Tauhid Nur Azhar

Yutub + Koplo + Campursari = Guyub ?

Sore ini sambil menunggui istri tercinta yang sedang jogging di lapangan olahraga Pajajaran yang vibes nya sangat menyenangkan, saya buka-buka You Tube di piranti seluler yang menurut data tahun 2023 telah diunduh di Play Store lebih dari 10 miliar kali. Hebat pisan ya?

Sore ini saya memutuskan untuk menonton Irene Ghea, vokalis Dangdut blasteran yang cantik dan bersuara luar biasa. Ia tampil bersama OM Adella, salah satu orkes Dangdut legenda Jawa Timur. Bersama Monata dengan Cak Shodiq nya dan Moneta dengan Imron Sadewonya, juga New Palapa dengan banyak vokalis tamunya, Adella adalah tonggak keajaiban musik Indonesia.

Aplikasi pemutar video di platform berbasis internet ini memang luar biasa. Saking penasarannya saya dengan berbagai konten ber- view sangat tinggi di You Tube ini, iseng-iseng saya bukan situs backlinko.com yang punya data statistik akurat tentang berbagai hal terkait aplikasi yang satu ini. Tak hanya statistik tayangan atau jumlah view dan subscriber saja yang ada di situs yang satu ini, tetapi juga sekilas sejarah, profil demografi, juga berbagai data penunjang yang cukup komprehensif tentang hal ehwal peryutuban ini.

YouTube resmi didirikan pada tanggal 14 Februari 2005. Video pertama menyusul pada tanggal 23 April, dengan salah seorang pendirinya, Jawed Karim, yang menerbitkan Me at the zoo. Film berdurasi 18 detik yang kini melegenda itu telah ditonton lebih dari 302 juta kali.

Dengan lebih dari 2,49 miliar pengguna aktif bulanan, platform ini telah berkembang pesat. Faktanya, 47% dari seluruh pengguna internet global mengakses YouTube setiap bulan. Dalam soal pertumbuhan You Tube hanya kalah dibandingkan dengan TikTok yang pertumbuhan pengguna per 6 tahunnya mencapai 1,22 miliar. Sementara You Tube perlu 9 tahun untuk mencapai angka 2,49 miliar pengguna (data backlinko.comb2023)

India menjadi negara dengan pengguna YouTube terbanyak, diperkirakan mencapai 462 juta warganya. Amerika Serikat menyusul dengan 239 juta. Secara global, lebih banyak wanita daripada pria yang menggunakan YouTube. Pendapatan iklan YouTube triwulanan hampir $8 miliar. Rata-rata, pembuat konten individu menerima antara $1,61-$29,3 per 1000 tayangan.

Sementara Indonesia menduduki peringkat ke 4 pengguna You Tube tertinggi di dunia dengan 139 juta pengguna (user). 51,4% dari semua pengguna YouTube dewasa di AS adalah perempuan, sedangkan 48,6% sisanya adalah laki-laki. Namun secara global, lebih banyak pengguna laki-laki yang menggunakan YouTube dibandingkan dengan pengguna perempuan, sekitar 54,4% pengguna YouTube adalah laki-laki dan 45,6% adalah perempuan.

Lebih dari separuh ( 50,6% ) pengguna YouTube adalah Generasi Z dan Milenial (lahir antara tahun 1981 dan 2012). Hanya 15% pengguna YouTube di AS yang merupakan generasi _Baby Boomer_ (1946-1964). Secara global, sekitar 54,3% pengguna YouTube berusia antara 18 dan 34 tahun. Sedangkan kanal dengan jumlah pelanggan terbanyak adalah: T-Series (257 juta subscriber), Mr Beast (228 juta subscriber), dan Cocomelon (170 juta subscriber). Video dengan jumlah view tertinggi adalah Baby Shark Dance dengan jumlah view mencapai 13,3 miliar, disusul Despacito dengan 8,25 miliar view, dan di tempat ketiga ada Johny Johny Yes Papa dengan 6,78 miliar views.

Ada trend di media pemutar video berbasis internet di Indonesia, selain para podcaster dan YouTuber dengan subscriber atau follower di media sosial yang berjumlah jutaan, kini seni pentas seperti Dangdut koplo, campursari, dan guyonan ala Jawa Timuran mulai mendapat pentas dengan jumlah viewer menembus angka jutaan.

Beberapa seniman dan penampil panggung daerah yang mengusung aneka genre seperti dangdut, tarling, koplo, campursari, ataupun guyonan gegojekan punya angka view yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan adanya engagement dan algoritma akan mulai mengarahkan feed, notifikasi, dan sistem SEO ke konten sejenis, atau kata kunci sejenis. Efek echo chamber akan terjadi dan jagat perkoploan akan menembus batas-batas global dengan jumlah penonton yang semakin kolosal.

Penampil tradisi seperti Cak Percil dan Kuntet, atau pesinden kondang yang juga komedian Soimah Poncowati, penyanyi dan pencipta lagu campursari seperti Denny Caknan dari Ngawi yang terkenal dengan Kartonyono nya, juga Abah Lala dari Boyolali, Arlida Putri dengan penampilan seronoknya, Irene Ghea yang anggun penuh pesona, serta Suliyana yang banyak menyanyikan lagu dari daerah Osing seperti Diana Sastra yang ahli cengkok tarling, dan biduan-biduan Minang yang lagunya juga mulai banyak dikenal, Takabek Gadih Rantau dll, jumlah view nya banyak yang menembus 1 juta.

Berpotensi menyaingi T-Series bukan? Selain memiliki potensi ekonomi digital dan kreatif yang sangat potensial, musik dan hiburan yang lahir dari rahim peradaban rakyat ini adalah bagian dari sistem sosial yang kompleks.

Berbicara tentang genre musik rakyat, banyak teori yang menisbatkan dangdut sebagai musik asli Indonesia, meski tentu saja ada asimilasi budaya dari berbagai seni tradisi yang masuk ke Nusantara selama berabad-abad. Ada unsur gambus dari timur tengah, fado dari Portugal, dan mungkin juga pengaruh dari budaya India. Meskipun demikian kearifan lokal pula yang menjadikan irama rancak ataupun mendayu dangdut punya cengkok yang ada unsur tajwid nya sekaligus ada elemen kawih Sunda ataupun selipan pentatonik Jawa.

Pada 1970-an, musik dangdut semakin dikenal berkat ikon seperti Rhoma Irama yang menyuguhkan musik ini dengan lirik sosial-politik dan spiritual. Dangdut menjadi medium protes dan refleksi bagi kaum marjinal, terutama dalam menghadapi tekanan ekonomi dan politik yang melanda Indonesia, saat itu.

Andrew Weintraub, dalam Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music, menegaskan bahwa dangdut adalah bentuk ekspresi yang unik dari budaya rakyat Indonesia. Dangdut merupakan sarana bagi masyarakat untuk merayakan, mengkritik, dan merespons perubahan sosial dalam bentuk yang mudah diakses dan dimengerti, tulisnya. Kajian Weintraub ini menekankan bagaimana dangdut menjadi bagian penting dari proses sosial yang lebih luas.

Lalu, bagaimana dangdut koplo muncul? Dangdut koplo mulai berkembang di wilayah pesisir Jawa, terutama dalam bentuk pertunjukan orkestra dengan irama cepat dan hentakan ritme yang khas. Koplo secara harfiah berarti kosong, namun secara musikal, koplo justru menggiring dangdut ke arah yang lebih dinamis dengan mengedepankan gaya tabuhan gendang yang energik.

Banyak yang beranggapan bahwa koplo adalah bentuk “merakyat” dari dangdut. Musikolog Bart Barendregt dalam bukunya Pop, Politics, and Popular Music in Southeast Asia melihat fenomena koplo sebagai bagian dari budaya pop yang mengangkat gaya hidup masyarakat kelas menengah ke bawah yang kerap dianggap sebelah mata. Koplo menjadi medium ekspresi bagi masyarakat yang mencari bentuk hiburan dan representasi budaya yang mereka rasakan sebagai milik sendiri,” jelasnya.

Secara teknis, dangdut koplo memiliki elemen musik yang khas, seperti irama gendang yang lebih cepat, cengkok vokal yang dinamis, dan penggunaan instrumen tambahan seperti drum elektronik. Musikolog Jeremy Wallach dalam esainya “Dangdut’s Migratory Dialects” di Asian Music menyebut koplo sebagai bentuk dialek dangdut yang mengalami modifikasi kontekstual, beradaptasi dengan keinginan pasar lokal dan selera musik yang berkembang.

Di lapangan, musisi dangdut koplo sering menambahkan unsur lokal seperti tembang Jawa atau pantun dalam liriknya. Irama koplo sendiri disebut-sebut mengikuti gaya “call and response” dari musik rakyat, yang memungkinkan interaksi langsung antara penyanyi dan penonton. Teori ini juga selaras dengan konsep musicking yang dikemukakan oleh ahli musik Christopher Small, di mana musik dianggap sebagai proses sosial yang melibatkan seluruh pihak, bukan sekadar karya yang dimainkan.

Di tengah popularitasnya, dangdut koplo sempat menuai kontroversi, terutama karena jogetan penontonnya yang dianggap berlebihan. Beberapa kritikus menilai dangdut koplo membawa aspek vulgaritas dalam budaya pop Indonesia, yang sempat membuat pertunjukan dangdut koplo dilarang di beberapa daerah pada awal kemunculannya.

Namun, para sosiolog melihat bahwa kontroversi ini justru menjadi bagian dari keberhasilan koplo dalam merengkuh penonton luas dari segala kalangan. “Koplo merefleksikan kebutuhan masyarakat akan hiburan yang mudah diakses dan dapat dinikmati secara terbuka, bahkan dalam ruang publik,” ujar Margaret Kartomi dalam Musical Instruments of Indonesia. Margaret juga menambahkan bahwa musik ini memainkan peran penting dalam membentuk identitas budaya masyarakat, terutama bagi kelas pekerja yang sering terpinggirkan dari budaya elit.

Dalam perspektif sosiologis, musik dangdut koplo menawarkan fungsi katarsis yang kuat bagi masyarakat. Koplo, dengan ritme cepat dan lirik sederhana, memungkinkan pendengarnya untuk melepaskan diri dari tekanan psikososial, baik dari sisi ekonomi maupun budaya. Peneliti sosiologi David McClelland mengemukakan bahwa ekspresi musik seperti dangdut koplo dapat membantu masyarakat membangun resilience atau ketahanan terhadap stres. Melalui tarian dan cengkok koplo, pendengar bisa mengalirkan emosi yang mungkin sulit diekspresikan dalam bentuk lain.

Jeremy Wallach, dalam Modern Noise, Fluid Genres, mengemukakan bahwa dangdut koplo, meskipun kerap dianggap sebagai bentuk musik “pinggiran,” justru berfungsi sebagai media adaptasi sosial bagi kelas pekerja. Musik ini tidak hanya menjadi hiburan; ia juga menjadi mekanisme pelepasan emosi yang menyatu dengan masyarakat. Bagi kelas pekerja yang menghadapi tekanan ekonomi, dangdut koplo menawarkan semacam ruang bebas untuk mengekspresikan perasaan tanpa batasan sosial.

Selain dangdut dan koplo yang memiliki fungsi sosiologis unik, ada satu genre khas Indonesia yang juga memiliki potensi serupa, campursari. Genre yang digeluti oleh Manthous dab Didi Kempot serta para penerus mereka seperti Denny Caknan. Seperti dangdut koplo, campursari juga mencerminkan bentuk adaptasi sosial melalui musik. Campursari merupakan genre musik yang menggabungkan gamelan Jawa dengan pengaruh musik Barat seperti keroncong, pop, dan bahkan dangdut. Campursari mencerminkan kearifan lokal dalam menghadapi globalisasi budaya, menciptakan produk musik hibrida yang menyerap berbagai pengaruh global tanpa kehilangan jati diri lokal.

Dalam perspektif sosiologi musik, campursari berperan sebagai bentuk perlawanan budaya (cultural resistance) dan simbol resiliensi budaya. Margaret Kartomi, dalam kajiannya tentang musik Indonesia, berpendapat bahwa campursari adalah bentuk “perpaduan” antara tradisi dan modernitas yang memungkinkan masyarakat untuk merayakan identitas lokal mereka sembari menerima dan mengadaptasi elemen dari budaya luar. Misalnya, campursari yang dibawa oleh seniman seperti Manthous mampu mengintegrasikan elemen global tanpa mengorbankan aspek tradisional yang dikenal masyarakat Jawa.

Secara musikal, dangdut koplo dan campursari memiliki karakteristik unik yang memadukan elemen tradisional dan modern. Koplo menambahkan instrumen drum elektronik, yang beresonansi dengan selera musik global, namun tetap mempertahankan cengkok khas dangdut. Teori musicking dari Christopher Small membantu menjelaskan fenomena ini: musik bukan hanya hasil karya, tetapi aktivitas sosial yang melibatkan pencipta, pemain, dan pendengarnya dalam sebuah interaksi budaya yang dinamis. Dalam kasus koplo dan campursari, musicking terlihat pada cara kedua genre ini memodifikasi dan menghidupkan kembali tradisi dalam kerangka musik yang lebih kontemporer.

Secara musikal, dangdut koplo dan campursari memiliki karakteristik unik yang memadukan elemen tradisional dan modern. Koplo menambahkan instrumen drum elektronik, yang beresonansi dengan selera musik global, namun tetap mempertahankan cengkok khas dangdut. Teori musicking dari Christopher Small membantu menjelaskan fenomena ini; musik bukan hanya hasil karya, tetapi aktivitas sosial yang melibatkan pencipta, pemain, dan pendengarnya dalam sebuah interaksi budaya yang dinamis. Dalam kasus koplo dan campursari, musicking terlihat pada cara kedua genre ini memodifikasi dan menghidupkan kembali tradisi dalam kerangka musik yang lebih kontemporer.

Sebagai musik yang dekat dengan masyarakat, dangdut koplo dan campursari berperan dalam membentuk resiliensi psikososial. Resiliensi, menurut sosiolog dan psikolog, adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mengatasi stres dan tekanan melalui berbagai mekanisme adaptasi, salah satunya adalah musik. Dalam konteks koplo dan campursari, musik ini bukan hanya hiburan, tetapi menjadi alat untuk menghadapi dan mengurangi stres dalam kehidupan sehari-hari. Secara sosial, musik ini membangun solidaritas kolektif dan memberikan tempat bagi ekspresi emosional, yang penting untuk menjaga kesejahteraan mental masyarakat.

Dalam berbagai penelitian, termasuk kajian-kajian sosiologis, musik dangdut koplo dan campursari terlihat berfungsi sebagai bentuk social support—memberi dukungan sosial kepada masyarakat yang merasakannya sebagai bentuk keintiman dengan budaya lokal. Dalam television studies dan analisis komunikasi massa, musik ini sering kali dibahas sebagai media yang memberikan refleksi langsung terhadap situasi ekonomi dan politik, sehingga menciptakan hubungan yang mendalam antara musik dan pendengarnya.

Mempelajari berbagai data dan fakta di atas, dapatkah dangdut, koplo, campur sari, tarling, dan seni tradisi asli negeri lainnya menjadi suatu piranti edukom (edukasi komunikasi) yang sekaligus merupakan “obat penenang sosial” dengan multi manfaat? Mulai dari ekonomi, inovasi, kreativitas, sampai enzim psikososial?

Sebagai gambaran di Synchronize 2024 yang gelarannya belum lama ini berjalan dengan sangat sukses, salah satu panggung dengan tingkat “kehebohan” tertinggi dan “meledak” di sosial media serta viral dan menjadi FYP serta trending topic, adalah penampilan Haddad Alwi dan Sulis.

Lagu Haddad Alwi dan Sulis yang berjudul Rindu Rasul sampai dibawakan 2x dengan impact yang sama luar biasanya. Seluruh penonton di depan panggung nyanyi dan bersholawat bersama. Menangis bersama sembari menjeritkan kerinduan kepada Rasulullah SAW. Seorang penonton/panitia wanita sampai naik ke atas pagar pembatas pentas dan menangis terduga terisak-isak menuangkan segenap resah dan gelisah dalam gerak dan lagu yang dinyanyikannya dengan segenap rindu. Tayangan tentang wanita itulah yang menjadi FYP dan trending topic di mana-mana dan bertahan dalam waktu cukup lama.

Di event yang sama tampil pula sang legenda Rhoma Irama dengan big band Sonetanya. Nama besar mereka ternyata bertahan lebih dari setengah abad (50 tahun) dan mereka masih mampu memikat para penikmat musik lintas generasi yang bahkan telah terpapar AI.

Dalam konteks yang sama di event yang berbeda, ada Nasida Ria, grup qosidahan tradisional asli Semarang dengan pencipta lagu utama KH Bukhori Masruri, bahkan menjadi bintang dalam suatu pementasan di Jerman belum lama ini. Terakhir, Nasida Ria yang liriknya terbukti amat futuristik di jamannya, seperti lagu Tahun 2000, berkolaborasi dengan penyanyi rap dan hip hop Tuan Tigabelas dan kontennya mulai wara-wiri di berbagai platform media sosial, termasuk You Tube tentu saja.

Sementara penghibur dan penampil panggung dengan genre “plesetan” yang penuh canda dan kritik sosial yang menyenangkan dengan memparodikan lagu tertentu, atau bahkan dengan tingkat musikalitas yang tinggi mampu melakukan musicking cerdas dengan komposisi baru berlatar tradisi Nusantara sebagaimana dilakukan oleh Wawan Teamlo yang piawai sekali dalam mencipta lagu, mengaransemen musik dan vokalnya, menampilkan gaya bernyanyi khas Batak (padahal Wawan orang Jawa), serta meramu kreativitas audio dan visual tersebut dalam inovasi multimedia yang ciamik. Video-video Wawan view nya juga menembus angka jutaan dan banyak direpost oleh akun-akun lainnya. Intinya Wawan berhasil trending melalui karya mandirinya yang sangat kreatif dan inovatif, tapi tak terlepas dari nilai budaya negeri sendiri yang menjadi inti dari muatan kearifan lokal yang patut untuk kita renungi dan pelajari.

Tak hanya Wawan, dari genre yang berbeda, si jenius Alffy Reff yang sangat piawai dalam memanfaatkan teknologi multimedia berteknologi tinggi telah melahirkan karya digital spektakuler bertajuk Wonderland Indonesia 1&2 serta karya epic lainnya: Guardian of Nusantara. Semuanya ditonton oleh jutaan pemirsa, mendapat reaksi dari seluruh dunia, dan hampir semuanya terkagum-kagum dengan mahakarya anak muda Indonesia asal Trawas Mojokerto ini.

Sejujurnya masih banyak lagi talenta Indonesia yang punya banyak karya dan paham akan dinamika perkembangan teknologi serta berbagai platform di dalamnya yang dapat menjadi landasan untuk berkarya. Tak hanya animasi atau CGI, kini sebagian dari talenta kita telah akrab dengan AI, generative AI dan berbagai aplikasi turunannya yang dapat meningkatkan kualitas karya dan menawarkan pengalaman sensori yang dapat menghasilkan metasensasi.

Demikianlah sekelumit ulasan hari ini, dari inspirasi yang datang melalui Mbak Irene Ghea dengan OM Adella nya, kita sedikit kupas Yutub, dan pada gilirannya kita bahas potensi kreativitas seni bangsa sendiri sebagai alat ketahanan budaya, sosial, dan psikologi di tengah percaturan konflik dunia yang kini bergeser ke ranah tempur di medan digital. Semoga seni dan budaya Indonesia yang adiluhung sekaligus fleksibel dan adaptif, dapat terus menjadi perekat bangsa dan pengobat duka derita di tengah dera berbagai persoalan yang mulai kerap menerpa ummat manusia. 🙏🏾🇲🇨🩵

Bahan Bacaan Lanjut

1. Barendregt, Bart. Pop, Politics, and Popular Music in Southeast Asia. Routledge, 2014.

2. Weintraub, Andrew N. Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music. Oxford University Press, 2010.

3. Yampolsky, Philip. “Forces for Change in the Regional Performing Arts of Indonesia.” Indonesia, No. 34 (1982): 9-38.

4. Lubis, Ahmad S. Dangdut: Musik dan Kebudayaan Populer Indonesia. Mizan, 1998.

5. Wallach, Jeremy. “Dangdut’s Migratory Dialects.” Asian Music, Vol. 39, No. 2 (2008): 3-30.

6. Kartomi, Margaret. Musical Instruments of Indonesia. Oxford University Press, 1990.

7. Small, Christopher. Musicking: The Meanings of Performing and Listening. Wesleyan University Press, 1998.

8. McClelland, David. Human Motivation and Adaptation. Cambridge University Press, 1985.

9. Wallach, Jeremy. Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia, 1997-2001. University of Wisconsin Press, 2008.

10. Kartomi, Margaret. “Cultural Resilience through Hybrid Music Genres in Indonesia.” Asian Music Journal, Vol. 45, No. 1 (2011).

11. Harnish, David, and Anne Rasmussen. Divine Inspirations: Music and Islam in Indonesia. Oxford University Press, 2011.

12. Sen, Krishna, and David T. Hill. Media, Culture and Politics in Indonesia. Equinox Publishing, 2007.

13. Picard, Michel, and Robert E. Wood. Tourism, Ethnicity, and the State in Asian and Pacific Societies. University of Hawaii Press, 1997.

14. Moehn, Frederik. “Musical Intersections and Black Atlantic Exchanges.” Ethnomusicology, Vol. 53, No. 1 (2009): 1-20.

15. Raditya, Mahyuni. Dangdut Koplo: Sejarah dan Perkembangan di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, 2020.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts