Tauhid Nur Azhar

Digital Leader

“A genuine leader is not a searcher for consensus but a molder of consensus.” —the Rev. Martin Luther King Jr.

Melihat dan merasakan dinamika organisasi bisnis maupun birokrasi dan juga lembaga nirlaba belakangan ini, rasanya sudah banyak hal dan nilai yang berubah. Pandemi utamanya, menjadi pemantik perubahan modal kerja yang kini lebih berorientasi pada hasil dan produktifitas dengan proses yang dapat dikontrol hampir sepenuhnya oleh teknologi.

Saya jadi teringat cerita seorang sahabat, mantan murid tepatnya, yang pasangannya dinyinyiri tetangga, karena dikira pengangguran tapi hidup tetap foya-foya. “Makan uang warisan orang tua ya?” Andaipun benar, bukankah itu hak mereka juga ya? Terlebih faktanya tidak seperti yang banyak diduga. Pasangan itu adalah generasi milenial yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang mungkin akan sulit dibayangkan bagi mereka yang menduga pasangan itu hanya berleha-leha di rumah saja.

Pekerjaan berbasis teknologi digital dalam bingkai teknologi informasi memang tak lagi menuntut keberadaan fisik sebagai prasyarat. Mengapa? Karena telah banyak tersedia platform digital co-working space yang memungkinkan kita bekerja dari mana saja dan kapan saja.

Bahkan sebagian dari kita mungkin sudah pernah mendengar istilah digital nomad bukan? Kaum pekerja kembara yang menyelesaikan tugas-tugas profesionalnya sembari menikmati keindahan dan eksotika daerah-daerah yang mungkin terpisah ribuan kilo dari kantor tempatnya bekerja.

Tentu bukan perkara mudah untuk mengelola, memimpin, dan mengkatalisa proses transformasi suatu organisasi yang terdiri dari entitas multi disiplin dengan keberadaan fisik yang nyaris tak diketahui. Eksistensi by proxy mulai banyak dipraktekkan dalam berbagai bentuk akun dan avatar terotentifikasi, serta mulai diterimanya pragmatisme untuk menerima hasil tanpa terlalu bertumpu pada presensi atau kehadiran fisik. Adapun kualitas program dijaga dengan mengetatkan mekanisme pengendalian dan pengawasan. Antara lain dengan aplikasi monitoring dan platform induk yang dapat mengintegrasikan berbagai hasil kerja yang terdistribusi di anggota tim yang tersebar dalam konteks geolokasi.

Di tengah lanskap organisasi yang terus berubah, leadership atau kepemimpinan menjadi elemen penting yang menggerakkan pencapaian tujuan. Dalam skala apa pun, baik organisasi kecil maupun besar, peran seorang pemimpin menentukan arah dan hasil akhir. Maka, pengembangan kemampuan kepemimpinan menjadi kebutuhan mutlak bagi para profesional yang ingin beradaptasi dengan kompleksitas dinamika bisnis saat ini.

Kepemimpinan adalah seni mempengaruhi individu atau kelompok untuk bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Northouse (2018) mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses pengaruh yang diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Ini berarti bahwa seorang pemimpin tidak hanya bertugas memandu jalannya organisasi, tetapi juga menciptakan sinergi yang kuat antara anggota tim. Pemahaman ini semakin diperkuat oleh Yukl (2012), yang menekankan pentingnya peran pemimpin dalam memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan.

Efektivitas kepemimpinan berkaitan erat dengan motivasi, inovasi, dan produktivitas. Menurut Bass & Riggio (2006), pemimpin yang efektif mampu menginspirasi tim untuk melampaui ekspektasi. Mereka tak hanya menjadi panutan, tetapi juga menciptakan suasana kerja yang kondusif bagi pengembangan potensi individu. Transformational leadership, misalnya, terbukti mampu mendorong peningkatan kinerja organisasi serta kepuasan kerja karyawan (Judge & Piccolo, 2004). Namun, untuk menjadi pemimpin yang baik, ada sejumlah karakteristik yang harus dipenuhi, seperti integritas, visi, empati, dan kemampuan pengambilan keputusan yang tepat.

Dalam perjalanannya, teori-teori kepemimpinan terus berkembang seiring perubahan zaman. Di antara model-model klasik, teori sifat (trait theory) dan teori perilaku (behavioral theory) menjadi landasan bagi pemahaman awal tentang kepemimpinan. Teori sifat, yang menekankan pentingnya karakteristik bawaan seperti kecerdasan dan karisma, menjadi fondasi untuk membedakan pemimpin yang unggul dari yang lain (Northouse, 2018). Meski begitu, pendekatan ini mendapat kritik karena kurang mempertimbangkan faktor situasional.

Sementara itu, teori perilaku yang dikembangkan oleh Lewin, Lippitt, dan White (1939) menyoroti peran penting dari gaya kepemimpinan, seperti kepemimpinan demokratis, otoriter, dan laissez-faire. Penelitian di Ohio State University dan University of Michigan pada 1950-an lebih lanjut mengidentifikasi dua dimensi utama perilaku kepemimpinan, yakni initiating structure (berorientasi pada tugas) dan consideration (berorientasi pada hubungan). Pendekatan ini mengedepankan bahwa perilaku kepemimpinan dapat dipelajari dan diterapkan, memberikan ruang bagi mereka yang bukan pemimpin alami untuk mengembangkan diri.

Namun, di era digital menuntut pendekatan yang lebih dinamis. Kepemimpinan transformasional dan situasional kini menjadi model yang paling banyak diadopsi. Kepemimpinan transformasional, menurut Bass (1985), melibatkan kemampuan pemimpin untuk memotivasi pengikut guna melampaui kepentingan pribadi mereka dan berfokus pada tujuan bersama. Sementara itu, kepemimpinan situasional menekankan pentingnya fleksibilitas pemimpin dalam menghadapi beragam kondisi organisasi (Hersey & Blanchard, 1969). Pemimpin yang sukses adalah mereka yang mampu menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan situasi dan kebutuhan pengikut.

Mengembangkan kapasitas dan kemampuan kepemimpinan (masa depan) bukanlah hal instan. Goleman, Boyatzis, & McKee (2013) menggarisbawahi pentingnya self-awareness, atau kesadaran diri, sebagai langkah awal dalam pengembangan kepemimpinan. Seorang pemimpin perlu memahami kekuatan dan kelemahannya, nilai-nilai yang dianut, serta keyakinan yang mendasari tindakannya. Dengan kesadaran ini, pemimpin dapat mengasah keterampilan yang diperlukan melalui pelatihan, mentoring, dan studi kasus.

Pengalaman juga menjadi guru terbaik dalam proses pengembangan kepemimpinan. Kolb (1984) menekankan bahwa keterampilan kepemimpinan dapat dipelajari dan ditingkatkan melalui penerapan nyata dalam berbagai situasi. Ini berarti bahwa seorang pemimpin harus terbuka terhadap umpan balik, terus belajar, dan berani mengambil risiko untuk berkembang.

Di era globalisasi dan teknologi yang semakin canggih, kebutuhan akan pemimpin yang visioner, adaptif, dan inklusif semakin mendesak. Pemimpin masa depan harus mampu memadukan kecerdasan emosional dengan kecerdasan strategis, serta memprioritaskan pemberdayaan timnya. Lebih dari sekadar memimpin, mereka harus menjadi inspirator dan penggerak perubahan yang berkelanjutan.

Kepemimpinan di dunia kerja saat ini yang telah banyak dipengaruhi perkembangan teknologi informasi dan digital, semakin kompleks dan dinamis. Kondisi disruptif ini menuntut para pemimpin untuk memiliki pendekatan yang lebih adaptif dan strategis dalam melacak kinerja, mengembangkan potensi, menciptakan kolaborasi yang efektif, serta meningkatkan motivasi tim. Berdasarkan teori kepemimpinan terkini, berikut adalah panduan praktis bagi pemimpin untuk menghadapi tantangan di era digital saat ini; dengan konsideran adanya pola dan lokasi kerja yang bergantung pada preferensi personal para pekerja.

How Can I Track My Team’s Performance?

Melacak kinerja tim secara efektif adalah langkah penting dalam memastikan pencapaian tujuan organisasi. Menurut teori Management by Objectives (MBO) yang diperkenalkan oleh Peter Drucker, kinerja tim dapat dipantau melalui penetapan tujuan spesifik yang terukur, relevan, dan berbasis waktu (SMART Goals). Pemimpin harus secara berkala meninjau capaian tim terhadap tujuan tersebut dan memberikan umpan balik yang konstruktif.

Selain itu, dalam konteks modern, Key Performance Indicators (KPI) dan OKRs (Objectives and Key Results) merupakan alat yang efektif untuk melacak kinerja secara kuantitatif. KPI memberikan tolok ukur kinerja spesifik untuk masing-masing anggota tim atau proyek, sementara OKRs membantu menghubungkan tujuan yang lebih luas dengan langkah-langkah konkret.

Untuk pemantauan yang lebih komprehensif, pemimpin dapat memanfaatkan teknologi, seperti perangkat lunak manajemen proyek (Trello, Asana) dan aplikasi analitik kinerja (Google Analytics, Power BI) untuk memvisualisasikan progres. Dengan transparansi data ini, pemimpin bisa dengan mudah melacak kinerja individu maupun tim secara real-time.

How Can I Help My Team Reach Their Full Potential?

Membantu tim mencapai potensi penuh membutuhkan pemahaman mendalam tentang kemampuan individu dan tim, serta strategi pengembangan yang tepat. Berdasarkan teori Transformational Leadership oleh Bass & Riggio, pemimpin yang efektif mampu menginspirasi anggota tim untuk melampaui ekspektasi melalui pemberdayaan dan pengembangan personal.

Langkah pertama adalah mengidentifikasi kekuatan dan area yang perlu ditingkatkan melalui evaluasi yang mendalam. Penggunaan metode 360-degree feedback sangat direkomendasikan, karena memungkinkan anggota tim menerima umpan balik dari berbagai perspektif, termasuk rekan sejawat, atasan, dan bawahan. Setelah itu, pemimpin dapat menetapkan rencana pengembangan yang dipersonalisasi untuk setiap anggota, misalnya melalui pelatihan, mentoring, atau tugas yang lebih menantang.

Teori Situational Leadership oleh Hersey dan Blanchard juga relevan di sini. Pemimpin harus menyesuaikan gaya kepemimpinan mereka dengan tingkat kesiapan dan kompetensi anggota tim. Bagi anggota tim yang masih dalam tahap belajar, pemimpin perlu memberikan arahan lebih detail. Namun, untuk anggota yang lebih berpengalaman, delegasi dan pemberian tanggung jawab yang lebih besar akan membantu mereka tumbuh.

What Does a Collaborative Workplace Look Like?

Tempat kerja yang kolaboratif adalah lingkungan di mana keterbukaan, kerjasama, dan komunikasi yang sehat menjadi landasan utama. Teori Shared Leadership menekankan bahwa kepemimpinan yang efektif tidak hanya terpusat pada satu individu, tetapi bisa dibagi di antara anggota tim sesuai dengan kompetensi masing-masing.

Kolaborasi dalam tim sering kali diukur dari seberapa baik anggota saling mendukung dan berbagi informasi untuk mencapai tujuan bersama. Untuk menciptakan tempat kerja yang kolaboratif, pemimpin harus mendorong praktik cross-functional teams, di mana anggota dari berbagai latar belakang dan keahlian bekerja bersama dalam proyek yang sama. Hal ini memperkuat sinergi antara ide-ide yang beragam dan mendorong inovasi.

Ciptakan ruang kerja fisik atau virtual yang mendukung kolaborasi, seperti menggunakan collaborative tools (Slack, Microsoft Teams, Google Workspace). Lingkungan kerja yang kolaboratif juga bergantung pada budaya organisasi yang terbuka terhadap diskusi dan ide-ide baru. Pemimpin harus mendorong komunikasi yang jujur dan mendorong anggota tim untuk aktif berbagi wawasan dan masukan.

How to Boost Team Motivation in Today’s Work Environment?

Memotivasi tim di era kerja modern yang penuh tantangan, terutama dengan adanya tren kerja jarak jauh (remote work) dan hybrid, membutuhkan pendekatan baru yang lebih fleksibel dan empatik. Berdasarkan teori Self-Determination Theory (Deci & Ryan, 1985), motivasi intrinsik—yakni dorongan untuk melakukan sesuatu karena hal itu memuaskan secara internal, lebih kuat daripada motivasi ekstrinsik seperti bonus atau penghargaan.

Untuk meningkatkan motivasi tim, pemimpin harus fokus pada tiga elemen kunci motivasi intrinsik, yaitu: autonomy, competence, dan relatedness. Memberikan otonomi lebih besar kepada anggota tim dalam pengambilan keputusan dan cara mereka bekerja akan meningkatkan rasa kepemilikan mereka terhadap tugas. Memberikan kesempatan pengembangan keterampilan melalui pelatihan atau proyek baru juga akan menumbuhkan rasa kompetensi. Terakhir, pemimpin perlu memperkuat rasa kebersamaan dan hubungan interpersonal yang erat di antara anggota tim.

Selain itu, teori Goal-Setting (Locke & Latham, 1990) menunjukkan bahwa menetapkan tujuan yang jelas, menantang, tetapi realistis, dapat meningkatkan motivasi karyawan. Pemimpin harus bekerja sama dengan tim untuk merumuskan tujuan yang bermakna dan relevan, serta memberikan apresiasi atas pencapaian yang dilakukan.

Sekurangnya ada lima keterampilan kritis yang menjadi fondasi bagi setiap pemimpin yang efektif. Keterampilan-keterampilan ini didukung oleh berbagai teori kepemimpinan yang telah berkembang selama bertahun-tahun.

Berikut adalah lima keterampilan kritis kepemimpinan beserta teori yang mendasarinya:

Komunikasi Efektif, suatu kemampuan untuk menyampaikan informasi secara jelas, ringkas, dan persuasif, baik secara lisan maupun tulisan. Pemimpin yang efektif mampu mendengarkan secara aktif, memberikan umpan balik yang konstruktif, dan membangun hubungan interpersonal yang kuat.

Menurut teori Path-Goal (Robert House):, pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menjelaskan tujuan, menghilangkan hambatan, dan memberikan dukungan agar bawahan termotivasi mencapai tujuan. Komunikasi yang jelas sangat penting dalam proses ini.

Sedangkan jika kita mengacu kepada teori Leader-Member Exchange (LMX): Kualitas komunikasi mempengaruhi hubungan antara pemimpin dan bawahan. Komunikasi yang terbuka dan efektif membangun kepercayaan dan rasa saling menghormati, yang mendukung kinerja tim yang lebih baik.

Pengambilan Keputusan Strategis (Strategic Decision Making), yaitu suatu kemampuan untuk menganalisis informasi, mengidentifikasi masalah, mengembangkan solusi alternatif, dan membuat keputusan yang tepat waktu dan efektif. Pemimpin yang efektif mempertimbangkan dampak jangka panjang dari keputusan mereka dan berani mengambil risiko yang terukur.

Jika mengacu kepada teori Contingency (Fiedler), maka tidak ada satu gaya kepemimpinan pun yang efektif dalam semua situasi. Pemimpin harus mampu menyesuaikan gaya kepemimpinan mereka dengan situasi yang dihadapi, termasuk dalam proses pengambilan keputusan.

Ada pula teori Normatif (Vroom-Yetton-Jago), di mana model ini memberikan kerangka kerja bagi pemimpin untuk memilih tingkat partisipasi bawahan dalam proses pengambilan keputusan, bergantung pada situasi dan jenis keputusan yang harus dibuat.

Kemampuan untuk mengartikulasikan visi yang menarik dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama adalah ciri dari seorang pemimpin visioner yang realistik. Pemimpin yang visioner mampu menciptakan rasa tujuan dan semangat dalam tim.

Teori yang mendasarinya, sudah cukup banyak kita bahas di atas, yaitu, teori Transformasional (Burns dan Bass). Dimana menurut teori ini, pemimpin transformasional adlaah pemimpin yang dapat menginspirasi timnya melalui visi, kharisma, dan stimulasi intelektual. Mereka mendorong tim untuk melampaui kepentingan pribadi demi mencapai tujuan bersama yang lebih besar.

Teori Karismatik (House): Pemimpin karismatik memiliki daya tarik personal yang kuat, menunjukkan keyakinan diri, dan menginspirasi pengikut mereka melalui visi dan komunikasi yang persuasif.

Ketrampilan mandatori keempat adalah kemampuan untuk membangun integritas dan etika. Kepemimpinan yang etis didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang kuat, kejujuran, keadilan, dan rasa tanggung jawab. Pemimpin yang berintegritas menjunjung tinggi nilai-nilai ini dalam setiap tindakan dan keputusan mereka, dan menjadi teladan bagi orang lain.

Teori yang nendasari konsep tersebut antara lain adalah teori servant leadership (Greenleaf). Dibmana dalam teori tersebut dinyatakan bahwa pemimpin model servant akan mendahulukan kebutuhan orang lain, termasuk bawahan/tim, pelanggan, dan komunitas. Mereka berfokus pada pertumbuhan dan kesejahteraan orang lain, dan menciptakan lingkungan kerja yang positif dan mendukung.

Lalu dapat pula digunakan teori Kepemimpinan Autentik (Avolio dan Gardner), di mana dalam teori tersebut didefinisikan bahwa pemimpin autentik adalah diri mereka sendiri, bertindak sesuai dengan nilai-nilai mereka, dan menunjukkan konsistensi antara kata-kata dan perbuatan. Mereka membangun kepercayaan melalui transparansi dan keaslian.

Ketrampilan kelima yang perlu dimilimi oleh seorang pemimpin masa depan adalah kemampuan untuk pengembangan tim dan setiap individu di dalamnya.

Kemampuan untuk memberdayakan, memotivasi, dan mengembangkan potensi anggota tim. Pemimpin yang efektif menciptakan budaya belajar, memberikan pelatihan dan mentoring, serta mendorong pertumbuhan pribadi dan profesional.

Teori yang mendasari konsep tersebut antara lain adalah, Teori X dan Y (McGregor), di mana teori ini menggambarkan dua pandangan yang berbeda tentang motivasi karyawan. Pemimpin yang efektif mengadopsi pendekatan Teori Y, yang mengasumsikan bahwa karyawan pada dasarnya termotivasi dan ingin berkontribusi.

Lalu ada teori Harapan/hope (Vroom), dimana teori ini menjelaskan bagaimana individu termotivasi oleh harapan bahwa upaya mereka akan menghasilkan kinerja yang baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan hasil yang diinginkan. Pemimpin dapat meningkatkan motivasi dengan menetapkan tujuan yang jelas, memberikan dukungan, dan menawarkan penghargaan.

Dan mungkin sebagai teori pamungkas, atau tepatnya premis, yang saya ajukan di akhir tulisan sebagai embrio hipotesis yang masih harus dibuktikan dengan penelitian bermetodologi agar sahih secara akademis, pemimpin yang adaptif, asertif, arif, dengan kapasitas diri wasis-winasis, waskita atau cerdas-mencerdaskan dan bijaksana yang berkonotasi dengan berwawasan luas, dan berilmu mendalam serta mengenal dirinya dengan baik hingga dapat mendelivery values selaras dengan nilai inti yang diyakini, akan selalu dapat berselancar dan menjadi enzim katalis transformatif bagi setiap kondisi, termasuk situasi dimana gelombang teknologi datang sebagai badai disrupsi. Bahkan badai itu dapat dijadikannya sumber energi.

Merekalah para pemimpin muda yang akan menjadi legenda di setiap periode zamannya 🙏🏾🇲🇨

Bahan Bacaan Lanjut

1. Bass, B. M., & Riggio, R. E. (2006). Transformational Leadership (2nd ed.). Lawrence Erlbaum Associates.

2. Blanchard, K. H., & Hersey, P. (1982). Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources (4th ed.). Prentice Hall.

3. Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior. Plenum Press.

4. Drucker, P. F. (1954). The Practice of Management. Harper & Row.

5. Locke, E. A., & Latham, G. P. (1990). A Theory of Goal Setting and Task Performance. Prentice Hall.

6. Hackman, J. R., & Wageman, R. (2007). A Theory of Team Coaching. Academy of Management Review, 30(2), 269-287.

7. Yukl, G. (2013). Leadership in Organizations (8th ed.). Pearson.

8. Northouse, P. G. (2021). Leadership: Theory and Practice (9th ed.). Sage Publications.

9. Goleman, D. (2000). Leadership that Gets Results. Harvard Business Review, 78(2), 78-90.

10. Pearce, C. L., & Conger, J. A. (Eds.). (2003). Shared Leadership: Reframing the Hows and Whys of Leadership. Sage Publications.

11. Katzenbach, J. R., & Smith, D. K. (1993). The Wisdom of Teams: Creating the High-Performance Organization. Harvard Business School Press.

12. Lencioni, P. (2002). The Five Dysfunctions of a Team: A Leadership Fable. Jossey-Bass.

13. Pink, D. H. (2009). Drive: The Surprising Truth About What Motivates Us. Riverhead Books.

14. Edmondson, A. (2012). Teamwork on the Fly. Harvard Business Review, 90(4), 72-80.

15. Senge, P. M. (1990). The Fifth Discipline: The Art & Practice of the Learning Organization. Doubleday.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts