Tauhid Nur Azhar

ChronoLens Prof Kaku di AMNH

Awal summer 2012, udara hangat New York yang masih menyisakan kesejukan musim semi, menemani perjalananku dari jantung Times Square, menyusuri pedestrian sampai di Columbus Circle dengan melewati stasiun MTA 50 street. Aku berjalan cepat dan melewati apartemen legendaris yang pernah dihuni oleh John Lennon dan Yoko Onno, serta melipir pagar Central Park di pinggir jalan raya Central Park West. 
Tak lama strawberry field terlewati dan aku mulai mencari zebra cross untuk menyeberang di depan New York Historical Society. Dari sudut mata kananku aku sudah melihat beberapa gerobag penjaja shish kebab di dekat area American Museum of Natural History. Salah satu museum yang membuatku selalu rindu akan the Big Apple ini. Tentu tupai-tupai central park yang imut dan usil juga sepiring lamb over rice yang super gurih juga selalu membuatku rindu, tapi AMNH selalu punya pesona yang begitu kuat menarikku untuk selalu singgah ke sana.
Tiket seharga 30 US$ telah kukantongi, dan perlahan sambil menikmati sedikit keriuhan di bawah fosil Barosaurus berleher panjang, aku melenggang. Begitu banyak section di meseum ini yang membuatku betah berlama-lama menikmatinya.
Bahkan toko bukunya saja buatku adalah toko buku yang punya daya goda luar biasa. Di toko buku museum inilah pertama kalinya aku berkenalan dengan Michio Kaku. Tak tanggung-tanggung, 2 buku karya fisikawan tersohor itu saya beli langsung dengan sisa uang jajan yang saya dapatkan dari Microsoft Student Partner, host saya selama di Amerika.
Sebenarnya bukan hanya buku Kaku saja yang saya borong sih, melainkan juga buku super duper keren yang berjudul: Napoleon’s Button karya Jay Burreson dan Penny Le Couteur. Buku terakhir ini dahsyat pisan, berkisah tentang 17 molekul,  termasuk zat aktif buah Pala dari Indonesia, yang mengubah perjalanan peradaban dunia.
Tapi tentu saja seksi alam semesta di AMNH lah pusat dunia kognitif saya, lokasi piknik intelijensia yang sesungguhnya. Hingga pada kunjungan yang kedua saya sempat tertidur di bangku panjang di batas ruang pra sejarah karena lelah mengikuti gejolak euforia yang membuat kaki tak mau berhenti dan meski sudah super lelah, terus dan terus saja melangkah.
Dalam tidur lelap di bangku panjang yang berakibat tiket terusanku dicopet pengunjung lain, aku bahkan sampai bermimpi. Mimpi tentang alat aneh yang langsung dipinjamkan oleh Profesor Michio Kaku yang pada hari itu sedang rehat di AMNH usai mengajar di NYU. Namanya juga mimpi ya.
Profesor Kaku meminjamiku alat yang saat kutanya padanya, itu alat apa? Ia menjawab sambil tertawa, ChronoLens katanya sambil berlalu.
Pesannya, jika malam telah datang, naiklah ke anjungan observasi di salah satu puncak menara AMNH. Gunakan ChronoLens untuk “menonton” alam semesta, katanya. Lalu ia pergi begitu saja.
Tak terasa dalam mimpiku itu, malampun datang menyelimuti AMNH di awal summer yang mulai menghangatkan langit New York yang semakin menua.
Malam di angkasa memang selalu mempesona, tapi malam ini lebih dari itu semua, aku berada di ujung waktu, melihat kembali ke masa lalu melalui lensa kosmis yang diciptakan oleh para ilmuwan masa depan. Ternyata ChronoLens, adalah sebuah mahakarya teknologi kuantum yang memungkinkan kita menyaksikan setiap fase alam semesta, dari ledakan awal hingga detik ini. Seakan Tuhan sendiri memperlihatkan skenario agung tentang perjalanan segala yang ada.
ChronoLens tidak seperti teleskop biasa. Alih-alih hanya melihat cahaya dari masa lalu, alat ini menggunakan prinsip quantum entanglemen  dan distorsi gravitasi untuk menangkap jejak-jejak foton, partikel yang berinteraksi dengan materi dari miliaran tahun yang lalu. Teknologi ini mampu meniru efek rekonstruksi temporal, memungkinkan kita melihat bahkan gerakan dan formasi detail partikel subatomik sejak awal terbentuknya semesta.
Setiap peristiwa besar terekam dengan resolusi sempurna, menghadirkan perjalanan epik alam semesta dalam satu lensa. Dengan ini, perjalanan sejarah tidak lagi menjadi misteri yang tertutup oleh waktu.
Aku mengarahkan ChronoLens pada titik awal, tempat yang kuduga tempat kelahiran semesta. Tempat yang ditandai sebuah ledakan luar biasa, Big Bang, terjadi sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu. Keheningan mendalam menyertai ketika energi yang sangat padat tiba-tiba meledak, menciptakan ruang, waktu, dan materi.
Aku melihat gas-gas primordial, terutama hidrogen dan helium, mulai berkumpul dalam awan raksasa. Bintang pertama terbentuk, begitu besar dan bercahaya hingga kehidupannya pendek, namun mereka menaburkan elemen-elemen yang lebih berat seperti karbon, oksigen, dan besi ketika mereka meledak sebagai supernova.
Beberapa miliar tahun kemudian, aku memperbesar planet kecil yang dikenal sebagai Bumi, terbentuk dari sisa-sisa debu bintang di pinggiran galaksi. Di layar, sekitar 4,5 miliar tahun lalu, Bumi yang baru lahir adalah bola api yang bergolak, dihantam meteor dan asteroid. Tapi seiring waktu, planet ini mulai mendingin, atmosfer terbentuk, dan hujan turun tanpa henti, menciptakan lautan besar yang kelak menjadi tempat lahir kehidupan pertama.
Dan di sinilah misteri besar dimulainya abiogenesis. Bagaimana molekul organik pertama bersatu membentuk kehidupan? Para ilmuwan modern percaya bahwa di dasar lautan purba, di sekitar ventilasi hidrotermal yang panas, terjadi reaksi kimia yang memungkinkan molekul organik sederhana bergabung, membentuk asam amino, protein, dan akhirnya, protocell, organisme bersel tunggal pertama di Bumi.
Aku menyaksikan bagaimana kehidupan awal ini, selama miliaran tahun, berkembang dengan lambat tapi pasti. Organisme-organisme mikroskopis ini berevolusi menjadi bentuk yang lebih kompleks, mengembangkan kemampuan fotosintesis sekitar 2,5 miliar tahun yang lalu. Peristiwa ini dikenal sebagai Great Oxygenation Event, ketika bakteri fotosintetik mulai melepaskan oksigen ke atmosfer, mengubah kondisi lingkungan secara drastis dan memungkinkan kehidupan aerobik untuk berkembang. Di AMNH ada display yang menyajikan stromatolit, kumpulan bakteri purba, para pionir kehidupan di awal kelahiran bumi dan semesta.
Aku mempercepat waktu melalui ChronoLens menuju Era Paleozoikum, sekitar 541 juta tahun yang lalu, di mana ledakan besar biodiversitas terjadi dalam periode yang dikenal sebagai Cambrian Explosion. Organisme multiseluler, dengan kerangka keras, mulai muncul di lautan Bumi. Ikan pertama, arthropoda besar, dan cikal bakal tumbuhan darat berkembang pesat di era ini.
Periode Ordovisium (485 – 443 juta tahun lalu) adalah waktu di mana kehidupan laut mendominasi, dengan ikan beranjak menjadi lebih kompleks. Pada Periode Silur (443 – 419 juta tahun lalu), tanaman darat pertama mulai muncul, yang membawa kita ke Periode Devon (419 – 359 juta tahun lalu), ketika ekosistem darat pertama kali berkembang. Tumbuhan dan ikan semakin berkembang, dan akhirnya, hewan darat pertama, seperti amfibi, mulai bermunculan.
Namun, era kehidupan darat yang benar-benar spektakuler adalah Mesozoikum (252 – 66 juta tahun lalu), zaman kejayaan para reptil raksasa, dinosaurus. Aku mengamati Periode Trias (252 – 201 juta tahun lalu) di mana dinosaurus pertama muncul, bersaing dengan reptil lainnya. Pada Periode Jura (201 – 145 juta tahun lalu), dinosaurus mendominasi daratan, sementara pterosaurus menguasai langit. Dan puncaknya adalah Periode Kapur (145 – 66 juta tahun lalu), ketika Tyrannosaurus rex dan Triceratops berkuasa, dan planet kita dipenuhi oleh padang rumput luas dan pohon-pohon besar. Namun, dominasi ini berakhir tiba-tiba.
Aku menyaksikan asteroid yang menghantam Bumi di akhir Periode Kapur, menyebabkan kepunahan massal besar, membunuh 75% kehidupan di planet ini, termasuk dinosaurus non-avian.
Era Kenozoikum adalah babak selanjutnya, dimulai setelah kehancuran besar 66 juta tahun lalu. Di sini, mamalia, yang sebelumnya hanya makhluk kecil, mulai berevolusi dan menguasai daratan. Periode Paleogen (66 – 23 juta tahun lalu) membawa kita kepada diversifikasi mamalia, sementara dalam Periode Neogen (23 – 2,6 juta tahun lalu), spesies yang lebih besar mulai muncul, termasuk leluhur manusia.
Akhirnya, tiba di Periode Kuarter (2,6 juta tahun lalu – sekarang), ketika makhluk hominid, Homo habilis, mulai menggunakan alat-alat batu sederhana. Perjalanan evolusi makhluk bersel banyak  dari organisme mikroskopis di lautan purba hingga menjadi penguasa ekosistem modern adalah salah satu kisah yang paling dramatis di alam semesta. Aku menyaksikan, dengan takjub, bagaimana kemudian Homo sapiens, dalam kurun waktu hanya sekitar 300.000 tahun, berkembang menjadi spesies dominan yang membangun peradaban, kota, dan akhirnya teknologi canggih yang sekarang memungkinkan kita melihat kembali ke masa lalu.
Aku menutup ChronoLens dengan kesadaran baru—perjalanan hidup tidak hanya dipengaruhi oleh seleksi alam, tetapi juga oleh kekuatan kosmis yang jauh di luar kendali kita. Kehidupan di Bumi hanyalah satu episode dari narasi semesta yang lebih besar, dan masa depan kita, seperti masa lalu kita, selalu dipenuhi oleh misteri yang menunggu untuk diungkapkan.
Tapi ternyata aku enggan untuk bangun dan mendusin, karena sadar sepenuhnya bahwa alam mimpi dapat mewujudkan banyak fantasi yang di dunia nyata sulit untuk direalisasi. Ada masa dan periode yang bagiku masih menyisakan banyak misteri.
Rasa-rasanya dalam mimpiku versi 2, malam telah beranjak semakin kelam, dan aku bagaikan mengalami kondisi OBE alias out of body experience, dimana aku bisa melihat diriku sendiri yang tertidur lelap di bangku panjang ruang rehat di pintu keluar seksi pra sejarah AMNH. Aku yang melayang-layang di antara display Attila the Hun kembali mengaktifkan ChronoLens, kali ini aku memilih untuk berfokus dan mempelajari kembali akhir zaman dinosaurus, zaman Kapur (Cretaceous). Zaman ini adalah era terakhir dari kehidupan megafauna yang perkasa di Bumi. Dinosaurus berkuasa di darat, reptil besar berenang di lautan, dan makhluk terbang raksasa menghiasi langit.
Dunia ini, 145 hingga 66 juta tahun yang lalu, adalah dunia yang penuh dengan kehidupan yang berkembang pesat. Vegetasi mulai berubah, tanaman berbunga pertama kali muncul, dan keanekaragaman flora menjadi lebih kompleks. Benua yang dulunya bersatu dalam massa daratan besar, perlahan mulai terpecah, menciptakan zona ekologis yang berbeda, tempat evolusi spesies berlangsung secara dinamis.
Kamera kuantum dalam ChronoLens menangkap pergerakan lambat lempeng tektonik yang memisahkan superkontinen menjadi dua massa besar: Laurasia di utara dan Gondwana di selatan. Sekitar 175 juta tahun yang lalu, pemisahan Pangea memicu perubahan iklim global yang mempercepat perkembangan kehidupan baru. Perubahan ini bukan hanya fisik, tetapi juga biologis. Berbagai spesies mulai beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda, dari padang rumput subur di Laurasia hingga hutan tropis di Gondwana.
Namun, seperti semua babak sejarah Bumi, setiap kejayaan memiliki akhirnya. Dan akhirnya itu datang dengan ledakan yang luar biasa ketika asteroid besar menghantam Yucatán, Meksiko, sekitar 66 juta tahun yang lalu. Di layar, aku menyaksikan ledakan kosmis ini menghantam permukaan planet. Tabir debu tebal menutupi matahari, memicu bencana iklim global yang menyebabkan suhu turun drastis, menghancurkan ekosistem yang menopang kehidupan dinosaurus. Dinosaurus non-avian, makhluk-makhluk raksasa yang pernah merajai daratan, lenyap dalam hitungan tahun.
Namun, meski ini merupakan akhir dari era dinosaurus, kepunahan massal ini membuka jalan bagi era baru: Era Kenozoikum, zaman di mana mamalia kecil yang bertahan mulai berkembang dan mendominasi planet. Dengan dinosaurus yang telah tiada, mamalia memiliki ruang untuk berkembang lebih besar dan lebih cerdas, memulai perjalanan evolusi yang kelak akan melahirkan Homo sapiens.
ChronoLens ku kembali menampilkan visualisasi spektakuler, aku sekarang meluncur ke periode yang lebih jauh lagi, ketika superkontinen Pangea mulai terbentuk sekitar 335 juta tahun yang lalu. Pangea, massa daratan tunggal yang menghubungkan hampir seluruh Bumi, adalah rumah bagi kehidupan primitif, namun segera mengalami pemisahan yang perlahan mengubah wajah Bumi. Perpecahan Pangea menjadi Laurasia dan Gondwana tidak hanya membentuk geografi dunia modern, tetapi juga memengaruhi iklim global, arus laut, dan pola angin. Semua perubahan ini memaksa spesies di seluruh dunia beradaptasi dengan lingkungan baru, mempercepat proses evolusi.
Saat aku melangkah lebih maju melalui garis waktu, aku tiba di era prasejarah manusia. ChronoLens mengungkap pemandangan yang tidak kalah epik. Periode Paleolitikum dimulai sekitar 2,5 juta tahun yang lalu, ketika Homo habilis, hominid yang merupakan kerabat primata, mulai menggunakan alat batu sederhana untuk berburu dan bertahan hidup.
Dalam kesunyian dunia purba ini, aku menyaksikan bagaimana hominid prasejarah berkembang dari sekadar pemburu-pengumpul menjadi makhluk yang cerdas dan adaptif. Api ditemukan, alat-alat semakin kompleks, dan Homo erectus mulai menjelajahi Afrika, Asia, dan Eropa.
Lompatan besar berikutnya dalam sejarah manusia datang sekitar 10.000 SM, ketika manusia (Homo sapiens) mulai meninggalkan cara hidup nomaden. Revolusi Neolitikum dimulai; manusia mulai bercocok tanam dan beternak, menciptakan masyarakat yang lebih stabil dan terstruktur. Aku bisa melihat di layar ChronoLens, pemukiman-pemukiman pertama mulai terbentuk, di mana desa-desa kecil berkembang di sepanjang sungai besar seperti Tigris, Eufrat, dan Nil. Revolusi pertanian ini memungkinkan munculnya kota-kota pertama, tempat keahlian seperti tembikar, tenun, dan pembuatan logam mulai berkembang. Ini adalah fondasi dari peradaban besar.
Aku kemudian mempercepat dengan fitur fast forward, kehadiran Peradaban Mesopotamia, yang muncul di sekitar 3.500 SM, di antara Sungai Tigris dan Eufrat. Dalam cahaya remang-remang dari layar ChronoLens, aku menyaksikan kota-kota seperti Uruk dan Babilonia muncul dengan arsitektur batu bata yang besar, ziggurat, dan tulisan paku pertama. Mesopotamia adalah tempat kelahiran hukum pertama (Kode Hammurabi) dan tulisan, dua tonggak yang mengubah cara manusia berinteraksi dan menciptakan peradaban. Tidak lama setelah itu, Peradaban Mesir Kuno terbentuk di lembah Sungai Nil, terkenal dengan piramida, kuil besar, dan para firaun yang dianggap sebagai dewa di Bumi.
Aku menelusuri lebih jauh, menyaksikan naik turunnya peradaban besar lain seperti Peradaban Lembah Indus yang maju dalam arsitektur kota dan sistem drainase, Peradaban Tiongkok Kuno yang menciptakan inovasi-inovasi besar seperti kertas, kompas, dan mesiu, serta Peradaban Yunani Kuno yang melahirkan filsuf-filsuf besar yang memengaruhi pemikiran dunia hingga kini.
Dengan kecepatan waktu yang di fast forward, aku melewati Kerajaan Romawi, yang dikenal karena sistem hukum dan militernya yang luar biasa, serta Kebangkitan Islam yang memicu Zaman Keemasan dalam ilmu pengetahuan, kedokteran, dan matematika.
Peradaban Eropa Abad Pertengahan datang dengan gelombang peperangan dan kebangkitan kembali gerakan kebudayaan melalui Renaisans, lalu berlanjut ke Revolusi Industri yang mengubah segalanya; dari cara manusia bekerja hingga cara kita hidup di kota-kota besar.
Dan akhirnya, layar ChronoLens menampilkan Peradaban Modern, di mana teknologi digital, internet, dan kecerdasan artifisial alias Akal Imitasi telah mengubah peradaban manusia ke tingkat yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya. Aku berhenti sejenak untuk merenung, kecepatan evolusi teknologi ini mengingatkan bahwa meskipun kita adalah bagian dari sejarah panjang, kita hanya berada di permulaan dari sesuatu yang lebih besar.
Perjalanan ini belum berakhir, dan dengan ChronoLens, aku tahu bahwa masa depan pun menunggu untuk diungkapkan. Setiap detik yang berlalu hanya membuka lebih banyak misteri untuk dijelajahi, baik dari masa lalu yang terkubur jauh, maupun masa depan yang belum terbayangkan.
Tidurku yang berakhir, sorot senter serta bentakan petugas security AMNH membangunkanku. What R U doing here? Tatap galak seorang petugas afro-amerika yang bertubuh super besar, seolah mengulitiku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ia melakukannya dengan sikap siaga, khas pensiunan tentara. Jika aku tak segera menjelaskan, tampaknya ia akan segera menghubungi NYPD untuk menyeretku ke kantor polisi, gawat bukan?
Walhasil setelah berusaha menjelaskan sebisa mungkin dan penuh kesulitan karena tidak adanya bukti berupa tiket terusan yang kemungkinan besar dicopet pengunjung lain, karena dengan tiket itu banyak fasilitas yang tidak bisa didapatkan dari pembelian tiket reguler,bisa diakses oleh pemegangnya; akhirnya sayapun dibebaskan setelah bisa menunjukkan undangan dari *lMicrosoft Student Partner yang untungnya tersimpan di piranti seluler, Windows Phone.
Dalam perjalanan pulang ke hotel JW Marriott, saya sempatkan berhenti sejenak di salah satu bangku taman Central Park, sambil menatap langit malam New York yang bertabur bintang, aku menghembuskan nafas panjang, dan kembali merenungi kilas balik perjalanan bersama chronolens Prof Kaku barusan. Semesta ini memang dipenuhi tanda tanya bagi mereka-mereka yang terlahir untuk mencari jawaban 🙏🏾🩵🇲🇨
Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts