Tauhid Nur Azhar

Pedas Pedas Panas, Cabai, Inflasi, dan Kondisi Psikososial Negeri

Ada satu kegiatan reportase jurnalistik dari harian terkemuka nasional yang diberi tajuk; Jelajah Sambal Nusantara. Menarik ini. Mengapa sambal? Dan mengapa sambal yang identik dengan rasa pedas itu dapat dijumpai di hampir semua tradisi kuliner Nusantara? Mengapa manusia-manusia Nusantara ini memerlukan rasa pedas? Ada apa dengan sambal dan kandungan cabai di dalamnya yang ternyata dengan cepat telah dapat menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan adat istiadat?

Bukankah sebenarnya rasa pedas itu adalah bagian dari rasa sakit yang mendera jejaring syaraf sensoris dan area asosiasi sensasi di otak kita? Bukankah cabai sendiri baru dikenal di tradisi kuliner Nusantara mulai dari abad ke 16? Ini kalau kita bicara cabai yang didomestikasi dari tanaman perdu liar Capsicum annuum L yang termasuk dalam famili Solanaceae, genus Capsicum, dan ordo Solanace ya.

Tapi jangan salah, jauh sebelum itu khazanah kuliner Nusantara sudah mengenal berbagai bahan yang memiliki tingkat kepedasan tinggi. Dimana skala pedas sendiri secara ilmiah dapat diukur dengan menggunakan metoda Scoville yang bersatuan Scoville Heat Units atau SHU. Adapun, SHU sendiri diukur dengan mengacu kepada berapa jumlah air gula dalam melarutkan senyawa capsaicin yang merupakan zat aktif pemantik rasa pedas yang ada dalam kandungan cabai, hingga rasa pedasnya hilang.

Sebagai contoh, cabai yang sampai saat ini dianggap terpedas di dunia adalah Carolina reaper yang memiliki tingkat kepedasan rata-rata 1.569.300 hingga 2.200.000 SHU. Sementara di Indonesia keluarga cabai lokal yang punya tingkat kepedasan tinggi, antara lain adalah Katokkon dari Toraja.

Agen-agen kepedasan endemik yang asli berasal dari Indonesia antara lain adalah, Cabai Jamu, cabai Jawa, atau cabe puyang (Piper retrofractum). Berbeda dari cabai merah atau rawit, cabai jamu berasal dari genus Piper, yang juga termasuk lada. Buahnya kecil, panjang, dan berbiji banyak. Warna buahnya berubah dari hijau menjadi merah atau hitam saat matang.

Cabe Jawa banyak digunakan sebagai bahan dalam jamu tradisional karena dipercaya memiliki manfaat kesehatan, terutama untuk meredakan batuk dan meningkatkan stamina. Selain itu, rasanya pedas dan sedikit pahit, cocok untuk tambahan dalam beberapa masakan.

Lalu ada Lada (Piper nigrum) yang dikenal juga sebagai Sahang (di Kalimantan), atau dalam bahwa Indonesia kerap disebut merica. Lada adalah tanaman merambat yang menghasilkan buah kecil berbentuk bulat yang kering. Lada hitam dan lada putih diperoleh dari tanaman ini, dengan perbedaan pada proses pengolahan buahnya.

Lada adalah bumbu utama dalam masakan Indonesia, memberikan rasa pedas yang khas. Lada hitam sering digunakan dalam masakan daging, sementara lada putih umum dalam sup atau hidangan berkuah.

Kemudian di Sumatera Utara ada Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) atau Lada Batak. Andaliman adalah jenis bumbu yang terkenal di masakan Batak, khususnya dalam hidangan arsik dan sambal andaliman. Buahnya kecil, berwarna hijau, dan menjadi merah saat matang. Rasa pedasnya khas, dengan sensasi kesemutan di lidah. Andaliman memberikan rasa pedas dengan efek mati rasa pada lidah, sering digunakan dalam masakan Sumatra Utara. Selain sebagai bumbu masakan, andaliman juga dipercaya memiliki khasiat sebagai antiseptik alami.

Kini mulai dikenal juga spesies lokal Cabe Cakra (Capsicum baccatum), dimana cabe cakra atau baccatum bukanlah jenis cabai yang umum di Indonesia, tetapi mulai dikenal dan dibudidayakan. Bentuk buahnya beraneka ragam dan memiliki rasa pedas yang cukup kuat.

Beberapa varietas dari cabai ini mulai populer dalam kuliner yang membutuhkan aroma dan rasa pedas yang unik. Selain dimakan segar, cabai ini juga bisa dikeringkan atau dibuat menjadi bubuk.

Sebagai agen pedas dengan nilai SHU mencapai 600.000 ada Cabe Katokkon (Capsicum chinense), ama lainnya adalah cabe Habanero atau Cabe Banggai. Cabe Katokkon adalah salah satu varietas cabai yang ditemukan di daerah Sulawesi, terutama di Tana Toraja. Bentuknya sedikit berbeda dengan cabai rawit, karena lebih bulat dan besar. Rasanya sangat pedas, mendekati rasa habanero. Biasanya digunakan dalam masakan tradisional Toraja, terutama untuk membuat sambal atau hidangan pedas. Tingkat kepedasannya yang tinggi menjadikannya salah satu cabai yang sangat disukai oleh pecinta makanan pedas, khususnya warga Tana Toraja dan sekitarnya.

Dalam khazanah kuliner Indonesia, kita dapat menjumpai begitu banyak penggunaan cabai dan agen pedas dengan kandungan Capsaicin tinggi. Jamak jika kita mengunjungi suatu daerah dan mencicipi sajian kulinernya, akan ada sajian sambal yang mendampingi. Misal sambal Tuk Tuk di tradisi kuliner Batak dengan kandungan Andalimannya, atau sambal Bongkot di tradisi kuliner Bali yang diperkaya rasa dan aromanya dengan kehadiran Bongkot atau Kecombrang di dalamnya. Sambal dengan kecombrang juga bisa kita jumpai dalam tradisi kuliner Tapanuli Utara, namanya sambal Rias.

Sedangkan sambal dengan aneka varian produk fermentasi crustacea atau ikan dapat kita jumpai di Sumatera dan Kalimantan, ada sambal Belacan, sambal terasi, sambal Bekasang, sambal Roa, dan sambal Kaluku yang semuanya menggunakan produk perikanan dan hasil laut. Maklumlah potensi bahari kita memang sangat berlimpah dan luar biasa.

Banyak pula bahan unik dalam tradisi sambal Nusantara yang sulit untuk dijumpai di negara lain, misal penggunaan produk fermentasi durian yang dikenal sebagai Tempoyak, sebagai salah satu bahan sambal yang banyak dikonsumsi di Sumatera Selatan.

Pertanyaan berikutnya yang menggelitik adalah, mengapa rasa pedas itu menjadi sesuatu yang eksotik? Kita cari dan nikmati meski kita sepenuhnya sadar, ia menyakiti. Apakah kita ini sesungguhnya masochist yang mendambakan deraan rasa sakit agar dapat merasakan sensasi nyaman pasca badainya? Bukankah segumpal gula yang manis menjadi kontras ketika bersanding dengan secangkir kopi yang pahit? Apakah memang demikian?

Rasa pedas atau panas atau nyeri dengan skala terbatas, banyak dinisbatkan disebabkan oleh zat aktif Capsaicin. Capsaicin adalah senyawa kimia yang terdapat pada cabai, dan beberapa spesies lain yang menghasilkan rasa pedas, termasuk dalam kelompok capsaicinoids dan dikenal sebagai salah satu senyawa vanilil, menyerupai struktur fenol dengan rantai panjang yang berikatan dengan gugus amida.

Sebagai senyawa aktif, capsaicin memiliki daya tarik kimiawi yang unik, karena mampu berikatan langsung dengan reseptor syaraf tertentu. Dalam tubuh manusia, interaksi ini terjadi pada reseptor yang disebut transient receptor potential vanilloid-1 (TRPV1), yang biasanya memediasi respons terhadap panas dan luka bakar. Mengaktifkan reseptor ini menciptakan sensasi yang menyerupai panas terbakar, memancing sistem syaraf untuk memberikan respons refleksif, mulai dari pelepasan keringat hingga peningkatan denyut jantung.

Capsaicin memulai perjalanannya di *reseptor TRPV yang terletak di membran sel-sel syaraf sensorik. Begitu capsaicin mengikat TRPV1, saluran ion pada reseptor terbuka, memungkinkan masuknya ion Na+ dan Ca2+ ke dalam neuron. Aktivasi ini menimbulkan perubahan potensial listrik yang diteruskan sebagai sinyal nyeri menuju sumsum tulang belakang dan otak. Dari sinilah sensasi nyeri dirasakan, tetapi di balik itu, tubuh kita juga mengeluarkan “penawar” berupa endorfin.

Dampak yang dirasakan pada otak ternyata bukan sekadar nyeri. Di sinilah capsaicin memainkan peran kompleks dalam neuropsikologi. Saat reseptor nyeri diaktifkan, otak merespons dengan melepaskan endorfin; zat kimia yang sering disebut sebagai hormon kebahagiaan.

Endorfin berfungsi menurunkan sensasi nyeri dan menimbulkan euforia, perasaan yang mungkin menjelaskan mengapa banyak orang kecanduan sensasi cabai.

Selain endorfin, dopamin juga dilepaskan, menambah dimensi kebahagiaan karena pengaruhnya pada sistem reward otak. Sensasi puas yang mengikuti konsumsi cabai tak ubahnya respons terhadap pengalaman menyenangkan lainnya, seperti berolahraga atau mencapai target tertentu.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa paparan capsaicin secara teratur dapat memengaruhi neuroplastisitas, yaitu kemampuan otak untuk berubah dan beradaptasi.

Aktivasi terus-menerus pada reseptor TRPV1 dalam jangka panjang dapat mengurangi sensitivitas terhadap nyeri. Hal ini diduga berhubungan dengan mekanisme desensitisasi syaraf, yang secara bertahap menyesuaikan diri dengan stimulasi berulang. Bahkan, penggunaan capsaicin secara topikal telah diterapkan dalam pengobatan beberapa gangguan nyeri kronis, seperti neuralgia pascaherpes dan neuropati diabetikum.

Menurut para ahli seperti Caterina dan Julius (2001), reseptor TRPV1 yang diaktifkan oleh capsaicin merupakan pintu masuk ke banyak jalur molekuler penting di otak. Penelitian yang mereka lakukan menjadi landasan penting untuk memahami potensi capsaicin dalam terapi nyeri dan bahkan pada gangguan mood tertentu.

Ahli farmakologi lain, seperti Szallasi dan Blumberg (1999), menekankan bahwa capsaicin menawarkan pendekatan farmakologis baru yang unik, karena mampu bekerja pada jalur berbeda dari kebanyakan analgesik biasa.

Fenomena sensasi pedas dari sudut pandang biopsikologi membawa kita pada perspektif bahwa makan cabai mungkin lebih dari sekadar kebiasaan budaya, tetapi menjadi bentuk terapi sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Dari sudut pandang sains, konsumsi cabai yang memicu pelepasan hormon kebahagiaan bisa menjadi penghilang stres alami yang mudah diakses, terutama bagi masyarakat yang hidup dalam ketegangan dan tekanan psikososial tinggi.

Pertanyaannya adalah, apakah tingkat stress psikososial dapat digambarkan dari fluktuasi dan dinamika konsumsi cabai? Menarik bukan?

Tak dapat dipungkiri bahwa tingkat konsumsi cabai nasional memiliki kontribusi signifikan dalam konteks ekonomi di ranah fiskal. Tradisi kuliner makanan pedas yang diindikasikan dengan adanya aneka sambal, mulai dari sambal Lado Mudo di Indonesia bagian barat, sampai ke sambal Colo-Colo di Indonesia bagian timur, menunjukkan pada kita arti penting kehadiran cabai pada dinamika kehidupan sosial bangsa kita.

Bahkan pada waktu-waktu tertentu cabai dapat berkontribusi pada laju inflasi melalui mekanisme demand pull. Pertanyaan saintifik yang terbersit adalah, apakah ada hubungan peningkatan tingkat permintaan cabai dengan berbagai kondisi kejiwaan bangsa? Di luar persoalan rantai pasok dan proses produksi, tetapi ada waktu-waktu tertentu di mana permintaan terhadap komoditas cabai meningkat. Apakah kondisi ini memiliki faktor pemicu? Tentu saja bukan?

Data dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, rata-rata konsumsi cabai per kapita mencapai 2,42 kilogram per tahun, meningkat 4,3% dibandingkan tahun 2022.​​ ​​Konsumsi cabai rawit juga menunjukkan peningkatan, mencapai 569.650 ton pada tahun 2022, naik 7,86% dari tahun sebelumnya.​​ ​​

Sedangkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi cabai nasional pada tahun 2020 mencapai 2,77 juta ton, meningkat 7,11% dibandingkan tahun 2019.​​ ​​Provinsi Jawa Barat menjadi produsen terbesar dengan kontribusi 18,72% dari total produksi nasional.​​ ​​

Tercatat juga bahwa kenaikan harga cabai sering menjadi kontributor utama inflasi di Indonesia.​​ ​​Pada November 2023, BPS melaporkan inflasi sebesar 0,38% secara bulanan, dengan cabai merah dan cabai rawit menyumbang andil inflasi masing-masing sebesar 0,16% dan 0,08%.​​ ​​ ​​Faktor-faktor seperti cuaca ekstrem, gangguan distribusi, dan peningkatan permintaan dapat menyebabkan fluktuasi harga cabai, yang pada gilirannya mempengaruhi laju inflasi.​​ Jika kita eliminir faktor gangguan proses produksi dan penurunan jumlah pasokan, maka peningkatan permintaan dapat menjadi titik amatan yang menarik. Memang dalam konteks budaya, ada momentum tertentu yang membuat permintaan terhadap cabai meningkat, misal pada saat hari Raya dimana konsumsi cabai meningkat seiring dengan peningkatan aspek konsumsi pangan secara umum dalam rangka maraknya perjamuan dan perhelatan yang agenda utamanya adalah menyantap aneka hidangan.

Tapi tentu masih terbuka peluang untuk mengintip lebih dalam fenomena konsumsi cabai pedas ini, sehubungan dengan perannya sebagai terapi sosial alamiah yang menjadi salah satu metoda coping untuk mengelola tekanan yang bersumber dari dinamika kondisi psikososial. Mungkin secara asumtif tekanan itu dapat berasal dari masalah ekonomi, politik, ataupun perubahan gaya hidup dll.

Bisa jadi dengan mempelajari dinamika permintaan komoditas cabai, kita dapat menganalisis dinamika tekanan psikososial di masyarakat beserta berbagai variabel dari faktor-faktor pemantiknya bukan?

Selamat nyambel dan makan siang dengan ditemani peda goreng, pete bakar, dan sebakul nasi hangat ya 🙏🏾🇮🇩

Bahan Bacaan Lanjut

1. Caterina, M. J., & Julius, D. (2001). The vanilloid receptor: A molecular gateway to the pain pathway. Annual Review of Neuroscience, 24, 487-517.

2. Chuang, H. H., Prescott, E. D., Kong, H., Shields, S., Jordt, S. E., Basbaum, A. I., & Julius, D. (2001). Bradykinin and nerve growth factor release the capsaicin receptor from PtdIns(4,5)P2-mediated inhibition. Nature, 411(6840), 957-962.

3. Dhaka, A., Viswanath, V., & Patapoutian, A. (2006). TRP ion channels and temperature sensation. Annual Review of Neuroscience, 29, 135-161.

4. Docherty, R. J., Yeats, J. C., Bevan, S., & Boddeke, H. W. (1997). Inhibition of calcitonin gene-related peptide release from rat sensory neurones by activation of vanilloid receptors. British Journal of Pharmacology, 121(8), 1461-1466.

5. Holzer, P. (1991). Capsaicin: Cellular targets, mechanisms of action, and selectivity for thin sensory neurons. Pharmacological Reviews, 43(2), 143-201.

6. Hwang, S. W., Cho, H., Kwak, J., Lee, S. Y., Kang, C. J., Jung, J., & Oh, U. (2000). Direct activation of capsaicin receptors by products of lipoxygenases: Endogenous capsaicin-like substances. Proceedings of the National Academy of Sciences, 97(11), 6155-6160.

7. Iannotti, F. A., Hill, C. L., Leo, A., Alhusaini, A., Soubrane, C., Mazzarella, E., & Di Marzo, V. (2014). Nonpsychotropic plant cannabinoids, capsaicin, and their derivatives as potential analgesics and anti-inflammatory agents. Molecules, 19(24), 18797-18832.

8. Jancsó, G., Király, E., & Jancsó-Gábor, A. (1977). Pharmacologically induced selective degeneration of chemosensitive primary sensory neurones. Nature, 270(5639), 741-743.

9. Julius, D., & Basbaum, A. I. (2001). Molecular mechanisms of nociception. Nature, 413(6852), 203-210.

10. Liu, L., & Simon, S. A. (1996). Capsaicin-induced currents in rat dorsal root ganglion cells. Pain, 64(2), 191-195.

11. McCleskey, E. W., & Gold, M. S. (1999). Ion channels of nociception. Annual Review of Physiology, 61, 835-856.

12. O’Neill, J., Brock, C., Olesen, A. E., Andresen, T., Nilsson, M., & Dickenson, A. H. (2012). Unravelling the mystery of capsaicin: A tool to understand and improve pain treatment. Pharmacological Reviews, 64(4), 939-971.

13. Ramachandran, R., Hyland, C., & McMahon, S. (2013). TRPV1 and its role in pain and inflammation. In The Oxford Handbook of the Neurobiology of Pain.

14. Szallasi, A., & Blumberg, P. M. (1999). Vanilloid (Capsaicin) receptors and mechanisms. Pharmacological Reviews, 51(2), 159-212.

15. Szallasi, A., & Sheta, M. (2008). Sensory nerves and the capsaicin receptor: A historical perspective. In TRP Ion Channel Function in Sensory Transduction and Cellular Signaling Cascades.

16. Tominaga, M., & Julius, D. (2000). Capsaicin receptor in the pain pathway. In Annual Review of Neuroscience, 23(1), 373-388.

17. Wang, H., & Woolf, C. J. (2005). Pain TRPs. Neuron, 46(1), 9-12.

18. Wood, J. N., & Docherty, R. J. (1997). The molecular and cellular biology of nociception. Trends in Neurosciences, 20(4), 154-160.

19. Zygmunt, P. M., Petersson, J., Andersson, D. A., Chuang, H., Sørgård, M., Di Marzo, V., & Högestätt, E. D. (1999). Vanilloid receptors on sensory nerves mediate the vasodilator action of anandamide. Nature, 400(6743), 452-457.

20. Zhong, Y., & Wang, Y. (2010). Capsaicin as a novel anti-cancer drug: Mechanisms and potential clinical implications. International Journal of Cancer, 127(9), 2100-2108.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts