Ikan Ikanan
Kemarin sore saya mendapat amanah untuk menjadi narasumber dalam program pembinaan karyawan penyelenggara jasa pelayanan air minum/air baku kota Depok, Tirta Asata. Kota Depok sendiri dikenal sebagai negara mandiri yang bahkan telah berdiri jauh sebelum era proklamasi. Negara yang dikuasai oleh seorang partikelir bernama Cornelis Chastelein, yang telah merintis wilayah otonominya sejak 1696.
Dalam salah satu sesi yang membahas upaya untuk mengoptimasi kualitas kesehatan agar tetap produktif seiring dengan pertambahan usia, kita membahas persoalan asupan. Ketika saya bertanya kepada hadirin yang sangat aktif dan partisipatif konstruktif, “siapa yang suka mengonsumsi ikan-ikanan?” Sontak sebagian besar hadirin yang didominasi oleh Bapak-Bapak paruh baya yang kocak dan senang bercanda, menjawab: tidak ada, bahaya…” Giliran saya yang terdiam dan tak sepenuhnya paham dengan apa yang terjadi. Karena tentu saja saya berharap jawabannya adalah sebagian besar hadirin suka mengonsumsi ikan.
Ternyata saya baru “ngeh”, saat seorang Bapak di barisan depan berkata, “Kalau ikan-ikanan berbahaya buat dikonsumsi Pak, kan terbuat dari plastik !”
Waduh….kena deh saya. Tapi memang tak dapat dipungkiri bahwa premis yang dilontarkan para Bapak’s itu benar adanya. Terlebih saat ini hampir semua produk imitasi dan produk rumah tangga memang banyak dibuat dengan bahan baku plastik.
Dimana plastik yang banyak digunakan dalam industri dan menjadi bagian dari peralatan sehari-hari jenisnya antara lain adalah High Density Polyethylene (HDPE) yang biasanya digunakan untuk kemasan kosmetik, bahan pembersih rumah tangga, dan wadah minuman. HDPE merupakan plastik yang tahan terhadap suhu tinggi, bahan kimia, dan kelembaban.
Lalu ada Polyvinyl Chloride (PVC) yang biaasanya digunakan untuk kemasan wadah obat-obatan, botol-botol cairan pembersih komersil, sabun, sampo, pembungkus kabel, dan pipa plastik. PVC merupakan plastik yang sulit didaur ulang.
Selain itu ada Low Density Polyethylene (LDPE) yang biasanya digunakan untuk pembungkus roti, makanan beku, pelapis kertas kotak susu, dan cup untuk minuman dingin atau panas. Juga ada Polypropylene (PP) yang biasanya digunakan untuk wadah yoghurt, margarin, bungkus makanan siap saji, botol obat-obatan, tutup botol, dan botol untuk saus tomat dan sirup. Serta cukup banyak juga digunakan Polystyrene (PS) yang biasanya digunakan untuk wadah makanan seperti cup, piring, dan mangkuk.
Tapi untunglah saya dapat kembali berfokus pada persoalan asupan ikan dan pengaruhnya pada status serta kualitas gizi yang memang saat ini tengah menjadi fokus pembangunan bangsa.
Kandungan nutrisi ikan yang kaya akan protein, lemak sehat, vitamin, dan mineral, menjadikannya salah satu sumber nutrisi terbaik bagi masyarakat. Namun, angka konsumsi ikan di Indonesia, meski terus meningkat, masih belum mencapai potensi maksimalnya. Padahal, Indonesia dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia (81.290 km) memiliki kekayaan laut yang melimpah.
Dr. Rina Kusumadewi, ahli gizi dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa ikan adalah salah satu sumber protein hewani terbaik. “Protein pada ikan memiliki nilai biologis tinggi, artinya mudah diserap tubuh dan mengandung semua asam amino esensial yang diperlukan,” katanya.
Ikan bandeng, misalnya, mengandung sekitar 20,5 gram protein dan 2,8 gram lemak per 100 gram, menjadikannya sumber protein yang padat namun rendah lemak. Sementara itu, ikan tongkol memiliki kandungan protein lebih tinggi, yaitu sekitar 23 gram, tetapi lemaknya sangat rendah, hanya 0,5 gram per 100 gram. Ikan lele, yang populer di kalangan masyarakat karena harganya terjangkau, mengandung sekitar 18 gram protein dan 2,9 gram lemak. Selain itu, ikan kembung dikenal sebagai sumber omega-3 yang sangat baik, dengan kandungan hingga 1.200 mg per 100 gram, jauh melampaui ikan lainnya.
Selain itu, asam lemak omega-3 dalam ikan, seperti EPA dan DHA, telah terbukti mendukung kesehatan jantung dan otak. “Omega-3 adalah nutrisi ajaib yang membantu menurunkan kolesterol, menjaga fungsi otak, dan mengurangi risiko penyakit kronis seperti hipertensi dan diabetes,” tambah Dr. Rina.
Meski memiliki manfaat besar, konsumsi ikan di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan negara lain seperti Jepang atau Norwegia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka konsumsi ikan nasional pada 2021 mencapai 55,16 kilogram per kapita per tahun. Angka ini terus meningkat berkat program Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan) yang dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), namun belum mendekati target 62,5 kilogram per kapita pada 2024.
“Permasalahan utama adalah akses dan pola pikir. Di beberapa daerah, ikan dianggap makanan biasa saja, bukan bagian utama dari diet sehat,” ujar Andi Surya, Kepala Divisi Nutrisi dan Ketahanan Pangan KKP.
Ikan tidak hanya menjadi solusi untuk gizi keluarga, tetapi juga pahlawan dalam melawan stunting, masalah serius yang masih menghantui Indonesia. Menurut Global Nutrition Report 2022, angka stunting di Indonesia masih berada di angka 21,6 persen, meski sudah turun dari tahun-tahun sebelumnya.
“Ikan kaya akan vitamin D, kalsium, dan fosfor yang sangat baik untuk pertumbuhan tulang. Konsumsi ikan secara rutin bisa menjadi solusi konkret melawan stunting,” kata Prof. Bambang Supriyanto, ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Gadjah Mada.
Sebagai contoh, ikan bandeng dan kembung masing-masing mengandung kalsium sebesar 20 dan 40 miligram per 100 gram, yang bermanfaat untuk pertumbuhan tulang. Sementara itu, fosfor, yang mendukung kekuatan tulang dan gigi, ditemukan dalam jumlah besar di ikan seperti tongkol dan lele.
Beberapa kendala dalam konteks pengolahan ikan yang masuk dalam ranah pengelolaan proses pasca panen di sektor perikanan adalah belum tersedianya secara merata tempat penyimpanan dan teknologi preservasi yang layak. Jumlah cold storage yang terbatas dan belum meratanya kapasitas pengolahan pasca panen produk perikanan dengan berbasis teknologi, menjadi beberapa faktor yang membuat produk ikan dan olahan ikan belum terdistribusi secara optimal.
Berbagai kondisi tersebut memantik lahirnya beberapa inovasi produk olahan berbahan ikan, terutama yang dapat mempreservasi serta mengamankan kandungan gizi yang istimewa dari ikan hasil tangkapan nelayan, maupun panen dari hasil budidaya.
Salah satu inovasi tersebut adalah proses hidrolisat protein. Hidrolisat protein ikan (HPI) adalah produk yang dihasilkan melalui proses hidrolisis protein ikan menjadi peptida dan asam amino yang lebih sederhana. Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengembangkan metodologi untuk memproduksi HPI secara enzimatis, yang melibatkan beberapa tahapan utama:
1. Persiapan Bahan Baku: Ikan segar dipilih dan dibersihkan dari bagian yang tidak diinginkan seperti duri dan kepala. Daging ikan kemudian dihaluskan dengan menambahkan air dalam rasio tertentu, misalnya 1:4, untuk membentuk bubur ikan.
2. Proses Hidrolisis Enzimatis: Enzim protease, seperti Alcalase®, ditambahkan ke dalam bubur ikan pada konsentrasi tertentu (misalnya 0,25-0,75%). Proses hidrolisis dilakukan pada suhu 45-55°C dengan kecepatan agitasi 65-125 rpm selama 5-8 jam. Setelah hidrolisis selesai, enzim dinonaktifkan dengan pemanasan pada suhu 85°C selama 5 menit.
3. Pemisahan Hidrolisat: Cairan hidrolisat dipisahkan dari biomassa padat melalui proses penyaringan dan sentrifugasi untuk mendapatkan hidrolisat protein ikan yang murni.
4. Enkapsulasi dan Pengeringan: Untuk meningkatkan stabilitas dan kelarutan, hidrolisat dapat dienkapsulasi dengan menambahkan bahan pembawa (carrier) pada konsentrasi tertentu. Campuran ini diaduk pada kecepatan 500-900 rpm dan kemudian dikeringkan menggunakan teknik spray drying pada suhu inlet 90-100°C dengan flow rate 200 mL/jam.
Proses ini menghasilkan serbuk HPI yang lebih stabil dan mudah larut, sesuai dengan invensi yang telah dipatenkan oleh BRIN. Proses hidrolisis enzimatis didasarkan pada penggunaan enzim protease untuk memecah ikatan peptida dalam protein ikan, menghasilkan peptida dan asam amino dengan berat molekul lebih rendah. Enzim protease dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk mikroba, yang menawarkan keunggulan seperti aktivitas katalitik yang beragam dan stabilitas pH serta suhu yang baik .
Berbagai jenis ikan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk produksi HPI, termasuk ikan Lemuru yang telah digunakan dalam proses enkapsulasi HPI menggunakan teknik spray drying. Juga ikan Lele yang digunakan dalam produksi HPI secara enzimatis skala miniplant l sebagai peningkat status gizi.
Sementara hasil penelitian menunjukkan hidrolisis protein ikan patin menggunakan enzim papain menghasilkan hidrolisat dengan aktivitas antioksidan. Pemilihan jenis ikan biasanya didasarkan pada ketersediaan, kandungan protein, dan tujuan akhir produk HPI yang diinginkan.
Metoda lain yang kini bahkan tengah diusulkan oleh Kementerian KKP RI sebagai alternatif penyediaan ikan sebagai sumber protein dalam program makan gratis dan perbaikan gizi masyarakat adalah dengan pengalengan.
Dimana pengalengan ikan adalah metode pengawetan yang melibatkan pemrosesan ikan dalam wadah kedap udara dan pemanasan pada suhu tinggi untuk membunuh mikroorganisme penyebab pembusukan. Proses ini memungkinkan ikan disimpan dalam jangka waktu lama tanpa kehilangan nilai gizi yang signifikan.
Di Indonesia, beberapa jenis ikan yang umum dikalengkan antara lain adalah Sarden (Sardinella sp.), yang merupakan jenis ikan yang paling populer untuk produk ikan kaleng. Lalu ada Tuna (Thunnus sp.) yang sering dikemas dalam bentuk potongan atau serpihan dalam minyak atau air garam. Kemudian ada Makarel (Rastrelliger sp.) yang juga banyak digunakan dalam produk ikan kaleng. Dan tentu saja Lemuru (Sardinella longiceps) yang kaya akan kandungan asam lemak tidak jenuh Omega-3. Ikan Lemuru sering dijadikan bahan baku untuk sarden kaleng, dan industri terbesarnya ada di daerah Muncar Banyuwangi.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi ikan kaleng di Indonesia menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar 12,05% per tahun selama dasawarsa terdahulu. Kebutuhan ikan kaleng juga meningkat dengan rata-rata 12,13% per tahun pada periode yang sama . Namun, data produksi terkini perlu diperoleh dari sumber resmi seperti Badan Pusat Statistik atau Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk informasi yang lebih akurat.
Metoda dan teknik dalam proses pengalengan ikan memiliki beberapa langkah spesifik sebagaimana berikut,
1. Penerimaan dan Persiapan Bahan Baku: Ikan segar diterima, disortir, dan dibersihkan dari kotoran serta bagian yang tidak diinginkan.
2. Pencucian: Ikan dicuci untuk menghilangkan kotoran dan mikroorganisme permukaan.
3. Pemotongan dan Penyiangan: Ikan dipotong sesuai ukuran yang diinginkan dan dibuang bagian seperti kepala, ekor, dan isi perut.
4. Pemasakan Pendahuluan (Pre-cooking): Ikan dimasak sebagian untuk mengurangi kadar air dan lemak, serta memudahkan pengisian ke dalam kaleng.
5. Pengisian ke Dalam Kaleng: Ikan yang telah dimasak dimasukkan ke dalam kaleng bersama medium seperti minyak nabati, saus tomat, atau air garam.
6. Pengeluaran Udara (Exhausting): Udara dalam kaleng dikeluarkan untuk mencegah oksidasi dan pertumbuhan mikroorganisme.
7. Penutupan Kaleng (Seaming): Kaleng ditutup rapat untuk memastikan kedap udara.
8. Sterilisasi: Kaleng yang telah ditutup dipanaskan pada suhu tinggi (biasanya 121°C) selama waktu tertentu untuk membunuh mikroorganisme patogen dan pembusuk.
9. Pendinginan: Kaleng didinginkan dengan cepat untuk mencegah overcooking dan menjaga kualitas produk.
10. Penyimpanan dan Distribusi: Kaleng yang telah diproses disimpan di tempat yang sesuai sebelum didistribusikan ke pasar.
Dalam proses produksi ikan kaleng, bahan tambahan pangan digunakan untuk menjaga kualitas, rasa, dan keamanan produk. Berikut adalah beberapa bahan tambahan yang umum digunakan,
1. Media Pengisi (Filling Media):
Minyak Nabati: Digunakan untuk memberikan rasa gurih dan meningkatkan daya simpan produk. Minyak nabati yang digunakan biasanya berasal dari minyak kedelai, kelapa sawit, atau bunga matahari.
Air Garam (Brine): Campuran air dan garam yang digunakan untuk mempertahankan kelembapan ikan dan menambah rasa.
Saus Tomat atau Saus Cabai: Memberikan cita rasa khas, terutama untuk produk sarden atau makarel kaleng.
2. Bahan Pengawet:
Garam: Selain berfungsi sebagai penambah rasa, garam bertindak sebagai bahan pengawet alami untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Asam Sitrat: Digunakan untuk menyesuaikan tingkat keasaman (pH) produk dan mencegah pertumbuhan bakteri.
3. Bahan Pengental:
Gum Xanthan atau Modifikasi Pati: Digunakan dalam saus (misalnya saus tomat atau saus cabai) untuk memberikan tekstur yang lebih kental dan stabil.
4. Bahan Pewarna:
Beberapa produk ikan kaleng menggunakan pewarna alami seperti ekstrak paprika untuk memberikan warna yang lebih menarik pada saus.
5. Bahan Perisa (Flavor Enhancers):
Monosodium Glutamate (MSG): kadang digunakan dalam jumlah kecil untuk meningkatkan cita rasa.
Rempah-rempah: Seperti bawang putih, lada, daun salam, atau jahe, untuk memberikan aroma dan rasa khas.
6. Antioksidan:
Asam Askorbat (Vitamin C) atau Tokoferol (Vitamin E): Digunakan untuk mencegah oksidasi lemak dalam ikan yang dapat menyebabkan bau tengik.
7. Stabilisator dan Pengemulsi:
Lesitin: Kadang digunakan untuk membantu pencampuran media pengisi (misalnya antara minyak dan air) agar lebih homogen
Regulasi bahan tambahan dan penggunaan bahan tambahan pangan dalam produk ikan kaleng di Indonesia diawasi ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Setiap bahan tambahan harus sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan. Informasi ini wajib dicantumkan pada label kemasan untuk transparansi kepada konsumen.
Dengan bahan tambahan yang digunakan secara bijak dan sesuai standar, produk ikan kaleng dapat mempertahankan rasa, tekstur, dan kandungan gizinya sambil memastikan keamanan pangan selama masa simpan.
Sementara itu secara keseluruhan, proses pengalengan ikan telah memiliki panduan standar secara global. Standar ISO yang dapat digunakan untuk pengalengan ikan adalah ISO 22000 dan ISO 9001, dimana ISO 22000 adalah standar manajemen keamanan pangan yang dapat membantu mengurangi dan mengendalikan risiko bahaya makanan. ISO 22000 dapat diterapkan di seluruh rantai pasokan makanan, mulai dari pertanian hingga penyajian.
Sedangkan ISO 9001 adalah sistem jaminan keamanan yang dapat digunakan untuk menjamin mutu produk. Selain itu, ISO/TC 234 juga merupakan standar ISO yang dapat digunakan untuk meningkatkan hasil perikanan. Sertifikasi ISO/TC 234 dapat membantu perusahaan perikanan untuk menjalankan kegiatan usahanya sesuai dengan standar fisheries and aquaculture yang diterapkan di seluruh dunia.
Sebagai penutup saya ingin sedikit berbagi saran, sejalan dengan perkembangan trend dan dinamika perilaku masyarakat dalam mengonsumsi bahan pangan yang sedikit banyak turut dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi dengan berbagai pengaruh psikososialnya. Ada baiknya produk hidrolisat protein ikan dan ikan kaleng yang telah diproduksi massal didistribusikan ke berbagai UMKM industri kuliner untuk diolah kembali sebagai bahan baku produk makanan kreatif yang dapat disesuaikan dengan trend dan selera lokal.
Hidrolisat ikan dan bahan baku berupa ikan kaleng dapat dipadu padankan dengan tepung Tapioka, tepung Sagu, atau tepung Garut misalnya, untuk dijadikan penganan kreatif dengan berbagai bentuk dan varian yang dilengkapi dengan rempah berkhasiat kesehatan, dan pengembangan cita rasa berbasis kearifan lokal, hingga pas dengan selera dan dapat disantap dengan sepenuh rasa suka cita.
Semoga program perbaikan gizi bangsa dengan mengoptimalkan potensi sumber daya maritim Nusantara dapat menjadi satu langkah besar bagi kita bersama dalam menyongsong dan menyiapkan masa depan negara yang gilang-gemilang serta mampu mengukir prestasi di tingkat dunia. 🙏🏾🇲🇨🩵
Bahan Bacaan Lanjut
1. Badan Pusat Statistik (BPS). (2021). Angka konsumsi ikan nasional tahun 2021. Diakses dari https://www.bps.go.id
2. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). (2024). Produksi hidrolisat protein ikan secara enzimatis skala miniplant. Diakses dari https://intipdaqu.brin.go.id
3. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). (2024). Proses enkapsulasi hidrolisat protein ikan lemuru menggunakan spray drying. Diakses dari https://intipdaqu.brin.go.id
4. Fenanza.id. (2022). Produksi hidrolisat protein ikan secara enzimatik dan kimia. Diakses dari https://fenanza.id
5. IDN Times. (2022). Apakah ikan kalengan bernutrisi? Ini kata ahli. Diakses dari https://www.idntimes.com
6. Journal of Fisheries Product Processing. (2020). Pengaruh enzim papain pada hidrolisat protein ikan patin dengan aktivitas antioksidan. Journal IPB. Diakses dari https://journal.ipb.ac.id
7. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2022). Program Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan). Diakses dari https://kkp.go.id
8. Media Neliti. (2022). Preferensi konsumen terhadap produk ikan kaleng di Indonesia. Diakses dari https://media.neliti.com
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012. (2012). Bahan tambahan pangan. Diakses dari https://peraturan.go.id
10. Rina Kusumadewi, D. (2023). Protein ikan sebagai sumber nutrisi esensial. Universitas Indonesia. Diakses dari https://ui.ac.id
11. Supriyanto, B. (2023). Peran konsumsi ikan dalam mencegah stunting. Universitas Gadjah Mada. Diakses dari https://ugm.ac.id
12. World Nutrition Report. (2022). Stunting in Indonesia: Challenges and solutions. Global Nutrition Report. Diakses dari https://globalnutritionreport.org
13. Afrianto, E., & Liviawaty, E. (2005). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius.
14. Badan Standardisasi Nasional. (2015). SNI ISO 662:2015, Lemak dan minyak hewani dan nabati – Penentuan kadar air dan bahan mudah menguap (ISO 662:1998, IDT). Diakses dari https://bsn.go.id/uploads/download/buletin_SNI_Vol_3_No_5_red4.pdf
15. Chasanah, E., Afifah, D. N., Nuryanto, F. Y. N., Suryaningrum, T. D., & Martosuyono, P. (2018). Penggunaan hidrolisat protein ikan sebagai ingredient utama bubur instan untuk makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) untuk terapi gizi saluran cerna. Dalam Fish Protein Hydrolysates in Indonesia: Their Nutritional Values, Health Benefits, and Development (hlm. 255-270). Springer.
16. Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2019). Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) pada pengalengan ikan lemuru (Sardinella longiceps) dalam minyak nabati. Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/372722-penerapan-gmp-dan-ssop-pada-pengalengan-bb711d9b.pdf
17. Nurhayati, T., & Rahayu, I. (2012). Pembuatan dan karakterisasi hidrolisat protein dari ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) menggunakan enzim papain. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 15(1), 1-10.
18. Winarno, F. G. (1994). Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
19. Yuniarti, T., Arrahmi, N. Y., Dharmayanti, N., Sugiwati, S., Mulyono, M., Hidayat, T., Martosuyono, P., Maulani, A., & Alghany, A. (2024). Karakteristik fisikokimia dan aktivitas antioksidan hidrolisat protein ikan kakap (Lutjanus sp.) skala pilot. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 19(1), 1-10.