Modulasi Perilaku
Di kerumunan banyak orang yang berjalan kaki sembari berburu kuliner di Jalan Ijen Malang, saya larut dalam gumam semesta yang terakumulasi dari ribuan kata yang terlontar dari mulut ribuan manusia. Semua bercakap dengan berbagai nada dan frekuensi juga beragam intonasi yang diikuti oleh gestur tubuh yang seolah ingin meyakinkan dan menambah tekanan.
Intensitas akumulatif itu tak sampai 80 desibel, tapi jadi berirama melena yang barangkali menginterferensi gelombang otak saya hingga didominasi oleh gelombang Theta. Gelombang antara 4-8 Hz yang berkaitan dengan koordinasi proses penyimpanan memori.
Sementara suara yang dapat saya dengar melalui telinga selain ditentukan oleh intensitasnya, juga memiliki syarat frekuensi yang dapat mempengaruhi bagaimana telinga meresponsnya. Frekuensi suara yang bisa didengar manusia adalah 20β20.000 Hz. Suara di bawah 20 Hz disebut infrasonik, sedangkan suara di atas 20.000 Hz disebut ultrasonik.
Kata-kata yang menggaung di ruang publik itu, meski tak secara khusus saya cermati, tapi tampaknya dapat mempengaruhi memori bawah sadar saya dan menjadi bagian dari struktur informasi yang dikelola oleh mekanisme kognisi.
Situasi akhir pekan di jalan Raya Ijen itu membuat saya berpikir tentang banyak hal, selaras dengan banyak hal yang saya dengar, dan tentu saja saya lihat. Begitu banyak struktur, bentuk, warna, aksara, angka, membaur dan bercampur dengan pesan-pesan suara yang menggema dari ribuan manusia. Apakah ada suatu benang merah dari berbagai tanda sensorik yang tampak begitu menarik berbagai peristiwa ciamik yang hanya tampak sebagaimana suatu peristiwa klasik.
Apakah ada pesan-pesan lain yang tersembunyi dan dirancang sedemikian rupa untuk memasuki ruang kognisi bawah sadar kita yang biasanya bekerja dalam sunyi? Apakah pesan-pesan itu dikemas sedemikian rupa tanpa menggunakan kata, warna, aksara, ataupun angka yang biasa kita terima saat berinteraksi dengan dunia?
Pesan-pesan sejenis itu dikenal sebagai pesan subliminal, yang merupakan sinyal atau rangsangan yang dirancang untuk diserap oleh pikiran bawah sadar tanpa disadari secara sadar. Pesan ini biasanya berupa gambar atau suara yang terlalu cepat atau terlalu halus untuk dikenali secara langsung. Sebagai contoh, dalam sebuah iklan visual, logo sebuah merek mungkin hanya muncul sekilas di antara frame tanpa kita sadari. Atau, dalam musik latar, pesan-pesan tertentu dapat disisipkan dengan volume yang sangat rendah.
Penelitian menunjukkan bahwa pesan subliminal dapat memengaruhi preferensi dan perilaku seseorang. Sebuah studi klasik yang dilakukan oleh Wilson dan Zajonc pada tahun 1980 menunjukkan bahwa orang cenderung lebih menyukai gambar yang telah mereka lihat sebelumnya, meskipun mereka tidak menyadari telah melihatnya. Fenomena ini dikenal sebagai mere exposure effect.
Ada suatu eksperimen unik yang dikenal sebagai invisible Gorilla experiment. Di mana Eksperimen ini dilakukan oleh Daniel Simons dan Christopher Chabris pada tahun 1999 untuk menguji fenomena inattentional blindness atau buta perhatian. Eksperimen ini bertujuan menunjukkan bagaimana manusia sering kali gagal melihat objek yang mencolok jika perhatian mereka diarahkan ke tugas tertentu.
Metodologi eksperimen dilakukan dengan menggunakan prosedur dimana probandus atau peserta penelitian diminta untuk menonton video pendek yang menampilkan dua kelompok pemain, satu mengenakan kaus putih, yang lain kaus hitam. Kedua kelompok ini saling melempar bola basket.
Tugas peserta adalah menghitung jumlah operan bola yang dilakukan oleh kelompok dengan kaus putih, sehingga perhatian mereka sepenuhnya difokuskan pada tugas ini.
Di tengah video, seorang aktor mengenakan kostum gorila masuk ke tengah adegan, berdiri di antara para pemain selama beberapa detik, memukul dadanya, dan kemudian keluar dari layar.
Sekitar 50% peserta gagal menyadari keberadaan gorila, meskipun gorila secara visual jelas dan tidak tersembunyi.
Eksperimen ini mengungkapkan bahwa perhatian manusia bersifat terbatas. Ketika fokus diarahkan pada satu tugas tertentu, otak dapat mengabaikan informasi mencolok lainnya, meskipun informasi itu berada dalam bidang pandang visual.
Teori yang mendukung penelitian ini antara lain adalah teori tentang Inattentional Blindness yang didefinisikan sebagai kegagalan mendeteksi objek atau peristiwa yang tidak diharapkan ketika perhatian seseorang fokus pada tugas lain. Teori ini juga menunjukkan bahwa persepsi visual manusia tidak sepenuhnya “melihat semua,” tetapi lebih seperti saringan informasi berdasarkan fokus perhatian.
Lalu ada teori Selective Attention (Perhatian Selektif), yang didasari oleh teori filter attention nya Donald Broadbent. Dimana otak diasumsikan memproses informasi dengan memilih data yang relevan dari lautan rangsangan yang masuk. Perhatian selektif memungkinkan kita fokus pada tugas tertentu, tetapi dengan risiko mengabaikan detail penting yang tidak relevan.
Ada pula teori Change Blindness (Buta terhadap Perubahan), yaitu teori terkait yang menunjukkan bahwa manusia juga sering gagal melihat perubahan signifikan dalam lingkungan visual mereka jika perubahan tersebut tidak berada dalam fokus perhatian.
Bagian otak yang terlibat dalam proses luputnya perhatian pada objek yang tidak menjadi fokus perhatian, antara lain adalah Prefrontal Cortex (PFC) yang bertanggung jawab atas perhatian selektif dan pengambilan keputusan. PFC menentukan fokus tugas dan menyaring informasi yang dianggap tidak relevan.
Lalu ada perna lobus Parietal, di mana area ini terlibat dalam pengolahan perhatian visual dan spasial. Dalam eksperimen Gorila, lobus parietal memprioritaskan pergerakan bola basket, mengabaikan gorila sebagai rangsangan “tidak penting.”
Sebagai pusat penyaringan sensorik, thalamus membantu mengarahkan perhatian ke rangsangan tertentu sambil menekan input lain. Fungsi ini berkelindan dengan peran lobus oksipital. Meskipun area ini memproses informasi visual mentah (seperti keberadaan gorila), informasi ini tidak diteruskan ke kesadaran karena perhatian diarahkan ke tugas lain.
Daniel Simons dan Christopher Chabris (1999), peneliti utama eksperimen ini menyatakan bahwa inattentional blindness adalah sifat mendasar dari kognisi manusia, bukan sekadar “kekeliruan” persepsi. Mereka menekankan bahwa perhatian adalah sumber daya terbatas yang tidak dapat mencakup semua rangsangan dalam lingkungan.
Sementara Anne Treisman (1980s) yang mengusung teori Feature Integration, menyatakan bahwa perhatian adalah kunci untuk mengintegrasikan berbagai fitur visual (seperti bentuk, warna, dan gerakan) menjadi satu persepsi yang utuh. Ketika perhatian tidak diarahkan ke gorila, fitur visualnya tidak diintegrasikan secara sadar.
Senada dengan Michael Posner (1980) yang mengajukan teori Attention Spotlight, di mana menurut teori ini, perhatian manusia seperti sorotan lampu yang menerangi bagian tertentu dari ruang visual. Gorila, meskipun mencolok, berada di luar sorotan perhatian sehingga diabaikan.
Sementara Daniel Kahneman (2011), penulis Thinking, Fast and Slow, menyebut fenomena ini sebagai hasil dari Sistem 1 (pemrosesan otomatis) dan Sistem 2 (pemrosesan sadar). Fokus pada tugas menghitung operan bola adalah kerja sistem 2, sehingga gorila yang tak relevan hanya diproses oleh Sistem 1 dan diabaikan oleh kesadaran.
Eksperimen Gorila tak terlihat ini menunjukkan bahwa manusia sering kali mengabaikan informasi penting dalam situasi kompleks, seperti saat mengemudi atau multitasking. Prinsip-prinsip inattentional blindness dapat dimanfaatkan untuk menyisipkan elemen subliminal. Misalnya, simbol atau pesan tersembunyi dalam iklan sering tidak disadari secara sadar, tetapi tetap memengaruhi persepsi konsumen di tingkat bawah sadar.
Di ranah keamanan, seperti pemeriksaan di security check point bandara atau pengawasan arus penumpang di stasiun dab fasilitas publik lainnya, inattentional blindness dapat mengakibatkan kegagalan mendeteksi ancaman, meskipun ancaman tersebut terlihat jelas.
Pesan subliminal, baik yang disengaja maupun tidak melibatkan sejumlah bagian otak yang berperan dalam memori, emosi, dan pengambilan keputusan seperti Amigdala. Di mana bagian otak yang satu ini bertugas memproses emosi, termasuk respons terhadap rangsangan emosional dari pesan subliminal. Misal jika sebuah iklan menggunakan warna atau simbol tertentu yang memicu rasa nyaman, amigdala akan membantu menciptakan hubungan emosional dengan merek tersebut.
Ketika pesan subliminal terus muncul, hipokampus akan mengkodekannya sebagai memori implisit, yang kemudian memengaruhi preferensi kita. Hingga meski pesan subliminal bekerja di tingkat bawah sadar, PFC akhirnya memproses informasi ini saat kita membuat pilihan, karena adanya memori yang tersimpan di hipokampus.
Penelitian oleh Dehaene et al. (1998) menggunakan pencitraan otak untuk menunjukkan bahwa kata-kata subliminal yang tidak disadari dapat mengaktifkan bagian otak yang sama seperti kata-kata yang disadari.
Pesan subliminal bahkan dapat memengaruhi keputusan melalui mekanisme seperti, Priming. Di mana pesan subliminal mempersiapkan otak untuk merespons produk tertentu. Sebagai contoh, jika seseorang melihat gambar sekilas dari minuman bersoda dalam sebuah film, ia mungkin merasa lebih tertarik untuk membeli minuman bersoda setelahnya.
Dengan melibatkan amigdala, pesan subliminal menciptakan hubungan emosional dengan produk. Sebuah iklan parfum, misalnya, mungkin menyisipkan gambar alam yang tenang untuk menciptakan asosiasi ketenangan dengan produk tersebut. Selanjutnya informasi subliminal yang disimpan di hipokampus dapat muncul sebagai preferensi otomatis ketika seseorang memilih antara dua produk.
Satu contoh nyata pemanfaatan pesan subliminal dalam konteks marketing adalah eksperimen Coca-Cola, di mana gambar botol Coca-Cola disisipkan dalam frame sebuah film. Hasilnya, penonton yang tidak menyadari keberadaan gambar tersebut cenderung membeli Coca-Cola di jeda film. Di dunia pemasaran, penggunaan pesan subliminal menjadi alat yang sangat efektif untuk meningkatkan penjualan. Namun, hal ini juga menimbulkan pertanyaan etis, sejauh mana merek diperbolehkan memengaruhi konsumen tanpa sepengetahuan mereka?
Beberapa negara bahkan melarang praktik ini karena dianggap manipulatif. Di sisi lain, banyak merek besar terus menggunakannya secara terselubung dengan alasan bahwa efeknya lebih halus daripada pengiklanan biasa.
Menurut Daniel Kahneman, ahli psikologi kognitif, keputusan manusia sering kali didorong oleh proses berpikir cepat yang tidak sadar (System 1), tempat di mana pesan subliminal beroperasi. Robert Zajonc, yang dikenal dengan teorinya tentang affective primacy, menegaskan bahwa emosi sering kali mendahului penalaran rasional dalam proses pengambilan keputusan. Dari konsep dan teroru tersebut kita dapat simpulkan bahwa pesan subliminal menunjukkan bagaimana teknologi dan psikologi dapat mempengaruhi perilaku manusia di tingkat yang paling mendasar. Sebagai konsumen, kesadaran akan teknik ini menjadi langkah awal untuk membuat keputusan yang lebih rasional.
Di sisi lain, perusahaan harus mulai mempertimbangkan dampak etis dari strategi ini. Inovasi pemasaran yang canggih seharusnya tidak menjadi alat untuk merampas kebebasan pilihan konsumen. Pesan subliminal, dengan segala daya tarik dan kontroversinya, tetap menjadi teka-teki yang menarik dalam hubungan antara neurosains, psikologi, dan dunia pemasaran. Ke depan, eksplorasi lebih dalam terhadap teknologi ini mungkin akan membuka lebih banyak rahasia tentang bagaimana manusia berpikir, merasa, dan memilih.
Seiring dengan pajanan multimedia yang kini intensitasnya semakin meningkat pesat karena exposure melalui teknologi komunikasi dan informasi, maka pesan-pesan subliminal dapat dirancang untuk dititipkan melalui berbagai model pesan kanal, dan media. Dimana pesan subliminal itu sendiri dapat maujud dalam bentuk pesan Visual, melalui tayangan video di You Tube, Shortsnya, Instagram dan Reelsnya, Tik Tok, Netflix, bahkan potongan-potongan video yang diunggah di What’s App atau media sosial lainnya.
Pesan itu dapat berupa Gambar atau Kata Tersembunyi yang ditempatkan dalam desain, misal sebuah iklan minuman energi yang menampilkan pemandangan pantai dengan es batu di dalam gelas. Jika diperbesar, es batu tersebut membentuk huruf atau simbol tertentu, misalnya “refresh” atau logo produk. Tujuannya adalah menciptakan asosiasi tak sadar antara produk dan kesegaran yang ditawarkan.
Dapat pula pesan dititipkan melalui Flashing Image (Gambar Kilat), misal dalam sebuah film serial di Net Flix, logo produk tertentu ditampilkan selama 1/30 detik di salah satu adegan. Meskipun tidak disadari secara sadar oleh penonton, otak tetap memproses informasi tersebut. Pesan ini dapat diperkuat pula dengan penggunaan konsep Warna atau Pola Tersembunyi, seperti iklan makanan cepat saji yang menggunakan warna merah dan kuning secara dominan. Kombinasi ini secara psikologis menstimulasi rasa lapar dan menarik perhatian tanpa konsumen menyadarinya. Kira-kira makanan cepat saji yang menyediakan burger dan ayam goreng merek apa ya ini?
Pesan sublimininal juga dapat menggunakan Elemen Seksual Tersembunyi karena sexual arrousal adalah salah satu pemantik minat mating yang sangat kuat pada manusia dewasa yang aktif secara reproduktif. Pada desain kemasan parfum, pola garis atau bayangan membentuk siluet yang menyerupai simbol daya tarik seksual. Teknik ini sering digunakan untuk menciptakan asosiasi emosional terkait dengan stimulus yang bersifat reproduktif.
Suara-suara yang saya dengar di Ijen Car Freeday atau di keriuhan pagi pasar Oro Oro Dhowo bisa saja menyikpan pesan subliminal Auditori bukan? Tapi tampaknya pesan auditori lebih mudah dititipkan pada komposisi musik dengan genre yang mampu menyedot jutaan pendengar sepeti yang dapat kita dengar melalui aplikasi seperti Spotify. Juga scoring film, yang bahkan dapat mengakomodir pendekatan multi agent dalam penyampaian pesan subliminal. Film-film produk Bollywood yang ditayangkan di kanal T-Series dapat menjadi media penyampai pesan subliminal yang sangat baik. Sama baiknya dengan video-video dangdut koplo Jawa Timuran yang menayangkan klip-klip musik dengan ratusan juta penonton seperti Sisa Sisa Cinta yang dibawakan Diva Hani, atau lagu-lagu OM Adella dengan biduan-biduan rupawan nan menawannya seperti Irene Ghea dan Difarina Indra. Belum lagi wajah-wajah cantik dengan cengkok vokal unik seperti Lala Widhy, Shinya Artinya/Gisul, ataupun Suliyana yang kerap membawakan lagu berbahasa Osing, dan Della Monica yang jago dalam dangdut ska.
Pesan tersembunyi dalam musik latar bisa ditemui misal dalam lagu yang digunakan untuk iklan, ada pesan berulang seperti Beli sekarang atau Segar sepanjang hari, yang disisipkan dengan volume rendah di frekuensi tertentu. Konsumen mungkin tidak mendengarnya secara sadar, tetapi pesan tersebut tetap memengaruhi otak bawah sadar.
Biasa juga digunakan metoda Reverse Speech (Ucapan Terbalik) seperti di iklan radio dengan announcer kondang, Kang Gilang Pambudhi dari jaringan nasional Delta-Prambors, menyisipkan kata-kata promosi yang hanya dapat dikenali ketika diputar terbalik. Meskipun ini tidak disadari secara langsung, otak tetap dapat menangkap pola tersebut. Model ini juga dapay diikuti dengan penggunaan Nada Frekuensi Rendah, misal di toko convenience seperti Indomaret atau Alfamart, nada frekuensi rendah (infrasound) digunakan untuk menciptakan rasa nyaman atau mendesak konsumen untuk segera membeli produk tertentu.
Kombinasi pesan visual dan auditori dapat dilakukan melalui perancangan video promosi atau endorsement dengan pesan tersembunyi. Seperti sebuah video promosi produk minuman menyisipkan kata-kata seperti Hidupkan energimu dalam bentuk tulisan semi-transparan di salah satu frame. Dalam waktu yang sama, musik latar menambahkan suara bisikan pelan dengan nada serupa untuk memperkuat efek subliminal. Hal ini dapat diikuti dengan penempatan produk dalam Film atau Serial seperti di Netflix.
Di mana ada karakter utama yang secara tidak langsung memperlihatkan produk tertentu (seperti memegang secangkir kopi dengan merek yang jelas), namun tidak dibahas dalam dialog. Penonton secara tidak sadar mengasosiasikan produk tersebut dengan gaya hidup karakter yang diidolakan.
Titipan pesan visual juga dapat kita rancang untuk menjadi bagian dari logo suatu perusahaan. Pada logo FedEx misalnya, ada panah yang tersembunyi di antara huruf “E” dan “X”. Meskipun tidak disadari secara langsung, bentuk ini menciptakan asosiasi dengan kecepatan dan efisiensi. Konsep ini yang belum terlihat ada pada logo atau ikon entitas bisnis atau institusi pelayanan publik di Indonesia. Logo perusahaan kereta api atau KAI ya logo yang mungkin dapat meningkatkan awareness terhadap brand, tetapi sepertinya belum cukup intens dalam mempengaruhi keputusan membeli misalnya. Demikian pula logo Kementerian Kesehatan, amat krusial jika dari logonya saja sudah tersirat pesan subliminal tentang jaminan layanan kesehatan yang prima serta ajakan untuk mengembangkan budaya hidup sehat secara bijaksana.
Prinsip dalam merancang pesan subliminal tentu saja yang paling utama adalah mengenal kerja otak dan berbagai varian polanya bukan? Pesan yang dibuat harus mudah diproses oleh otak bawah sadar tanpa membutuhkan analisis yang kompleks.
Pesan subliminal harus sesuai dengan tema atau produk yang ditawarkan agar asosiasi bawah sadar relevan. Dimana pesan subliminal yang efektif sering kali membutuhkan eksposur berulang untuk memperkuat asosiasi.
Karena elemen emosional, seperti rasa nyaman, bahagia, atau lapar, lebih mudah diserap oleh pikiran bawah sadar.
Sekarang mari kita bayangkan implikasi besar yang ada di hadapan kita dan menjadi tantangan.
Bayangkan jika mekanisme pesan subliminal ini digabungkan dengan mekanisme filter bubble/bubble effect dan echo chamber yang dibantu dengan pemanfaatan Generative AI Next Generation? Dimana sebelumnya data masyarakat berbagai segmen telah diidentifikasi, diklasifikasi, serta dianalisis secara mendalam dengan memanfaatkan subset machine learning dan deep learning seperti RNN dan varian DL seperti Empathy Variational Model (EVM).
Maka intervensi berbasis informasi yang tak disadari adalah senjata modulasi perilaku atau Behaviour Modulation yang sangat dahsyat bukan? Orang bisa diminta meyakini sesuatu, membeli sesuatu, menggunakan sesuatu, bahkan memusuhi sesuatu dengan cara yang sangat halus (subtil) dan tidak disadari ππΎππΎπ©΅π²π¨π²π¨