Tauhid Nur Azhar

Energi Hijau untuk Masa Depan

Para pencinta kereta api tengah dihebohkan dengan mutasi 6 lokomotif CC201 hasil refurbished atau rehabilitasi dari BB 203 yang hanya memiliki 4 motor traksi. Lokomotif yang semula bertugas di Dipo Induk Kertapati Divisi Regional 3 itu saat ini telah berada di Balai Yasa Yogyakarta.

Daya tarik lokomotif asal Sumatera itu, antara lain terletak pada livery merah birunya, yang merupakan identitas resmi lokomotif dari era Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Lokomotif-lokomotif Sumatera itu dipindah ke Jawa, karena tampaknya secara fungsional bersifat idle, atau kurang optimal dalam beroperasi.

Kondisi tersebut terkait erat dengan karakter angkutan barang dan penumpang di divisi regional Sumatera bagian Selatan, Divre 3 dan 4 , yang didominasi oleh angkutan batubara rangkaian panjang atau babaranjang. Menurut sahabat saya Mas W Dananjaya yang saat ini ditugaskan sebagai salah satu manajer di LRT Jabodebek, serta sebelumnya pernah bertugas sebagai Kepala Stasiun Besar Bandung dan Pasar Senen, serta pernah bertugas di Sumatera, angkutan batubara adalah salah suatu sumber revenue utama KAI.

Mas Danan juga pernah menceritakan pengalamannya saat mencetuskan solusi operasional KA Babaranjang agar dapat lebih efisien dan optimal dalam siklus operasinya. Hal yang sangat dibutuhkan, mengingat sangat tingginya kebutuhan akan angkutan batubara yang berasal dari tambang PT Bukit Asam di Tanjung Enim, ke pelabuhan Tarahan di Lampung, hingga frekuensi perjalanan di relasi tersebut menjadi relatif sangat tinggi pula.

Sebagai gambaran pada periode Januari–Oktober 2024, KAI mengangkut 57,14 juta ton barang, sebagian besarnya batu bara.

Sedangkan data nasional terkait batubara, hingga 30 September 2024, produksi batu bara Indonesia mencapai 593,52 juta ton, atau 83,59% dari target tahunan yang ditetapkan sebesar 710 juta ton. Rinciannya, 263,43 juta ton untuk pasar domestik dan 298,00 juta ton untuk pasar ekspor.

Kondisi ini memang dilematis, di satu sisi energi fosil dengan basis hidrokarbon seperti batubara, minyak bumi, dan gas adalah komoditas penghasil devisa dan sumber catudaya energi di negeri kita, sementara di sisi lainnya, energi fosil adalah penyumbang emisi gas buang yang punya dampak signifikan pada kesehatan dan daya dukung lingkungan.

Sejarah mencatat, bahwa sejak Revolusi Industri, energi fosil, dalam hal ini minyak bumi, batubara, dan gas alam, telahmenjadi fondasi pertumbuhan ekonomi global. Namun, pertumbuhan populasi dan aktivitas ekonomi meningkatkan permintaan energi, sementara tantangan perubahan iklim dan penurunan kualitas lingkungan menuntut pergeseran menuju sumber energi yang lebih berkelanjutan.

Menurut United Nations Department of Economic and Social Affairs (UN DESA), populasi global telah mencapai lebih dari 8 miliar jiwa pada tahun 2022 dan diproyeksikan menyentuh 9,7 miliar pada tahun 2050. Peningkatan ini, akan mendorong percepatan laju urbanisasi dan industrialisasi di negara berkembang, dan akan mendorong permintaan energi primer global.

Data dari BP Statistical Review of World Energy 2022 menunjukkan bahwa cadangan terbukti minyak bumi dunia (proven oil reserves) berada pada kisaran 1.650 miliar barel, sedangkan cadangan gas alam terbukti berada pada sekitar 7.100 triliun kaki kubik. Untuk batubara, cadangan dunia yang dapat dimanfaatkan secara ekonomis tercatat sekitar 1,07 triliun ton.

Pada tingkat konsumsi global, data tahun 2022, menunjukkan bahwa konsumsi bahan bakar berkisar sekitar 100 juta barel minyak per hari (IEA, Oil Market Report 2022) dan tingkat ekstraksi gas serta batubara juga terus bertambah, serta umur keekonomisan cadangan hidrokarbon diperkirakan sebagai berikut; Minyak Bumi, sekitar 40–50 tahun, kemudian Gas Alam: Sekitar 50–60 tahun, serta batubara, sekitar 100–150 tahun.

Proyeksi tersebut sangat bergantung pada skenario kebijakan energi dan iklim. Dalam skenario Stated Policies IEA (WEO 2022), pertumbuhan permintaan bahan bakar fosil mungkin masih berlanjut hingga pertengahan abad ini, meski laju pertumbuhannya melambat sejalan dengan pergeseran kebijakan ke arah energi bersih.

Hubungan antara cadangan dan tingkat konsumsi bukanlah fungsi linear. Peningkatan konsumsi, terutama di sektor transportasi dan industri kimia, dapat mempercepat deplesi cadangan. Namun, kemajuan teknologi ekstraksi seperti Enhanced Oil Recovery (EOR), pemanfaatan shale gas, dan pengembangan tight oil fields telah meningkatkan tingkat pemulihan cadangan.

Di sisi lain, tekanan kebijakan iklim seperti perjanjian Paris 2015 yang menargetkan pembatasan kenaikan suhu global di bawah 2°C, dapat memantik dan mendorong serta menginisiasi proses transisi energi global. Adapun karena adanya berbagai model investasi dalam energi baru dan terbarukan yang efisien, pada gilirannya permintaan jangka panjang terhadap energi fosi, hampir dapat dipastikan akan berkurang secara drastis.

Para ahli, seperti Fatih Birol, Direktur Eksekutif IEA, berpendapat bahwa dunia tengah mendekati “peak oil demand” (puncak permintaan minyak) sebelum tahun 2030 dalam beberapa skenario ambisius. Laporan IEA tahun 2022 menunjukkan bahwa tanpa kebijakan iklim yang lebih ketat, penurunan permintaan bahan bakar fosil akan lebih lambat, tetapi tren ke arah energi rendah karbon sudah jelas terlihat.

Dalam skenario STEPS (Stated Policies Scenario) IEA 2022, konsumsi minyak global diproyeksikan stabil dan mulai menurun perlahan setelah pertengahan dekade 2030-an, sementara gas alam masih akan meningkat setidaknya hingga 2040-an, terutama untuk pembangkit listrik di negara-negara Asia yang menggantikan batubara. Namun, dalam skenario Sustainable Development Scenario (SDS), yang selaras dengan target iklim, permintaan terhadap semua bahan bakar fosil menurun lebih cepat, memungkinkan cadangan yang ada bertahan lebih lama dan sebagian bahkan tidak akan dieksploitasi.

Ekonomi energi fosil semakin dipengaruhi oleh biaya eksternal (externalities) seperti harga karbon. Bank Dunia (2022) mencatat bahwa lebih dari 68 negara telah atau akan menerapkan mekanisme penetapan harga karbon (carbon pricing) yang pada akhirnya meningkatkan harga relatif energi fosil, sehingga mempercepat pergeseran ke energi bersih.

Secara teori, energi terbarukan dapat menyediakan energi jauh melebihi kebutuhan global. IRENA (International Renewable Energy Agency) mencatat bahwa kapasitas terpasang energi terbarukan global pada akhir 2021 mencapai sekitar 3.064 GW, meningkat hampir tiga kali lipat sejak tahun 2010 (sekitar 1.000 GW).

Sebagai contoh kongkret dari rekapitulasi potensi energi tersebut, dapat dilihat pada perhitungan energi terbarukan bersumber surya/matahari. Matahari memancarkan ke Bumi energi sekitar 1,7 x 10^17 Watt. Kebutuhan energi primer dunia sekitar 600 EJ per tahun (±1,9 x 10^14 kWh). Jika 0,1% permukaan daratan Bumi dipasangi panel surya dengan efisiensi 20%, kebutuhan energi dunia dapat tercukupi beberapa kali lipat. Menurut IEA PVPS (IEA Photovoltaic Power Systems Programme), biaya listrik dari fotovoltaik telah turun lebih dari 80% dalam satu dekade terakhir, membuat LCOE (Levelized Cost of Electricity) surya di banyak wilayah turun hingga US$ 20–40/MWh pada 2022.

Sedangkan hitung-hitungan potensi energi angin adalah sebagai berikut; potensi angin global dapat memasok energi beberapa kali lipat dari kebutuhan dunia. Pemanfaatan offshore wind dilaporkan IRENA telah mencapai LCOE sekitar US$ 50–90/MWh di beberapa pasar utama pada 2022, dan biaya ini terus menurun. Kapasitas terpasang angin global pada 2021 sekitar 837 GW, naik dari hanya 283 GW pada 2012.

Sedangkan bioenergi yang mencakup biofuel (bioetanol, biodiesel) dan biomassa, menurut IEA Bioenergy, pada 2021 telah berkontribusi sekitar 50 EJ energi final, atau sekitar 10% dari konsumsi energi akhir global. Pengembangan bioenergi yang berkelanjutan tergantung pada ketersediaan lahan, praktik pertanian berkelanjutan, serta teknologi generasi kedua dan ketiga yang tidak bersaing dengan pangan.

Sementara masih menurut IRENA (2022), kapasitas terpasang instalasi pembangkit energi panas bumi global adalah sekitar 16 GW pada 2021. Dimana sebagian besar negara-negara dengan aktivitas vulkanik aktif seperti Indonesia, Filipina, dan Amerika Serikat memiliki potensi panas bumi yang diprakirakan mencapai ratusan GW jika teknologi Enhanced Geothermal Systems (EGS) dapat dikembangkan secara lebih masif di masa depan.

Potensi lain adalah energi yang berasal dari dinamika samudera. Laporan Ocean Energy Europe (2022) memprakirakan potensi teknis energi laut global dapat mencapai > 1000 TWh per tahun, meski komersialisasinya memerlukan kematangan teknologi dan dukungan kebijakan.

Teknologi dukungan yang bersumber dari hasil riset berkelanjutan di perguruan tinggi dan berbagai lembaga riset lainnya, adalah kunci. Efisiensi sel surya misalnya, dapat meningkat dari rata-rata 15% menjadi 20–25% pada 2022 dengan dukungan teknologi material dan pengolahan yang tepat. Para ahli seperti Prof. Martin Green (UNSW) menyatakan bahwa inovasi sel perovskit dapat menaikkan efisiensi hingga 30% pada dekade mendatang.

Teknologi turbin angin juga terus berkembang dalam ukuran dan efisiensi. Turbin onshore 5–6 MW telah menjadi teknologi yang jamak, sementara turbin offshore telah dapat mencapai 10–15 MW per unit, yang diprakirakan akan dapat menurunkan biaya listrik total.

Menurut Prof. Johan Rockström (Potsdam Institute), bioenergi berkelanjutan memerlukan integrasi dengan ekonomi sirkular, memanfaatkan limbah pertanian dan kehutanan serta memastikan tidak ada eksploitasi hutan primer.

Dari sisi ekonomi, energi terbarukan telah menjadi semakin kompetitif. Menurut BloombergNEF (2022), investasi global dalam energi bersih mencapai rekor US$ 755 miliar pada 2021, naik 27% dari tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, investasi pada energi fosil stagnan atau menurun di beberapa kawasan yang menerapkan kebijakan pengetatan emisi.

Sebagai gambaran saat ini atau harga pokok produksi listrik dari sumber baru dan terbarukan adalah kurang lebih seperti ini;
Surya fotovoltaik, US$ 20–40/MWh di lokasi dengan radiasi tinggi. Angin darat sekitar US$ 30–50/MWh di beberapa wilayah tertentu. Sedangkan angin lepas pantai biaya produksinya antara US$ 50–90/MWh (tergantung wilayah dan teknologi).
Harga-harga produksi ini sudah bersaing atau bahkan lebih murah daripada pembangkitan listrik berbasis fosil di hampir setiap wilayah eksploitasi dan pembangkitan (IEA WEO 2022).

Sementara fakta lain yang mendukung proses transformasi energi dari fosil ke energi baru dan terbarukan juga didukung oleh adanya kebijakan global yang telah menjadi konsensus bersama banyak negara. Sekurangnya lebih dari 68 yurisdiksi (negara atau daerah) telah mengadopsi harga karbon, dengan nilai berkisar US$ 5–130 per ton CO2 ekuivalen. Mekanisme ini mendorong keekonomisan energi terbarukan dan teknologi penyimpanan energi. Seiring meningkatnya harga karbon (terutama di Uni Eropa yang mencapai sekitar €80-100/ton pada 2022), investor semakin tertarik untuk beralih ke proyek-proyek rendah karbon.

Benefit lain adalah fakta bahwa pertumbuhan sektor energi terbarukan akan menciptakan jutaan lapangan kerja hijau. IRENA (2022) melaporkan bahwa pekerjaan di sektor energi terbarukan mencapai sekitar 12 juta orang pada 2020, diproyeksikan naik menjadi 43 juta pada 2050 jika transisi energi berjalan sesuai target iklim. Hal ini menandakan peluang ekonomi yang signifikan, terutama di negara berkembang yang berpotensi menjadi basis manufaktur panel surya, turbin angin, dan sistem penyimpanan energi.

PR besar yang menanti untuk segera dituntaskan agar potensi luar biasa ini tidak berlalu begitu saja dalam momentum yang relatif singkat karena dinamika peradaban yang teramat cepat, adalah dilahirkannya kebijakan, regulasi, dan panduan teknis yang tepat dalam upaya mengoptimalkan sumber daya yang tersedia di negeri penuh berkah bernama Nusantara ini.

Tugas berat Bapak Menteri ESDM, Dr Bahlil Lahadalia, Pak Wamen Yuliot, dan Ibu Dirjen EBTKE Prof Eniya beserta segenap jajarannya, mungkin adalah memperkaya peta jalan strategi energi masa depan yang sudah ada, dengan memasukkan berbagai pertimbangan terkait kebijakan *redistribusi dana* dari eksploitasi sumber daya berbasis karbon untuk riset berkesinambungan bersama perguruan tinggi bereputasi seperti ITB dan UGM serta lembaga riset dengan multi sumber daya seperti BRIN yang luar biasa, agar dapat berfokus menjembatani transisi energi menuju energi cerdas, hijau, terbarukan, dan berkesinambungan. 🙏🏾🇲🇨🩵

Jadi kerja keras, sahabat, sekaligus guru saya, Mas Dananjaya, yang kerap mencandai dirinya sendiri sebagai kuli panggul batubara, dapat menjadi investasi bagi kemajuan bangsa di masa depan bukan? Dan semoga itu akan menjadi amal jariah bagi beliau dan kawan-kawan yang terus berjuang, dalam diam.

Daftar Pustaka

BloombergNEF. (2022). Energy Transition Investment Trends 2022. BloombergNEF. https://about.bnef.com/

BP. (2022). BP Statistical Review of World Energy 2022 (71st ed.). BP. https://www.bp.com/en/global/corporate/energy-economics/statistical-review-of-world-energy.html

GIZ. (2021). Energy Transition in Indonesia: A Race Against Time. GIZ Indonesia. https://www.giz.de/en/worldwide/367.html

Institute for Essential Services Reform (IESR). (2021). Indonesia Energy Transition Outlook 2022. IESR. https://iesr.or.id/

International Energy Agency. (2022). World Energy Outlook 2022. IEA. https://www.iea.org/reports/world-energy-outlook-2022

International Energy Agency. (2022). Oil Market Report 2022. IEA. https://www.iea.org/reports/oil-market-report

International Energy Agency (IEA). (2022). Coal 2022. IEA. https://www.iea.org/reports/coal-2022

International Energy Agency Photovoltaic Power Systems Programme (IEA PVPS). (2022). Trends in Photovoltaic Applications 2022. IEA PVPS. https://iea-pvps.org/

International Renewable Energy Agency (IRENA). (2022). Renewable Capacity Statistics 2022. IRENA. https://www.irena.org/publications/2022

International Renewable Energy Agency (IRENA). (2022). World Energy Transitions Outlook 2022. IRENA. https://www.irena.org/publications/2022/mar/world-energy-transitions-outlook-2022

Joint Statement on the Indonesia Just Energy Transition Partnership (JETP). (2022). Joint Statement on the Indonesia Just Energy Transition Partnership. The White House. https://www.whitehouse.gov/briefing-room/statements-releases/2022/11/15/joint-statement-on-the-indonesia-just-energy-transition-partnership/

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM). (2022). Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia. ESDM. https://www.esdm.go.id/en/publication

Potsdam Institute for Climate Impact Research. (Rockström, J.). (2015). Bounding the Planetary Future: Why We Need a Great Transition. Great Transition Initiative. https://greattransition.org/publication/bounding-the-planetary-future

United Nations Department of Economic and Social Affairs (UN DESA). (2022). World Population Prospects 2022. United Nations. https://population.un.org/wpp/

World Bank. (2022). State and Trends of Carbon Pricing 2022. World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/37455

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts