Jangan Lo Deh
Jika ada kesempatan berkunjung ke Jogja, ada satu tempat yang kerap saya kunjungi secara in-cognito, tempat makan dengan view gunung Merapi, berhalaman rumput luas, bangunan tradisional khas Jawa, dan yang istimewa dan paling saya suka adalah mushola nya.
Terletak di tepi kali kecil, sholat di keheningan tegalan yang hanya dipecahkan oleh cericit burung padang, adalah sesuatu momen yang dapat membuat hati dan pikiran tenang.
Sujud-sujud menjadi panjang dan doa serta zikir yang dilantunkan seolah instan langsung mengambang ke langit yang sontak bak dipenuhi harum manis kasih sayang yang melayang-layang.
Senja di Bale Merapi itu kadang bagi saya tak berwarna jingga, entah bagi yang lainnya. Bagi saya senja di sana rasanya jambon muda, persis seperti cotton candy, menawarkan manisnya imajinasi yang berbalut dengan sensasi tradisi.
Terus terang Bale Merapi membuat saya jatuh cinta bukan karena lokasi saja, melainkan atmosfer yang terbangun di dalamnya. Pernah pada suatu malam, saya duduk di salah satu meja dekat dengan halaman, dan di sudut belakang saya ada sekelompok orang tengah asyik berdiskusi dengan topik yang menurut saya “antik”. Belakangan hari saya baru menyadari bahwa di antara peserta cangkrukan berbekal teh nasgitel dan kopi tubruk itu ada Mas Teguh, sing mbahurekso Bale Merapi.
Mengapa diskusi malam itu menjadi menarik? Karena dari pembicaraan itu terlontar beberapa diksi dan premis tentang pemikiran-pemikiran filosofis yang dibahas secara kritis. Saya mendengar beberapa kali nama Annemarie Schimmel disebut, juga Ben Anderson, Karen Armstrong, Clifford Geertz, sampai Damarjati Supajar.
Wow…diskusi yang bukan kaleng-kaleng ini mah. Pembahasannya sudah sundul langit dan sudah melipir di tepian padang makrifat, dan setiap pemikiran yang terucap terasa benar jika sarat manfaat. Atmosfer cendekia seperti inilah yang membuat aura di Bale Merapi tak hanya dibangun oleh aroma Brongkosnya saja yang memang sangat istimewa. Juga bukan oleh kenthelnya kuah santan jangan lodeh nya yang jangan-jangan merupakan jangan yang paling jadi idaman para bu-jangan.
Jangan Lodeh adalah sayur yang sebenarnya punya sejarah panjang dan diduga menjadi salah satu makanan alternatif pada abad ke 10 saat terjadinya letusan atau erupsi hebat dari gunung Merapi, tepatnya pada tahun 1006. Jangan Lodeh juga punya keterkaitan dengan wabah Pes di tanah Jawa. Sultan Hamengkubuwono VIII pernah memerintahkan warganya untuk memasak jangan lodeh dan mengarantina diri di rumah selama 49 hari untuk melawan pagebluk yang diduga adalah penyakit Pes.
Penyakit Pes, atau yang dikenal juga sebagai sampar,bmerupakan infeksi bakteri Yersinia pestis yang telah mencatat sejarah kelam dalam peradaban manusia. Bakteri ini umumnya ditemukan pada hewan pengerat seperti tikus dan dapat menular ke manusia melalui gigitan kutu yang terinfeksi. Jadi bukan hewan pengerat atau rodentianya yang menularkan Pes, melainkan kutunya.
Dalam ilmu kedokteran dan mikrobiologi, infeksi Pes dapat termanifestasi dalam bentuk Pes Bubonik yang ditandai dengan pembengkakan kelenjar getah bening (bubo), demam tinggi, nyeri, dan kelelahan. Tanpa pengobatan, angka kematian mencapai 60%.
Lalu ada bentuk Pes Septikemik, di saat infeksi menyebar ke aliran darah, menyebabkan perdarahan, syok, dan nekrosis jaringan. Angka kematian sangat tinggi jika tidak segera ditangani. Kemudian bentuk terakhir adalah Pes Pneumonik yaitu bentuk Pes paling mematikan yang menyerang paru-paru dan dapat menular antar manusia melalui droplet udara. Tanpa pengobatan cepat, hampir selalu kondisi ini dapat berakibat fatal.
Sepanjang sejarah epidemiologi, Pes telah menyebabkan beberapa wabah besar, seperti wabah Justinian (541-542 M) yang menewaskan sekitar 25-50 juta orang di Kekaisaran Bizantium, dan menghancurkan peradaban Romawi pada masa itu, karena menghambat kemajuan ekonomi dan sosial serta berkurangnya jumlah penduduk secara drastis.
Lalu yang paling terkenal adalah wabah yang disebut Black Death (1347-1351), yang menewaskan sekitar 75-200 juta orang di Eurasia, hingga mengurangi populasi Eropa hingga sepertiga, dan mengubah struktur sosial ekonomi yang berdampak sampai hari ini.
Wabah besar Pes Ketiga (1855-1959) berawal di Yunnan, Cina, dan menyebar ke seluruh dunia. Pada periode ini, Yersinia pestis berhasil diisolasi oleh Alexandre Yersin pada 1894, dan membuka jalan bagi strategi pengendalian penyebaran patogen melalui perantaraan kutu dan tikus.
Indonesia tidak luput dari dampak mematikan pes. Pada periode 1911-1926, wabah Pes melanda Pulau Jawa, dan menewaskan sekitar 120.000 jiwa, dengan sebagian besar korban berasal dari Jawa Tengah. Wabah ini diduga berasal dari beras impor yang terkontaminasi, meskipun awalnya disangka dibawa oleh jemaah haji dari Mekah.
Upaya pemberantasan penyakit ini diprakarsai oleh lembaga kesehatan khusus yang dibentuk untuk memberantas wabah pes, yaitu Dienst der Pestbestrijding (Dinas Pemberantasan Pes). Bahkan Menteri Kesehatan Republik Indonesia yang pertama dr. Boentaran Martoatmodjo juga pernah bertugas di kantor pengendali wabah yang masih berhubungan dengan Sampar dll.
Boentaran adalah dokter kelahiran Loano, Purworejo, pada 11 Januari 1896. Sejak 1918, ia berdinas sebagai dokter pemerintah Hindia Belanda. Setelah lulus sekolah kedokteran School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), sekolah untuk mendidik calon dokter Hindia atau dokter Jawa, yang juga didirikan karena adanya kondisi wabah yang terjadi di Indonesia. Boentaran pernah menjadi dokter pemerintah di Semarang, Banjarmasin, Bulungan, Samarinda, Pulau Laut, Denpasar, Mataram Jember dan beberapa daerah lainnya. Dr Boentaran juga pernah memperdalam keahliannya di Universitas Leiden, Belanda, dan mengerjakan tugas akhir dengan judul Bijdrage tot de studie V.H.- Ultra Virus Tuberculeus (Anderson, 2018: 482).
Kembali kepada Pes, meskipun penanganannya kerap kali dianggap lambat dan sering dikritik di media koran pada waktu itu, dinas tersebut pada akhirnya berhasil memberantas penyakit Pes di Malang sehingga pada tahun 1916, afdeling Malang dinyatakan telah bebas dari penyakit pes.
Pengendalian wabah Pes di Malang pada 1911 telah melahirkan seorang pahlawan kedokteran yang kini namanya diabadikan sebagai nama Rumak Sakit Umum Pusat rujukan Nasional, RSCM. Bahkan Dr. Cipto Mangunkusumo mendapatkan penghargaan bintang Orde van Oranje-Nassau dari pemerintah kolonial Belanda atas jasanya. Dan ia pun mengadopsi seorang anak perempuan yang menjadi yatim-piatu karena kedua orang tuanya menjadi korban wabah Pes. Anak perempuan itu dinamai Pesjati.
Dengan berbagai kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran, wabah seperti Pes lambat laun dapat ditangani dan dicegah untuk tidak terjadi kembali. Tetapi seiring dengan degradasi data dukung lingkungan dan masifnya intervensi dan manipulasi manusia pada alam, maka kita juga menyaksikan hadirnya epidemi baru seperti Covid-19 yang baru saja terjadi.
Lalu mengapa Sultan Hamengku Buwono VII pada 1931 meminta rakyat Jogjakarta untuk mengisolasi diri dan memasak sayur Lodeh dalam rangka mencegah terjadinya wabah penyakit? Apa keistimewaan dari jangan lodeh ini?
Jangan atau sayur Lodeh merupakan salah satu warisan kuliner Nusantara yang merepresentasikan kekayaan budaya, ekologi, dan filosofi hidup masyarakat Jawa. Hidangan ini dikenal sebagai sayur berkuah santan dengan kombinasi beragam sayuran dan rempah-rempah. Kehadirannya tak lepas dari pengaruh sejarah agraris masyarakat Jawa dan akulturasi budaya kuliner di Nusantara.
Sayur lodeh pertama kali disebutkan dalam Serat Centhini (1814-1823), salah satu karya sastra monumental dari tradisi kesusastraan Jawa. Dikenal sebagai salah satu kitab terpanjang dan terlengkap dalam khazanah sastra Jawa, Serat Centhini memuat berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa pada abad ke-19, mulai dari filsafat, spiritualitas, adat istiadat, seni, kuliner, hingga tata kehidupan sehari-hari.
Serat Centhini ditulis atas perintah Paku Buwono V, Raja Surakarta, pada tahun 1814-1823. Karya ini disusun oleh tiga pujangga istana, yaitu Ronggowarsito, Yasadipura II, dan Ranggawarsita II. Penulisan kitab ini bertujuan untuk mengabadikan kekayaan budaya dan tradisi Jawa yang dianggap mulai tergerus oleh modernisasi dan pengaruh luar, termasuk Islam dan kolonialisme.
Judul aslinya adalah Suluk Tambangraras-Amongraga, namun lebih dikenal sebagai Serat Centhini, merujuk pada salah satu tokoh utamanya, Centhini, seorang pembantu setia yang merepresentasikan nilai kejujuran, kesetiaan, dan kebijaksanaan.
Serat Centhini terdiri dari 12 jilid dan lebih dari 700 pupuh (bait syair) dalam berbagai bentuk tembang macapat. Karya ini merupakan ensiklopedi yang mengupas secara mendalam tentang spiritualitas melalui diskusi mendalam tentang filsafat Jawa, tasawuf, dan nilai-nilai mistisisme. Juga membahas ritual keagamaan seperti slametan, pernikahan, hingga upacara kematian. Banyak disebutkan pula di dalamnya berbagai jenis makanan dan minuman tradisional Jawa, termasuk sayur lodeh, jenang, pecel, wedhang, sego Tumpang, dan lainnya.
Penjelajahan para tokoh di Serat Centhini memberikan deskripsi rinci tentang lanskap, tempat-tempat bersejarah, dan kehidupan masyarakat di berbagai daerah. Termasuk toponimi, kondisi sosial, budaya di suatu wilayah dll.
Naskah ini mirip dengan naskah Bujangga Manik yang berusia lebih tua dan berasal dari Tatar Sunda.
Bujangga Manik adalah salah satu karya sastra Sunda Kuno yang berasal dari masa akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Naskah ini ditulis dalam bentuk prosa berirama yang menggunakan bahasa Sunda Kuno dan mengandung informasi berharga tentang budaya, geografi, dan spiritualitas masyarakat Sunda pada masa itu. Naskah ini kini disimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris, dengan nama kode MSS Jav. b.3.
Naskah ini dipercaya ditulis oleh seorang pendeta Hindu-Shaiva bernama Prabu Jaya Pakuan, yang kemudian dikenal sebagai Bujangga Manik, seorang resi dari Kerajaan Sunda. Karya ini merefleksikan pandangan hidup masyarakat Sunda pada masa transisi antara Hindu-Buddha dan Islam, ketika nilai-nilai tradisional mulai bersinggungan dengan pengaruh budaya baru.
Bujangga Manik mengisahkan perjalanan sang tokoh utama, melintasi Pulau Jawa dan Bali, menggambarkan tempat-tempat yang ia kunjungi dengan sangat rinci. Hal ini menjadikan naskah ini sebagai salah satu dokumen penting dalam studi geografi dan sejarah Nusantara.
Naskah ini terdiri dari sekitar 1.200 larik puisi yang ditulis dalam bentuk tembang atau pupuh. Kisah ini berpusat pada perjalanan Bujangga Manik, yang meninggalkan kehidupannya sebagai bangsawan Sunda di Pakuan Pajajaran (kini Bogor) untuk menjadi seorang pertapa.
Bujangga Manik memutuskan meninggalkan istana untuk menjalani kehidupan sebagai pendeta pengembara. Ia membawa tongkat dan kitab suci sebagai simbol pengabdian spiritual. Dalam perjalanannya, ia mengunjungi berbagai tempat, termasuk, gunung Merapi, Lawu, Dieng, Semeru dan gunung Agung di Bali. Bujangga Manik mencatat keindahan alam, tradisi lokal, dan keunikan setiap wilayah yang dikunjunginya.
Setelah perjalanan panjangnya, ia kembali ke Pakuan Pajajaran untuk menghabiskan sisa hidupnya sebagai pendeta di sebuah tempat terpencil di hutan.
Naskah ini unik karena mencatat nama-nama geografis kuno (toponimi) di Pulau Jawa dan Bali secara rinci, menjadikannya salah satu sumber utama untuk memahami geografi Nusantara sebelum kolonialisme. Para ahli menemukan ratusan nama tempat dalam naskah ini, yang sebagian masih relevan hingga kini.
Menurut filolog terkenal, H.R. van Doornik, Bujangga Manik memberikan gambaran akurat tentang topografi Jawa dan Bali, yang konsisten dengan kondisi geografis saat ini.
Kita kembali ke serat Centhini lagi ya, serat ini berkisah tentang perjalanan hidup anak-anak Sunan Giri setelah keruntuhan kerajaan Giri Kedaton. Tiga tokoh utama, dalam serat Centhini adalah Jayengresmi (Amongraga), yang merupakan simbol spiritualitas mendalam (tasawuf), kemudian ada Jayengraga, simbol kekuatan duniawi, dan Rancangkapti, simbol kasih sayang dan keutuhan keluarga.
Perjalanan mereka bertiga diisi oleh berbagai pengalaman yang menggambarkan nilai-nilai moral, tantangan kehidupan, dan pencarian makna sejati dari hidup. Serat Centhini mendokumentasikan budaya agraris Jawa, teknik pengobatan tradisional, dan seni. Juga mengajarkan tentang harmoni dengan alam, kehidupan sosial, dan spiritualitas yang seimbang. Ada pula semangat sinkretisme di dalamnya yang berupaya menggabungkan elemen-elemen Hindu, Buddha, Islam, dan kepercayaan lokal menjadi satu kesatuan harmoni.
Dalam kitab Centhini, sayur lodeh disebut sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Hidangan ini sering disajikan dalam ritual keagamaan atau tradisi tertentu, seperti slametan, yang merefleksikan simbol harmoni antara manusia dan alam.
Menurut Prof. Murdijati Gardjito, seorang pakar kuliner Indonesia dari Universitas Gajah Mada Jogjakarta, sayur lodeh merupakan simbol kesederhanaan dan keberagaman masyarakat agraris. Ia menyebutkan bahwa komponen dalam sayur lodeh mencerminkan bahan-bahan lokal yang mudah didapat, seperti labu siam, terong, daun melinjo, kacang panjang, dan santan, yang dipadukan dengan bumbu dasar Nusantara seperti bawang merah, bawang putih, dan lengkuas.
Beberapa ahli antropologi kuliner, seperti Sri Owen, berpendapat bahwa penggunaan santan dalam masakan seperti sayur lodeh merupakan hasil akulturasi dengan budaya Melayu dan India, yang memperkenalkan kelapa sebagai bahan masakan utama. Namun, komposisi sayur lodeh tetap mencerminkan keunikan lokal Nusantara.
Berikut adalah uraian kandungan nutrisi dari komponen utama sayur lodeh beserta manfaatnya, ada santan (Cocos nucifera) yang memiliki kandungan nutrisi yang terdiri dari asam lemak rantai sedang/MUFA, vitamin C, E, B1, B3, B5, B6, zat besi, magnesium, dan fosfor.
Santan dapat menjadu sumber energi yang cepat diserap tubuh dan mengandung asam laurat yang memiliki sifat antimikroba dan antivirus.
Ada pula Labu Siam (Sechium edule) dengan kandungan nutrisi yang rendah kalori, tinggi serat, kaya vitamin C, folat, dan kalium. Konsumsi labu siap dapat membantu menurunkan tekanan darah dan kaya antioksidan yang melindungi tubuh dari radikal bebas.
Komponen lain sayur lodeh adalah daun Melinjo (Gnetum gnemon) dengan kandungan nutrisi kaya protein, zat besi, kalsium, dan antioksidan. Dapat membantu menjaga kesehatan tulang dan otot, mencegah anemia, dan mengandung polifenol yang baik untuk kesehatan jantung.
Isi sayur lodeh lainnya adalah kacang panjang (Vigna unguiculata) dengan kandungan nutrisi kaya serat, vitamin A, vitamin K, folat, dan protein nabati.
Dapat membantu pengelolaan gula darah.
Lalu ada Terong (Solanum melongena) dengan kandungan nutrisi rendah kalori, kaya serat, vitamin C, K, dan senyawa fenolik, yang memiliki sifat anti-inflamasi.
Tentu saja kelezatan dsn kegurihan jangan Lodeh, selain dihasilkan daeu kandungan santan, juga datang darh bumbu tempah-rempah seperti Bawang Merah, Bawang Putih, Lengkuas. Kandungan nutrisi bumbu renpah sayir lodeh itu antara lain Allicin (dari bawang putih), flavonoid, dan minyak atsiri dari rimpang yang memiliki sifat antimikroba dan antioksidan.
Jangan Lodeh juga menjadi contoh jenis kuliner yang mengakomodir kearifan lokal, karena dimasak dengan bahan baku yang memang berasal dari daerah di mana sayur itu dimasak. Semua berasal dari hasil pertanian dan vegetasi endemik di wilayah yang mengenal _jangan lodeh_.
Jika dimakan dengan nasi hangat yang ditanak dari beras huma yang tinggi serat dan vitamin B1, dan ditemani oleh sambal terasi dengan kandungan capsaicin dari cabai merah dan rawitnya, serta beberapa jenis trace element dari terasi yang merupakan produk fermentasi udang atau ikan rucah, maka Lodeh memang tak hanya dapat menggoyang lidah kita karena kelezatannya, melainkan juga dapat membawa kita berpikir kreatif dan berimajinasi tentang sebuah perjalanan sejarah peradaban yang telah beradaptasi dan berevolusi seiring dengan dinamika perkembangan jaman.
Bale Merapi mulai sunyi, suara nggeremeng diskusi mulai termarjinalisasi oleh suara katak dan jengkerik yang semakin malam semakin mendominasi. Orkestrasi insecta dan reptilia itu sesekali ditingkahi seruan rindu dari Kukuk Beluk atau manuk Dares yang singgah dari wilayah kebun Salak Turi di lereng Merapi. Mas Teguh dan istri tampak sibuk memberesi sisa-sisa cangkir kopi yang sudah nyaris tak berisi.
Sugeng ndalu Semesta