antara lain dapat maujud dalam bentuk doom spending, atau ketidakrasionalan dalam mendanai gaya hidup. Tumbuh suburlah bisnis pinjaman daring dan judi online.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi digital telah secara drastis mengubah cara manusia berinteraksi dan berkomunikasi. Media sosial, layanan pesan instan, dan berbagai platform berbasis digital lainnya memungkinkan penyebaran informasi yang cepat, global, dan tanpa batas. Namun, komunikasi yang berciri cepat dan masif ini, sering kali tidak terkurasi dengan baik, dan dapag memunculkan tekanan psikologi model baru.

Fenomena seperti YOLO, FOMO, FOPO, dan OVT menjadi representasi dari tantangan psikologis yang muncul di era digital. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji dasar teori dari fenomena-fenomena ini dan implikasinya terhadap perilaku individu.

YOLO (You Only Live Once) adalah sebuah frasa yang pertama kali populer di kalangan anak muda dan menggambarkan pola pikir di mana individu cenderung mengambil keputusan impulsif atau berisiko dengan keyakinan bahwa hidup ini hanya sekali. Fenomena ini sering terlihat dalam budaya populer dan media sosial, di mana orang mempromosikan petualangan, pengalaman ekstrem, atau perilaku yang tidak konvensional.

Fenomena YOLO dapat dijelaskan melalui teori Motivasi Hedonis yang mengusulkan bahwa individu terdorong untuk mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit (Freud, 1920). Di era digital, YOLO dimanifestasikan sebagai respons terhadap paparan konten yang menekankan pencapaian personal, gaya hidup yang mewah, atau pengalaman yang dianggap lebih bermakna, yang sering kali diperkuat oleh dampak media sosial.

Teori lain yang relevan adalah Theory of Planned Behavior dari Ajzen (1991), yang menyatakan bahwa perilaku seseorang didorong oleh niat yang dipengaruhi oleh sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan. YOLO dapat diartikan sebagai bentuk perilaku di mana individu mengubah sikap mereka terhadap risiko dan mengadopsi norma yang menekankan kebebasan dan eksplorasi.

FOMO (Fear of Missing Out) adalah kondisi psikologis di mana individu merasa cemas atau takut kehilangan peluang, pengalaman, atau informasi penting yang mungkin dialami oleh orang lain. FOMO dipicu oleh peningkatan penggunaan media sosial, di mana individu terus menerus dihadapkan pada gambaran kehidupan orang lain yang terlihat lebih menyenangkan, produktif, atau bermakna (Przybylski et al., 2013).

FOMO dapat dijelaskan melalui teori Self-Determination Theory (SDT) dari Deci dan Ryan (1985), yang menekankan tiga kebutuhan psikologis dasar: kebutuhan akan kompetensi, keterhubungan, dan otonomi. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, individu mungkin mengalami perasaan terisolasi atau kurang bermakna, yang pada akhirnya memicu FOMO.

Fenomena ini juga dapat dikaitkan dengan Teori Kecemasan Sosial, di mana individu cenderung mengalami kecemasan ketika merasa tidak terlibat dalam aktivitas yang dilakukan oleh kelompok sosial mereka. Media sosial memperkuat perasaan ini dengan memberikan akses konstan ke informasi tentang aktivitas dan pencapaian orang lain (Przybylski et al., 2013).

FOPO (Fear of Other People’s Opinions) adalah kondisi psikologis di mana individu merasa cemas atau khawatir tentang bagaimana mereka dinilai oleh orang lain. Di era digital, FOPO semakin relevan karena individu sering kali terpapar pada penghakiman publik melalui komentar, likes, atau bentuk umpan balik lainnya di media sosial.

FOPO dapat dijelaskan melalui Teori Evaluasi Sosial dari Festinger (1954) yang menyatakan bahwa individu cenderung mengevaluasi kemampuan dan pendapat mereka berdasarkan perbandingan sosial. Di dunia digital, evaluasi ini terjadi secara lebih eksplisit dan terbuka, di mana penilaian sosial sering kali bersifat publik dan langsung.

Teori Impression Management dari Goffman (1959) juga relevan untuk memahami FOPO. Di media sosial, individu secara aktif mengelola citra yang mereka tampilkan kepada dunia luar, dan ketakutan akan opini orang lain mempengaruhi bagaimana mereka menyusun dan menampilkan diri secara online.

OVT (Online Vigilance and Tiredness) adalah fenomena kelelahan mental yang disebabkan oleh kewaspadaan terus-menerus terhadap notifikasi, pesan, atau informasi yang berasal dari perangkat digital. OVT muncul sebagai respons terhadap kebutuhan untuk selalu terhubung dan responsif di era digital.

OVT dapat dijelaskan melalui Teori Beban Kognitif dari Sweller (1988), yang mengemukakan bahwa otak manusia memiliki kapasitas terbatas untuk memproses informasi. Ketika individu terus menerus terpapar oleh stimulus digital, beban kognitif ini dapat memicu kelelahan mental.

Teori lain yang relevan adalah Teori Attention Economy dari Davenport dan Beck (2001), yang menyatakan bahwa perhatian manusia menjadi sumber daya yang semakin langka di era digital. Perhatian yang terfragmentasi oleh banyaknya notifikasi dan interaksi online dapat memicu rasa lelah dan menurunkan kualitas hidup individu.

Ketika fenomena YOLO, FOMO, FOPO, dan OVT dihubungkan, muncul gambaran yang lebih luas mengenai bagaimana komunikasi digital memengaruhi kesehatan mental individu. Paparan terus-menerus terhadap konten yang memicu perbandingan sosial, ketakutan akan kondisi pencilan, atau kekhawatiran tentang citra diri, secara kolektif dapat meningkatkan risiko kecemasan, depresi, dan burnout digital (Andreassen et al., 2012).

Mari kita bayangkan bagaimana jika kondisi itu terjadi secara komunal? Salah satu model self treatment yang kini teridentifikasi adalah perilaku konsumtif hedonis. Akibatnya secara tidak langsung, pada kurun waktu tertentu akan terjadi peningkatan permintaan atau demand pull pada komoditas dan jasa tertentu. Inflasi dan daya beli akan meningkat (semu), lalu akan terjadi market bubble yang akan berakhir dengan kredit macet dan peningkatan kasus-kasus psikologi.

Di ranah psikoekonomi kondisi tersebut dikenal sebagai stress spending. Stress spending, atau pengeluaran uang yang berlebihan akibat stres, merupakan fenomena psikologis di mana individu menggunakan aktivitas belanja sebagai mekanisme koping untuk mengatasi tekanan emosional.

Berdasar literatur yang ada, stress spending dihubungkan dengan berbagai faktor, termasuk regulasi emosi, sistem penghargaan di otak, dan kemampuan pengendalian diri. Stress spendingl dapat pula dilihat sebagai salah satu bentuk regulasi emosi eksternal yang bersifat maladaptif, di mana individu menggunakan belanja untuk meredakan emosi negatif seperti kecemasan, depresi, atau frustrasi.

Dalam teori ini, belanja berfungsi sebagai distraksi dari emosi yang tidak diinginkan, memberi rasa lega sementara meskipun tidak menyelesaikan akar masalahnya. Menurut teori Lazarus dan Folkman (1984), koping maladaptif seperti ini sering kali gagal mengatasi sumber stres dan justru dapat memperburuk kondisi psikologis individu.

Penelitian lain menunjukkan bahwa aktivitas belanja dapat mengaktifkan sistem penghargaan dalam otak, terutama melalui pelepasan dopamin, neurotransmiter yang terkait dengan perasaan bahagia dan puas (Mick et al., 2010). Hal ini dapat menjelaskan mengapa individu yang mengalami stres mungkin merasa didorong untuk melakukan pembelian impulsif karena mereka mencari perasaan euforia singkat yang dihasilkan dari pengalaman berbelanja.

Stress spending juga dapat dihubungkan dengan lemahnya kendali diri pada individu yang sedang berada di bawah tekanan emosional. Menurut model ego depletion yang diperkenalkan oleh Baumeister et al. (1998), stres kronis dapat menguras sumber daya mental yang diperlukan untuk membuat keputusan yang rasional, sehingga membuat individu lebih rentan terhadap keputusan impulsif, termasuk belanja berlebihan.

Akibatnya tentu saja, pengeluaran dalam proses belanja menjadi tidak rasional dan tidak sesuai dengan kebutuhan faktual. Ekses berupa kesulitan finansial yang membayangi akan mendorong perilaku impulsif untuk secara instan mencari solusi yang paling praktis dan pragmatis.

Keputusan instan tersebut biasanya akan berujung pada jebakan hutang berbunga tinggi atau upaya-upaya spekulatif untuk mendapatkan cuan melalui perjudian atau investasi beresiko tinggi. Keduanya membutuhkan besaran modal yang signifikan, dan biasanya didapatkan dengan mempertaruhkan aset ataupun dana cadangan, dan bahkan dana yang didapatkan dengan cara ilegal atau melanggar hukum.

Kompleksitas permasalahan yang terpantik akan terakumulasi dan menjadi beban psikologis tambahan yang memperberat tekanan. Walhasil akan terjadi penurunan kualitas hidup dan ekses stress yang menjadi silent pandemi di tengah-tengah masyarakat.

Biaya sosial ekonomi karena adanya ekses eksponensial ini akan tinggi sekali. Biaya kesehatan akan meningkat, karena stres yang tidak dapat dikoping dengan baik akan mendisrupsi sistem imunitas tubuh melalui jalur psikoneuroimunologi.

Ketika seseorang mengalami stres, hipotalamus melepaskan hormon pelepas/rilis kortikotropin (CRH) yang merangsang kelenjar pituitari untuk menghasilkan hormon adrenokortikotropik (ACTH). ACTH kemudian merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan kortisol, hormon stres utama.

Kortisol memiliki peran penting dalam mengatur berbagai proses tubuh, termasuk sistem imun. Dalam kondisi normal, kortisol membantu mengendalikan respon peradangan/inflamasi, tetapi pada stres kronis yang berkepanjangan, kadar kortisol yang terus-menerus tinggi dapat menekan fungsi imun melalui beberapa mekanisme, antara lain,
menghambat kinerja imunitas seluler, dimana kadar kortisol yang tinggi menghambat aktivitas sel-sel imun seperti sel limfosit T dan sel Natural Killer (NK), yang bertanggung jawab dalam mengelola infeksi virus dan kanker.

Terjadi pula penurunan produksi sitokin, dimana kortisol tinggi juga mengurangi produksi sitokin pro-inflamasi (seperti IL-1, IL-6, dan TNF-Ξ±) yang penting untuk respon imun adaptif dan bawaan. Kondisi ini menyebabkan respon imun yang melemah terhadap kehadiran patogen.

Meskipun proses radang atau inflamasi yang berlebihan bisa merusak, dan kortisol bertugas menekan respon inflamasi secara keseluruhan, tetapi jika kadarnya berlebihan maka sistem imunmenjadi kurang efisien dalam menangani infeksi dan luka.

Stres kronis~berkepanjangan juga meningkatkan aktivitas sistem syaraf simpatis, yang merupakan bagian dari sistem staraf otonom. Ketika sistem ini diaktifkan, neurotransmitter seperti norepinefrin dan epinefrin dilepaskan. Meskipun neurotransmiter ini membantu mempersiapkan tubuh untuk menghadapi stres melalui peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan aliran darah ke otot, aktivasi yang terus-menerus dapat berdampak negatif pada sistem imun, melalui supresi fungsi limfosit, terutama sel T helper dan sel T sitotoksik, yang penting dalam respon imun terhadap infeksi bakteri dan virus.

Stimulasi berlebih dari sistem simpatis juga menghambat proliferasi sel-sel imun di kelenjar timus dan sumsum tulang, sehingga produksi sel-sel imun baru menurun.

Stres kronis dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara respon inflamasi dan anti-inflamasi. Pada beberapa kasus, kadar kortisol yang terus-menerus tinggi tidak lagi mampu menekan peradangan, sehingga terjadi kondisi peradangan kronis tingkat rendah/ sub liminal. Peradangan ini tidak hanya merusak jaringan tubuh tetapi juga mengganggu fungsi normal dari sistem imun. Peradangan kronis dapat menyebabkan penurunan respon imun adaptif.

Sel-sel imun seperti makrofag dan neutrofil, yang terlibat dalam peradangan, dapat menjadi terlalu aktif dan mulai menyerang jaringan tubuh sendiri, hingga dapat meningkatkan resiko penyakit autoimun.

Pada stres kronis, terjadi gangguan pada sinyal sitokin. Kortisol yang berlebih dan aktivasi simpatis dapat menurunkan produksi sitokin pro-inflamasi (misalnya, IL-1, IL-6, dan TNF-Ξ±), tetapi di sisi lain, juga meningkatkan produksi sitokin anti-inflamasi (seperti IL-10). Ketidakseimbangan ini mengakibatkan tubuh tidak mampu mengatasi ancaman infeksi atau memulihkan diri dengan baik setelah cedera.

Akibatnya berbagai jenis penyakit akan meningkat, klaim BPJS akan bertambah, sementara tingkat produktifitas menurun karena kondisi fisik dan mental yang tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan kreatif dan produktif.

Ujung-ujungnya, orang dengan masalah mental semakin meningkat kuantitasnya, angka kriminalitas dapat saja merangkak naik, dan kualitas psikososial masyarakat akan terdegradasi.

Di titik ini PR Pak Perry dan Bu Anik atau penggantinya akan semakin banyak dan berat. Persoalan yang dihadapi spektrumnya menjadi luas dan dimensi masalahnya menjadi kompleks sekali. Di satu sisi ada ledakan demografi, di sisi lain ada serbuan produk impor di era perdagangan global yang tak lagi dibatasi regulasi proteksi lokal, ada pula penetrasi informasi konsumsi melalui algoritma marketing digital yang menggunakan banyak teknik persuasi sub liminal psikologi, dan overall, daya saing suatu bangsa dapat menurun karena sebagian besar potensi sumber daya manusia nya justru dalam keadaan tidak berdaya, atau terpedaya.

Mari kita bersama rapatkan barisan dan berpikir cerdas, bernas, serta bertindak gegas dengan niat ikhlas, untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang dapat mengakibatkan kualitas ekonomi negeri terdegradasi.

Kita bangkitkan kesadaran dalam memanfaatkan teknologi informasi, melalui program literasi digital terintegrasi dengan pendekatan sistematik dan terstruktur, serta mengakomodasi berbagai metoda persuasi yang sesuai dengan dinamika kondisi yang masih aktif volatil berfluktuasi.

Terapkan kebijakan dalam satu paket yang telah mengakomodir aspek teknologi informasi, kebijakan fiskal, moneter, sektor riil, dan juga social welfare. Bersatulah Mbak Anik dan penggantinya, Pak Perry dan jajarannya, Kepala Bappenas dan para staf ahlinya, serta Pak Budi Arie dan kandidat suksesornya, serta Ahmad Dani, Mulan Jameela, Once Mekel, dan Nafa Urbach serta sejawatnya di legislasi. Mari kita bela bangsa ini dari semua aspek Trias Politica. πŸ™πŸΎπŸ™πŸΎπŸ‡²πŸ‡¨

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts