Dari Kota ke Kota Melalui Satu Desa ke Desa Lainnya, Selalu Ada Tanda
Saya itu termasuk pribadi labil yang kerap berperilaku agak impulsif pada saat berada dekat stasiun kereta. Terlebih menurut para peneliti neuromolekuler ada dugaan bahwa mutasi pada reseptor Dopamin yang dikenal sebagai D4 atau gen nya DRD4 itu dikaitkan dengan berbagai fenotip perilaku, termasuk disfungsi sistem syaraf otonom, gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas, dan sifat kepribadian yang suka mencari hal baru, yang dalam konotasi positif disebut dengan spontan (tanpa huhuy), dan dalam konteks negatif sering dikaitkan dengan perilaku impulsif, dapat membuat pribadi yang bersangkutan mengambil keputusan mendadak yang tidak dipikirkan secara matang.
Pada kasus hubungan saya dengan stasiun kereta api dan aplikasi Access yang berbahaya karena dapat memfasilitasi para “pecandu perjalanan” seperti saya ini dengan berbagai kemudahan yang pada gilirannya berbuah pada keputusan pembelian tiket go show, terlebih ada “iming-iming” khusus bagi pelanggan di skema go show yang menawarkan harga murah agar okupansi sarana kereta dapat terpenuhi; perilaku impulsif itu dapat maujud karena adanya dukungan sistem dan infrastruktur yang terlibat di dalamnya, termasuk aplikasi Access by KAI tentunya π«£.
Harga tiket murah dan jadwal yang memungkinkan adalah suatu hal yang amat menggiurkan hingga dapat membuat saya dengan cepat dapat merubah agenda dengan tindakan yang mungkin bukan lagi impulsif instingtual, melainkan sudah masuk kategori kompulsif, karena sudah menjadi hasrat yang tak tertahankan dan selalu butuh penyaluran jika tidak ingin menimbulkan kondisi kegawatdaruratan.
Pemuasan syahwat berkelana di atas kereta itu kerap membawa saya tanpa sengaja jadi seperti melakukan muhibah incognito ke berbagai kota yang dilalui kereta. Mulai dari iseng saja naik KA terlaris sepanjang tahun 2023, Joglosemarkerto yang merupakan kereta loop line Jateng-DIY, dengan alasan sederhana ingin merasakan sensasi melalui jalur kereta pertama Jawa, Semarang-Tanggung yang dibangun mulai 17 Juni 1864 dengan ditandai cangkulan perdana Baron Sloet van de Beele sang gubernur jenderal Hindia Belanda, sampai tiba-tiba naik KA Ranggajati dengan alasan sederhana, karena ingin merasakan nikmatnya sensasi kelas bisnis dengan kursinya yang istimewa, sebelum rangkaian KA bisnis di Ranggajati diganti oleh kereta era new generation yang kini tengah menjadi primadona.
Walhasil kerap saya terdampar di sebuah homestay bertarif 100 ribuan di sebuah kota kecil antah berantah karena dorongan kompulsif naik kereta itu membawa saya memasuki pintu Doraemon yang bisa membawa kita kemana saja. Dan itulah nikmatnya, ketika pagi menjelang, secangkir kopi robusta dijerang, dan hari beranjak terang, bakul pecel gendongan pun datang menerjang. Saya pun terjengkang, tak kuasa menahan rasa lezat bumbu kacang yang menyerang. Terlebih bumbu kacang itu berkolaborasi dengan kembang turi dan peyek urang. Pilih mana? Peyek Urang atau Peyuk Ayang. Sayangnya si Ayang yang kini sudah semakin beranjak dewasa alias STW, mulai kurang suka perilaku impulsif saya yang semena-mena. Meski saat ini banyak peluang berkelana sehubungan dengan model kerja WFH atau bahkan WFA, work from anywhere, Ayang sudah tidak begitu suka mendadak terdampar dalam sebuah selimut di losmen tua. Tidak suka lagi kelon-kelonan di pondok kayu kaki gunung tanpa shower dan koneksi wi-fi.
Jadi pilihannya sekarang peyek urang lah ya.
Tapi jangan bilang kalau compulsive travelling yang saya lakukan dengan kereta tidak ada gunanya loh. Dalam perjalanan-perjalanan itu saya jadi banyak melihat berbagai keunikan dan dinamika kehidupan di berbagai kota yang saya singgahi. Ada kota yang memedomani Singapura, tertata sedemikian rapi dengan aturan-aturan publik yang dengan tegas diterapkan. Kotanya cantik, bersih, tapi rasanya kok agak mekanistik deterministik ya? Ada pula kota yang poll semrawut. Semua yang beraktivitas tampaknya berpedoman pada hukum suka-suka. Tapi anehnya ada regulasi yang dapat menciptakan harmoni di saat berbagai perilaku impulsif individual bertemu di ruang kepentingan bersama. Semacam swarm Intelligence kawanan burung Belibis atau ikan Teri di lautan. Di tengah pusar dinamika kebutuhan yang maujud dalam berbagai bidang transaksi dengan hukum imbal balik berdasar modal berupa effort, skill, atau komoditas yang dapat dipertukarkan dengan hal-hal yang dibutuhkan, tercipta orkestrasi terkait dengan kepentingan bersama. Khususnya pada hal-hal terkait masalah survival. Akumulasi kebutuhan personal dalam hal survival dapat menjadi konstruksi kesadaran komunal.
Banyak pula berbagai kondisi yang berbeda latar cerita terjadi secara bersama di lokus atau habitat yang sama, misal sebuah kota. Ada kota bagian elit dengan segenap keindahan estetika tertata sedemikian rupa, sementara di gang-gang kecil di balik rumah berbenteng menjulang, ada lokus hunian dengan segenap kekumuhan yang dibingkai oleh alunan musik dangdut yang bercampur dengan genangan-genangan kemiskinan yang meski tampak tak luas, tapi dapat menenggelamkanmu dalam nestapa yang mengalir deras.
Ada kota dengan sistem informasi canggih, drainase pencegah banjir yang baik, pengolahan sampah terintegrasi hingga menjadi energi, layanan kesehatan tingkat primer hingga rujukan yang prima, dan ada pula kota yang justru melambatkan tempo agar selaras dengan tarikan nafas budaya yang mengedepankan harmoni dan sinergi dengan segenap elemen kehidupan.
Lokus dengan populasi yang condong sedentary alias mager, dapat bersanding dengan lokus dengan populasi yang didominasi oleh sifat frugal, yang tak sekedar hemat tapi juga cermat dan taat dengan nilai yang diyakini akan membawa selamat.
Yang membuat saya tak habis pikir adalah, bagaimana keteraturan dan berbagai upaya pemenuhan kebutuhan fundamental manusia yang bersifat mandatori tersebut pada gilirannya dapat menjadi sebuah konstruksi sistem tak kasat mata yang membangun sebuah peradaban yang seolah digerakkan oleh tangan-tangan maya.
Tak dapat dipungkiri sejak ribuan tahun yang lalu, manusia telah mengalami perjalanan panjang dalam beradaptasi dan membentuk pola hidup yang lebih kompleks. Dari kelompok nomaden yang berpindah-pindah, mereka kemudian memilih hidup menetap. Tentu saja, proses ini tidak terjadi dalam satu malam. Sejarah mencatat bahwa manusia mulai membangun permukiman, menciptakan sistem pemerintahan, mengembangkan sistem ekonomi, hingga menciptakan aturan-aturan hukum. Namun, bagaimana sebenarnya perubahan besar ini terjadi? Apa yang mendorong manusia memilih hidup menetap dan mengembangkan struktur sosial yang lebih kompleks?
Peradaban manusia bermula dari satu keputusan besar, berhenti berpindah dan mulai menetap. Keputusan ini mengubah arah sejarah manusia. Lewis Morgan dan Herbert Spencer dalam teori evolusi sosial menekankan bahwa manusia bergerak melalui beberapa tahap perkembangan sosial, dari bentuk sosial yang sederhana menuju masyarakat yang lebih kompleks. Mereka menjelaskan bahwa permukiman adalah titik awal penting dalam perkembangan ini.
Robert Park, dalam pendekatan urban ecology, melihat kota sebagai sebuah ekosistem, tempat di mana manusia berinteraksi tidak hanya dengan sesamanya tetapi juga dengan lingkungannya. Konsep permukiman ini berkembang menjadi kota, tempat bertemunya berbagai kepentingan sosial, ekonomi, dan politik.
Pendapat Jared Diamond dalam Guns, Germs, and Steel juga patut dipertimbangkan. Diamond berpendapat bahwa perkembangan permukiman sangat dipengaruhi oleh domestikasi tanaman dan hewan. Dengan adanya sumber pangan yang stabil, manusia memiliki alasan untuk tinggal di satu tempat. Domestikasi inilah yang pada akhirnya memicu munculnya kota-kota pertama di dunia.
Dari permukiman yang sederhana, masyarakat mulai membentuk struktur pemerintahan yang lebih kompleks. Awalnya, pemerintahan berbentuk monarki atau kekuasaan absolut yang diwariskan secara turun-temurun. Namun, seiring perkembangan waktu, sistem pemerintahan menjadi lebih demokratis.
Max Weber, seorang sosiolog terkenal, memperkenalkan teori legitimasi kekuasaan yang menyatakan bahwa kekuasaan yang sah hanya dapat diterima jika diakui oleh masyarakat.
John Locke dan Jean-Jacques Rousseau menyumbangkan gagasan penting tentang asal usul negara melalui teori kontrak sosial. Mereka meyakini bahwa pemerintah ada karena kesepakatan bersama untuk menciptakan aturan yang menjaga ketertiban. Sementara Norbert Elias, dalam The Civilizing Process, menggambarkan bahwa kekuasaan memiliki peran dalam menciptakan masyarakat yang teratur.
Perkembangan sistem ekonomi menjadi fondasi penting bagi kesejahteraan sosial. Masyarakat awal berbasis pada ekonomi agraris, di mana pertanian menjadi sumber utama penghidupan. Seiring waktu, sistem ekonomi berkembang menjadi sistem perdagangan yang lebih kompleks, dan akhirnya kapitalisme. Karl Marx dan Friedrich Engels dalam pandangannya tentang kapitalisme menunjukkan bahwa distribusi kekayaan yang tidak seimbang dalam sistem ini dapat menyebabkan ketimpangan sosial.
Amartya Sen, dalam Development as Freedom, menekankan pentingnya kebebasan dalam ekonomi untuk mencapai kesejahteraan sosial. Ia melihat kesejahteraan sebagai hak dasar setiap individu, dan pemerintah memiliki peran dalam memfasilitasi tercapainya hal tersebut. Pemikiran ini kemudian melahirkan perdebatan, seperti yang disampaikan oleh Milton Friedman dan Joseph Stiglitz, tentang sejauh mana peran pemerintah dalam ekonomi.
Dengan berkembangnya masyarakat, muncul kebutuhan untuk menciptakan aturan yang mengatur kehidupan sosial. Hukum menjadi instrumen penting dalam membentuk masyarakat yang tertib. Thomas Aquinas mempopulerkan teori hukum alam, yang beranggapan bahwa hukum harus berdasarkan prinsip etis universal yang melekat dalam kodrat manusia.
John Austin dengan teori positivisme hukumnya, melihat hukum sebagai seperangkat aturan yang diberlakukan oleh otoritas, tanpa melihat etika sebagai faktor utama. Michel Foucault dalam Discipline and Punish memberikan perspektif yang berbeda, melihat hukum sebagai bagian dari mekanisme kekuasaan yang digunakan untuk mengontrol masyarakat. Intinya komunitas dengan dinamika benturan kepentingan yang luar biasa, memerlukan suatu sistem kendali yang dapat menjamin terciptanya suatu kondisi yang dapat mengakomodasi proses pemenuhan kebutuhan bersama.
Konsep populasi dengan komunitas yang dipersatukan dalam lokus ruang dan waktu yang berbuah pada lahirnya aturan, sistem tata kelola, infrastruktur sosial, sampai adanya model yang dikenal sebagai kota atau polis, ternyata merupakan hasil dari sebuah proses panjang seiring dengan terbit dan tenggelamnya beberapa peradaban. Peradaban yang tercatat dalam sejarah karena sudah ditemukannya aksara dan simbolisasi semiotika antara lain adalah Babilonia, Sumeria, dan Yunani kuno.
Konsep dan catatan sejarah tentang kota sebagai polis ditemukan di literasi tentang Yunani kuno dan dunianya. Dalam kuliah Modern Scholar tahun 2005, sejarawan Geoffrey Hosking menjelaskan bahwa konsep “polis” dan “warga negara” di Yunani kuno sangat berkaitan dengan apresiasi terhadap kebebasan. Polis, yang secara harfiah berarti kota atau negara-kota, lebih dari sekadar entitas geografis atau administratif; itu adalah pusat kehidupan sosial, budaya, dan politik bagi warga negaranya. Di dalam polis, hubungan warga negara dengan negara-kota menjadi dasar identitas sosial dan politik mereka.
Menurut Hosking, warga negara Yunani kuno memiliki peran dan tanggung jawab langsung dalam pengelolaan polis mereka. Hak untuk terlibat dalam keputusan-keputusan politik adalah bentuk kebebasan yang sangat dihargai. Kewarganegaraan Yunani bukan hanya soal tempat tinggal, tetapi terkait erat dengan partisipasi aktif dalam urusan publik. Setiap warga negara diharapkan terlibat dalam musyawarah (via lembaga-lembaga seperti ekklesia atau majelis) dan memiliki hak untuk berkontribusi dalam menentukan arah kebijakan polis mereka.
Hosking menekankan bahwa konsep kebebasan di Yunani kuno tidak sama dengan kebebasan individu yang kita pahami saat ini. Bagi orang Yunani, kebebasan berarti kebebasan dari dominasi luar dan kemampuan untuk menentukan nasib sendiri sebagai komunitas. Kebebasan ini hanya mungkin tercapai melalui partisipasi warga negara yang berdedikasi dalam pengambilan keputusan kolektif. Dengan kata lain, polis dan warga negara saling bergantung, dimana kesejahteraan polis tergantung pada kesadaran warga negara atas tanggung jawab mereka, dan begitu pula sebaliknya.
Maka boleh dikatakan bahwa konsep polis dalam sejarah Yunani kuno adalah lebih dari sekadar “kota” atau “negara-kota” dalam pengertian modern. Polis adalah struktur politik dan sosial yang unik, berkembang dari awal Zaman Kegelapan Yunani (sekitar 1100β750 SM) hingga masa kejayaan pada abad ke-5 dan ke-4 SM. Pada puncaknya, polis mencerminkan suatu komunitas yang berdaulat di mana warga negaranya aktif dalam urusan bersama dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
Pada periode Zaman Kegelapan Yunani, setelah jatuhnya peradaban Mycenaean, masyarakat Yunani terpecah menjadi desa-desa kecil dan komunitas-komunitas mandiri. Keterasingan geografis dan kesulitan komunikasi membuat mereka hidup secara terisolasi. Namun, sekitar abad ke-8 SM, muncul tanda-tanda kehidupan terorganisir yang lebih kompleks, seiring dengan bangkitnya polis. Faktor-faktor seperti pertumbuhan populasi, peningkatan produksi pertanian, dan interaksi perdagangan mulai mempengaruhi perkembangan ini. Polis pun berkembang sebagai jawaban atas kebutuhan akan keteraturan politik, sosial, dan ekonomi.
Setiap polis terdiri atas kawasan kota utama yang dikelilingi oleh pedesaan (chora). Di pusat kota biasanya terdapatagora (pasar atau ruang publik) danacropoli (kawasan tinggi yang berfungsi sebagai tempat perlindungan atau pusat keagamaan). Dalam polis, kehidupan sosial, ekonomi, dan politik dipusatkan dan diatur dengan partisipasi langsung warga.
Tidak seperti negara modern, polis lebih mengutamakan hubungan komunitas, di mana warga memiliki kewajiban dan hak yang terikat dengan polis mereka. Status warga negara (kewarganegaraan) adalah kehormatan yang disertai kewajiban, termasuk partisipasi dalam keputusan politik dan pertahanan militer. Hak ini hanya diberikan kepada laki-laki dewasa asli polis, sementara perempuan, budak, dan non-warga (metoik) tidak memiliki status kewarganegaraan penuh.
Di Yunani kuno, terutama di polis seperti Athena, muncul gagasan bahwa kebebasan individu tercapai melalui keterlibatan dalam kehidupan publik. Konsep ini dikembangkan seiring dengan lahirnya demokrasi Athena pada abad ke-5 SM, yang memberikan hak kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan melalui majelis rakyat (ekklesia) dan pengadilan. Warga negara terlibat langsung dalam pengambilan keputusan dan merasa terikat pada aturan yang mereka buat bersama.
Dalam hal ini, polis dianggap sebagai perwujudan kebebasan kolektif. Kebebasan Yunani kuno lebih menekankan kebebasan untuk menentukan nasib bersama dibanding kebebasan individu. Polis memungkinkan komunitas untuk mempertahankan identitas dan kemandirian mereka dari dominasi luar, dan kebebasan ini menjadi sumber kebanggaan bersama.
Pada akhir abad ke-4 SM, polis mulai kehilangan kemandiriannya ketika kerajaan-kerajaan besar, seperti Makedonia di bawah Alexander Agung, mulai menguasai Yunani. Struktur politik polis kemudian melemah seiring berdirinya kerajaan Hellenistik yang luas dan kompleks.
Namun, konsep polis sebagai unit komunitas yang otonom, serta gagasan partisipasi politik dan keterikatan pada kebebasan kolektif, memberikan warisan yang mendalam bagi sejarah politik. Model ini menjadi dasar pemikiran politik di Eropa, menginspirasi banyak konsep negara kota dan demokrasi di era modern.
Bahkan mungkin sampai ke tanah Jawa, dimana konsep chora atau daerah perdikan yang berada di kawasan rural dan sub urban menjadi daerah penyokong pusat bisnis atau agora yang terletak dekat acropolis. Di Jawa konsep sentralisasi dan hirarki kekuasaan serta fungsi elementer kemasyarakatan tercermin dalam penataan ruang pusat kota yang terdiri dari dari alun-alun yang dikelilingi masjid agung (legitimasi vertikal), pendopo bupati (kekuasaan faktual), penjara (fungsi yudikatif), dan pasar sebagai pusat kegiatan masyarakat berada dalam lingkar terdalam suatu wilayah yang menjadi episentrum kekuasaan.
Tradisi tata kota dan penggunaan simbol-simbol penanda dalam struktur kemasyarakatan tak terlepas dari dinamika budaya yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan sebagai perekat sosial. Di dalam suatu masyarakat atau komunitas, adakalanya mitos sebagai sebuah tanda akan diaktualisasikan atau dimaknai dalam sebuah tradisi, untuk berkomunikasi secara
politis diantara anggota komunitas sebagai identitas bersama ataupun berkomunikasi dengan komunitas lainnya. Karena itu dalam kaitannya dengan pendekatan semiotika, maka sebuah tradisi akan muncul
sebagai penandaan sebuah komunitas. Karena itu dalam pandangan ini, sebagai sebuah aktivitas, tradisi
itu diciptakan sebagai penandaan akan eksistensi sebuah komunitas.
Sejarawan Inggris Eric Habsbawn (1983: 1-2) berpendapat bahwa
Invented tradition is taken to mean a set of practices, normally governed by overtly or tacitly accepted rules and of a ritual or simbolic nature, which seek to inculcate certain values and norm of behavior by repetition, which automatically implies continuity with the past.
Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (staggered systems), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan tingkat konotasi (connotation).
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda/tinanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti, misalnya foto wajah pasangan calon bupati dan wakil bupati di proses pilkada. Sedangkan konotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda/tinanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (terbuka terhadap berbagai kemungkinan). (Hendro EP, 2020).
Menurut Saussure dalam perkara tanda dan tinanda ada konsep iconic sign, indexical sign, dan symbolical sign. Dimana tanda ikonik adalah tanda yang bersifat keserupaan dengan apa yang ditandai. Sedangkan tanda indeksikal adalah tanda yang menunjukkan pada kondisi tertentu secara denotatum, lalu tanda simbolik adalah tanda yang disepakati merujuk pada suatu subjek atau objek tertentu. Misal tanda palang simetris adalah tanda untuk fasilitas kesehatan seperti rumah sakit.
Konsep semiotika ini pula yang menjadikan kota adalah bagian dari proses representasi simbolik dengan penanda-penanda indeks dan simbolik tertentu terkait dengan tata kelola masyarakat yang semula lahir dari rahim budaya komunikasi dan interaksi.
Clifford Geertz adalah seorang antropolog Amerika yang terkenal karena pengaruhnya terhadap praktik antropologi simbolik. Ia mengemukakan konsep kebudayaan yang dianggap baru pada masanya. Dalam bukunya Interpretation of Culture, Geertz mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem keteraturan makna dan simbol-simbol yang digunakan individu untuk mendefinisikan dunia mereka.
Maka sejalan dengan pemikiran Geertz tersebut, kota dan lokus hunian manusia yang merupakan homo simbolicums, saraf dengan penanda yang mencerminkan pola dan spektrum dinamika individu-individu di dalamnya bukan?
Maka jika kita melihat kota atau lokus hunian tertentu memiliki berbagai ciri dan karakter unik yang amat beragam dalam berbagai aktivitas sosial di dalamnya, kondisi infrastruktur yang heterogen, serta potensi dan kondisi aktual dari ekosistemnya, maka tak pelak kita tengah berkunjung ke sebuah kolam yang menjadi muara dari segenap ekspresi eksistensialisme dari manusia-manusia yang berinteraksi di dalamnya.
Kota cerdas yang nyaman dan aman, mungkin bukan sekedar yang dibekali dengan penerapan teknologi garda depan, melainkan yang telah menyelesaikan PR tentang keberagaman pemahaman manusia-manusia di dalamnya yang perlu diketahui sebagai _baseline_ data dalam proses perancangan dan pengambilan keputusan. Karena desain infrastruktur dan sistem tata kelola yang tepat, terbukti memiliki potensi untuk mengubah karakter manusia.
Salah satu contoh konkretnya adalah keberhasilan konsep Ignasius Jonan dalam merevolusi mental para pengguna jasa angkutan kereta api. Dimana penerapan teknologi seperti e-ticketing dan gate dengan model tap in dan tap out telah menghadirkan budaya antri, bebas calo, mau berproses dan tidak berpikir serta bersikap instan, karena tumbuhnya kesadaran yang dibentuk oleh panduan infrastruktur dan sistem yang memungkinkan kita paham bahwa kepatuhan dan kemauan kita untuk berproses akan menghasilkan kemudahan dan benefit bagi kita dan bagi banyak orang di sekitar kita. Ini contoh kongkret dari kesadaran komunal bukan? Implementasi nyata dari swarm intelligence bukan?
Maka sering-seringlah naik kereta api, agar kita bisa terus belajar tentang bagaimana sistem dan infrastruktur itu dapat membuat kita berkembang bukan?
Alinea terakhir itu sepertinya sebuah proposisi pembenaran akan perilaku impulsif saya yang doyan jalan-jalan dengan kereta api ya? Tapi seriously, untuk membuat orang bisa peduli pada lingkungan dan tidak membuang sampah sembarangan misalnya, diperlukan penerapan pendekatan multi disiplin yang dapat mengakomodir elemen-elemen pengambilan keputusan yang menjadi sasaran moderasi dan modulasi bukan? Ada instrumen budaya, keteladanan, psikologi persuasi dengan efek reciprocity nya yang dalam antropologi dikenal sebagai model Sahlins dengan timbal balik di tanah ekonomi, moral, dan sosial yang tercermin dalam struktur kekerabatan, dll.
Maka naik kereta dan berkelana dari kota ke kota melewati satu desa ke desa lainnya adalah suatu anjangsana budaya dalam rangka mengenal lebih dekat berbagai karakter manusia, masyarakat, dan lokus budayanya. Karena dengan mengenal sesamalah kita akan mendapat masukan-masukan yang amat berharga dalam proses mengenal diri kita sendiri yang selama ini senantiasa diliputi misteri. ππΎπ©΅π²π¨
Bahan Bacaan Lanjut
1. Diamond, J. Guns, Germs, and Steel. New York: W.W. Norton, 1997.
2. Elias, N. The Civilizing Process. Oxford: Blackwell, 2000.
3. Weber, M. Economy and Society. Berkeley: University of California Press, 1978.
4. Sen, A. Development as Freedom. New York: Anchor Books, 1999.
5. Marx, K., and Engels, F. The Communist Manifesto. New York: Penguin, 2002.
6. Foucault, M. Discipline and Punish. New York: Pantheon Books, 1977.
7. Locke, J. Two Treatises of Government. New York: Cambridge University Press, 1988.
8. Rousseau, J.J. The Social Contract. London: Penguin Books, 2008.
9. Park, R. The City: Suggestions for Investigation of Human Behavior in the Urban Environment. Chicago: University of Chicago Press, 1915.
10. Spencer, H. The Principles of Sociology. New York: Appleton, 1896.
11. Morgan, L.H. Ancient Society. New York: Henry Holt and Company, 1877.
12. Aquinas, T. Summa Theologica. London: Blackfriars, 1970.
13. Austin, J. The Province of Jurisprudence Determined. London: Weidenfeld and Nicolson, 1954.
14. Friedman, M. Capitalism and Freedom. Chicago: University of Chicago Press, 1962.
15. Stiglitz, J. Globalization and Its Discontents. New York: W.W. Norton, 2002.
16. Harvey, D. The Condition of Postmodernity. Oxford: Blackwell, 1989.
17. Durkheim, E. The Division of Labor in Society. New York: Free Press, 1984.
18. Smith, A. The Wealth of Nations. London: Penguin, 1999.
19. Weber, M. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. New York: Scribner, 1958.
20. Polanyi, K. The Great Transformation. Boston: Beacon Press, 1944.