Tauhid Nur Azhar

Game di Otak Kita

Pagi ini saat mengantar istri olahraga pagi di Balubur, saya berjumpa dengan seorang tukang ulen, alias ketan bakar pikulan yang tengah menunggu pelanggan dekat parkiran.

Beliau duduk mencakung di atas bangku kayu kecil sambil asyik masyuk mengipasi ketannya yang tengah dibakar di atas arang, aromanya sedemikian menggoda, hingga terbit pulalah air liur saya karena menciumnya.

Tak lama 4 lembar uang dua ribuan berpindah tangan, seiring dengan 2 bungkus daun pisang berisi ketan yang telah dibubuhi sambal oncom dan serundeng saya terima dengan tangan terbuka dan setangkup rasa bahagia. “Ambil saja kembaliannya Pak…” demikian saya berucap sambil lidah tak henti berkecap. Aroma memang tak pernah berdusta, ada 40% sahamnya dalam menentukan rasa via indera.

Konsep rasa lewat aroma jnj dikenal sebagai aroma atau bau retronasal. Dimana bau retronasal adalah modalitas sensorik yang menghasilkan rasa. Bau ini adalah kombinasi bau tradisional (bau orthonasal) dan modalitas rasa. Bau retronasal menciptakan rasa dari molekul bau dalam makanan atau minuman yang bergerak naik melalui saluran hidung saat seseorang mengunyah.

Ketika kita menggunakan istilah “bau”, hal itu biasanya merujuk pada bau orthonasal, atau persepsi molekul bau yang masuk langsung melalui hidung dan naik ke saluran hidung, tapi aroma retronasal berasal dari komposisi kimiawi dan biologi dari makanan yang tengah kita nikmati.

Dan sungguh, kelembutan ketan yang melumer di mulut, dengan aroma smoky dari arang dengan panas yang terukur pas, adalah perpaduan yang bernas untuk mengawali pagi dengan ikhlas.

Terlebih saat ulen nan gurih itu bertemu dengan secangkir kertas latte hangat yang saya beli dari kedai kopi Makmur Jaya yang terletak tak jauh dari sana. Tak terduga di kedai itulah sirobok pandang saya bersua dengan 2 sosok manusia yang karakternya sungguh tak asing bagi saya. 2 anggota tim Marvel Ekosistem Digital Komdigi. Mereka tengah asyik masyuk menyantap aneka croissant Makjay yang memang kualitas rasanya anjay pisan (in a gokdway ya tentunya). Saya pribadi adalah fansbberat sagu suguhan pastry mereka yang punya nama cream cheese croissant, suatu inovasi kuliner yang menurut saya akan membuat peramu resepnya mendapat amal jariah karena gagasan briliannya telah mencerahkan dan menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang, menjadi ilmu yang diamalkan dan bermanfaat dunia akhirat.

Pertemuan dengan alumni workshop Bromo Tengger Semeru ini melontarkan pikiran saya ke alam kenangan yang penuh dengan indahnya pengalaman dan pembelajaran yang telah didapatkan dalam satu fragmen perjalanan.

Game dan Next Generation Indonesia lah yang telah mempertemukan, mempertautkan partikel-partikel semesta dalam tarian entanglement yang bertajuk literasi digital dan pengembangan ekosistem digital yang sehat, multi manfaat, dan bermartabat.

Tentu telah sama kita maklumi dan mahfumi serta tak dapat kita pungkiri bahwa perkembangan teknologi digital telah melahirkan industri game yang masif dan mendunia.

Seiring popularitasnya yang meningkat, game tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga objek kajian ilmiah yang menarik, khususnya dalam bidang neuropsikologi. Dan kali ini usai mendapat bensin motivasi dari 2 potong ulen bakar super lezat parkiran Baltos, serta pertemuan tak terduga dengan 2 punggawa Komdigi yang selalu optimis dan ceria, saya jadi bersemangat untuk mengulas pengaruh game pada kerja otak manusia dengan meninjau berbagai aspek, mulai dari sejarah dan jenis-jenis game, hingga aspek psikologi, neurosains, dan antropologi.

Sejarah game komputer dapat ditelusuri kembali ke tahun 1950-an, dengan diciptakannya game sederhana seperti “Tennis for Two” (1958) dan “Spacewar!” (1962). Era 1970-an menandai kemunculan game arcade seperti Pac-Man, Space Invaders, dan Donkey Kong, yang meraih popularitas luar biasa.

Perkembangan konsol rumah seperti Atari dan Nintendo pada 1980-an semakin mendorong industri game. Era 1990-an dan 2000-an ditandai dengan kemajuan pesat dalam grafis, gameplay, dan genre game, dengan munculnya game-game 3D, MMORPG (Massively Multiplayer Online Role-Playing Game) seperti World of Warcraft, dan berbagai jenis game mobile. (Donovan, 2010)

Game komputer dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai kriteria, seperti genre, platform, dan mode permainan.

Genre: Action, adventure, role-playing, strategy, simulation, puzzle, sports, dan lain-lain.

Platform: PC, konsol (PlayStation, Xbox, Nintendo), mobile (smartphone, tablet), dan arcade.

Mode Permainan: Single-player, multiplayer (online/offline), cooperative, competitive.

Selain perkembangan dari teknologi komputasi yang pada gilirannya mengakomodir sifat dasar psikologi manusia sebagai makhluk yang bermain, game yang dihasilkanpun dapat mempengaruhi berbagai aspek psikologis pemainnya. Beberapa pengaruh yang telah teridentifikasi dari berbagai penelitian antara lain adalah:

Motivasi: Game didesain dengan sistem reward yang memicu pelepasan dopamin, neurotransmitter yang berperan dalam motivasi dan rasa senang. (Koepp et al., 1998)

Kognisi: Bermain game dapat meningkatkan fungsi kognitif seperti atensi, memori kerja, dan kemampuan spasial. (Bavelier et al., 2011)

Emosi: Game dapat membangkitkan berbagai emosi, seperti kegembiraan, frustrasi, dan rasa pencapaian.

Sosial: Game multiplayer dapat memfasilitasi interaksi sosial, kerja sama, dan kompetisi.

Sementara beberapa studi neurosains mengungkap bahwa bermain game dapat mengubah struktur dan fungsi otak. Perubahan yang telah teramati itu antara lain adalah sebagai berikut;
Plastisitas Otak: Bermain game dapat meningkatkan volume materi abu-abu di berbagai area otak, termasuk hippocampus (berperan dalam memori) dan korteks prefrontal dorsolateral (berperan dalam fungsi eksekutif). (Kühn & Gallinat, 2014)
Aktivitas Otak: Game action dapat meningkatkan aktivitas di area otak yang terkait dengan atensi visual dan pengambilan keputusan. (Green & Bavelier, 2003)

Sedangkan dari sudut pandang antropologi, game dapat dipandang pula sebagai suatu:

Simulasi Budaya: G
Di mana game sering kali mencerminkan nilai, norma, dan praktik budaya tertentu.

Ritual Sosial: Bermain game dapat menjadi ritual sosial yang mempererat ikatan antar individu dan kelompok.

Artefak Budaya: Game merupakan artefak budaya yang merepresentasikan perkembangan teknologi dan kreativitas manusia.

Beberapa studi kasus sebagai upaya untuk memetakan dan mengidentifikasi hubungan antara game dengan kerja Otak dan perilaku, telah banyak dilakukan. Hasilnya antara lain sebagai berikut;

Studi 1: Sebuah studi longitudinal pada anak-anak menemukan bahwa bermain game action berkorelasi dengan peningkatan kemampuan atensi selektif dan kemampuan untuk mengabaikan distraksi. (Dye et al., 2009)

Studi 2: Penelitian pada gamer profesional menunjukkan bahwa mereka memiliki waktu reaksi yang lebih cepat dan kemampuan pengambilan keputusan yang lebih baik dibandingkan non-gamer. (Colzato et al., 2010)

Studi 3: Game telah digunakan sebagai alat terapi untuk mengatasi berbagai gangguan, seperti ADHD, autisme, dan stroke. (Anguera et al., 2013)

Di sisi lain, teknologi game terus berkembang dengan pesat sejalan dengan dinamika teknik komputasi dan mekanisme prosesing yang kini telah melahirkan berbagai model akal imitasi atau AI, seperti Gen AI, yang tentu berkontribusi pada perkembangan game dengan platform yang berbasis pada komputasi digital.

Beberapa tren yang diperkirakan akan membentuk masa depan dunia game antara lain adalah :

Mix reality yang menggabungkan Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR): Menciptakan pengalaman bermain yang lebih imersif dan interaktif.

Akal Imitasi/Artificial Intelligence (AI): Meningkatkan realisme dan kompleksitas game dengan menciptakan karakter non-player yang lebih cerdas dan adaptif.

Cloud Gaming: Memungkinkan akses ke game berkualitas tinggi tanpa memerlukan perangkat keras yang kuat.

Walhasil harus diakui bahwa game memang memiliki pengaruh yang signifikan pada kerja otak manusia. Studi-studi neuropsikologi menunjukkan bahwa bermain game dapat meningkatkan fungsi kognitif, mengubah struktur otak, dan memengaruhi perilaku. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa efek game dapat bervariasi tergantung pada jenis game, durasi bermain, dan karakteristik individu.

Studi menunjukkan bahwa genre game yang berbeda dapat memberikan dampak yang berbeda pula pada perilaku dan kinerja otak pemain. Berikut beberapa contoh efek dari berbagai game dengan beragam genre;

– Game Kasual (Casual Games)
Contoh: Candy Crush, Angry Birds, Tetris.

Perilaku:
– Meningkatkan mood dan mengurangi stres (Przybylski et al., 2010).
– Dapat melatih kesabaran dan ketahanan terhadap frustrasi.

Kinerja Otak:
– Meningkatkan kecepatan pemrosesan informasi dan atensi (Boot et al., 2008).
– Meningkatkan fleksibilitas kognitif dan kemampuan multitasking.

– Game Aksi (Action Games)
Contoh: Call of Duty, Grand Theft Auto, Fortnite.

Perilaku:
– Dapat meningkatkan agresivitas dan perilaku impulsif pada beberapa individu (Anderson et al., 2010).
– Meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan dalam situasi yang cepat dan penuh tekanan.

Kinerja Otak:
– Meningkatkan atensi visual dan spasial (Green & Bavelier, 2003).
– Meningkatkan kemampuan problem-solving dan pengambilan keputusan.

– Game Strategi (Strategy Games)
Contoh: StarCraft, Civilization, Age of Empires.

Perilaku:
– Meningkatkan kemampuan perencanaan dan pengambilan keputusan strategis.
– Meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan analitis.

Kinerja Otak:
– Meningkatkan memori kerja dan kemampuan multitasking (Blakely et al., 2007).
– Meningkatkan fleksibilitas kognitif dan kemampuan adaptasi.

– Game Role-Playing (RPG)
_Contoh:_ The Elder Scrolls, Final Fantasy, Fallout.

Perilaku:
– Meningkatkan kemampuan empati dan perspective-taking (Yee et al., 2011).
– Meningkatkan kemampuan problem-solving dan kreativitas.

Kinerja Otak:
– Meningkatkan kemampuan bahasa dan komunikasi.
– Meningkatkan kemampuan role-playing dan social interaction.

– Game Massively Multiplayer Online Role-Playing Game (MMORPG)
Contoh: World of Warcraft, Final Fantasy XIV, Guild Wars 2.

Perilaku:
– Dapat meningkatkan kecanduan dan isolasi sosial pada beberapa individu (Kuss & Griffiths, 2012).
– Meningkatkan kemampuan kerjasama dan koordinasi dalam tim.

Kinerja Otak:
– Meningkatkan kemampuan social cognition dan emotional intelligence.
– Meningkatkan kemampuan leadership dan teamwork.

Penting untuk diingat bahwa efek game pada perilaku dan kinerja otak dapat bervariasi tergantung pada individu, intensitas bermain, dan faktor-faktor lainnya. Generalisasi hasil studi harus dilakukan dengan hati-hati, karena banyak studi yang memiliki keterbatasan metodologis, dan tentu saja penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami secara komprehensif dampak genre game yang berbeda pada perilaku dan kinerja otak.

Efek ketan bakar mulai habis, dan sayapun harus bergegas, karena nyaris tak terasa, jam saya untuk mulai bertugas di Sekretariat Negara sudah mendekat. Akang Gojek pun harus segera saya cegat, dengan metoda digital yang so pasti cepat dan tepat. Pada saat driver merapat, sayapun akan segera mencelat 🙏🏾🩵🇲🇨

Daftar Pustaka

Anguera, J. A., Boccanfuso, J., Rintoul, J. L., Al-Hashimi, O., Faraji, F., Janowich, J., … & Gazzaley, A. (2013). Video game training enhances cognitive control in older adults. Nature, 501(7465), 97-101.

Bavelier, D., Green, C. S., Pouget, A., & Schrater, P. (2011). Brain plasticity through the life span: learning to learn and action video games. Annual review of neuroscience, 35, 391-416.

Colzato, L. S., van den Wildenberg, W. P., Zmigrod, S., & Hommel, B. (2010). Action video game play facilitates the development of better perceptual templates. Acta Psychologica, 134(3), 265-271.

Donovan, T. (2010). Replay: The history of video games. Yellow Ant.

Dye, M. W., Green, C. S., & Bavelier, D. (2009). Increasing speed of processing with action video games. Current Directions in Psychological Science, 18(6), 321-326.

Green, C. S., & Bavelier, D. (2003). Action video game modifies visual selective attention. Nature, 423(6939), 534-537.

Koepp, M. J., Gunn, R. N., Lawrence, A. D., Cunningham, V. J., Dagher, A., Jones, T., … & Grasby, P. M. (1998). Evidence for striatal dopamine release during a video game. Nature, 393(6682), 266-268.

Kühn, S., & Gallinat, J. (2014). Amount of lifetime video gaming is positively associated with entorhinal, hippocampal and occipital volume. Molecular psychiatry, 19(7), 842-847.

Anderson, C. A., Shibuya, A., Ihori, N., Swing, E. L., Bushman, B. J., Sakamoto, A., … & Saleem, M. (2010). Violent video game effects on aggression, empathy, and prosocial behavior in eastern and western countries: A meta-analytic review. Psychological bulletin, 136(2), 151.

Blakely, D. P., Skirrow, P., Lee, K., Dawson, C., & Owen, A. M. (2007). Real-time strategy game play as a training tool for the enhancement of cognitive abilities. Computers in Human Behavior, 23(5), 2398-2416.

Boot, W. R., Blakely, D. P., & Simons, D. J. (2008). Do action video games improve perception and cognition?. Frontiers in psychology, 4, 226.

Kuss, D. J., & Griffiths, M. D. (2012). Internet gaming addiction: A systematic review of empirical research. International journal of mental health and addiction, 10(2), 278-296.

Przybylski, A. K., Rigby, C. S., & Ryan, R. M. (2010). A motivational model of video game engagement. Review of general psychology, 14(2), 154.

Yee, N., Bailenson, J. N., Urbanek, M., Chang, F., & Merget, D. (2011). The unbearable likeness of being digital: The persistence of nonverbal social norms in online virtual environments. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 14(3), 115-121.
https://mgiep.unesco.org/article/educational-tv-of-violence-efficiently-training-the-youth-in-aggresive-behaviours
http://books.google.com/books?id=McsHTkYptvEC
https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/tazkiya/article/view/19986
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/view/3368/0
https://sibphil.elpub.ru/jour/article/view/157?locale=en_US

Does brain training really work?


https://cocosci.princeton.edu/papers/Meta_Level_PRs__RLDM-CameraReady.pdf

Recognizing Esports as a Sport


https://www.dexerto.com/news/women-esports-part-2-clash-genders-gender-based-differences-affect-esports/36571
https://rjls.ub.ac.id/index.php/rjls/article/view/239

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts