BRAIN ROT
Istilah “brain rot” menjadi kata pilihan Oxford tahun ini alias Word of The Year Oxford yang dipilih oleh lebih dari 37.000 orang yang berpartisipasi dalam polling, termasuk juga komentar publik dan analisis bahasa di Oxford University Press (OUP). (Kompas, 4/12/2024)
Fikri Andhika, Ajeng, Alipan, dan banyak kawan lain yang tergabung dalam organisasi nirlaba Next Generation Indonesia telah lama masygul dengan dinamika psikososial terkait dengan kemajuan teknologi informasi yang amat pesat. Sebagaimana teknologi dan inovasi hasil capaian peradaban manusia di aneka ranah, pastilah punya dua sisi yang saling bertolak belakang. Ada manfaat, dan ada pula eksesnya.
Salah satu sumber keresahan ketiga anak muda di atas adalah persoalan semakin menggejalanya berbagai kondisi patologi sosial yang secara asumtif diduga diakibatkan karena adanya gegar budaya atau hendaya yang muncul sebagai ekses dari interaksi manusia dengan teknologi digital baik yang bersifat personal, maupun di tingkat komunal.
Masif dan cepatnya akselerasi penetrasi dan dinamika perkembangan teknologi digital yang terjadi seiring dengan semakin berkembangnya kapasitas produksi dan manufaktur teknologi yang didukung oleh perkembangan sains materi, komunikasi dan koneksi informasi, sampai semakin intensitas pemanfaatan kecerdasan artifisial alias akal imitasi atau AI, membuat banyak kalangan lintas generasi terdisrupsi, terdistorsi, dan bahkan sebagian mengalami kondisi disfungsi pada kapasitas dan potensi kognisi.
Game online yang tidak sesuai dengan kapasitas mental dan tahapan usia perkembangan yang membutuhkan level maturasi tertentu agar dapat beradaptasi dan memfiltrasi nilai yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan diri misalnya, dapat menjadi sumber masalah terkait perubahan perilaku dan adiksi. Demikian pula shallow content atau konten bermuatan “dangkal” yang bersifat repetitif dan masif dengan frekuensi tinggi, akan membuat sistem kognisi selain exhausted atau kelelahan, juga akan mereduksi kapasitasnya untuk mengelola informasi heterogen yang akan memperkaya berbagai fungsi asosiatif terkait.
Belum lagi jika kita berbicara soal ekses berupa sifat konsumtif karena paparan algoritma marketing yang menjadi support system utama e-commerce dan marketplace nya. Dimana biasanya terjadi gap antara hasrat ingin memiliki dan daya beli, yang pada gilirannya akan disubstitusi melalui jasa pinjaman daring alias pinjol. Sementara kesulitan membayar angsuran pinjol mendorong sebagian di antara kita mengadu nasib melalui judol atau judi daring, lengkap bukan ?
Lalu apa hubungannya dengan istilah Brain Rot ? Istilah Brain Rot sendiri secara harfiah memang berarti “kerusakan otak,” namun dalam konteks budaya populer, istilah ini merujuk pada penurunan kemampuan kognitif akibat konsumsi konten yang berlebihan, terutama yang bersifat hiburan pasif, seperti video pendek, permainan daring, atau binge-watching serial.
Istilah ini pertama kali populer dalam diskursus media sosial dan budaya digital, di mana generasi muda menyuarakan keresahan terhadap dampak negatif dari keterpaparan berlebihan pada konten yang “mudah dikonsumsi” namun tidak merangsang otak secara signifikan.
Fenomena Brain Rot bukan hanya masalah individu tetapi juga masalah sistemik, didorong oleh desain algoritmik yang mengutamakan keterlibatan pengguna yang berkelindan dengan kesehatan mental. Hal ini menunjukkan bahwa kecanduan digital adalah hasil dari interaksi biologis (dopamin), psikologis (kebiasaan), dan teknologi (algoritma).
Di era digital seperti saat ini, rata-rata individu menghabiskan lebih dari 7 jam perhari menggunakan perangkat elektronik. Paparan konstan terhadap konten visual dan audio yang dirancang untuk memicu respons dopamin dalam waktu singkat (seperti algoritma TikTok, Instagram Reels, atau YouTube Shorts) menciptakan pola konsumsi yang bersifat pasif dan berulang. Studi menunjukkan bahwa rentang perhatian global telah menurun dalam satu dekade terakhir. Pola hiburan pasif meminimalkan stimulasi intelektual, mempercepat kebosanan yang pada gilirannya akan melahirkan peningkatan kejenuhan mental. Dimana kondisi ini dapat terasosiasi dengan berbagai fenomena psikopatologis seperti depresi, kecemasan, dan digital addiction.
Sebagai suatu kondisi yang oleh banyak ahli kesehatan mental telah dikategorikan ke dalam ranah patologis, kebiasaan dan perilaku terkait penggunaan internet, gaming, dan adiksi sudah masuk dalam klasifikasi ICD, sebagai berikut:
The ICD-10 code for other habit and impulse disorders, which may include internet addiction, is F63.8.
The ICD-11, or the 11th Revision of the International Classification of Diseases, includes a diagnosis for gaming disorder. This disorder is characterized by:
-Impaired control over gaming
-Prioritizing gaming over other activities
-Continuing or increasing gaming despite negative consequences
+Significant impairment to a person’s functioning in important areas
Some ICD-10-CM diagnosis codes related to video game addiction include:
– Y93.C1: Activity, electronic game playing using keyboard or other stationary device
– Y93.C2: Activity, hand held interactive electronic device
– Y93.85: Activity, choking game, blackout game, fainting game, or pass out game
Sementara fenomena Brain Rot sendiri dapat ditelaah melalui berbagai pendekatan teori dari ranah ilmu psikologi seperti;
Fenomena Brain Rot dapat dijelaskan melalui beberapa teori psikologi:
1. Teori Dopamin (Schultz, 1997): Konten digital memicu pelepasan dopamin, menciptakan reward loop yang sulit diputus. Ini menurunkan motivasi untuk aktivitas yang memerlukan usaha kognitif lebih besar.
2. Cognitive Load Theory (Sweller, 1988): Shallow content_/ konten dangkal menghabiskan kapasitas kognitif tanpa memberikan kesempatan untuk pembelajaran yang lebih mendalam.
3. Behaviorism (Skinner, 1938): Algoritma media sosial bekerja seperti operant conditioning, di mana penghargaan (likes, views) memperkuat kebiasaan konsumsi pasif.
Beberapa ahli melalui riset dan kajiannya mencatat ada beberapa kondisi tertentu yang layak untuk dicermati dan ditindaklanjuti. Jean Twenge (2017) dalam bukunya iGen, menyampaikan fakta bahwa generasi muda yang menghabiskan waktu berlebihan di media digital menunjukkan gejala depresi dan isolasi sosial yang lebih tinggi dibanding kelompok yang tidak berlebihan. Sementara itu Cal Newport (2019) dalam Digital Minimalism, berargumen bahwa pola konsumsi teknologi memengaruhi kemampuan manusia untuk melakukan deep work. Sedangkan Gerd Gigerenzer (2022) mengingatkan bahwa paparan informasi dangkal (shallow information) dapat memperburuk kapasitas decision making dalam kehidupan nyata.
Penelitian pada remaja juga menunjukkan korelasi antara konsumsi konten video pendek dengan penurunan hasil akademik dan meningkatnya impulsivitas (Linden & Fadrique 2023). Sementara studi neuroimaging menemukan bahwa konsumsi konten pasif dalam waktu lama mengurangi aktivitas di prefrontal cortex, area yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan kontrol impuls (Smith et al. 3024).
Sedangkan menurut Ding et al (2024), penggunaan perangkat digital berkorelasi dengan penurunan aktivitas default mode network (DMN), sistem otak yang aktif saat seseorang tidak terfokus pada lingkungan eksternal secara khusus, dan terdiri dari medial prefrontal cortex/ mPFC, girus angular, precuneus, dan medial frontal gyrus (girus frontalis medial).
Secara umum, jika kita kaji dari sudut pandang neurosains, konten digital diduga dapat memicu ledakan dopamin, tetapi sifatnya sementara, dan menciptakan siklus ketergantungan. Kondisi ini eksesnya dikhawatirkan dapat melemahkan kemampuan otak untuk menghargai aktivitas yang membutuhkan usaha lebih besar, seperti membaca atau memecahkan masalah.
Selanjutnya, paparan berlebih pada pola repetitif tanpa tantangan kognitif akan mereduksi kemampuan otak untuk membentuk koneksi sinaptik baru. Studi pencitraan otak menunjukkan bahwa aktivitas ini dapat menurunkan fungsi kontrol eksekutif, sehingga mempengaruhi sistem pengambilan keputusan.
Ingin rasanya saya mengundang trio NXG (Next Generation Indonesia) itu berdiskusi lebih intens, sembari menyantap semangkuk bakso Balowo Cikutra yang terkenal lezat dan gurih, karena tak dapat dipungkiri bahwa fenomena Brain Rot adalah dampak evolusi teknologi yang mempengaruhi perilaku dan fungsi otak manusia. Dari perspektif neurosains, kondisi ini mencerminkan dampak dari pola stimulasi dopamin yang intens namun dangkal. Pendekatan interdisipliner diperlukan untuk memahami dan mengatasi fenomena ini secara holistik, melibatkan pendidikan, regulasi teknologi, dan penelitian lebih lanjut.
Pas benar dengan berbagai aktivitas inovatif NXG yang telah banyak melakukan upaya literasi digital dan memperkenalkan konsep mindful technology sebagai suatu solusi komprehensif yang dapat diimplementasikan di masyarakat.
Teman-teman NXG juga berencana untuk mengembangkan suatu solusi hibrid dengan merancang game yang dapat dimainkan tidak hanya melalui gawai semata, tetapi juga harus melibatkan interaksi sosial nyata. Misal battle dan upaya up leveling dirancang dengan mengumpulkan sampah, menyapa orang di sekitar, mengidentifikasi vegetasi/tanaman di lingkungan sekitar, atau berjalan dengan jarak tertentu, yang semuanya dapat dibuktikan berupa unggahan foto atau video evidence. Konsep hibrid ini akan menjadikan intensitas interaksi manusia dengan teknologi sejalan dengan kualitas interaksi sosialnya.
Pokemon Go dapat menjadi referensi dalam pengembangan gim NXG tersebut. Karena Pokemon Go yang berbasis augmented reality (AR) dan dikembangkan oleh Niantic, Inc. pada Juli 2016 ini, menggabungkan elemen dunia nyata dengan elemen virtual dari waralaba Pokémon. Pemain dengan menggunakan perangkat seluler mereka untuk menangkap, melatih, dan bertarung dengan Pokémon yang muncul di lokasi dunia nyata.
Pokemon Go memanfaatkan GPS untuk menempatkan pemain di peta virtual yang mencerminkan lokasi dunia nyata. Tempat-tempat tertentu, seperti taman, monumen, dan landmark, menjadi PokéStops (tempat untuk mendapatkan item) dan Gyms (tempat bertarung).
Pemain dapat bekerja sama untuk menyelesaikan Raid Battles (melawan Pokémon legendaris bersama-sama). Sedangkan sistem trading memungkinkan pemain bertukar Pokémon dengan pemain lain. Intinya game ini melibatkan interaksi sosial di dunia nyata. Meski tentu perlu dipertimbangkan kembali konsep “bertarung” yang mungkin kurang edukatif, dengan konsep kompetisi lainnya seperti mengumpulkan sampah dll. Sekaligus konsep game hibrida ini juga mendorong terjadinya peningkatan aktivitas fisik dan komunikasi di dunia nyata.
Literasi digital yang digagas juga tentu memerlukan optimasi konten dan media serta model delivery yang inovatif dan kreatif, mengingat informasi edukatif yang akan disampaikan memiliki kompetitor utama berupa konten-konten dangkal yang dikemas dengan tingkat attractiveness tinggi, sensasional, dan menyasar sistem limbik di otak manusia.
Singkat cerita, saya hanya bisa berdoa, semoga inisiatif-inisiatif mulia sebagaimana yang telah dirintis oleh 3 jagoan kita, Bang Fikri Andhika, Neng Ajeng, dan Kang Alipan, dapat menjadi enzim katalis dalam reaksi optimasi pemanfaatan teknologi digital untuk kemaslahatan peradaban manusia di masa kini dan masa depan. 🙏🏾🩵🇲🇨
Daftar Bacaan
1. Ding, X., Li, Y., & Zhao, H. (2024). The impact of digital media consumption on prefrontal cortex activity: A neuroimaging study. Journal of Cognitive Neuroscience, 36(1), 55-65. https://doi.org/10.1037/cogneu.2024.01.55
2. Linden, J., & Fadrique, M. (2023). Short-form video consumption and academic performance: A correlational study. Educational Psychology Review, 28(4), 123-137. https://doi.org/10.1080/edpsych.2023.12345
3. Newport, C. (2019). Digital minimalism: Choosing a focused life in a noisy world. Portfolio Penguin.
4. Schultz, W. (1997). Dopamine neurons and their role in reward mechanisms. Current Opinion in Neurobiology, 7(2), 191-197. https://doi.org/10.1016/S0959-4388(97)80011-0
5. Skinner, B. F. (1938). The behavior of organisms: An experimental analysis. Appleton-Century.
6. Smith, R., Johnson, P., & Ahmed, K. (2024). Digital habits and their impact on neuroplasticity in young adults. Frontiers in Behavioral Neuroscience, 18(3), 89-102. https://doi.org/10.3389/fnbeh.2024.00123
7. Sweller, J. (1988). Cognitive load during problem solving: Effects on learning. Cognitive Science, 12(2), 257-285. https://doi.org/10.1016/0364-0213(88)90023-7
8. Twenge, J. M. (2017). iGen: Why today’s super-connected kids are growing up less rebellious, more tolerant, less happy–and completely unprepared for adulthood. Atria Books.
9. Niantic, Inc. (2016). Pokemon Go. [Mobile Application]. https://www.nianticlabs.com/
10. Pew Research Center. (2023). Digital consumption trends and their societal impact. https://www.pewresearch.org
11. Smith, A., & Clark, M. (2018). The influence of location-based games on social interaction: Evidence from Pokémon Go. Journal of Social Psychology, 22(4), 345-360. https://doi.org/10.1037/socpsy.2018.345
12. Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.
13. Zhao, L., & Nguyen, T. (2023). Augmented reality games and public health: The case of Pokémon Go. Global Health Journal, 14(2), 112-120. https://doi.org/10.1016/j.ghj.2023.112