Tauhid Nur Azhar

Wellbeing Journey

Pagi itu saat mentari beranjak naik dari peraduannya dan bermurah hati menyiramkan kehangatan dari cahaya temaram, dua puluh abdi negara lintas generasi dari sebuah kementerian yang punya peran sangat krusial dan strategis, duduk berkeliling membentuk setengah lingkaran.

Pantat mereka bersentuhan langsung dengan pepasir vulkanik kelabu, tepat di tengah mangkok kaldera purba yang telah berusia dalam hitungan berjuta warsa. Pepasir yang berada di kaki bukit bidadari, tempat air kehidupan mengalir tiada henti.

Cahaya mentari yang semula temaram kini mulai datang membanjiri dan membantu menumbuhkan kehangatan dalam dekapan kebersamaan yang membahagiakan. Dingin semalam yang membekukan di sepertiga pagi mencair, sebagaimana banyak keraguan menguap saat sebagian demi sebagian impian mulai berubah menjadi kenyataan.

Pagi itu dalam lingkaran kecil yang dipenuhi lingkar kemesraan yang tertaut karena modal utama manusia yang bernama rasa, saya mendampingi Pak Khemal, seorang literator handal yang telah banyak berkiprah di tingkat nasional, bahkan mungkin global. Bersama berbagi dengan rekan-rekan dari salah satu direktorat di Komdigi, tentang memahami makna keselarasan sejati.

Karena selaras itu bukan hanya masalah hati, tapi ia melibatkan segenap kapasitas dan fungsi manusia, juga semesta. Selaras adalah persoalan interaksi dan juga interpretasi serta pencarian makna paling primordial eksistensi manusia yang menjadi sumber esensi dari aktualisasi diri.

Di pagi yang dingin di tubuh tapi hangat di hati itu, saya memulai narasi dengan membuat bentuk-bentuk geometri di permukaan tanah berpasir, sambil menunjuk-nunjuk. “Di tanah ini ada makhluk tak kasat mata yang bekerja dalam senyap menghadirkan cinta ke relung hati manusia di saat rintik pertama hujan menyapa….” Demikian narasi pertama saya lantunkan untuk membuka sebuah pentas drama tentang hubungan manusia dengan semesta.

Actinobacteria inilah sang makhluk tak kasat mata yang dalam diam mengubah berbagai saripati tanah berupa minyak tetumbuhan yang diserapnya serta dipreservasi oleh panas terik mentari yang mendera di setiap hari, menjadi jejamu penambat cinta, ramuan ajaib yang setia menunggu pertanda geluduk yang menggeruduk datang mewarta bahwa rintik pertama akan tiba.

Sesaat setelah bulir-bulir ha dua o berkelindan dengan tanah-tanah tandus berbulir halus dan menuntas rindu yang berkalang waktu, dilepaskanlah hasil karya actinobacteria ke udara. Petrichor namanya. Bau tanah yang dicumbu hujan ini akan menyetubuhi area olfaksi manusia yang sejatinya telah mendamba. Berharap di bawah sadarnya bahwa hujan adalah jawaban dari segenap doa-doa yang telah dipanjatkan.

Sambil melirik pak Khemal, saya pun menguji nyali untuk melanjutkan, “demikianlah segenap elemen semesta diciptakan dalam tatanan, juga keseimbangan untuk menghasilkan fungsi yang sejalan dengan peran yang telah ditetapkan dalam bentuk rancangan yang senantiasa menyertai kehadiran dan keberadaan….”

Maka tak heran jika seorang penerima hadiah Nobel di bidang fisika, Sir Roger Penrose menggandeng seorang ahli anestesi Amerika, Hammerof, untuk memecahkan misteri terkait organela bernama mikrotubula di sel neuron otak manusia yang diduga menjadi efektor dari suatu peristiwa fisika yang dikenal sebagai quantum entanglement. Bahasa sederhananya; keterikatan dan keterkaitan antar elemen sub atomik di antara semua elemen semesta.

Maka kita yang hari ini dalam dimensi materi yang masih dibatasi oleh kapasitas sensori di ruang 3 dimensi plus waktu yang melimitasi, terus mencari dengan segenap daya dan kreasi untuk terus berinovasi. Mencari cara agar tetap dapat terkoneksi, hingga hari ini kita tak hanya dapat menyaksikan ratusan ribu kilometer kabel serat kaca bawah laut antar benua terbentang, melainkan juga meski tak kasat mata, menyadari sepenuhnya ada ribuan satelit berada di atas kepala kita. Satelit-satelit orbit bumi rendah dengan tingkat latensi yang luar biasa telah membuat manusia dimanapun ia berada, baik di desa maupun pelosok desa, dapat berbicara lewat berbagai cara dan tanda.

Semiotika digital mungkin tak lagi sekedar bertumpu pada kekuatan aksara dan angka, melainkan dapat pula hadir melalui gestur, bentuk, dan warna, serta rupa, juga suara, karena hadirnya konsep media.

Media yang juga telah melahirkan renjana wacana tentang realita campuran yang dapat bersifat maya (virtual) ataupun diperkaya (augmented). Pada saat itulah manusia seolah dipaksa untuk terus berkaca. Berkaca pada pikiran, asumsi, opini, dan pada gilirannya persepsinya sendiri.

Persepsi yang rawan bias kognisi dan afeksi. Rawan misinterpretasi karena keterbatasan data intelijensi, dan rentan memantik emosi destruksi karena pemaknaan dangkal yang berkelindan dengan masalah eksistensi dan sifat defensi.

Kepongahan dan kedunguan sistemik yang dapat dipantik karena mekanisme saringan gelembung yang membuat seolah masalah hidup kita terus datang menumpuk dan menggunung. Sebagaimana juga ruang gema maya membuat isi benak kita seolah dipenuhi pantulan jeritan iba yang membuat kita terus didera lara hingga merasa lelah dalam derita yang penuh dengan luka nestapa.

Kita pada akhirnya banyak menyesali diri karena terbekap dalam keluh yang mendorong kita enggan mencoba usaha yang kita anggap hanya akan menghasilkan peluh. Kita menjadi lebih senang menganggap bahwa isi gelas kopi Kapal Api pahit itu setengah kosong, di saat kita tahu gelas itu sebenarnya juga setengah penuh.

Kita tak lagi mampu berpikir seperti seorang nelayan di Mempawah, yang memasukkan telur itik, lalu pasir, dan air laut secara berurut ke dalam toples pembuat telur asin, karena ia tahu bahwa ketika pasir dan air didahulukan, telur itik takkan dapat dimasukkan. Persis seperti ketika kita memasukkan hal-hal receh yang tidak signifikan berperan dalam kehidupan, lebih dulu ke hati kita. Maka tentu saja hal-hal penting yang punya peran signifikan harus kita sisihkan, dan lama kelamaan bahkan kita lupakan bukan ?

Kita bahkan terus menerus memasukkan pasir dari pantai rasa bersalah resiprokalnya Cialdini, dan menambah luka di hati dengan menyiram cuka suka dan berbanding rasa dengan sesuatu yang kita bahkan tak punya.

Kita memasukkan banyak hal yang oleh Covey dinyatakan sebagai lingkar tak tersentuh yang kau hanya perlu cukup tahu saja, ke lingkar mengalami yang menjadi pengalaman pribadi dan memori yang menyakiti. Mengapa kita menyalahkan Raisa saat ia lebih memilih Hamish Daud dibanding kita, yang bahkan tak dikenalnya ?

Padahal kita punya kuasa kendali dalam sebuah dunia yang bernama diri saya. Sayangnya sebagian dari kita, termasuk saya, belum dan bahkan mungkin takkan pernah mengenal seutuhnya siapakah gerangan saya itu. Maka di penghujung tulisan gabut ini, izinkan saya untuk mengajak diri saya sendiri agar dapat memberi ruang untuk tidak saling memahami, karena kita butuh untuk tidak dipahami. Lalu izinkanlah dua orang, sekelompok orang, dua negara, sekelompok negara, bahkan dunia-dunia lintas dimensi yang bahkan belum teridentifikasi, duduk bersama dalam ketidak sepahaman, lalu mulai belajar berkomunikasi untuk mengonstruksi proses belajar saling memahami.

Mulainya dari mana? Ya tentu saja dari DIRI SENDIRI

Siapa kita ? KOMDIGI 🩵🩵🩵🇲🇨🇲🇨🇲🇨

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts