Tauhid Nur Azhar

Kota Cerdas Nusantara

Pagi ini saya terbangun tepat saat adzan Subuh berkumandang di tengah dekapan mesra suhu dingin di kaki Burangrang ini. Accuweather di piranti seluler saya menunjukkan angka 14°C. Suhu ideal untuk kembali bergelung di dalam kehangatan selimut tebal sembari membenamkan wajah ke tumpukan bantal.

Tapi sebuah pesan yang masuk di WA grup Forum Prakarsa membuat saya terjaga. Pesan itu berisi teaser materi terkait giat diskusi tentang kota cerdas di PAU ITB hari ini.

The ultimate vision for the future of citizen-oriented smart cities is to create sustainable, resilient, and inclusive urban environments where technology enhances the quality of life for all residents

By focusing on trusted technology, adaptive solutions, community engagement, and sustainable practices, smart cities can become places where every citizen feels valued, secure, and connected to their environment.

In this future, smart cities will not only be technologically advanced but also socially responsible, prioritizing human needs, environmental health, and ethical standards.

Wow… sangat menarik untuk ditelaah dan dipikirkan bukan? Terlebih bahasan akan bertumpu pada upaya implementasi sistem cerdas yang diharapkan akan dapat menghadirkan atau melahirkan Trusted Society di suatu lokus hunian, dalam skala habitat ataupun ekosistem berbasis peradaban.

Upaya berkesinambungan dalam menciptakan lokus hidup, ekoton, ataupun digital bioma yang secara berkelanjutan dapat menghasilkan sebuah dinamika peradaban yang menitik beratkan pada kesejahteraan manusia dan mengakomodasi nilai-nilai luhur kemanusiaan itu, sudah sejak lama dikembangkan dengan konsisten oleh Smart City and Community Innovation Center ITB. Salah satu hasil kongkretnya adalah Garuda Smart City Framework.

Dengan mengedepankan prinsip dasar atau fatsun teknologi dari mahzab Suhono, Sensing, Understanding, Acting Garuda Smart City Framework diharapkan dapat menjadi panduan bagi pengembangan platform sistem cerdas terintegrasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui perbaikan pelayanan publik, infrastruktur fisik dan sosial, perencanaan ruang wilayah yang berkesinambungan, pengelolaan lingkungan dengan pendekatan yang bijak bestari, serta memberi jaminan akses terhadap kebutuhan dasar, menghadirkan rasa aman, dan kemampuan beradaptasi dengan eskalasi perubahan lokal, regional, dan global yang dapat berdampak pada kesejahteraan holistik masyarakat.

Memikirkan values dari konsep smart city initiatives ini membuat saya menjadi agak mengantuk kembali, terlebih udara dingin, bantal empuk, dan cahaya di kamar yang masih redup, pas benar dengan ajakan sayup-sayup dari sudut hati. Ajakan untuk kembali memasuki medan gelombang theta yabv berfrekuensi 4-8 Hz di otak kita. Tetiba semua lenyap, gelap, dan saya hanyut terlarut dalam pusar imajinasi yang kelak saya sadari kalau itu adalah mimpi.

Dalam mimpi saya terbangun atau mendusin istilah KBBI nya, di tahun 2045 dan menjadi seorang pengamat virtual dengan konsep PoV (point of view) orang lain. Saya seperti menonton film atau mendengar audio book yang berkisah tentang sebuah kota Garuda yang maujud di belantara Kalimantan di perbatasan Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara, NUSANTARA.

Tahun 2045. Kalimantan telah lama menjadi sorotan dunia, tetapi bukan lagi sebagai wilayah yang terancam oleh deforestasi dan eksploitasi sumber daya alam. Kini, Kalimantan, terutama Nusantara, ibu kota baru Indonesia, telah berubah menjadi pusat kebudayaan dan teknologi hijau yang mencerminkan keharmonisan antara manusia dan alam. Nusantara dibangun dengan visi yang jelas: menciptakan kota cerdas yang berfokus pada warga, berkelanjutan, dan tangguh menghadapi berbagai tantangan masa depan.

Dyah Erowati, lulusan ITB yang kini menjadi bagian dari tim pengembangan teknologi kota mandiri dan kawasan pesisir Indonesia, berdiri di depan gedung pusat kendali Nusantara. Gedung ini adalah markas bagi AL-URBAN, sistem kecerdasan buatan yang dirancang oleh Dr AL Barda, dan menjadi otak serta jantung Nusantara. Dengan menggunakan superkomputer bertenaga quantum dan jaringan sensor yang tersebar di seluruh kota, AL-URBAN memantau dan mengoptimalkan segala aspek kehidupan kota.

Teori tentang Kota Cerdas Berpusat pada Warga, seperti yang dipaparkan oleh para ahli, mendasari pembangunan Nusantara. Menurut Carlo Ratti, seorang profesor urban studies dari MIT, teknologi seharusnya membangun kota bukan hanya sebagai alat pengawasan tetapi juga alat pemberdayaan masyarakat. Dyah meyakini bahwa AL-URBAN telah dirancang dengan prinsip ini, tetapi sebagai bagian dari tim risetnya, dia juga memahami bahwa integritas data dan keterbukaan teknologi menjadi tantangan etis yang nyata.

Di pusat kota, Dyah mengamati berbagai teknologi yang menjadi ciri khas Nusantara. Setiap sudut kota dipenuhi inovasi yang memanfaatkan energi terbarukan dan berfokus pada efisiensi sumber daya. Beberapa teknologi yang diamati Dyah yang baru pertama kali berkunjung ke kota cerdas ini, antara lain adalah;

1. Giant Sewage dan Pengolahan Limbah Cerdas: Sistem pengolahan limbah ini mengubah limbah cair kota menjadi energi dan pupuk organik. Menggunakan proses bio-digestion dan teknologi enzimatik, limbah cair yang terpisah dalam sistem sewage dialirkan ke berbagai reservoir di sekitar kota, menghasilkan biogas yang digunakan untuk penerangan kota.

2. Pohon Artifisial Alga untuk Emisi CO2: Pohon-pohon yang terbuat dari material bio-hibrida ini didesain oleh pakar lingkungan dan menggunakan mikroalga untuk menyerap CO2 dan menghasilkan oksigen. Berdasarkan riset dari Klaus Lackner di Center for Negative Carbon Emissions, pohon artifisial ini 400 kali lebih efektif daripada pohon alami dalam menyerap emisi karbon.

3. Pedestrian dan Energi Kinetik: Jalan-jalan pejalan kaki dilapisi dengan teknologi piezoelectric yang dapat mengubah energi langkah kaki menjadi listrik. Hasil energi yang dihasilkan disalurkan untuk kebutuhan listrik di sekitar area pejalan kaki, mengurangi ketergantungan pada sumber energi konvensional.

4. Angkutan Publik Tenaga Hidrogen: Transportasi publik yang sepenuhnya terotomatisasi menggunakan energi hidrogen, teknologi yang dipelopori oleh perusahaan seperti Toyota dan Hyundai. Kendaraan ini mampu beroperasi tanpa pengemudi, terhubung langsung dengan sistem navigasi AL-URBAN untuk memastikan rute yang optimal dan hemat energi.

Sebagai kota yang dibangun di ekosistem hutan tropis, Nusantara mempertahankan area hijau yang luas. Hutan ini menjadi habitat bagi berbagai spesies yang dilindungi dan dijaga dengan ketat, seperti orangutan Kalimantan, bekantan, dan tumbuhan endemik seperti pohon ulin dan anggrek hitam.

“Transportasi hidrogen di Nusantara mengurangi emisi karbon lebih dari 80% dibandingkan kendaraan listrik konvensional,” jelas AL-URBAN melalui layar, merujuk pada data dari Komisi Eropa yang menunjukkan bahwa hidrogen adalah salah satu bahan bakar paling ramah lingkungan. “Setiap kendaraan dilengkapi sensor yang terhubung ke server pusat untuk memaksimalkan rute perjalanan.”

Tidak hanya transportasi, tetapi juga ekosistem yang hidup di sekitar kota. Sebagai bagian dari sistem yang berkelanjutan, kota ini dirancang dengan pohon artifisial berbasis mikroalga yang menyerap CO2. Pohon-pohon ini, terinspirasi dari penelitian Klaus Lackner, dapat menyerap lebih dari 100 ton CO2 setiap tahun, setara dengan puluhan pohon alami.

AL-URBAN berperan besar dalam pengelolaan keanekaragaman hayati ini. Dengan memanfaatkan drone dan sensor yang tersebar di seluruh hutan, AI memantau kondisi satwa dan tumbuhan secara real-time, memastikan populasi tetap seimbang. Teknologi ini berdasarkan prinsip-prinsip dari teori ekologi modern seperti yang diajukan oleh Edward O. Wilson mengenai Half-Earth Project, di mana setengah dari bumi dipertahankan untuk kehidupan liar untuk melestarikan keanekaragaman hayati global.

Untuk menjaga hutan, AL-URBAN bekerja sama dengan drone pengawas yang dilengkapi kamera termal dan sensor gerak. Drone-drone ini melakukan patroli di hutan, memonitor kesehatan spesies dan mencatat populasi satwa secara real-time. Teknologi ini berbasis pada teori yang dikembangkan oleh Edward O. Wilson dalam “Half-Earth Project,” di mana setengah dari bumi dirancang sebagai habitat bagi kehidupan liar, menciptakan jaring-jaring ekologi yang kokoh dan tahan terhadap perubahan lingkungan.

“Dyah,” suara AL-URBAN muncul lagi, “tahukah kamu bahwa tingkat keanekaragaman hayati di sekitar Nusantara telah meningkat 15% dalam lima tahun terakhir? Pengawasan ekosistem ini memungkinkan kami mengidentifikasi ancaman lebih awal dan memberikan perlindungan yang lebih baik.”

Nusantara, yang terletak di wilayah rawan bencana, dilengkapi dengan teknologi prediksi bencana yang canggih. Sistem ini mengintegrasikan jaringan seismometer, sensor cuaca, dan data geospasial dalam pusat kendali kota. Dengan bantuan superkomputer dan AI, kota ini dapat mendeteksi potensi gempa bumi, banjir, atau kebakaran hutan lebih awal, memungkinkan respon cepat dari pemerintah kota dan warga.

AL-URBAN menggunakan teknologi deep learning untuk menganalisis pola cuaca dan pergerakan tektonik.

Di salah satu simulasi yang dilakukan tahun lalu, teknologi ini berhasil memprediksi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dengan akurasi lebih dari 90%. Dengan menggunakan drone pemadam otomatis yang dirancang untuk mendeteksi dan menekan api pada tahap awal, kota ini mampu menghindari bencana besar.

Dyah terkesima dengan skala dan kecanggihan sistem ini. Teknologi ini mengingatkannya pada karya-karya Stephen Pacala, yang menyatakan bahwa pendekatan mitigasi berbasis AI akan memainkan peran besar dalam adaptasi lingkungan di masa depan. Dengan adanya teknologi seperti ini, Dyah menyadari bahwa Nusantara bukan hanya kota yang maju, tetapi juga kota yang tangguh dan penuh ketahanan.

Dalam beberapa simulasi terbaru, teknologi ini berhasil memprediksi letusan gunung dan tsunami hingga 20 menit sebelum kejadian. Teknologi semacam ini dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip dalam teori mitigasi risiko dan adaptasi iklim dari para ahli seperti Stephen Pacala dari Princeton University.

Namun, kota yang tampak sempurna ini menyimpan dilema tersendiri. Sistem Social Credit yang diberlakukan di Nusantara mengatur perilaku warga, yang menimbulkan pertanyaan tentang privasi dan kebebasan pribadi. Dyah merasa ada paradoks antara visi kota yang humanis dengan mekanisme kontrol sosial yang ketat. Sebagai seorang pakar teknologi, Dyah merasakan tanggung jawab besar untuk menjaga agar sistem ini tetap transparan dan etis, sejalan dengan nilai-nilai inklusi yang dijunjung tinggi.

Sistem ini memonitor perilaku warga berdasarkan kebiasaan harian dan kontribusi mereka terhadap lingkungan. Skor sosial ini kemudian memengaruhi akses mereka terhadap berbagai fasilitas kota, seperti perawatan kesehatan dan transportasi publik.

“AL-URBAN,” tanya Dyah dengan nada yang serius, “bagaimana transparansi sistem ini bisa dijaga? Bukankah sistem ini berisiko melanggar privasi warga?”

AL-URBAN menjawab dengan tenang, “Sistem ini dirancang untuk mendorong perilaku bertanggung jawab dan menjaga lingkungan hidup kita. Data dikumpulkan dan dikelola dengan enkripsi tertinggi, dan warga memiliki akses penuh untuk melihat skor mereka serta alasan di baliknya. Tapi, seperti yang kita pahami, ini tetap memerlukan pengawasan yang ketat dan pemahaman bersama tentang transparansi.”

Konsep Social Credit ini berasal dari ide bahwa kota cerdas harus menyeimbangkan antara kebebasan dan tanggung jawab kolektif. Namun, Dyah tetap mempertanyakan apakah teknologi ini mampu mempertahankan integritasnya dalam jangka panjang.

Dyah berdiri di tepi kota, menatap hutan tropis yang menyebar luas di hadapannya. Kota Nusantara memang mencerminkan mimpi akan masa depan yang ideal, tempat di mana teknologi dan alam dapat hidup berdampingan. Namun, di balik keindahan ini, ia menyadari bahwa tanggung jawab untuk menjaga etika dan moral dalam setiap teknologi tetap berada pada manusia.

Dengan senyum kecil, Dyah merasa optimis. Nusantara mungkin belum sempurna, tetapi di sinilah ia merasa ada harapan untuk membangun masa depan yang berkelanjutan dan adil. Bersama AL-URBAN dan para warga lainnya, Dyah bertekad untuk terus berkontribusi, memastikan bahwa kota cerdas ini benar-benar menjadi rumah bagi semua, dengan keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan sebagai landasannya.

Tiba-tiba seekor Bekantan dan Orang Utan berukuran sangat besar menghampiri saya yang tengah mengamati Dyah dari pucuk sebatang pohon Meranti atau Seraya, pohon dari genus yang beranggotakan sekitar 194 spesies, dan merupakan pohon endemik hutan tropis dari famili Dipterocarpaceae. Meranti atau Shorea ini dinamai untuk menghormati Sir John Shore, Gubernur Jenderal British East India Company, 1793-1798. Walhasil saya terkejooot dan melorot, lalu saya merasa tubuh saya jatuh melayang dan menyentuh tanah berlumut dengan berdebam.

Saat saya membuka mata, ternyata saya tergeletak di tepi tempat tidur, tepatnya di dekat kaki istri saya yang tampak tinggi menjulang, berdiri berkacak pinggang, dan melotot dengan garang, “terus, molor terus, sudah hampir jam makan siang kok masih asyik ngendon di ranjang….” kalimat-kalimat selanjutnya sudah tidak terlalu dapat saya dengar, karena daun telinga saya dipeluntir, sambil pipi saya dikecup sayang…. 🙏🏾🙏🏾🙏🏾

Bagi yang berminat mempelajari konsep kota cerdas dan inovasi komunitas dengan pendekatan berkelanjutan yang berkesinambungan, dapat mempelajari referensi-referensi berikut ya.🙏🏾

1. Albino, V., Berardi, U., & Dangelico, R. M. (2015). Smart cities: Definitions, dimensions, performance, and initiatives. Journal of Urban Technology, 22(1), 3-21. doi:10.1080/10630732.2014.942092

2. Batty, M., Axhausen, K. W., Giannotti, F., Pozdnoukhov, A., Bazzani, A., Wachowicz, M., … & Portugali, Y. (2012). Smart cities of the future. The European Physical Journal Special Topics, 214(1), 481-518. doi:10.1140/epjst/e2012-01703-3

3. Caragliu, A., Del Bo, C., & Nijkamp, P. (2011). Smart cities in Europe. Journal of Urban Technology, 18(2), 65-82. doi:10.1080/10630732.2011.601117

4. Chourabi, H., Nam, T., Walker, S., Gil-Garcia, J. R., Mellouli, S., Nahon, K., … & Scholl, H. J. (2012). Understanding smart cities: An integrative framework. 2012 45th Hawaii International Conference on System Sciences, 2289-2297. doi:10.1109/HICSS.2012.615

5. Dameri, R. P. (2013). Searching for smart city definition: A comprehensive proposal. International Journal of Computers & Technology, 11(5), 2544-2551. doi:10.24297/ijct.v11i5.1142

6. Dirks, S., & Keeling, M. (2009). A vision of smarter cities: How cities can lead the way into a prosperous and sustainable future. IBM Institute for Business Value. Retrieved from https://www.ibm.com/smarterplanet

7. Giffinger, R., & Gudrun, H. (2010). Smart cities ranking: An effective instrument for the positioning of the cities? ACE: Architecture, City and Environment, 4(12), 7-25. doi:10.5821/ace.v4i12.2483

8. Hashem, I. A. T., Yaqoob, I., Anuar, N. B., Mokhtar, S., Gani, A., & Khan, S. U. (2016). The rise of ‘big data’ on cloud computing: Review and open research issues. Information Systems, 47, 98-115. doi:10.1016/j.is.2014.07.006

9. Hollands, R. G. (2008). Will the real smart city please stand up? Intelligent, progressive or entrepreneurial? City, 12(3), 303-320. doi:10.1080/13604810802479126

10. Kitchin, R. (2014). The real-time city? Big data and smart urbanism. GeoJournal, 79(1), 1-14. doi:10.1007/s10708-013-9516-8

11. Komninos, N. (2011). Intelligent cities: Variable geographies of the city internet. Smart Cities and the Future Internet: Towards Cooperation Frameworks, 16(1), 7-14. doi:10.24251/HICSS.2012.615

12. Lee, J. H., Hancock, M. G., & Hu, M. C. (2014). Towards an effective framework for building smart cities: Lessons from Seoul and San Francisco. Technological Forecasting and Social Change, 89, 80-99. doi:10.1016/j.techfore.2013.08.033

13. Meijer, A., & Bolívar, M. P. R. (2016). Governing the smart city: A review of the literature on smart urban governance. International Review of Administrative Sciences, 82(2), 392-408. doi:10.1177/0020852314564308

14. Mora, L., Bolici, R., & Deakin, M. (2017). The first two decades of smart-city research: A bibliometric analysis. Journal of Urban Technology, 24(1), 3-27. doi:10.1080/10630732.2017.1285123

15. Nam, T., & Pardo, T. A. (2011). Conceptualizing smart city with dimensions of technology, people, and institutions. Proceedings of the 12th Annual International Digital Government Research Conference: Digital Government Innovation in Challenging Times, 282-291. doi:10.1145/2037556.2037602

16. Neirotti, P., De Marco, A., Cagliano, A. C., Mangano, G., & Scorrano, F. (2014). Current trends in smart city initiatives: Some stylised facts. Cities, 38, 25-36. doi:10.1016/j.cities.2013.12.010

17. Shapiro, J. M. (2006). Smart cities: Quality of life, productivity, and the growth effects of human capital. The Review of Economics and Statistics, 88(2), 324-335. doi:10.1162/rest.88.2.324

18. Townsend, A. M. (2013). Smart cities: Big data, civic hackers, and the quest for a new utopia. W. W. Norton & Company.

19. Washburn, D., & Sindhu, U. (2010). Helping CIOs understand smart city initiatives: Defining the smart city, its drivers, and the role of the CIO. Forrester Research. Retrieved from https://www.forrester.com

20. Zanella, A., Bui, N., Castellani, A., Vangelista, L., & Zorzi, M. (2014). Internet of Things for Smart Cities. IEEE Internet of Things Journal, 1(1), 22-32. doi:10.1109/JIOT.2014.2306328

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts