Tauhid Nur Azhar

Sampah dan Berkah, Keduanya Lewat Jalur Amanah

Banyak teman di berbagai grup WA kerap bertanya pada saya, “Mas mengapa hampir selalu posting topik-topik terkait teknologi tinggi, kajian sains yang susah dimengerti, dan banyak hal lainnya yang bersifat utopia ?”

Lalu kritik berikutnya hadir, “kan banyak topik yang lebih relate dengan keseharian kita yang bisa menginspirasi orang untuk tergerak melakukan perubahan bukan?”

Saya kadang suka menyahuti juga, “yang seperti apa misalnya ?” Lalu ngaburudul lah aneka saran dan masukan tema yang sekiranya dianggap relevan dengan kondisi kekinian yang tengah dihadapi.

Topik mulai dari pengelolaan sampah, perilaku berlalu lintas, sindroma malas gerak, sampai budaya instan dan perilaku konsumtif, membanjiri WA saya.

Sejujurnya saya sering juga loh membahas domain topik-topik itu, meski tak seintens kalau saya berbicara tentang AI, bioteknologi, energi terbarukan, ataupun topik-topik pelik kegemaran saya yang memang suka ngulik, karena mengulik sesuatu menjadi pelik, mampu mengurangi beban keruwetan hidup saya karena terhibur melihat orang lain yang terjebak dalam konflik dan intrik lalu mengidap rasa penasaran kronik.

Tapi pada dasarnya saya pun ingin berkontribusi, sumbang saran tentang berbagai fenomena sosial di sekitar kita yang kadang hanya dapat kita sikapi dengan mengelus dada.

Misal pagi ini, dengan mata kepala sendiri melihat tumpukan sampah domestik yang dicirikan dengan kantong-kantong plastik yang berisi limbah rumah tangga, telah bertebaran dengan sedemikian masifnya di tepi jalan batas wilayah antar kabupaten-kota.

Sebagian di antara
nya bahkan tampak lebih mengkhawatirkan, karena sudah menumpuk di tepi lembah yang merupakan badan sungai. Rupanya memang sengaja dionggokkan di sana, lalu dengan bantuan kekuatan alam seperti hujan, akan terdorong menggelosor menuruni tebing sungai, untuk kemudian terbawa arus dan lenyap dari pandangan.

Masalah sampah atau limbah, di Indonesia itu, bukan dikelola hingga memberikan nilai tambah, tapi tujuan utamanya adalah membuatnya tak kasat mata dari hadapan kita.

Andai warga yang tergolong pembuang sampah di mana-mana itu sempat diterima di sekolah sihir Hogwarts, pasti mantra andalannya adalah EVANESCO alias hilang tak berwujud.

Apapun cara dan prosesnya pokoknya sampah yang meski produk awalnya sangat didamba dan dinikmati, tapi limbahnya sangat diemohi dan jarang ada yang mau mengurusnya dengan telaten. Yah wajar sih, siapa sih yang masih mau ngurusin mantan yang sudah tak lagi memberi kebermanfaatan bukan?

Tapi kalau kita berpikir bijak dan berwawasan jangka panjang, tentu kita dapat merenungkan arti pentingnya mengelola limbah secara berkesinambungan bukan?

Tapi apa yang terjadi? Yang terjadi ya terjadilah, bukankah tugas saya hanya merecoki kehidupan sahabat-sahabat saya di dunia per WA an dengan tulisan-tulisan absurd yang datang hampir setiap hari, atau bahkan 2-3x perhari? Sudah cukup bukan?

Tidak perlu tahu juga kan, kalau saya sering dimarahi dan bahkan pernah dijadikan contoh manusia aneh oleh seorang Ibu yang anaknya baru saja membuang sampah bekas kemasan makanan di halaman sekolah tanpa rasa bersalah.

Yah memang sih, persoalan buang-membuang, termasuk buang badan saat diminta pertanggung jawaban adalah hal yang jamak dan banyak dilakukan bukan? Bukaaaaaan….bukan hal aneh tentunya. Alkisah saya itu dimana-mana selalu tidak tahan kalau melihat sampah berhamburan tidak pada tempatnya.

Walhasil kapanpun dimanapun kalau tidak malu atau takut dimarahi, saya berusaha punguti dan letakkan di tempatnya sesuai fungsi. Banyak orang tersinggung, terutama yang membuang sampah. Banyak orang juga yang menatap dengan nyinyir sambil senyum-senyum sinis, bahkan nyengir.

Komennya juga sengaja diperdengarkan dengan volume setingkat volume dangdutan di halaman kelurahan saat 17 Agustusan.

“Ada orang kurang kerjaan tuh…”, orang caper kayaknya…, pahlawan kesiangan…, manusia sok alim…” dan banyak predikat indah lainnya yang semoga saja menjadi doa ya: dapat kerja yang baik, diperhatikan dan didengarkan orang dalam konteks kebaikan, menjadi pahlawan kemanusiaan, yang alim dan budiman. Paket kumplit kan?

Nah pada peristiwa di sekolahan itu, ibu yang anaknya buang sampah sembarangan, masih untung tidak BAB sembarangan ya, mengomentari dengan sadis tapi terdengar di telinga saya romantis: Nak lihat ya, itu contoh orang yang selalu mencari-cari kesalahan orang lain, agar dirinya kelihatan baik oleh orang di sekitarnya. Kalau mau baik Nak, ga usah kayak gitu ya…ngambil sampah orang itu kan pamer, bahwa dia itu yang paling bener dan kita itu orang barbar yang tidak ngerti etika, alias tidak berpendidikan…”

Seriously saya tenger-tenger loh dengernya. 80% fungsi kognitif saya yang tidak baper tertemper emosi setuju dengan isi dan konteks kalimat ibu itu.

Saya merasa tertampar, ternyata dari perspektif yang berbeda, apa yang saya lakukan itu memang lebih menohok pada aspek mencoreng harga diri dan mempermalukan yang bersangkutan. Walhasil hasilnya adalah dendam dan bukan koreksi atas kesalahan yang telah dikerjakan. Gagalkan aksi saya pungut-pungut sampah caper itu?

Meski sesungguhnya apa yang saya lakukan itu reaksi spontan (huhuuuuy….), yang bisa diasumsikan seperti refleks saja begitu. Tapi daripada bingung, kita bingung pada hal-hal yang membuat kita terpacu untuk belajar dan merenung saja yuks.

Misal soal CRRC Qingdao Sifang Co. Ltd, produsen kereta cepat Jakarta-Bandung alias KCIC, yang baru saja merilis produk terbarunya ke publik: kereta super cepat hidrogen yang dinamai CINOVA H2

Kereta edan ieu mah, ceuk urang Sunda na berbahan bakar hidrogen yang emisinya 0 dan sisa sampingan proses konversi energinya adalah air. Ya air yang bisa banyak digunakan dalam berbagai hal.

Kebayang gak sih, jika CRRC tidak hanya memproduksi kereta cepat hidrogen dengan sistem kendali GoA 4 yang sudah murni terotomasi tanpa campur tangan atau kendali manusia, melainkan juga sudah memproduksi kereta autonomous rail rapid transport alias ARRT yang tidak menggunakan rel sama sekali dengan bahan bakar energi terbarukan? Sudah pinter, jalan sendiri, ramah lingkungan, dan murah serta efisien karena hidrogen dapat dihasilkan dengan banyak cara.

Pemanfaatan hidrogen sebagai bahan bakar untuk kendaraan, seperti kereta api dan mobil, dapat dilakukan melalui dua metode utama, dengan teknologi fuel cell (sel bahan bakar) dan pembakaran langsung atau ICE.

Kendaraan berbahan bakar hidrogen dengan fuel cell bekerja berdasarkan reaksi elektrokimia antara hidrogen dan oksigen yang menghasilkan listrik, panas, dan air. Reaksi ini terjadi di dalam sel bahan bakar yang terdiri dari anoda, katoda, dan elektrolit. Hidrogen/H2 diumpankan ke anoda, sementara oksigen (biasanya dari udara) diumpankan ke katoda.

Pada anoda, hidrogen terionisasi menjadi proton (H⁺) dan elektron (e⁻).

Reaksi di anoda: *H₂ → 2H⁺ + 2e⁻*

Reaksi di katoda: *O₂ + 4H⁺ + 4e⁻ → 2H₂O*

Total reaksi: *2H₂ + O₂ → 2H₂O + energi listrik*

Teori yang mendasarinya adalah hukum elektrolisis dari Faraday dan teori sel bahan bakar proton-exchange membrane” (PEM). Energi listrik yang dihasilkan diubah menjadi tenaga untuk menggerakkan motor listrik yang ada di kendaraan.

Hidrogen disimpan dalam tangki bertekanan tinggi (umumnya 350-700 bar).

Sel-sel bahan bakar digabungkan dalam bentuk tumpukan (stack) untuk meningkatkan output energi.
Pengonversi daya Power Converter digunakan untuk mengatur aliran listrik ke motor penggerak.

Motor listrik kemudian mengubah energi listrik menjadi gerakan mekanik yang digunakan untuk menggerakkan roda kendaraan.

Jenis sel bahan bakar, Proton Exchange Membrane (PEM) adalah yang paling umum digunakan. Efisiensinya sekitar 40-60% efisiensi termal.

Densitas Energi Hidrogen adalah 33,3 kWh/kg, yang jauh lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fosil.

Tekanan tangki yang teridentifikasi adalah sekitar 350-700 bar (tangki penyimpanan hidrogen bertekanan tinggi).

Jarak tempuh kendaraan hidrogen dengan kapasitas tangki yang ada, sekitar 500-700 km per pengisian penuh untuk mobil hidrogen.

(S. Ahmed et al., “Hydrogen Fuel Cell Vehicles: Current Status and Future Perspective,” Energy Policy Journal, 2021.)

Metoda kedua adalah pembakaran langsung Hidrogen (Hydrogen Combustion Engine)

Pembakaran langsung hidrogen menggunakan mesin pembakaran dalam (Internal Combustion Engine, ICE) yang dimodifikasi untuk membakar hidrogen sebagai bahan bakar. Pada dasarnya, ini mirip dengan mesin bensin, tetapi hidrogen digunakan sebagai pengganti bensin atau diesel. Dalam mesin ini, hidrogen dicampur dengan udara dan dibakar untuk menghasilkan tenaga.

Reaksi Kimia: 2H₂ + O₂ → 2H₂O + energi panas

Prinsip ini didasarkan pada siklus Otto atau Diesel dalam pembakaran, di mana pembakaran hidrogen terjadi di ruang bakar, menghasilkan tekanan yang mendorong piston.

Tangki Hidrogen yang digunakan sama seperti FCHV, hidrogen disimpan dalam tangki bertekanan tinggi. Hidrogen diinjeksikan ke ruang bakar seperti halnya bahan bakar konvensional. Hidrogen terbakar dengan oksigen di dalam mesin, menghasilkan gas buang berupa uap air (H₂O).

Tekanan dari pembakaran mendorong piston yang menggerakkan poros engkol, memberikan tenaga mekanis. Mesin hidrogen berbasis ICE memiliki efisiensi sekitar 25-30% lebih tinggi dari mesin berbahan bakar bensin.

Hidrogen disimpan pada tekanan yang mirip dengan FCHV (350-700 bar). Sistem injeksi dan ruang bakar perlu disesuaikan untuk mengatasi sifat eksplosif hidrogen yang lebih tinggi.

Pembakaran hidrogen menghasilkan emisi nol CO₂, meskipun NOx masih bisa dihasilkan pada suhu pembakaran tinggi.

(_D. Ogden et al., “The Transition to Hydrogen: Pathways Toward Clean Transportation,” Journal of Energy Resources, 2020._)

Keuntungan dan gantangan Hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan dan moda transportasi publik antara lain adalah, ramah lingkungan, dimana Hidrogen menghasilkan emisi nol CO₂ dan hanya menghasilkan uap air sebagai produk sampingan.

Hidrogen dapat dihasilkan dari berbagai sumber, termasuk air melalui elektrolisis yang didukung oleh energi terbarukan. Hidrogen juga memiliki densitas energi per kilogram yang lebih tinggi daripada bahan bakar fosil, memberikan potensi untuk jangkauan jarak yang lebih jauh.

Di sisi lain, pemanfaatan Hidrogen sebagai sumber energi juga memerlukan infrastruktur yang membutuhkan investasi cukup tinggi. Karena meskipun teknologinya sudah matang, biaya produksi hidrogen dari elektrolisis masih cukup tinggi.

Bahan bakar Hidrogen juga memerlukan tangki bertekanan tinggi untuk penyimpanan, yang memerlukan teknologi penyimpanan yang lebih aman dan efisien.

Tapi sedari tadi kita belum membahas darimana Hidrogen dapat dihasilkan bukan? Kita sudah cukup mendapatkan informasi terkait pemanfaatan Hidrogen di mesin dengan fuel cell dan ICE (internal combustion engine), tapi dari mana sesungguhnya datangnya Hidrogen yang digadang-gadang sebagai energi yang dapat dihasilkan oleh berbagai zat di sekitar kita secara berlimpah?

Hidrogen dapat diproduksi melalui berbagai metode, yang dapat diklasifikasikan berdasarkan sumber dan prosesnya. Beberapa metode utama produksi hidrogen adalah reforming gas alam, elektrolisis air, gasifikasi biomassa, dan penggunaan energi nuklir atau panas matahari.

Berikut adalah penjelasan terperinci tentang masing-masing proses, kita mulai dari ;

Steam Methane Reforming (SMR), dimana SMR adalah metode paling umum untuk memproduksi hidrogen dari gas alam (metana). Dalam proses ini, metana direaksikan dengan uap air pada suhu tinggi (700-1000 °C) untuk menghasilkan gas hidrogen dan karbon dioksida.

Reaksi Kimianya adalah sebagai berikut:

CH₄ + H₂O → CO + 3H₂ (Reaksi endothermik)

CO + H₂O → CO₂ + H₂ (Reaksi shift gas air)

Reaksi pertama merupakan reformasi uap, di mana metana terurai menjadi hidrogen dan karbon monoksida. Sedangkan reaksi shift gas air adalah reaksi tambahan yang meningkatkan produksi hidrogen dengan mengkonversi karbon monoksida menjadi karbon dioksida.

Menurut IEA, SMR adalah teknologi yang paling efisien dan terjangkau saat ini, tetapi menghasilkan emisi karbon yang tinggi. Ahli merekomendasikan penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) untuk mengurangi dampak lingkungan.

(International Energy Agency (IEA), “The Future of Hydrogen,” 2019.)

Elektrolisis Air, adalah metode yang menggunakan listrik untuk memecah air (H₂O) menjadi hidrogen dan oksigen. Proses ini dilakukan dengan memasukkan listrik ke dalam air melalui elektroda yang terendam dalam larutan elektrolit.

Reaksi Kimia yang terjadi adalah :

Pada katoda: 2H₂O + 2e⁻ → H₂ + 2OH⁻

Pada anoda: 4OH⁻ → O₂ + 2H₂O + 4e⁻

Elektrolisis memanfaatkan reaksi redoks, di mana ion hidrogen di katoda tereduksi menjadi gas hidrogen, sementara ion hidroksida di anoda teroksidasi menjadi gas oksigen.

Ahli energi terbarukan menyatakan bahwa elektrolisis dari sumber listrik bersih (seperti energi angin atau matahari) menghasilkan hidrogen hijau yang sangat ramah lingkungan, meskipun biaya energinya masih tinggi.

(C. Acar, I. Dincer, “Review and evaluation of hydrogen production methods for better sustainability,” International Journal of Hydrogen Energy, 2014.)

Gasifikasi Biomassa mengubah bahan organik (seperti kayu, residu pertanian) menjadi gas hidrogen dengan memanaskannya dalam kondisi terbatas oksigen.

Reaksi Kimia yang terjadi:

Biomassa + O₂/steam → CO + H₂ + CO₂ + CH₄

Reaksi gas shift: CO + H₂O → CO₂ + H₂

Proses ini berdasarkan pada prinsip termokimia, di mana bahan baku biomassa dipecah menjadi gas yang kaya hidrogen melalui pirolisis dan oksidasi parsial. Gas yang dihasilkan kemudian diproses lebih lanjut untuk memurnikan hidrogen.

Gasifikasi biomassa dianggap sebagai metode yang ramah lingkungan karena menggunakan bahan baku terbarukan, namun tantangan utama adalah stabilitas proses dan kompleksitas teknologi.

(M. B. Wilkerson, A. Z. Gurkan, “Gasification of Biomass for Hydrogen Production,” Journal of Sustainable Energy, 2017.)

Thermochemical Water Splitting (Nuclear/Concentrated Solar Power), dalam proses ini, panas dari reaktor nuklir atau energi matahari terkonsentrasi digunakan untuk memecah air menjadi hidrogen dan oksigen melalui siklus termokimia, seperti siklus sulfur-iodine (SI) atau siklus besi-oksida.

Reaksi Kimia-nya (Contoh siklus sulfur-iodine):

H₂SO₄ → SO₂ + H₂O + ½O₂ (dekomposisi asam sulfat)

SO₂ + I₂ + 2H₂O → 2HI + H₂SO₄ (reaksi Bunsen)

2HI → I₂ + H₂ (dekomposisi asam iodida)

Metode ini didasarkan pada siklus termokimia yang memanfaatkan panas tinggi untuk memecah senyawa kimia secara bertahap dan meregenerasi senyawa untuk memproduksi hidrogen.

Menurut beberapa ahli seperti P. Wurzbacher dari ETH Zurich, thermochemical water splitting memiliki potensi besar untuk menghasilkan hidrogen bersih dalam skala besar, meskipun teknologi ini masih dalam tahap penelitian dan pengembangan lebih lanjut.

(J. L. Fisher et al., “Nuclear Hydrogen Production: Thermochemical Water-Splitting,” Energy Policy Journal, 2016.)

Pirolisis Metana adalah metode yang menguraikan metana (CH₄) menjadi hidrogen dan karbon padat pada suhu tinggi tanpa oksigen.

Reaksi Kimia dalam pirolisis Metana adalah;

CH₄ → C (karbon padat) + 2H₂

Prises pirolisis memisahkan metana menjadi karbon dan hidrogen melalui pemanasan langsung. Karbon yang dihasilkan dalam bentuk padat dapat digunakan atau disimpan, sehingga tidak ada emisi CO₂.

Beberapa pakar melihat pirolisis sebagai teknologi yang menjanjikan karena tidak menghasilkan emisi CO₂ langsung, tetapi pengembangan teknologinya masih di tahap awal.

(M. Geels et al., “Methane Pyrolysis: Promising Low-Carbon Hydrogen Production,” Sustainable Energy Reviews, 2020.)

Nah lebih asyik ngobrolin energi baru dan terbarukan kan? Iya kan? Kan kan? Daripada ngomongin hal-hal soal buang sampah sembarangan, karena tidak diomongin pun banyak orang di sekitar kita buang-buang sampah kapanpun dan dimanapun dengan siapa pun.

Naik motor nyampah, pake kolor nyampah, gak pake kolor nyampah juga. Bahkan kadang molor aja masih nyampah kok. Dan kalau sudah begitu bawaan jadi geregetan, jadi inget jaman kuliah pas junior clerkship di bagian Psikiatri, bawaan pengen nge- ECT aja mereka-mereka yang terus saja tak peduli pada lingkungan, orang lain, masa depan, dan diri sendiri bukan?

Karena dengan disetrum ala-ala Electroconvulsive Therapy siapa tahu terjadi perubahan perilaku yang signifikan bukan? 🫣😊🙏🏾

Bahan Bacaan Lanjut

J. A. Turner, “Sustainable Hydrogen Production,” Science, 2004.

L. Barreto et al., “Hydrogen: Linking Technology to Climate Policy,” Energy Policy Journal, 2003.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts