Tauhid Nur Azhar

Neokolonialisme Pikiran di Era Digital

Hari-hari belakangan ini saat Big Data dan kecerdasan artifisial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai strategi di berbagai aspek kehidupan, kita kembali bertanya tentang kendali kuasa tak kasat mata yang menggerakkan banyak proses di dunia ini tanpa kita sepenuhnya mampu menyadari apa yang tengah terjadi.

Ada tulisan cukup menarik di harian nasional Kompas yang menggunakan ilustrasi kemarahan seorang ayah pada jaringan toko retail Target di Amerika Serikat yang terus membombardir media sosial putrinya dengan berbagai iklan tentang produk maternitas, kehamilan dan bayi.

Keesokan harinya digambarkan bahwa respon sang ayah yang berang itu melunak, karena justru dari hasil komunikasi dengan putrinya ia baru mengetahui bahwa putrinya memang hamil.

Jadi bisa kita bayangkan sebuah jaringan retail yang menggunakan teknik analisa data dengan algoritma yang ciamik, dapat mengetahui terlebih dahulu masalah kehamilan seorang wanita, dibandingkan dengan kerabat terdekatnya. Itulah kekuatan penguasaan data dan pola, sikap dan tindakan psikologis kita bisa dikuasai dari sana.

Hal yang sama dapat terjadi pada panduan selera, atau bahkan pembentukan selera tanpa kita sadari sepenuhnya bahwa pilihan-pilihan mental kita tak lagi merdeka, melainkan telah terjajah algoritma. Konsep free will kini telah menjelma menjadi sederet kode yang ditulis dengan Phyton, mengurung kita dengan sempurna dalam filter bubble yang memiliki efek echo seperti dalam chamber, yang pada gilirannya kita yakini sebagai kebenaran atau nilai acuan. Preferensi dan referensi yang berkelindan dengan segenap mekanisme kompleks pengambilan keputusan.

Jadi jika saya pengen banget ngopi di salah satu kedai yang happening di sudut kota, maka itu belum tentu bersumber dari suara lirih yang dibisikkan oleh hati kecil kita yang jujur dan bebas kepentingan. Mungkin saja bisikan itu kini sudah berubah sebagai sebuah bisikan dengan titipan pesan dari para pencari cuan bukan?

Bisikan yang didapatkan dari menyarikan aneka data kita, mulai dari pencarian, pembelian, percakapan, sampai perkawanan dan pola kegiatan harian. Kita tak lagi menjadi pribadi yang tak kelihatan, alias tak kasat mata. Kini kita adalah pribadi yang sudah teridentifikasi sebagai sekumpulan angka yang mewakili preferensi, referensi, dan entitas yang terkomoditisasi.

Tak dapat dipungkiri bahwa fenomena filter bubble dan echo chamber telah menjadi perhatian serius dalam kajian psikologi digital dan komunikasi karena dampaknya terhadap perilaku sosial dan pola pikir pengguna media digital.

Filter bubble merujuk pada kondisi di mana algoritma platform digital menyaring informasi yang sesuai dengan preferensi pengguna, sementara echo chamber adalah situasi di mana individu hanya terpapar pada pandangan yang serupa dengan pandangan mereka sendiri.

Di era digital, informasi dapat diakses dan disebarluaskan dengan cepat melalui platform media sosial dan mesin pencari. Namun, proses ini tidak bebas dari pengaruh algoritma yang menyesuaikan konten yang ditampilkan dengan preferensi dan perilaku sebelumnya dari pengguna. Hal ini dapat menghasilkan fenomena filter bubble, yaitu kondisi ketika algoritma menyaring informasi untuk menciptakan lingkungan yang konsisten dengan minat atau pandangan pengguna (Pariser, 2011).

Akibatnya, pengguna cenderung hanya melihat informasi yang mendukung keyakinan mereka, yang memperkuat kondisi yang disebut echo chamber, yaitu situasi dimana pandangan pengguna terus diulang dan diperkuat oleh individu atau kelompok yang memiliki pendapat serupa (Jamieson & Cappella, 2008). Fenomena ini telah memunculkan tantangan sosial dalam bentuk polarisasi dan penyebaran disinformasi.

Salah satu dampak secara psikologi yang dapat dilantik oleh fenomena filter bubble dan echo chamber itu adalah confirmation bias atau bias konfirmasi. Bias konfirmasi adalah kecenderungan individu untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka yang sudah ada (Nickerson, 1998).

Dalam konteks filter bubble dan echo chamber, bias konfirmasi diperkuat oleh algoritma yang hanya menyajikan informasi yang konsisten dengan preferensi pengguna. Misalnya, jika seorang pengguna memiliki pandangan politik tertentu, algoritma akan terus menampilkan berita dan konten yang mendukung pandangan tersebut. Hal ini mengakibatkan kurangnya keberagaman informasi dan meminimalkan kemungkinan pengguna untuk melihat perspektif yang berbeda.

Berikutnya dapat muncul kondisi cognitive dissonance atau disonansi kognitif dimana individu merasa tidak nyaman ketika menghadapi informasi yang bertentangan dengan keyakinan mereka, yang dapat mendorong mereka untuk menghindari sumber informasi yang berbeda (Festinger, 1957).

Dalam konteks terjadinya mekanisme echo chamber, pengguna merasa lebih nyaman karena terus-menerus mendengar pandangan yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, sehingga menghindari perasaan disonansi. Hal ini dapat menyebabkan pengguna lebih tertutup terhadap pandangan yang berlawanan dan memperkuat pandangan yang sudah ada, bahkan jika pandangan tersebut kurang berdasarkan fakta. Ini yang terjadi di grup-grup percakapan WA bukan? Kita dikuatkan dengan berbagai informasi yang selaras dengan keyakinan kelompok.

Tahap berikutnya dapat terjadi homofolia, di mana homofilia adalah kecenderungan individu untuk berinteraksi dengan orang yang memiliki kesamaan dengan diri mereka sendiri (McPherson et al., 2001). Di dalam media sosial, homofilia dapat memperkuat dan menciptakan echo chamber, karena pengguna cenderung membentuk jaringan sosial dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa.

Fenomena ini semakin diperkuat oleh algoritma yang mengelompokkan pengguna berdasarkan kesamaan minat dan pandangan, mempersempit paparan terhadap ide-ide baru dan meminimalkan interaksi lintas kelompok yang berbeda.

Cass Sunstein (2001) dalam bukunya Republic.com menyatakan bahwa filter bubble dan echo chamber berkontribusi terhadap enklaf digital, di mana individu mengisolasi diri dalam kelompok dengan pandangan serupa.

Eli Pariser (2011) juga berpendapat bahwa filter bubble membahayakan demokrasi dengan membatasi kemampuan individu untuk mendapatkan perspektif beragam dan melatih keterbukaan berpikir. Nicholas DiFonzo, seorang pakar dalam psikologi rumor, menjelaskan bahwa echo chamber memperkuat penyebaran informasi palsu karena kurangnya kritik dan perbedaan pendapat dalam kelompok.

Studi mengenai efek filter bubble pada pemilu di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pengguna yang sering terpapar informasi dari sumber yang berpihak pada kandidat tertentu cenderung memiliki pandangan yang semakin ekstrem dan mengerucut pada satu paham tertentu (Bakshy et al., 2015).

Kasus Brexit di Inggris juga menunjukkan bahwa pengguna yang terpapar echo chamber cenderung mempertahankan posisi politik yang sama dengan kelompok mereka tanpa mempertimbangkan perspektif yang berbeda (Del Vicario et al., 2016). Kedua kasus ini menunjukkan bagaimana filter bubble dan echo chamber dapat memperparah polarisasi politik.

Di sisi lain, analisis data dari pengguna media sosial sebagaimana yang terjadi dalam kasus Cambridge Analytics, juga di pemilu Amerika Serikat, menunjukkan pada kita bahwa konsep kebebasan memilih dengan berbasis pada kesadaran mulai dapat dipertanyakan keabsahan serta kesahihan dalilnya. Mengapa? Karena dengan basis data yang ada, ternyata preferensi, termasuk yang berkontribusi pada pilihan, ternyata dapat direkayasa bukan?

Sebagai catatan, fenomena filter bubble dan echo chamber terbukti dapat menimbulkan tantangan signifikan dalam menjaga keterbukaan berpikir dan toleransi antar individu. Dengan pengaruh algoritma yang memperkuat bias konfirmasi dan disonansi kognitif, individu cenderung menghindari paparan terhadap pandangan yang berbeda. Pola ini tidak hanya memengaruhi pola pikir individu, tetapi juga memperparah segregasi sosial dan memicu konflik di masyarakat.

Sejalan dengan itu kita tampaknya perlu mulai memikirkan mekanisme detoksifikasinya bukan? Bukankah kita berharap agar dapat tetap menjadi entitas makhluk merdeka yang dapat dengan sadar menentukan pilihan bukan?

Maka kini mulai menggeliat suatu aktivitas yang dikenal dengan JOMO, atau Joy of Missing Out. Fenomena Joy of Missing Out (JOMO) merupakan kebalikan dari Fear of Missing Out (FOMO), di mana individu merasakan kebahagiaan dan kepuasan dengan pilihan untuk tidak mengikuti perkembangan dunia digital secara terus-menerus.

Dalam konteks psikologi digital, JOMO berhubungan erat dengan kebutuhan untuk membatasi paparan informasi berlebihan dan menciptakan keseimbangan yang lebih baik antara kehidupan daring dan luring.

Sebagaimana yang kita ketahui, dan sebagian telah kita bahas di atas, perkembangan teknologi dan media sosial telah mempercepat arus informasi, serta memungkinkan pengguna untuk terus terhubung dan mengakses berita atau aktivitas sosial orang lain secara instan. Fenomena ini menimbulkan kondisi psikologis seperti Fear of Missing Out (FOMO), yaitu ketakutan akan ketinggalan informasi atau momen yang penting (Przybylski et al., 2013).

Sebaliknya, dalam beberapa waktu terakhir, fenomena Joy of Missing Out (JOMO) muncul sebagai respons adaptif terhadap informasi yang berlebihan. Dalam JOMO, individu menemukan kebahagiaan dalam memilih untuk melewatkan kesempatan atau informasi tertentu.

Deci dan Ryan (1985) menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga kebutuhan dasar psikologis yang penting bagi kesehatan mental; otonomi, kompetensi, dan keterhubungan. Dalam konteks JOMO, kebutuhan akan otonomi tercermin ketika individu memilih untuk menolak keterlibatan yang konstan dalam aktivitas digital dan fokus pada prioritas mereka sendiri.

Hal ini memungkinkan individu untuk mengalami kesejahteraan yang lebih dalam karena mereka dapat menjalankan pilihan hidup yang sesuai dengan nilai-nilai mereka sendiri, tanpa merasa tertekan oleh norma sosial yang memaksa mereka untuk selalu terhubung. Kondisi kemerdekaan untuk memiliki otoritas terhadap pilihan yang dilakukan ini termaktub dalam teori Self Determination.

Selain itu mindfulness, atau kesadaran penuh, adalah salah satu konsep dalam psikologi yang berperan penting dalam penerapan JOMO. Brown dan Ryan (2003) menemukan bahwa mindfulness dapat membantu individu fokus pada pengalaman saat ini, tanpa terdistraksi oleh apa yang terjadi di dunia digital. Mindfulness memungkinkan individu untuk mengurangi stres yang berkaitan dengan tekanan sosial dan meminimalkan FOMO. Praktik mindfulness juga dapat memperkuat kemampuan untuk memilih kapan dan bagaimana menggunakan teknologi, sehingga JOMO dapat tercapai dengan lebih mudah.

Di sisi lain dibutuhkan regulasi emosi yang merupaka kemampuan untuk mengelola emosi secara adaptif, sehingga individu tidak mudah terbawa arus perasaan negatif yang mungkin ditimbulkan oleh eksposur media sosial.

Gross dan Thompson (2007) menyebutkan bahwa salah satu strategi regulasi emosi yang efektif adalah cognitive reappraisal, yaitu menilai ulang situasi untuk menemukan aspek positif atau perspektif baru. Dalam konteks JOMO, individu mengadopsi strategi ini dengan merasakan bahwa tidak selalu hadir di dunia maya adalah pilihan yang konstruktif untuk kesehatan mental mereka.

Beberapa psikolog dan ahli dalam perilaku digital mengemukakan pentingnya JOMO sebagai strategi untuk menjaga keseimbangan mental. Turkle (2011) mengungkapkan bahwa digital minimalism, sebuah praktik yang mirip dengan JOMO, dapat mendorong individu untuk lebih selektif dalam memilih interaksi digitalnya. Cal Newport (2019) dalam bukunya Digital Minimalism juga menggarisbawahi bahwa JOMO membantu individu untuk menemukan nilai dalam kesendirian, refleksi, dan fokus pada interaksi dunia nyata.

Salah satu kasus yang sering menjadi contoh adalah fenomena Weekend Disconnect, di mana beberapa individu memilih untuk tidak mengakses media sosial pada akhir pekan sebagai bagian dari rutinitas JOMO. Sebuah studi oleh Vanden Abeele et al. (2020) menemukan bahwa individu yang mempraktikkan Weekend Disconnect melaporkan peningkatan kesejahteraan, lebih sedikit perasaan cemas, dan tidur yang lebih baik.

Tapi terus terang dengan semakin berkembangnya jejaring utilitas berbasis teknologi digital, timbul pertanyaan sederhana, apakah kita bisa terdiskoneksi dengan itu semua? Tampaknya tidak. Mengapa? Karena hampir semua hajat hidup kita sudah berada dalam domain pelayanan teknologi digital bukan?

Maka diperlukan suatu strategi lain yang bersifat lebih adaptif dan kalau bisa justru juga dengan memanfaatkan teknologi itu sendiri. Misal dengan memanfaatkan AI untuk menyaring dan merekonstruksi anatomi data, sehingga kita bisa mendapatkan status clarity yang bebas distorsi kepentingan. Khususnya yang dirancang oleh sistem-sistem canggih pencari cuan bukan?

Bahan Bacaan Lanjut

1. Bakshy, E., Messing, S., & Adamic, L. A. (2015). Exposure to ideologically diverse news and opinion on Facebook. Science, 348(6239), 1130–1132.

2. Del Vicario, M., Bessi, A., Zollo, F., Petroni, F., Scala, A., Caldarelli, G., … & Quattrociocchi, W. (2016). The spreading of misinformation online. Proceedings of the National Academy of Sciences, 113(3), 554–559.

3. Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.

4. Jamieson, K. H., & Cappella, J. N. (2008). Echo Chamber: Rush Limbaugh and the Conservative Media Establishment. Oxford University Press.

5. McPherson, M., Smith-Lovin, L., & Cook, J. M. (2001). Birds of a feather: Homophily in social networks. Annual Review of Sociology, 27, 415–444.

6. Nickerson, R. S. (1998). Confirmation bias: A ubiquitous phenomenon in many guises. Review of General Psychology, 2(2), 175–220.

7. Pariser, E. (2011). The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You. Penguin Press.

8. Sunstein, C. R. (2001). Republic.com. Princeton University Press.

9. Anderson, C., & Rainie, L. (2014). Pew Research Center Study on Media Consumption. Pew Research Center.

10. DiFonzo, N., & Bordia, P. (2007). Rumor Psychology: Social and Organizational Approaches. American Psychological Association.

11. Bakker, T. P., & de Vreese, C. H. (2011). Good news for the future? Young people, Internet use, and political participation. Communication Research, 38(4), 451–470.

12. Garimella, K., Weber, I., & De Choudhury, M. (2018). Social Media and Polarization: A Survey. Cornell University.

13. Guess, A., Nyhan, B., & Reifler, J. (2018). Selective exposure to misinformation: Evidence from the consumption of fake news during the 2016 US presidential campaign. European Research Council.

14. Haim, M., Graefe, A., & Brosius, H. B. (2018). Burst of the filter bubble?: Effects of personalization on the diversity of Google News. Digital Journalism, 6(3), 330–343.

15. Stroud, N. J. (2010). Polarization and partisan selective exposure. Journal of Communication, 60(3), 556–576.

16. Brown, K. W., & Ryan, R. M. (2003). The benefits of being present: Mindfulness and its role in psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 84(4), 822–848.

17. Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Self-Determination Theory. New York: Plenum Press.

18. Gross, J. J., & Thompson, R. A. (2007). Emotion regulation: Conceptual foundations. In J. J. Gross (Ed.), Handbook of emotion regulation (pp. 3–24). Guilford Press.

19. Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841–1848.

20. Turkle, S. (2011). Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. Basic Books.

21. Newport, C. (2019). Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World. Penguin Random House.

22. Vanden Abeele, M. M., Schouten, A. P., & Antheunis, M. L. (2020). Personal, social, and situational determinants of the ‘Weekend Disconnect’. New Media & Society, 22(9), 1554–1573.

23. Li, L., & Browne, G. J. (2017). The Joy of Missing Out (JOMO): Reducing cognitive load in digital environments. Journal of Computer-Mediated Communication, 22(1), 34–49.

24. Kim, H. H. S., & Yang, S. J. (2019). FOMO and social media’s impact on young adults. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 22(9), 567–573.

25. Rutledge, R. B., Skandali, N., Dayan, P., & Dolan, R. J. (2014). A computational and neural model of momentary subjective well-being. Proceedings of the National Academy of Sciences, 111(33), 12252–12257.

26. Bianchi, A., & Phillips, J. G. (2005). Psychological predictors of problem mobile phone use. Cyberpsychology & Behavior, 8(1), 39–51.

27. Collins, E., & Cox, A. L. (2014). Switch on to switch off: Digital disconnection for everyday well-being. Proceedings of the 2014 Conference on Human Factors in Computing Systems, 973–982.

28. Stead, H., & Bibby, P. A. (2017). Personality, fear of missing out, and problematic internet use and their relationship to subjective well-being. Computers in Human Behavior, 76, 534–540.

29. Soror, A. A., Hammer, B. I., Steelman, Z. R., Davis, R. A., & Limayem, M. (2015). Good habits gone bad: Explaining negative consequences associated with the use of mobile phones from a dual-systems perspective. Information Systems Journal, 25(4), 403–427.

30. Twenge, J. M., Martin, G. N., & Spitzberg, B. H. (2018). Trends in US adolescents’ media use. Psychology of Popular Media Culture, 7(1), 45–58.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts