Nobel yang Mengawinkan Bioteknologi dan AI
Riuh rendah para akademisi dan insan cendekia dalam menyambut penganugerahan hadiah Nobel terus menyebar di media sosial. Berbagai bentuk apresiasi sampai utas referensi terkait karya para peneliti dibagikan dan dapat bersama kita pelajari. Demikianlah salah satu keunggulan di era informasi ini.
Grup WA Kolaborasi AI heboh karena AlphaFold yang tergolong invensi berusia muda alias kekinian sudah masuk dalam catatan emas torehan anugerah Nobel.
Penghargaan Nobel sendiri merupakan penghargaan internasional yang diberikan kepada para pemenang dan lembaga yang berafiliasi dengan mereka. Penghargaan ini diinisiasi berdasarkan wasiat Alfred Bernhard Nobel, seorang ilmuwan dan penemu bahan peledak dinamit asal Swedia.
Alfred Nobel memerintahkan dalam surat wasiatnya pada tahun 1895 agar sebagian besar kekayaannya disisihkan untuk memberikan lima hadiah tahunan.
Penghargaan Nobel pertama dianugerahkan pada tanggal 10 Desember 1901, hari peringatan lima tahun meninggalnya Nobel. Penghargaan Nobel diberikan dalam kategori fisika, kimia, fisiologi atau kedokteran, sastra, dan perdamaian.
Nama calon penerima penghargaan biasanya diumumkan pada bulan Oktober oleh komite dan institusi yang berwenang. Sementara upacara penghargaan dan penganugerahannya sendiri diadakan di auditorium konser Stockholm sejak tahun 1926. Dimana pada upacara tersebut, pemenang menerima medali, diploma, dan hadiah uang tunai
Pada edisi tahun 2024, penghargaan Nobel bidang kimia dan fisiologi amat menarik bagi saya, karena saling berkelindan dalam hal subjek dan objek penelitiannya yang berfokus pada gen, miRNA, dan protein. Plus hadirnya AI alias kecerdasan artifisial tentu saja menjadikan penghargaan Nobel tahun ini menjadi begitu seksi.
Karya-karya yang tahun ini mendapat anugerah Nobel di bidang kimia dan fisiologi menjadi amat relate dengan saya, karena dalam 2-3 pekan terakhir kok pas sedang sering benar asyik masyuk berdiskusi di bidang yang sangat dekat dengan gen, miRNA, asam amino, dan struktur protein.
Topik yang sedang khusyu’ saya pelajari dengan ngangsu kawruh pada para sepuh alias gegedug atawa jawara biologi molekuler dan AI itu antara lain adalah tentang berbagai metoda diagnostik dan deteksi dini berbasis teknik bioteknologi seperti RT-PCR HRM dan DNA Microarray. Juga soal radiofarmaka dan pemeriksaan berbasis fisika: PET Scan.
Arahnya kemana? Tentu saja precision medicine, targeted therapy, dan peningkatan kualitas kesehatan manusia melalui pendekatan seperti nutrigenomik dan psikogenomik bukan?
Maka terobosan inovatif di bidang yang mengintegrasikan pemanfaatan teknologi AI dengan ilmu biologi struktural, bagi saya adalah suatu breakthrough yang luar biasa. Tak dapat dipungkiri, penelitian protein memang telah memasuki era baru dengan diperkenalkannya kecerdasan artifisial (AI) dalam analisis dan prediksi struktur protein.
Tahun ini, 2024, Nobel Kimia diberikan kepada David Baker, Demis Hassabis, dan John Jumper atas kontribusi mereka yang revolusioner dalam riset protein. Karya mereka menandai titik balik dalam biokimia modern, terutama dalam kemampuan untuk memodelkan dan merancang protein dengan presisi yang belum pernah tercapai sebelumnya.
AI, khususnya melalui platform seperti AlphaFold yang dikembangkan oleh Jumper dan Hassabis di Google DeepMind, telah mengubah cara para ilmuwan memahami dan memprediksi struktur tiga dimensi protein, yang merupakan kunci dalam memahami fungsinya.
AlphaFold telah mendemonstrasikan potensi AI dalam mengatasi masalah prediksi struktur protein yang sudah lama menjadi tantangan dalam riset biologi struktural. Protein, sebagai molekul biologis yang sangat dinamis, memiliki urutan asam amino yang menentukan bagaimana mereka melipat menjadi bentuk tiga dimensi. Namun, hingga kini, memprediksi bentuk lipatan ini dari urutan asam amino saja merupakan tugas yang teramat sulit, memerlukan eksperimen dan alat laboratorium yang memakan waktu dan mahal seperti _kristalografi sinar-X atau spektroskopi NMR.
AlphaFold mengatasi tantangan ini dengan memanfaatkan jaringan deep neural networks untuk memprediksi struktur protein dengan akurasi yang sangat tinggi. Model ini dilatih menggunakan data dari ribuan protein yang strukturnya diketahui, serta prinsip-prinsip fisika dan biologi molekuler. Hasilnya, AlphaFold mampu memprediksi struktur dengan presisi sub-angstrom, yang membuka banyak kemungkinan baru dalam bidang riset farmasi, bioteknologi, dan kesehatan.
David Baker, melalui berbagai risetnya di University of Washington, telah memperluas penggunaan AI untuk merancang protein baru. Pada tahun 2003, kelompok riset Baker memulai pendekatan inovatif dalam mendesain protein untuk aplikasi spesifik, seperti obat-obatan, vaksin, dan nanomaterial.
Melalui platform Rosetta, Baker dan timnya menggunakan pendekatan computational design yang memungkinkan mereka merancang protein yang tidak hanya dapat memprediksi fungsi, tetapi juga menciptakan struktur yang belum ada di alam.
Kehadiran AI telah memungkinkan peningkatan efisiensi dan skala dalam penelitian ini. Model AI yang digunakan dalam desain protein memperhitungkan interaksi kompleks antar residu asam amino, memungkinkan perancangan protein yang stabil dan fungsional dengan potensi terapeutik yang tinggi. Sebagai contoh, protein yang dirancang untuk mengikat target spesifik dalam sel dapat digunakan untuk mengembangkan terapi yang lebih efektif dan personal.
Peran AI dalam riset protein tidak hanya terbatas pada prediksi struktur dan desain protein saja, tetapi juga pada analisis data biologis dalam skala besar. Bioinformatika, bidang yang berfokus pada pengolahan data biologis, dapat menggunakan algoritma dan model AI tertentu, hingga dapat menganalis nerbagai data sandapan dari berbagai sistem biologi.
Penggabungan data genomik, proteomik, dan interaksi molekuler memungkinkan AI untuk mengenali pola yang tidak terlihat oleh metode konvensional. Dalam hal ini, AI tidak hanya berfungsi sebagai alat prediksi, tetapi juga sebagai alat eksplorasi yang dapat mengidentifikasi jalur biokimia baru, protein yang berperan dalam penyakit tertentu, dan potensi target terapeutik.
Data protein yang dihasilkan melalui eksperimen skala besar seperti cryo-EM atau proteomik berbasis spektrometri massa, sering kali sangat kompleks. Analisis secara manual bisa memakan waktu bertahun-tahun, tetapi dengan algoritma AI yang terus disempurnakan, proses ini dapat dilakukan dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan akurasi yang lebih baik.
Sebagai contoh, AI dapat digunakan untuk menganalisis data mutasi protein dalam konteks penyakit genetik, sehingga memungkinkan identifikasi penyebab penyakit dan pengembangan terapi gen yang lebih efektif.
AlphaFold yang dikembangkan oleh Google DeepMind memainkan peran kunci dalam memahami struktur protein dengan prediksi yang berakurasi tinggi. Hal ini merupakan potensi besar dalam pengembangan targeted therapy, sebuah pendekatan terapi medis yang dirancang untuk menargetkan sel-sel spesifik berdasarkan profil molekuler uniknya. Dimana targeted therapy adalah bagian dari konsep kedokteran presisi yang berfokus pada personalisasi pengobatan berdasarkan karakteristik individu, termasuk profil genetik, lingkungan, dan gaya hidup.
Terapi presisi tentulah diharapkan akan menghasilkan peningkatan efektivitas pengobatan dan tereduksinya efek samping yang tidak diharapkan serta dampak ekonomi dan sosial yang signifikan. Dengan teknologi yang telah berkembang saat ini, dapat dirancang regime terapi dan obat-obatan yang dapat tepat sasaran dan punya efek terapeutik adekuat.
Proses pengembangan obat dalam targeted therapy sendiri dimulai dengan identifikasi target molekuler yang terkait dengan penyakit tertentu. Pada tahap ini, AlphaFold berkontribusi besar, terutama dalam hal memprediksi struktur protein target dengan resolusi tinggi. Setelah struktur protein ditentukan, proses berikutnya melibatkan desain molekul kecil atau biologi sintetik yang dapat mengikat dan memodulasi aktivitas protein tersebut.
Protein yang berperan dalam patologi penyakit, seperti protein kinase atau reseptor membran, sering kali menjadi target utama dalam pengembangan terapi. AlphaFold dapat membantu dengan memprediksi struktur dari protein-protein tersebut, terutama yang belum pernah diklasifikasikan struktur sebelumnya melalui eksperimen.
Dengan struktur protein yang diprediksi oleh AlphaFold, para ilmuwan dapat memulai proses desain molekul pengikat (ligand) yang tepat. Molekul-molekul obat ini dirancang untuk mengikat situs aktif atau situs alosterik pada protein target, dan mengganggu fungsi abnormalnya. AlphaFold memberikan panduan mengenai potensi interaksi antara ligan dan residu asam amino dalam protein target, sehingga mempermudah pengembangan obat dengan afinitas yang lebih baik.
Setelah prediksi dan desain molekul pengikat dilakukan, langkah berikutnya adalah validasi in vitro atau ‘in vivo. AlphaFold memungkinkan prediksi yang sangat akurat, sehingga mempercepat proses validasi dengan meminimalisir kebutuhan akan eksperimen struktur yang mahal, seperti kristalografi sinar-X atau spektroskopi NMR.
Dalam konteks kanker, banyak target molekuler yang telah diidentifikasi, seperti mutasi pada ‘protein reseptor tirosin kinase (RTKs) atau protein RAS. Pengembangan terapi yang menargetkan protein abnormal ini, seperti inhibitor tirosin kinase (TKI), sangat bergantung pada pemahaman mendalam tentang struktur target. AlphaFold dapat mempercepat proses identifikasi dan desain inhibitor spesifik yang dapat mengikat situs aktif RTKs mutan dengan afinitas yang tinggi, sehingga menghambat sinyal proliferasi sel kanker tanpa merusak sel sehat.
Sebagai contoh, dalam pengembangan inhibitor untuk EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor), prediksi struktur dari mutasi EGFR tertentu memungkinkan desain obat yang lebih selektif dan efektif. Sebelum AlphaFold, memahami perbedaan struktur antara EGFR normal/wild type dan yang bermutasi dengan bantuan algoritma AI, di waktu terdahulu pemeriksaannya sering kali memerlukan waktu bertahun-tahun. Dengan kemampuan prediksi AlphaFold, perbedaan struktur ini dapat diidentifikasi secara lebih cepat, hingga dapat memfasilitasi pengembangan inhibitor yang lebih tepat sasaran secara lebih efektif.
Di sisi lain, raihan Nobel di bidang biologi, juga membuka mata dan wawasan kita tentang arti pentingnya konsep regulasi ekspresi gen yang ternyata antara lain diatur oleh struktur kecil yang bernama micro RNA atau miRNA.
Dimana penelitian tentang peran miRNA terkait dengan berbagai proses ekspresi gen di sel manusia dan mamalia, pada mulanya diawali oleh penelitian di cacing Caenorhabditis elegans. miRNA adalah regulator penting dalam berbagai proses biologis, termasuk perkembangan, diferensiasi, dan apoptosis.
Salah satu miRNA yang kerap diteliti adalah miRNA let-7, yang pertama kali ditemukan pada Caenorhabditis elegans (C. elegans). Maka pada kesempatan kali ini kita coba untuk menggali mekanisme molekuler miRNA let-7, terutama dalam pengaturan ekspresi gen pada C. elegans, dan relevansinya dalam organisme lain, termasuk manusia, juga membahas peran evolusioner let-7 dalam proses perkembangan, penyakit, dan potensi terapinya pada penyakit kanker.
miRNA ditemukan sebagai salah satu elemen penting dalam pengaturan gen post-transkripsi. miRNA berfungsi dengan mengikat mRNA target, menghambat translasi atau memicu degradasi mRNA, sehingga mengatur ekspresi gen yang terlibat dalam proses-proses biologis yang krusial. Salah satu miRNA pertama yang ditemukan adalah let-7 pada C. elegans oleh Reinhart et al. (2000), yang kemudian diidentifikasi berfungsi dalam pengaturan waktu perkembangan.
Pada mamalia, let-7 juga jamak ditemukan dan berperan dalam berbagai aspek fisiologis, termasuk proliferasi sel, diferensiasi, dan apoptosis. Studi tentang peran miRNA menggabungkan pendekatan bioinformatika dan eksperimen laboratorium yang antara lain ditujukan untuk menganalisis ekspresi miRNA, misal pada gen let-7 di C. elegans.
Analisis profil ekspresi dapat dilakukan dengan teknik RNA-seq pada berbagai tahap perkembangan C. elegans. Sementara proses validasi dilakukan dengan metoda Northern blot dan in situ hibridisasi untuk menentukan distribusi spasial let-7. Selanjutnya, analisis interaksi miRNA-mRNA dapat dilakukan dengan teknik CLIP-seq (cross-linking immunoprecipitation) untuk mengidentifikasi target gen let-7 secara langsung.
miRNA let-7 yang terkonservasi pada mamalia, termasuk manusia, ternyata berperan dalam pengaturan siklus sel, khususnya dalam hal penghambatan proliferasi sel, melalui supresi proto-onkogen seperti RAS dan MYC. Pada konteks penyakit, disregulasi let-7 telah dikaitkan dengan berbagai kanker, seperti kanker paru-paru, payudara, dan kolon, di mana ekspresi rendah let-7 berhubungan dengan prognosis buruk. Penggunaan let-7 sebagai biomarker dan target terapi dalam onkologi menjadi salah satu prospek yang potensial untuk dikembangkan.
Mengingat begitu besarnya kontribusi miRNA dalam perkembangan terapi di ranah kedokteran presisi, wajar kiranya jika Victor Ambros dan Gary Ruvkun, dianugerahi penghargaan Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2024 atas penemuan mereka terkait microRNA dan peran molekul itu dalam regulasi gen pascatranskripsi.
Semoga dengan terobosan terintegrasi kemajuan teknologi hayati dengan teknologi informasi seperti model kecerdasan artifisial, kita akan dapat mengembangkan berbagai pendekatan inovatif di ranah teknologi kesehatan yang akan menghasilkan peningkatan kualitas hidup manusia di masa depan. 🙏🏾🩵🇲🇨