Tauhid Nur Azhar

Danantara, Catudaya Kemajuan Indonesia di Masa Depan

Sebagai sebuah negara dengan begitu banyak potensi sumber daya, Indonesia adalah representasi nyata dari idiom zamrud di khatulistiwa. Mulai dari potensi demografi sampai potensi catudaya daya energi. Mulai dari isi perut bumi, sampai biodiversitas di lautan yang menjadi portal hayati dari ekosistem 2 samudera utama dunia.

Dimana semua sumber daya itu adalah kapital atau modal yang dapat dioptimasi sebagai penggerak pembangunan secara berkesinambungan. Untuk itu Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, berencana mendirikan Daya Anagata Nusantara, sebuah holding company yang mengelola aset strategis negara untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan. Model pengelolaan yang diusung mirip dengan Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah Nasional di Malaysia, namun diadaptasi ke dalam konteks ekonomi, politik, dan sosial Indonesia.

Sejalan dengan rencana itu, pemikiran Sri Mulyani Indrawati, menteri keuangan kabinet Merah Putih, mengenai peran fiskal dan moneter untuk stabilisasi ekonomi dan penciptaan pertumbuhan inklusif menjadi sumber inspirasi penting. Dalam berbagai kesempatan, Sri Mulyani menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang fleksibel dan responsif, terutama dalam menghadapi tekanan global.

Dengan mengoptimalkan keberadaan dan fungsisuper holding yang merupakan badan investasi terpadu, Daya Anagata Nusantara, pemerintah Indonesia dapat mengurangi ketergantungan terhadap pendanaan APBN dan pinjaman luar negeri, serta menumbuhkan sumber pendapatan yang mandiri. Pendapatan dari pengelolaan aset strategis ini bisa digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan mendukung sektor-sektor yang rentan terhadap tekanan global, misalnya sektor kesehatan dan pendidikan.

Adapun disadur dari situs resminya, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara dibentuk untuk melaksanakan tugas dalam mengelola investasi strategis negara. Dalam menjalankan misi nya, Danantara akan mendorong transformasi ekonomi Indonesia dengan menumbuhkan korporasi berskala dunia. Danantara juga berkomitmen untuk mendukung pembangunan nasional dan menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Nama Danantara, yang dicetuskan oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, berasal dari gabungan kata Daya Anagata Nusantara. Nama ini melambangkan kekuatan masa depan Nusantara dan simbol kekuatan kolektif Indonesia yang siap menghadapi tantangan global, menciptakan peluang, serta menempatkan Indonesia setara dalam perekonomian dunia.

Danantara hadir sebagai katalis investasi nasional, mengemban peran penting dalam mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045. Tagline Danantara “Untuk Indonesia Setara” atau For Indonesia, For the World, menegaskan komitmen Danantara untuk menjadikan Indonesia setara dengan negara-negara maju dalam perekonomian global, serta mencerminkan tekad Danantara untuk memperkuat kesejahteraan ekonomi dan sosial bangsa, mendorong kemajuan yang inklusif dan berkelanjutan.

Dengan adanya aset negara yang dioptimalkan melalui Daya Anagata, Indonesia diharapkan mampu mengurangi pinjaman luar negeri dan meningkatkan pendapatan negara secara mandiri. Menurut teori pendapatan jangka panjang (Permanent Income Hypothesis), dana yang diperoleh dari pengelolaan aset negara dapat dialokasikan untuk pembiayaan pembangunan dan menjaga defisit anggaran pada level yang terkendali.

Di sisi moneter, efek dari pengelolaan aset oleh Daya Anagata diprediksi akan memberikan dampak positif pada stabilitas nilai tukar rupiah. Dengan investasi strategis yang dirancang secara diversifikasi, holding ini akan meningkatkan cadangan devisa sehingga lebih tahan terhadap gejolak global. Ekonom seperti Joseph Stiglitz berpendapat bahwa holding berbasis negara yang dikelola dengan hati-hati dapat menjadi alat yang efektif dalam menghindari ketergantungan terhadap modal asing.

Danantara jika memang akan berperan sebagai lembaga investasi yang mendapatkan kapital dari memonetisasi asset berupa sumber daya, termasuk alam melalui mekanisme dengan model sovereign wealth funds atau SWF, dapat menjadikan Temasek dan Khazanah sebagai benchmark.

Singapura dan Malaysia, dua negara yang dalam beberapa dekade terakhir menjadi simbol stabilitas ekonomi di Asia Tenggara, telah berhasil memanfaatkan sumber daya melalui holding company milik negara, yaitu Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah Nasional Berhad di Malaysia. Kedua entitas ini didirikan dengan tujuan yang serupa; sebagai mesin kapital yang diberi mandat mengelola aset negara untuk pertumbuhan berkelanjutan.

Temasek, sejak didirikan pada 1974, berperan penting dalam memacu pertumbuhan Singapura. Mengadopsi teori Sovereign Wealth Funds (SWF), Temasek mengelola portofolio investasi yang mencakup berbagai sektor, dari teknologi hingga energi, di dalam dan luar negeri. Menurut ekonom internasional Andrew Sheng, Temasek menunjukkan model yang efektif dari sinergi antara aset publik dengan investasi strategis, meminimalisir ketergantungan pada sumber daya eksternal.

Khazanah Nasional, di Malaysia, berdiri pada tahun 1993, dan menjadi pelopor dalam inovasi investasi untuk Malaysia. Holding ini memiliki pendekatan developmental state, di mana fokus tidak hanya pada keuntungan finansial tetapi juga pada pembangunan sosial. Menurut Jomo Kwame Sundaram, seorang ekonom Malaysia, Khazanah berfungsi sebagai perpanjangan tangan negara dalam memastikan ekonomi yang seimbang, di mana sektor strategis seperti pendidikan dan kesehatan mendapatkan dukungan yang signifikan.

Salah satu pendekatan yang diambil Temasek adalah dengan menginvestasikan aset di berbagai sektor dan wilayah geografis, yang membantu mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap satu sektor saja. Daya Anagata Nusantara dapat berperan dalam investasi internasional yang mendukung kestabilan nilai tukar rupiah. Hal ini sejalan dengan konsep risk sharing atau berbagi risiko yang dianggap penting oleh para ekonom seperti Joseph Stiglitz, di mana stabilitas moneter tercapai dengan memperluas diversifikasi investasi.

Keberadaan lembaga investasi dengan model SWF, dapat menjadi salah satu elemen dalam upaya melakukan proses counter cyclical. Dimana Konsep counter-cyclical adalah kebijakan ekonomi yang dirancang untuk menstabilkan perekonomian dengan cara melawan siklus ekonomi. Dalam konteks kebijakan fiskal atau moneter, langkah-langkah counter-cyclical diambil untuk mengurangi dampak negatif dari fluktuasi ekonomi dengan mengatur laju permintaan atau penawaran dalam ekonomi, tergantung pada fase siklus ekonomi yang sedang berlangsung.

Tujuan utama mekanisme counter cyclical adalah untuk menstabilkan perekonomian dengan mengurangi intensitas boom (lonjakan ekonomi) dan bust (kontraksi ekonomi) yang biasanya dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi jangka panjang, seperti inflasi yang berlebihan atau tingkat pengangguran yang tinggi.

Kebijakan fiskal dalam konteks counter cyclical, dapat dilakukan dengan peran pemerintah yang dapat meningkatkan pengeluaran publik atau menurunkan pajak untuk mendorong konsumsi dan investasi. Dengan cara ini, permintaan agregat dalam ekonomi didorong naik sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan produksi.

Kebijakan moneter counter cyclical, dapat dilakukan dengan Bank sentral menurunkan suku bunga atau melonggarkan kebijakan moneter untuk memperbanyak uang beredar dan mendorong investasi serta pinjaman. Langkah ini membantu meningkatkan daya beli masyarakat serta mendorong pengeluaran dan investasi swasta.

Maklumlah selama berlangsungnya kondisi khusus et causa pandemi, praktis aktivitas ekonomi lumpuh dan banyak keluarga yang kehilangan akses terhadap kesempatan berusaha dan bekerja. Hal ini memang terjadi di banyak negara secara global, namun tentu saja diperlukan strategi khusus agar bisnis di skala UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung bagi pertumbuhan ekonomi di beberapa negara yang merupakan kekuatan baru ekonomi dunia, termasuk Indonesia.

Maka pendekatan model counter cyclical dan keberadaan lembaga investasi negara yang dapat mengoptimasi dan memvaluasi sumber daya yang selama ini belum terkalkulasi secara kuantitatif menjadi krusial.

Dalam salah satu kesempatan Ibu Sri Mulyani juga pernah menjelaskan bagaimana cara Amerika untuk bangkit dari proses resesi ekonomi yang cukup parah menerpa negara Paman Sam itu pada 2008. Dan quantitative easing menjadi salah satu upaya untuk mengontrol uang beredar dan pada gilirannya nilai tukarnya lokal memang menjadi valuta yang berpengaruh di kawasan. Quantitative Easing (QE) adalah salah satu bentuk kebijakan moneter yang dapat digunakan secara counter-cyclical, terutama untuk merespons resesi atau kontraksi ekonomi. Dalam kebijakan QE, bank sentral membeli aset finansial, biasanya obligasi pemerintah atau aset-aset lain dari pasar terbuka, untuk menambah jumlah uang beredar dalam ekonomi. Langkah ini bertujuan menurunkan suku bunga jangka panjang, mendorong investasi, dan meningkatkan daya beli masyarakat.

QE mendorong permintaan agregat (total pengeluaran dalam ekonomi) dengan mengurangi biaya pinjaman dan meningkatkan harga aset. Ketika bank sentral membeli aset, harga aset tersebut naik, dan tingkat imbal hasilnya turun. Ini membantu menurunkan suku bunga pinjaman, meningkatkan aktivitas investasi, dan mendorong sektor konsumen untuk melakukan pengeluaran.

QE juga dapat mendorong counter-cyclical dalam upayanya menghindari deflasi selama periode resesi. Dengan menambah jumlah uang beredar, kebijakan ini membantu menjaga stabilitas harga atau bahkan mendorong inflasi ke tingkat yang lebih tinggi bila diperlukan, sehingga risiko deflasi dapat ditekan.

Kebijakan QE sering kali diterapkan sebagai respons counter cyclical untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dalam situasi krisis. Contoh, selama krisis finansial global 2008 dan pandemi COVID-19, banyak bank sentral, seperti The Fed, Bank of England, dan Bank of Japan, menerapkan QE untuk menghindari penurunan lebih lanjut dalam pasar keuangan dan memastikan aliran kredit ke sektor riil tetap berjalan.

Akan sangat menarik jika Indonesia yang tengah berupaya bangkit untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi baru, ditandai dengan adanya wacana bergabung dengan BRICS dan pembentukan Danantara, juga memanfaatkan platform dan alat transaksi digital yang dikenal sebagai block chain dan cryptocurrency.

Model unik yang agak berbeda dengan model pembiayaan berbasis uang kartal, giral, dan fiat yang kita kenal selama ini. Sistem pembiayaan tanpa jaminan intrinsik tetapi melibatkan rantai distribusi kepercayaan dengan sifatnya yang terdesentralisasi, khususnya dalam kewenangan transaksi.

Penulis bersama Dr Dody Qori Utama dan Dekan Bank Indonesia Institute pernah mengajukan konsep BC semi sentralisasi dimana aspek kewenangan terdistribusi secara terbatas. Tujuannya agar peran kontrol moneter oleh otoritas bank sentral masih bisa dijalankan.

Memanfaatkan cryptocurrency dalam strategi countercyclical yang kita butuhkan dalam upaya untuk membangkitkan perekonomian suatu negara merupakan pendekatan baru yang dapat memberi manfaat dan tantangan tersendiri. Cryptocurrency, dengan sifatnya yang terdesentralisasi dan likuid, menawarkan beberapa peluang dalam mendorong aktivitas ekonomi dan stabilitas keuangan, terutama dalam kondisi resesi atau kontraksi ekonomi.

Berikut adalah beberapa cara potensial di mana cryptocurrency dapat digunakan dalam konteks counter cyclical

1. Meningkatkan Likuiditas dengan Akses pada Pasar Global

Cryptocurrency memungkinkan akses cepat dan murah ke pasar global karena transaksi dilakukan tanpa perantara bank tradisional. Dalam kondisi ekonomi yang melemah, pemerintah dapat merancang skema untuk mempermudah transaksi bisnis lintas batas menggunakan cryptocurrency yang stabil (stablecoins) agar likuiditas tetap lancar, terutama bagi usaha kecil dan menengah (UKM) yang biasanya kesulitan mengakses kredit di masa sulit.

Konsep nyata yang dapat dikembangkan antara lain adalah dengan membangun kemitraan dengan platform blockchain untuk UKM agar dapat menerima dan mengirim pembayaran internasional dengan biaya lebih rendah.

Hal ini akan meningkatkan arus kas bagi UKM dan memudahkan mereka untuk tetap beroperasi, sehingga mempertahankan lapangan kerja dan mengurangi dampak resesi.

2. Menciptakan Stablecoin Nasional sebagai Alat Bantu Moneter

Beberapa negara, seperti China dan Bahama, telah memperkenalkan Central Bank Digital Currency (CBDC), yang pada dasarnya adalah stablecoin nasional. Dalam konteks counter cyclical, CBDC dapat digunakan untuk menyalurkan bantuan langsung kepada masyarakat dan meningkatkan daya beli. Selain itu, CBDC memungkinkan bank sentral memantau aliran dana secara lebih langsung dan cepat untuk menilai efektivitas stimulus.

Model implementasinya antara lain, pemerintah atau bank sentral dapat merilis stablecoin yang dikelola negara (CBDC) untuk distribusi stimulus langsung ke dompet digital warga, terutama dalam kondisi resesi atau kontraksi.

Hal ini dapat mempercepat distribusi bantuan dan meningkatkan daya beli masyarakat tanpa harus bergantung pada sistem perbankan tradisional yang mungkin lambat atau terbatas.

3. Memfasilitasi Akses Pembiayaan Alternatif melalui Decentralized Finance (DeFi)

Platform DeFi memungkinkan pengguna untuk meminjam dan meminjamkan dana tanpa perantara, menggunakan protokol smart contract di blockchain. Dalam masa resesi, DeFi dapat membantu individu dan bisnis kecil mengakses kredit mikro tanpa persyaratan ketat dari bank tradisional.

Mod implementasi nyatanya adalah, pemerintah dapat memberikan dukungan atau jaminan pada platform DeFi tertentu atau membuat platform yang dapat diandalkan, di mana bisnis kecil dapat mengakses kredit mikro.

Hal ini dapat memudahkan pelaku usaha dan masyarakat untuk mendapatkan modal atau pinjaman mikro, yang dapat membantu mempertahankan bisnis atau memenuhi kebutuhan konsumsi.

4. Mengurangi Tekanan Inflasi dengan Diversifikasi Aset Cadangan

Dalam kondisi kontraksi ekonomi, beberapa negara mungkin mengalami inflasi tinggi karena nilai mata uang yang melemah. Negara dapat mempertimbangkan untuk menambah cryptocurrency ke dalam cadangan devisa sebagai alat diversifikasi, terutama cryptocurrency yang telah mapan seperti Bitcoin, CBDC jika sudah tersedia dan siap. Sifat deflasi dari cryptocurrency ini dapat membantu menjaga nilai cadangan negara.

Model implementasinya, antara lain adalah, Bank sentral mengalokasikan sebagian kecil cadangan dalam cryptocurrency atau CBDC sebagai tambahan untuk aset cadangan seperti emas dan mata uang asing.

Manfaat yang bisa didapatkan adalah diversifikasi ini dapat menjadi aset lindung nilai terhadap inflasi yang didorong oleh ketidakpastian pasar, terutama ketika mata uang fiat mengalami depresiasi.

5. Menggunakan Tokenisasi untuk Pendanaan Infrastruktur

Dalam kondisi ekonomi yang melemah, proyek-proyek infrastruktur sering kali sulit didanai. Dengan teknologi blockchain, aset seperti proyek infrastruktur dapat ditokenisasi, di mana pemerintah dapat menawarkan token kepada investor domestik dan asing untuk membiayai proyek tertentu. Ini memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembiayaan proyek pembangunan dan dapat merangsang aktivitas ekonomi. Saat ini mekanisme ini dilakukan melalui obligasi atau surat utang negara (SUN).

Model implementasi kongkretnya adalah, pemerintah menerbitkan token infrastruktur yang dapat dimiliki oleh investor publik maupun swasta sebagai sarana pembiayaan proyek.

Manfaat dari konsep ini antara lain, dapat memperluas akses masyarakat terhadap investasi dalam proyek pemerintah dan memberikan sumber pembiayaan baru yang fleksibel untuk proyek strategis.

6. Memperkuat Kebijakan Ekspor Melalui Cryptocurrency

Cryptocurrency dapat memfasilitasi pembayaran internasional dengan cepat dan murah, yang penting bagi eksportir dalam kondisi ekonomi sulit. Pemerintah dapat memanfaatkan cryptocurrency untuk meningkatkan daya saing perusahaan lokal dalam ekspor, memberikan insentif kepada perusahaan yang menggunakan cryptocurrency dalam transaksi internasional.

Model implementasi kongkretnya, memberikan insentif pajak atau subsidi kepada perusahaan yang memanfaatkan cryptocurrency untuk transaksi internasional.

Manfaat dari sistem ini, yaitu antara lain; mengurangi biaya transaksi bagi eksportir lokal, memperkuat posisi kompetitif mereka, dan meningkatkan pendapatan devisa.

Mari kita berasumsi secara logis, jika nilai aset sumber daya diperhitungkan secara rasional dan menjadi bagian dari valuasi kapital secara SWF, yang sebagiannya disubstitusi sebagai token untuk pembangunan seperti infrastruktur serta subsidi daya saing serta bantuan permodalan dengan skema insentif khusus, maka daya saing industri nasional, hulu-hilir, akan meningkat.

Potensi sumber daya alam dan asset serta peluang pendapatan negara dari carbon trade dan intensifikasi sektor perpajakan (fiskal) dengan penerapan digitalisasi dalam sistem Core Tax dapat dikelola dengan lebih fleksibel, fokus, dan berorientasi pada keunggulan kompetitif dari produk dan sistem produksi. Peningkatan daya saing dengan pengelolaan terintegrasi dan berpadu harmoni dengan stimulus bergenre subsidi yang tepat sasaran tentu akan dapat mengakselerasi kemajuan ekonomi Indonesia hingga dapat unggul di kawasan 🙏🏾🇲🇨🩵

Bahan Bacaan Lanjut

1. Benigno, P., & Fornaro, L. (2018). Stagnation traps. The Review of Economic Studies, 85(3), 1425-1470.

2. Bordo, M. D., & Levin, A. T. (2017). Central bank digital currency and the future of monetary policy. NBER Working Paper Series.

3. Brunnermeier, M. K., James, H., & Landau, J. P. (2019). The digitalization of money. BIS Working Papers.

4. Carstens, A. (2021). Central bank digital currencies: Foundational principles and core features. Bank for International Settlements.

5. Chen, S., & Liu, X. (2020). The macroeconomic implications of digital currency: A survey. Journal of Economic Surveys, 34(5), 1105-1127.

6. Claeys, G., Demertzis, M., & Efstathiou, K. (2018). Cryptocurrencies and monetary policy. Bruegel Policy Contribution.

7. De Grauwe, P. (2020). The Economics of Monetary Union. Oxford University Press.

8. De Vries, A. (2018). Bitcoin’s growing energy problem. Joule, 2(5), 801-805.

9. Dyson, B., & Hodgson, G. (2016). Digital Cash: Why Central Banks Should Start Issuing Electronic Money. Positive Money.

10. Eichengreen, B. (2019). From commodity to fiat and now to crypto: What does history tell us? NBER Working Paper Series.

11. Fatas, A., & Mihov, I. (2012). Fiscal Policy as a Countercyclical Tool. CEPR Discussion Papers.

12. Friedman, M. (1969). The Optimum Quantity of Money and Other Essays. Aldine Publishing Company.

13. Gurkaynak, R. S., Sack, B., & Swanson, E. (2005). Do Actions Speak Louder Than Words? The Response of Asset Prices to Monetary Policy Actions and Statements. International Journal of Central Banking, 1(1), 55-93.

14. Herkenhoff, K., Phillips, G., & Cohen, G. (2019). Cryptocurrency and Capital Flows in Emerging Markets. IMF Working Papers.

15. Kim, D. H., & Lin, S. C. (2012). Counter-cyclical or pro-cyclical fiscal policy? Emerging markets experience. Journal of International Money and Finance, 31(5), 1247-1268.

16. Narayanan, A., Bonneau, J., Felten, E., Miller, A., & Goldfeder, S. (2016). Bitcoin and Cryptocurrency Technologies. Princeton University Press.

17. Prasad, E. S. (2021). The Future of Money: How the Digital Revolution is Transforming Currencies and Finance. Harvard University Press.

18. Rogoff, K. (2017). The Curse of Cash: How Large-Denomination Bills Aid Crime and Tax Evasion and Constrain Monetary Policy. Princeton University Press.

19. Stiglitz, J. E. (2018). Where modern macroeconomics went wrong. Oxford Review of Economic Policy, 34(1-2), 70-106.

20. Wray, L. R. (2015). Modern Money Theory: A Primer on Macroeconomics for Sovereign Monetary Systems. Springer.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts