Tauhid Nur Azhar

Pak Bas, Pak Jonan, dan Masa Depan Indonesia

Berakhirnya masa jabatan Pak Basuki Hadimuljono di Kementerian PUPR dengan torehan tinta emas yang luar biasa berupa capaian pembangunan infrastruktur yang telah menjadi tulang punggung penggerak ekonomi Indonesia, membangkitkan kembali kenangan lebih dari 10 tahun lalu. Saat Pak Bas masih menjadi salah satu pejabat eselon I di Kementerian yang begitu dicintainya secara lahir bathin.

Di era itu Pak Bas beberapa kali menjadi Dirjen dan pernah menjadi Inspektur Jenderal. Nah, pada saat menjabat Irjen itulah saya pernah diundang beliau untuk turut memberikan pembekalan pada para ASN muda Itjen KemenPUPR yang saat itu baru saja usai mengikuti pelatihan pra-jabatan.

Sebelum kegiatan yang diakhiri dengan makan soto bersama di gedung eks Kementerian Negara PU, yang di masa terdahulu pernah menjadi kantor Ditjen Cipta Karya itu dimulai, beliau secara khusus berpesan, “Mas, tolong tekankan tentang integritas dan dedikasi terkait dengan orientasi dan tujuan hidup sejalan dengan profesi mereka di Kementerian PU yang punya nilai-nilai khas ini ya.”

Selanjutnya terus terang saya lupa-lupa ingat, apakah saya berhasil mengelaborasi pesan beliau itu dalam materi ceramah saya yang berdurasi sekitar 1 jam itu, atau malah justru pesan-pesan beliau itulah yang menjadi materi utama sore itu. Terlepas dari ceramah pembekalan, materi, dan juga soto Ambengan super enak yang bakul dengan rombong nya sengaja diboyong ke auditorium sore itu, ada banyak hal berkesan yang justru tercatat dengan rapi di otak saya, dan sejak itu benak saya terus menerus menggenggamnya erat-erat. Seolah kenangan penting itu tak ingin dilepaskan karena momennya yang sangat inspiratif dan amat berharga.

Kesan dan pesan implisit dengan nilai-nilai intrinsik yang terekspresikan secara lugas dari pribadi Pak Bas adalah beliau sosok berintegritas yang cerdas dan lugas. Juga sangat humoris dan humanistik. Berbagai kisahnya selama menempuh pendidikan pascasarjana, magister dan doktoral di Colorado, yang penuh suka dan duka, beliau ceritakan kembali dengan renyah. Tanpa sedikitpun tampak ingin menyombongkan diri, atau agar diteladani. Jujur dan lugu serta mengalir begitu saja, sambil di beberapa bagian beliau tertawa getir mengingat beberapa peristiwa yang menurutnya membuatnya banyak berzikir dan berpikir.

Sosok periang, humble, juga gaptek dan merupakan pribadi hangat yang dengan mudah membuatnya mendapat banyak sahabat, selalu dapat kita amati dimanapun dan di kesempatan apapun, karena memang beliau selalu hadir dan tampil sebagai dirinya sendiri.

Sosok pekerja keras nan cerdas dengan niat ikhlas yang kelak dikenal dengan four big no nya di kalangan KemenPUPR, dengan penekanan pada “No” yang pertama, no bribery, dengan kebersahajaan tampilan dan kesantunan yang dilandasi kejujuran dan kecintaan pada profesi serta negeri, telah menjadikannya contoh ideal dari konsep pemimpin transformatif.

Ada konsep pemimpin sebagai lokomotif transformasi yang memerlukan faktor prasyarat seperti power, vision, dan goals yang dapat didiseminasikan sedemikian rupa, hingga dapat menginspirasi sebuah proses perubahan bersama.

Gaya kepemimpinan Pak Bas yang informal, tidak silau dengan simbol dan seremonial, solutif, komunikatif, sekaligus inspiratif terbukti telah menghasilkan ratusan bendung dan bendungan, jaringan irigasi, drainase dan kolam retensi pengendali banjir, ibukota negara, sistem pengolahan air minum, gedung dan sarana prasarana publik, ribuan kilometer jalan tol, jembatan bentang panjang, pengolahan sampah dan limbah perkotaan, pembinaan jasa konstruksi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di bidang konstruksi secara berkesinambungan. 10 tahun atau 1 dasawarsa yang dipenuhi keajaiban konsep kepemimpinan lapangan yang belakangan kerap beliau jadikan tesis dalam mengatasi berbagai kesulitan dalam pelaksanaan di lapangan. Kekuatan data berdasar studi atau survey dan investigasi, perlu ditindaklanjuti dengan desain atau rancangan yang tepat, untuk selanjutnya lahan yang dibutuhkan disediakan, barulah pekerjaan konstruksi dapat dieksekusi, dan proses operasionalisasi infrastruktur harus dikelola dengan benar serta berkesinambungan.

Gaya ala Pak Bas ini mendekati definisi James MacGregor Burns yang mengadopsi dan mengembangkan konsep dari seorang sosiolog bernama James V. Downton yang pada tahun 1973 memperkenalkan konsep transformational leadership.

Dalam konsep James MacGregor Burns, a transformational leader is a leader who inspires others to achieve a shared vision and goals for their team or organization. They are often charismatic, passionate, and creative, and they use a variety of skills to help their team members succeed.
Beberapa karakter dari seorang pemimpin transformatif, antara lain adalah,

Self-aware: they have a deep understanding of their own values, beliefs, and motivations.

Authentic: they bring an authentic presence to their work.

Humble: they look beyond themselves to the value of the work of others.

Inspirational: they are highly motivational and energized.

Creative: they are innovative and visionary.

Good communicators: they use listening, coaching, empathy, and support.

Transformational leaders identify opportunities for change, create a plan, and then inspire others to execute that plan.

Pemimpin lain yang juga meninggalkan kesan mendalam dalam konteks kemampuannya menginspirasi dan memantik suatu perubahan yang bersifat revolusioner adalah Ignasius Jonan.

Seorang legenda bernama Ignasius Jonan dalam masa kepemimpinannya dari 2009 sampai dengan 2014 yang relatif sangat singkat, telah merubah wajah layanan publik di sektor transportasi yang selama ini seolah telah divonis bagaikan kanker stadium akhir yang tak dapat diobati. Sekedar dipertahankan agar tak sampai mati, karena jenis layanannya termasuk yang bersifat obligasi dan mandatori.

Jonan menekankan pentingnya pelayanan pelanggan. Ia memperkenalkan sistem layanan terpadu yang lebih ramah pengguna, termasuk perbaikan fasilitas stasiun dan kereta api, peningkatan kebersihan, serta keamanan. Penertiban penumpang tanpa tiket dan pemberantasan praktik korupsi internal juga menjadi fokus utama.

Peran Jonan sebagai pemimpin transformasional mampu menghadapi berbagai permasalahan rumit yang ada di tubuh PT KAI melalui perombakan strategi hingga budaya organisasi ke arah yang lebih baik, mulai dari sisi internal hingga sisi eksternal. (Kahfa AZ, 2022)

Inovasi yang dibangun oleh Jonan melalui pemanfaatan teknologi pada perkeretaapian Indonesia, meliputi penghapusan KRL ekonomi non AC yang dibarengi dengan penambahan rute, pemberlakuan gerbong khusus wanita, area bebas rokok di seluruh peron kereta, penertiban pedagang yang berjualan di kereta, dan pergantian sistem pembayaran dari karcis menjadi e-ticket. (Kahfa AZ, 2022)

Konsep kepemimpinan Jonan sejalan dengan path goal theory di mana beliau dapat membawa para pekerjanya untuk menerapkan nilai-nilai yang telah ia berikan kepada para pekerjanya. Nilai customer oriented yang ia terapkan pada masa kepemimpinannya masih tertanam pada diri para pekerjanya, walaupun masa kepemimpinan Jonan telah berakhir. (Kahfa AZ, 2022)

Saya sendiri yang banyak berkecimpung di PT KAI sejak tahun 2002, terkait upaya peningkatan keselamatan transportasi berbasis pemanfaatan teknologi (biomedik), melihat dan menjadi saksi mata terjadinya perubahan revolusioner pada budaya dan nilai perusahaan. Penerapan konsep yang tepat dalam konteks optimasi sumber daya, terutama manusia, dengan pendekatan merit system, skema remunerasi yang pantas, serta keteladanan sebagai representasi integritas menjadi kunci.

Teknologi digital yang dikembangkan antara lain bertujuan untuk meningkatkan objektivitas, transparansi, dan akuntabilitas proses bisnis perusahaan, sekaligus sebagai upaya memberikan kemudahan dan layanan paripurna bagi pelanggan, serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses dan model bisnis layanan jasa transportasi kereta api.

Tanpa disadari Pak Bas dan Jonan dengan gaya nya yang nyleneh atau di luar pakem pada masanya itu, memiliki satu persamaan yang merupakan keniscayaan, mereka berdua selain TRANSFORMER, juga seorang VALUE CREATOR. Apapun yang mereka berdua coba lakukan dengan berbagai cara dan pola pikir yang tak biasa, semata ditujukan untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat serta bangsa dan negara bukan?

Dalam sektor pelayanan publik, nilai diartikan sebagai dampak positif atau konstruktif yang dirasakan oleh masyarakat melalui berbagai program dan layanan yang diberikan oleh pemerintah. Kondisi ini mencakup peningkatan kualitas hidup, keadilan sosial, dan efisiensi dalam distribusi sumber daya. Proses penciptaan nilai dalam sektor publik berbeda dengan sektor swasta yang biasanya berorientasi pada keuntungan finansial. Sektor publik fokus pada nilai sosial, yang mencerminkan kesejahteraan masyarakat sebagai penerima layanan utama.

> Studi Kasus: Transformasi Layanan Publik di Singapura

Singapura telah dikenal sebagai salah satu negara dengan pelayanan publik terbaik di dunia. Melalui program Smart Nation, Singapura menciptakan nilai dengan menerapkan teknologi digital untuk meningkatkan kualitas layanan publik. Pemerintah Singapura menggunakan hasil analisis big data untuk merancang strategi dalam upaya meningkatkan akses kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial yang dapat diakses secara daring. Hasilnya, Singapura berhasil menciptakan nilai sosial berupa peningkatan efisiensi layanan dan kepuasan masyarakat.

Sementara secara teori, proses penciptaan nilai dalam sektor publik melibatkan beberapa langkah kunci;

1. Identifikasi kebutuhan masyarakat: Pemimpin harus mampu menganalisis dan memahami kebutuhan masyarakat melalui riset dan dialog publik.

2. Perancangan layanan yang responsif: Layanan publik dirancang agar sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat, memastikan inklusi sosial dan efisiensi.

3. Kolaborasi dengan pemangku kepentingan: Sektor publik bekerja sama dengan sektor swasta, organisasi masyarakat, dan komunitas lokal untuk menciptakan nilai yang lebih luas.

> Teori Terkini: Service-Dominant Logic

Menurut Vargo dan Lusch (2004), penciptaan nilai dalam konteks pelayanan beralih dari produksi semata menuju interaksi yang dinamis antara penyedia dan penerima layanan. Dalam sektor publik, pendekatan ini menunjukkan pentingnya kolaborasi dengan masyarakat untuk menciptakan nilai bersama.

Konsep kepemimpinan ala Pak Bas dan Jonan mungkin dalam dinamika psikososial yang kini banyak dipengaruhi oleh berbagai elemen interaksi yang dilahirkan dari rahim teknologi digital, perlu proses adaptasi dan pengembangan internal, karena dinamika perubahan yang perlu diantisipasi juga sedemikian volatil dan tidak terduga.

Kepemimpinan di era digital tidak hanya mengharuskan pemimpin untuk mengelola teknologi baru, tetapi juga mengembangkan keterampilan interpersonal yang mampu membangun hubungan dan kolaborasi di dunia virtual. Pemimpin harus mampu mengintegrasikan teknologi, meningkatkan keterlibatan karyawan/pekerja/pemangku kepentingan/pelanggan, dll secara digital, serta mendukung inovasi di tengah transformasi digital.

> Studi Kasus: Digital Leadership di Pemerintah Estonia

Estonia, sebagai pionir dalam pemerintahan digital, memimpin transformasi digital di sektor publik melalui implementasi sistem e-Government. Melalui platform digital, pemerintah Estonia telah menyediakan prasarana untuk masyarakat agar dapat mengakses lebih dari 90% layanan pemerintah secara daring, termasuk perizinan, pendidikan, dan kesehatan. Kondisi ini menunjukkan bagaimana kepemimpinan digital bervisi kuat dapat menciptakan nilai bagi masyarakat melalui pendekatan berbasis teknologi.

Kepemimpinan transformasional, yang diperkenalkan oleh Burns (1978), merupakan gaya kepemimpinan yang sangat relevan di era digital. Pemimpin transformasional menginspirasi pekerja dan pelanggannya untuk melakukan inovasi dan meningkatkan performa. Dengan menggunakan pendekatan ini, pemimpin dapat memotivasi karyawan di sektor publik untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi secara proaktif.

> Teori Terkini: Kepemimpinan Adaptif

Heifetz dan Laurie (1997) memperkenalkan konsep kepemimpinan adaptif, yang menekankan pada kemampuan pemimpin untuk menavigasi lingkungan yang penuh perubahan dengan melibatkan anggota organisasi dalam proses pengambilan keputusan. Di era digital, kepemimpinan adaptif memainkan peran penting dalam menghadapi tantangan teknologi dan dinamika sosial yang terus berkembang.

Di sisi lain budaya organisasi yang mendukung inovasi dan keterbukaan terhadap perubahan teknologi menjadi kunci dalam menciptakan nilai. Dalam sektor publik, penting bagi pemimpin untuk membangun budaya yang responsif terhadap perubahan digital. Ini dapat dilakukan dengan mempromosikan komunikasi terbuka, kolaborasi lintas departemen, serta pendekatan berbasis tim.

> Studi Kasus: Perubahan Budaya di Pemerintah Denmark

Pemerintah Denmark berhasil menciptakan budaya kerja yang inovatif dan fleksibel melalui penerapan konsep digital workplace. Pemimpin mendorong keterlibatan karyawan dalam pengambilan keputusan, menggunakan platform kolaborasi digital untuk menghubungkan pekerja lintas departemen. Ini menghasilkan peningkatan kinerja dan efisiensi di seluruh sektor pelayanan publik Denmark.

Sementara di aspek yang lebih personal, kepemimpinan di era digital harus memperhatikan kesejahteraan psikologis karyawan, terutama dalam menghadapi tekanan dan stres akibat perubahan teknologi yang cepat. Pemimpin harus mampu mengembangkan kebijakan yang mendukung keseimbangan antara penggunaan teknologi dan kesehatan mental karyawan.

> Teori Terkini: Job Demands-Resources Model (JD-R)

Bakker dan Demerouti (2007) mengembangkan JD-R model yang menjelaskan bahwa keseimbangan antara tuntutan kerja dan sumber daya yang tersedia dapat mempengaruhi kesejahteraan karyawan. Di era digital, penting bagi pemimpin untuk menyediakan sumber daya yang cukup (seperti pelatihan teknologi dan dukungan psikologis) agar karyawan dapat beradaptasi dengan perubahan teknologi tanpa mengalami kelelahan.

Baik Pak Bas maupun Pak Jonan yang kini lebih sering mengadakan diskusi internal di cafe Cecemuwe Jakarta Selatan, adalah para pemimpin yang mendorong optimasi pengelolaan pelayanan publik yang berorientasi pada pelanggan. Jika Pak Bas di sektor infrastruktur publik, Pak Jonan dj jasa transportasi massal dan angkutan barang dengan moda kereta api.

Manajemen pelayanan publik yang berorientasi pelanggan menekankan pentingnya respon terhadap kebutuhan masyarakat. Pendekatan ini tidak hanya fokus pada efisiensi internal, tetapi juga pada peningkatan pengalaman pelanggan dalam mengakses layanan.

> Studi Kasus: Pelayanan Publik di Kota Barcelona

Kota Barcelona telah bertahun-tahun menerapkan pendekatan smart city dalam pelayanan publik, di mana layanan kota seperti transportasi, kesehatan, dan keamanan diintegrasikan melalui platform digital yang berorientasi pelanggan. Warga dapat melaporkan masalah dan mengakses layanan secara real-time, yang meningkatkan kepuasan publik secara signifikan.

Manajemen pelayanan publik modern memerlukan sistem pengukuran kinerja secara objektif, yang mencerminkan kepuasan pelanggan, seperti Net Promoter Score (NPS) dan Customer Satisfaction Index (CSI). Dengan mengadopsi sistem pengukuran ini, pemimpin dapat memperoleh umpan balik yang berharga dari masyarakat dan meningkatkan kualitas layanan secara berkelanjutan.

> Teori Terkini: New Public Service (NPS)

Denhardt dan Denhardt (2015) mengemukakan konsep New Public Service yang menekankan bahwa sektor publik harus berfungsi melayani, bukan mengendalikan masyarakat. Ini berarti bahwa pelayanan publik harus responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan lebih berfokus pada kepuasan pelanggan daripada efisiensi birokratis.

Pak Bas dan Pak Jonan terbukti tidak pinter sendiri, apalagi minteri orang. Mereka berdua justru berhasil menciptakan ekosistem inovasi yang kondusif di instansinya masing-masing. Pak Bas bahkan menamai kantor pusat Kementerian PUPR adalah kampus PUPR. Demikian juga Pak Jonan, berbagai inovasi mulai dari toilet ramah lingkungan sampai pendayagunaan sarana produksi tahun lama, semua dapat dikerjakan oleh tim internal yang termotivasi untuk terus berinovasi.

Inovasi dalam pelayanan publik saat ini, seiring dengan revolusi teknologi informasi, sering kali datang dari pemanfaatan teknologi seperti kecerdasan artifisial (AI), blockchain, dan big data. Pemimpin di sektor publik harus mampu mendorong adopsi teknologi ini untuk menciptakan nilai baru yang meningkatkan efisiensi operasional dan kualitas layanan.

> Studi Kasus: Implementasi AI di Pelayanan Publik Kanada

Kanada menggunakan AI dalam pelayanan publik, terutama dalam sistem kesehatan, untuk mempercepat proses diagnostik dan personalisasi perawatan. Ini menunjukkan bagaimana inovasi teknologi dapat membantu menciptakan nilai dengan meningkatkan aksesibilitas dan kualitas layanan kesehatan.

Pada gilirannya, inovasi internal ini akan menjadi semacam bola salju yang akan terus bergulir dan membesar serta melebar dan memberikan dampak sosial. Dampak itu dapat berupa stimulasi untuk melahirkan berbagai inovasi lanjutan bukan?

Inovasi sosial, yang melibatkan kolaborasi antara sektor publik, privat, dan masyarakat, juga menjadi faktor penting dalam menciptakan nilai di era digital. Pemimpin harus mampu membangun kemitraan lintas sektoral yang memperkuat dampak sosial dari program-program publik.

> Teori Terkini: Open Innovation

Menurut Chesbrough (2003), open innovation mendorong organisasi untuk berkolaborasi dengan pihak eksternal guna mempercepat inovasi. Di sektor publik, konsep ini memungkinkan kolaborasi dengan sektor swasta dan organisasi non-pemerintah untuk menciptakan nilai sosial yang lebih tinggi bagi masyarakat. Dalam sektor pelayanan publik, open innovation dapat diimplementasikan melalui kolaborasi lintas departemen, pengembangan platform terbuka, dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Di tingkat negara, konsep kepemimpinan transformatif yang adaptif terhadap teknologi dan potensi inovasi ini dapat dilihat di pemerintahan Denmark.

Pemerintah Denmark memulai proyek transformasi digital yang berfokus pada pelayanan publik sejak tahun 2001. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi operasional sekaligus menciptakan pengalaman pelanggan yang unggul. Salah satu inisiatif kuncinya adalah pengembangan platform e-Boks, yang memungkinkan warga Denmark mengakses layanan publik seperti pembayaran pajak, registrasi, dan layanan kesehatan melalui satu portal digital.

Kepemimpinan di Denmark menerapkan pendekatan transformasional dengan mengedepankan inovasi digital untuk menciptakan nilai bagi masyarakat. Dengan menggunakan teknologi, Denmark menciptakan lingkungan kerja yang lebih efisien dan meningkatkan interaksi masyarakat dengan pemerintah. Pemimpin di Denmark berhasil menciptakan budaya inovasi dengan memberikan kebebasan kepada berbagai departemen atau Kementerian untuk bereksperimen dan menerapkan solusi digital.

Selain itu, melalui pendekatan customer-centric, Denmark berusaha memastikan bahwa setiap layanan publik yang diberikan dirancang dengan fokus pada kenyamanan dan kepuasan pengguna. Dalam hal ini, pengukuran kinerja yang berorientasi pada pelanggan menjadi elemen penting dalam mengevaluasi dan memperbaiki layanan secara berkelanjutan.

Transformasi digital ini terbukti telah menghasilkan peningkatan kepuasan masyarakat yang signifikan. Serta terbukti meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya publik. Dengan memanfaatkan konsep open innovation, Denmark melibatkan sektor swasta dan masyarakat untuk mengembangkan solusi digital yang lebih inovatif dan tepat guna. Kesuksesan ini menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menciptakan nilai di era digital.

Simpulan sederhana dari dongeng WA kali ini adalah, betapa luarbiasanya kinerja Pak Bas dan Pak Jonan, yang bahkan untuk mendapatkan hasil kinerja yang kurang lebih sama atau setara, Denmark, Singapura, dan Kanada harus mengoptimalkan pemanfaatan teknologi cerdas, termasuk AI, bukan? Maka mari kita bayangkan, jika konsep kepemimpinan transformasional ala Pak Bas dan Pak Jonan kita padupadankan dengan smart system yang didukung oleh teknologi terkini, akan seperti apa hasilnya? Semoga kehadiran 2 sosok pimpinan unik dengan kinerja ciamik yang pernah berkiprah membela Republik ini dapat menjadi bab utama modul _lesson learned_ yang sangat berharga tak hanya bagi bangsa, melainkan bagi kita semua. Super Basuki dan Super Jonan adalah super hero Indonesia di masanya, dan di masa depan semoga tercipta konsep kepemimpinan hibrida yang dapat mengintegrasikan kecerdasan dan kearifan manusia, dengan kecanggihan dan presisinya teknologi yang tampaknya masih akan terus berevolusi.

Bahan Bacaan Lanjut

1. Burns, J.M. (1978). Leadership. Harper & Row.

2. Vargo, S.L., & Lusch, R.F. (2004). Evolving to a new dominant logic for marketing. Journal of Marketing, 68(1), 1-17.

3. Heifetz, R.A., & Laurie, D.L. (1997). The work of leadership. Harvard Business Review, 75(1), 124-134.

4. Bakker, A.B., & Demerouti, E. (2007). The job demands-resources model: State of the art. Journal of Managerial Psychology, 22(3), 309-328.

5. Denhardt, J.V., & Denhardt, R.B. (2015). The New Public Service: Serving, Not Steering. Routledge.

6. Chesbrough, H.W. (2003). Open Innovation: The New Imperative for Creating and Profiting from Technology. Harvard Business School Press.

7. Van Wart, M. (2013). Lessons from leadership theory and the contemporary challenges of leaders. Public Administration Review, 73(4), 553-565.

8. Yukl, G. (2013). Leadership in Organizations (8th ed.). Pearson.

9. Lee, G., & Whitford, A.B. (2009). Government effectiveness in comparative perspective. Journal of Public Administration Research and Theory, 19(2), 423-457.

10. Van der Voet, J., & Van de Walle, S. (2018). Leadership and organizational performance. International Review of Administrative Sciences, 84(2), 221-237.

11. Pollitt, C., & Bouckaert, G. (2017). Public Management Reform: A Comparative Analysis – Into the Age of Austerity (4th ed.). Oxford University Press.

12. Mergel, I. (2016). Social media institutionalization in the U.S. federal government. Government Information Quarterly, 33(1), 142-148.

13. Nasi, G., & Frosini, F. (2015). The adoption of open innovation in public services. Journal of Public Administration Research and Theory, 25(4), 957-981.

14. Dwivedi, Y.K., & Weerakkody, V. (2010). E-government Implementation and Adoption: Lessons from Countries around the World. Springer.

15. Osborne, S.P., & Brown, L. (2011). Innovation, public policy and public services delivery in the UK: The word that would be king? Public Administration, 89(4), 1335-1350.

16. Lepak, D. P., Smith, K. G., & Taylor, M. S. (2007). Value creation and value capture: A multilevel perspective. Academy of Management Review.

17. Northouse, P. G. (2018). Leadership: Theory and Practice. Sage Publications.

18. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2019). Organizational Behavior. Pearson.

19. Osborne, D., & Gaebler, T. (1992). Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Addison-Wesley.

20. Mulgan, G. (2019). Social Innovation: How Societies Find the Power to Change. Policy Press.

21. Avolio, B. J., & Bass, B. M. (2004). Multifactor Leadership Questionnaire. Mind Garden, Inc.

22. Kotter, J. P. (2012). Leading Change. Harvard Business Review Press.

23. Yukl, G. (2013). Leadership in Organizations. Pearson.

24. Burns, J. M. (1978). Leadership. Harper & Row.

25. Schein, E. H. (2017). Organizational Culture and Leadership. Wiley.

26. Van Knippenberg, D., & Hogg, M. A. (2003). Leadership and power: Identity processes in groups and organizations. Group Dynamics: Theory, Research, and Practice.

27. Hartley, J., & Benington, J. (2010). Leadership for healthcare. In Walshe, K. & Smith, J. (Eds.), Healthcare Management.

28. Vargo, S. L., & Lusch, R. F. (2004). Evolving to a new dominant logic for marketing. Journal of Marketing.

29. Denhardt, R. B., & Denhardt, J. V. (2015). The New Public Service: Serving, Not Steering. Routledge.

30. Schilling, M. A. (2020). Strategic Management of Technological Innovation. McGraw-Hill Education.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts