Prenatal Maternal Stress dan Epigenetika: Bagaimana Stress Ibu Mempengaruhi Jejak Genetika Anak
Ba’da Isya, masuk sebuah pertanyaan di grup WA Neuronesia, komunitas pemerhati ilmu Neurosains Indonesia. Pertanyaan itu jika disederhanakan kira-kira berbunyi: “apakah ada hubungan antara ibu hamil yang stress dengan kondisi gen anaknya ?”
Wah ini pertanyaan penting, dan juga sudah semenjak cukup lama menjadi salah satu concern saya. Bahkan pernah saya bahas juga dalam beberapa buku sains populer yang pernah saya tulis, antara lain ada di buku yang berjudul: Organela Cinta yang diterbitkan oleh penerbit Salamadani.
Tradisi Nusantara dengan segenap kearifannya pun telah mengajarkan kepada kita berbagai nilai kearifan lokal yang maujud pada beberapa ritual yang kerap dijalani oleh ibu hamil. Tradisi-tradisi ini biasanya bertujuan untuk mendoakan keselamatan ibu dan janin, mempersiapkan secara mental dan spiritual proses kelahiran, serta memperkuat ikatan sosial dengan keluarga dan masyarakat sekitar. Selain tentu saja pemeriksaan rutin yang dikenal sebagai Ante Natal Care atau ANC, dimana ANC yang berkualitas dapat membantu ibu hamil menyelesaikan kehamilan dengan baik dan melahirkan bayi yang sehat. Frekuensi kunjungan ANC yang ideal adalah:
– Setiap 4 minggu sekali pada usia kehamilan 4–28 minggu
– Setiap 2 minggu sekali pada usia kehamilan 28–36 minggu
– Setiap minggu ketika sudah memasuki usia kehamilan 36–40 minggu
Sejalan dengan itu ada beberapa konsep kearifan lokal yang maujud dalam bentuk pamali, atau panduan tentang hal-hal atau apa saja yang harus dihindari atau tidak dilakukan di masa kehamilan. Secara logis, sebenarnya berbagai hal yang sementara ini kerap kita anggap semata hanya bagian dari ritual tradisional saja, bisa jadi adalah metoda berpendekatan epigenomik, dan juga nutrigenomik.
Beberapa tradisi yang masih jamak kita temui di berbagai daerah terkait proses kehamilan, antara lain adalah; upacara mitoni atau tingkeban di suku Jawa. Kata mitoni berasal dari kata pitu (tujuh) karena digelar pada bulan ketujuh kehamilan. Sementara dalam tradisi masyarakat Sunda, terdapat tradisi nujuh bulan yang mirip dengan mitoni. Acara ini juga ditandai dengan siraman, pembacaan doa, serta memohon keselamatan kepada Sang Khalik. Keluarga dan kerabat berkumpul untuk mendoakan kelancaran persalinan, sekaligus memberikan dukungan moral kepada ibu hamil.
Di Bali terdapat upacara megedong-gedongan yang dilaksanakan saat usia kehamilan mencapai sekitar 7 bulan. Tradisi ini menjadi momen refleksi spiritual bagi calon orang tua, meyakinkan bahwa bayi yang akan lahir diterima dan dilindungi oleh kekuatan suci.
Sedangkan dalam budaya Bugis-Makassar, terdapat upacara khusus sebelum melahirkan yang biasanya didampingi oleh para tetua adat. Istilah dan bentuk upacaranya dapat berbeda-beda, ada yang menyebutnya Mappanre Tosso atau Mappanre Ballo, namun inti dari ritual ini adalah pemberian doa dan harapan agar ibu hamil serta bayi dalam kandungan diberikan kekuatan, keselamatan, dan kesehatan. Tujuan serupa juga merupakan inti dari tradisi Uga Womba yang berasal dari Nusa Tenggara Timur.
Intinya segenap daya upaya, baik dari unsur tradisi maupun medis modern, semua bertujuan untuk menghadirkan kondisi dimana janin dalam kandungan yang akan dilahirkan sehat, cerdas, tak kurang suatu apa. Demikian pula sang Bunda, cepat pulih dan sehat kembali dari masa persalinan, dan dikaruniai kekuatan untuk menjalankan proses pengasuhan bersama suami dan segenap anggota keluarga lainnya.
Di tengah kemajuan pesat dalam bidang biologi molekuler dan genetika, penelitian mengenai dampak lingkungan selama kehamilan terhadap perkembangan janin semakin marak. Salah satu fokus utama dalam beberapa tahun terakhir adalah bagaimana stress yang dialami ibu selama masa prenatal dapat berkontribusi pada perubahan epigenetik yang memengaruhi kesehatan serta perilaku anak.
Epigenetika, sebagai lapisan atau fungsi kendali pengatur ekspresi gen tanpa mengubah urutan DNA, adalah kunci untuk memahami hubungan kompleks antara pengalaman ibu saat mengandung dan profil kesehatan keturunannya di kemudian hari (Zhang & Meaney, 2010).
Epigenetika merujuk pada mekanisme yang dapat mengaktifkan atau menonaktifkan gen tanpa mengubah sekuens DNA. Modifikasi kimiawi tertentu, seperti metilasi DNA atau perubahan pada histon, dapat memengaruhi cara gen diekspresikan. Efek epigenetik ini bersifat dinamis dan sensitif terhadap pengaruh lingkungan, termasuk nutrisi, paparan toksin, serta pengalaman psikologis dan sosial (Feil & Fraga, 2012).
Dalam konteks stress maternal prenatal, rangkaian sinyal hormonal dan neurotransmiter yang dihasilkan tubuh ibu akibat stres dapat memengaruhi pola epigenetik pada sel-sel janin yang sedang berkembang. Gen-gen di janin yang dapat terpengaruh oleh kondisi stress psikologis pada seorang ibu, antara lain adalah;
Gen Reseptor Glukokortikoid (NR3C1), dimana NR3C1 adalah gen yang mengkode reseptor glukokortikoid, komponen kritis dalam sumbu Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA). Hormon stres seperti kortisol dapat berikatan dengan reseptor glukokortikoid dan memengaruhi ekspresi berbagai gen lain yang mengatur respons tubuh terhadap stres. Studi menunjukkan bahwa tingkat metilasi pada wilayah promoter NR3C1 dapat meningkat pada anak-anak yang ibunya mengalami stres tinggi selama kehamilan. Peningkatan metilasi ini umumnya dikaitkan dengan sensitivitas yang berubah terhadap hormon stres, yang pada akhirnya memengaruhi respons fisiologis dan perilaku anak dalam jangka panjang.
FKBP5 (FK506-Binding Protein 5), di mana FKBP5 adalah regulator penting dari reseptor glukokortikoid. Perubahan epigenetik (seperti metilasi DNA) pada FKBP5 dapat memengaruhi sensitivitas sel terhadap kortisol. Beberapa penelitian pada kondisi stres masa kanak-kanak maupun prenatal menunjukkan bahwa perubahan epigenetik pada FKBP5 terkait dengan gangguan kejiwaan di kemudian hari, seperti depresi dan gangguan kecemasan.
CRH (Corticotropin-Releasing Hormone), dimana CRH adalah gen yang berperan dalam awal rangkaian respons stres di otak. CRH dilepaskan oleh hipotalamus dan merangsang pelepasan ACTH (Adrenocorticotropic Hormone) dari pituitari, yang kemudian memicu pelepasan kortisol dari kelenjar adrenal. Maternal stress dapat memodifikasi regulasi epigenetik pada gen CRH, sehingga memengaruhi tingkat CRH pada janin dan kemudian membentuk respons stres anak tersebut saat ia bertumbuh.
SLC6A4 (Serotonin Transporter), di mana SLC6A4 mengkode protein transporter serotonin (5-HTT), yang mengatur ketersediaan serotonin di sinaps. Kadar serotonin yang abnormal banyak dikaitkan dengan kondisi mood dan perilaku. Stres prenatal dapat memodifikasi metilasi pada gen SLC6A4, mengubah ekspresi protein transporter serotonin, dan pada akhirnya memengaruhi regulasi emosi serta kecenderungan anak terhadap gangguan mood.
BDNF (Brain-Derived Neurotrophic Factor), dimana BDNF terlibat dalam perkembangan, diferensiasi, dan plastisitas neuron. Paparan stres yang dialami ibu selama kehamilan dapat mengubah pola epigenetik gen BDNF, memengaruhi ketersediaan faktor neurotrofik ini di otak anak. Perubahan ini dapat berdampak pada perkembangan otak, kemampuan kognitif, dan regulasi perilaku.
Gen-gen Imunitas, selain gen yang terlibat dalam respons stress langsung, stress prenatal juga dapat memicu modifikasi epigenetik pada gen-gen yang mengatur fungsi kekebalan. Hal ini dapat mengakibatkan perubahan sensitivitas anak terhadap infeksi atau gangguan autoimun di kemudian hari. Walaupun gen-gen ini mungkin bervariasi (misalnya IL-6, TNF-α), pola metilasi yang berubah akibat stress prenatal dapat memengaruhi respons imun anak dalam jangka panjang.
Ketika ibu mengalami stress, baik berupa stress psikologis (misalnya kecemasan, depresi) maupun fisik (seperti kurang gizi, paparan polutan), tubuh ibu akan meningkatkan produksi hormon stres, terutama kortisol. Kortisol dapat memengaruhi sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) pada janin dan, dalam jangka panjang, mempengaruhi perkembangan otak, sistem kekebalan, serta sistem metabolisme anak (O’Connor, Monk, & Fitelson, 2014). Lebih jauh, pola hormonal yang berubah akibat paparan stres kronis ini dapat meninggalkan “jejak” epigenetik yang menetap dalam jangka panjang.
Proses epigenetik yang mempengaruhi gen janin saat ibu mengalami stres prenatal melibatkan serangkaian interaksi molekuler yang kompleks. Mekanisme ini terjadi melalui berbagai modifikasi kimiawi pada DNA dan protein histon, serta regulasi ekspresi oleh RNA non-koding. Secara garis besar, mekanisme biomolekuler yang terjadi dapat dijelaskan dalam beberapa tahapan berikut:
Peningkatan Hormon Stres dan Sinyal Molekuler;
Saat ibu mengalami stres fisik atau psikologis, tubuhnya meningkatkan produksi hormon stres, terutama kortisol, melalui aktivasi sumbu Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA). Hormon-hormon ini, bersama dengan sinyal molekuler lain seperti faktor pelepas corticotropin (Corticotropin-Releasing Hormone, CRH), dapat mencapai sirkulasi plasenta dan mempengaruhi lingkungan biokimia di sekitar janin. Sebagian kortisol dapat melintasi sawar plasenta (meski dengan mekanisme proteksi tertentu) dan masuk ke sirkulasi janin, memicu rangkaian sinyal selular di jaringan janin, termasuk di otak yang tengah berkembang.
Interaksi Hormon Stres dengan Reseptor pada Sel Janin;
Begitu hormon stress (misalnya kortisol) mencapai sel janin, mereka akan berikatan dengan reseptor glukokortikoid (GR) yang terletak di dalam sitoplasma sel janin. Kompleks hormon-reseptor ini kemudian berpindah ke dalam inti sel. Di dalam inti sel, kompleks GR dapat berinteraksi dengan DNA, khususnya pada daerah promotor gen-gen yang terkait dengan respons stres serta perkembangan saraf, kekebalan, dan metabolisme.
Perubahan Struktur Kromatin melalui Modifikasi Histon;
Interaksi kompleks GR dengan DNA dapat mempengaruhi enzim-enzim epigenetik yang bertugas memodifikasi histon—protein yang menjadi “gulungan” tempat DNA melilit. Modifikasi ini meliputi asetilasi, metilasi, fosforilasi, atau ubikuitinasi histon.
Asetilasi histon cenderung melonggarkan struktur kromatin sehingga gen mudah diekspresikan. Sedangkan metilasi histon dapat meningkatkan atau menurunkan ekspresi gen tergantung pada posisi dan jenis modifikasi. Kondisi stress dapat menggeser keseimbangan normal modifikasi histon, membuat gen tertentu lebih sulit atau lebih mudah diakses oleh faktor transkripsi. Hal ini akan mengubah pola ekspresi gen-gen yang penting bagi perkembangan saraf dan respons fisiologis janin.
Metilasi DNA;
Metilasi DNA adalah salah satu mekanisme epigenetik yang paling dikenal. Pada proses ini, gugus metil (-CH3) ditambahkan pada nukleotida sitosin yang diikuti oleh guanin (CpG sites) pada DNA. Metilasi DNA umumnya terkait dengan penekanan ekspresi gen. Stress maternal dapat menginduksi perubahan pola metilasi pada gen-gen kunci, misalnya pada gen reseptor glukokortikoid (NR3C1) atau gen lain yang mengatur respons stres dan sistem imun. Dengan peningkatan metilasi pada wilayah promotor gen tersebut, ekspresi gen akan menurun, mengubah sensitivitas sel terhadap hormon stres, dan menggeser jalur-jalur perkembangan normal.
Peran RNA Non-Koding;
Selain DNA dan histon, RNA non-koding seperti microRNA (miRNA) dan long non-coding RNA (lncRNA) juga berperan dalam regulasi epigenetik. Kondisi stres pada ibu dapat mengubah profil ekspresi miRNA pada plasenta atau dalam cairan amnion, yang kemudian berdampak pada stabilitas dan translasi mRNA janin. Beberapa miRNA dapat menekan ekspresi gen tertentu atau mempengaruhi aktivitas enzim epigenetik, sehingga menghasilkan efek domino yang memodifikasi ekspresi gen dalam jangka panjang.
Efek Jangka Panjang pada Perkembangan Otak dan Respons Fisiologis Janin;
Kombinasi dari modifikasi histon, metilasi DNA, dan perubahan RNA non-koding menghasilkan pola ekspresi gen yang berbeda dari kondisi normal. Pola ini dapat berdampak pada perkembangan struktur otak janin, maturasi sistem HPA pada janin, serta sensitivitas sel terhadap hormon dan neurotransmiter. Pada akhirnya, hal ini dapat mempengaruhi perilaku, respons stres, fungsi kognitif, serta risiko penyakit mental dan fisik di masa dewasa.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa stres prenatal dapat mempengaruhi jalur epigenetik pada otak yang sedang berkembang, dan dampaknya dapat dimodifikasi oleh lingkungan pasca kelahiran yang mendukung. Lingkungan pasca kelahiran yang baik, seperti interaksi pengasuhan yang responsif, dukungan sosial yang memadai, serta kondisi keluarga yang stabil; dapat berperan sebagai faktor protektif yang mempromosikan resiliensi anak terhadap dampak negatif stress prenatal (Davis & Narayan, 2020).
Sejumlah studi dengan subjek manusia menunjukkan korelasi antara tingkat stress ibu selama kehamilan dengan perubahan epigenetik pada gen-gen yang terlibat dalam regulasi respons stres dan imunitas pada anak. Penelitian epigenome-wide association study (EWAS) telah mengidentifikasi pola metilasi DNA tertentu pada sampel air liur neonatal yang terkait dengan paparan stres maternal selama kehamilan (Monk et al., 2016).
Perubahan tersebut utamanya terletak pada gen-gen yang berperan dalam sumbu HPA dan fungsi imunitas, yang dapat memengaruhi sensitivitas anak terhadap hormon stres serta meningkatkan risiko gangguan mental, seperti gangguan kecemasan atau depresi, dan masalah kesehatan fisik di kemudian hari.
Lebih menarik lagi, terdapat indikasi bahwa efek epigenetik ini dapat bersifat intergenerasional, bahkan transgenerasional. Studi oleh Class et al. (2011) menunjukkan bahwa stress maternal prenatal tidak hanya mempengaruhi perilaku agresif pada keturunan langsung, tetapi dapat “diteruskan” ke generasi selanjutnya. Meskipun mekanisme pastinya masih memerlukan penelitian lebih lanjut, temuan ini menegaskan pentingnya kondisi psikologis ibu selama kehamilan dalam membentuk profil kesehatan jangka panjang, bukan saja bagi anaknya, tetapi juga cucunya.
Meskipun warisan epigenetik akibat stress prenatal terdengar mengkhawatirkan, perlu dicatat bahwa epigenom bersifat plastis. Faktor pelindung dan intervensi dini dapat memitigasi dampak negatif tersebut. Lingkungan pasca kelahiran yang suportif, seperti sistem pengasuhan yang sensitif, stimulasi kognitif, interaksi emosional konstruktif, dapat membantu membentuk ulang pola epigenetik dan mendukung perkembangan sistem saraf yang lebih sehat (Davis & Narayan, 2020).
Para ahli sepakat bahwa pendekatan preventif dan terapeutik, termasuk konseling psikologis bagi ibu hamil, dukungan sosial, pendidikan gizi, serta manajemen stress, dapat memperbaiki prospek jangka panjang anak.
Dalam konteks ini, pendapat ahli di bidang psikobiologi perkembangan, seperti Prof. Christine Dunkel Schetter dari University of California, Los Angeles (UCLA), menekankan pentingnya kesehatan mental ibu hamil sebagai investasi jangka panjang bagi generasi mendatang. Menurutnya, upaya preventif harus dimulai sejak masa kehamilan, dengan mendukung kesehatan mental ibu, untuk meminimalkan dampak epigenetik negatif pada anak-anak yang akan lahir.
Selain stress dan pengaruh biologis serta psikologis lainnya, asupan nutrisi sesuai dengan kebutuhan di setiap tahapan perkembangan janin adalah sangat penting. Pendekatan faktor nutrisi pada dinamika genom dikenal juga sebagai nutrigenomik.
Nutrigenomik adalah bidang ilmu yang mengkaji bagaimana komponen nutrisi dalam makanan memengaruhi ekspresi gen dan fungsi genetik suatu organisme. Dalam konteks kehamilan, asupan nutrisi ibu tidak hanya memenuhi kebutuhan biologis sang ibu, tetapi juga memengaruhi perkembangan janin melalui mekanisme epigenetik (seperti metilasi DNA, modifikasi histon, dan regulasi oleh RNA non-koding). Perubahan ekspresi gen yang dipicu oleh nutrisi dapat bersifat jangka panjang dan berdampak pada kesehatan anak bahkan hingga dewasa.
Lalu bagaimana nutrisi Ibu dapat mempengaruhi gen janin? Nutrien yang dikonsumsi ibu akan diproses dalam tubuhnya dan ditransfer ke janin melalui plasenta. Kualitas dan kuantitas nutrien yang sampai ke janin dapat memengaruhi aktivitas enzim dan kofaktor yang terlibat dalam proses epigenetik.
Sebagai contoh, nutrien yang bersifat donor metil seperti folat, vitamin B12, dan kolin dapat mempengaruhi pola metilasi DNA pada gen-gen kunci dalam perkembangan organ janin. Beberapa nutrien atau metabolitnya dapat berfungsi sebagai ligan atau pengatur faktor transkripsi di dalam sel janin. Misal, asam lemak esensial dapat memengaruhi aktivitas reseptor PPAR (Peroxisome Proliferator-Activated Receptors), yang berperan dalam regulasi metabolisme lemak dan glukosa pada janin.
Nutrien tertentu, terutama yang terkait dengan siklus metil (metionin, folat, vitamin B12, dan kolin), memengaruhi ketersediaan donor metil untuk enzim DNA metiltransferase. Akibatnya, pola metilasi pada segmen DNA tertentu dapat berubah, meningkatkan atau menurunkan ekspresi gen terkait pertumbuhan, diferensiasi sel, serta respons metabolik dan imun anak di kemudian hari.
Berikut adalah beberapa gen yang sampai saat ini telah banyak dikaji dalam domain nutrigenomik;
IGF2 dan H19: Gen ini terlibat dalam imprinting genomik yang mengatur pertumbuhan janin. Perubahan asupan nutrisi yang mempengaruhi donor metil dapat mengubah pola metilasi IGF2/H19, berdampak pada pertumbuhan janin dan berat lahir.
LEP (Leptin) dan LEPR (Leptin Receptor): Terlibat dalam regulasi nafsu makan, metabolisme energi, dan risiko obesitas. Perubahan nutrisi dapat mempengaruhi metilasi gen LEP pada janin, mempengaruhi predisposisi obesitas dan sindrom metabolik.
PPAR-γ: Berperan dalam metabolisme lipid/lemak dan glukosa. Asupan asam lemak esensial dapat memodifikasi ekspresi PPAR-γ, sehingga mempengaruhi sensitivitas insulin dan risiko penyakit metabolik di masa dewasa.
Akhirul kata, setelah kita melihat berbagai data dan fakta di atas, terkait pentingnya mengelola tekanan, coping, dan self healing, serta pengaturan asupan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan di setiap tahapan kehamilan, seorang ibu dan support system nya memang perlu menjadikan masa kehamilan sebagai proses belajar yang berkesinambungan.
Sebenarnya masih banyak lagi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kehamilan dan kesehatan serta masa depan janin yang berada dalam kandungan, akan tetapi ada baiknya jika kita berfokus terlebih dahulu pada tinjauan genomik terkait stress di masa kehamilan, beserta aspek dan faktor nutrigenomik nya. Kedua faktor ini amat mempengaruhi dinamika hubungan sakral antara Ibu dan anak lewat tali pusat, maka khusus kali ini kita kupas dan bahas itu dulu ya.
Doa yang terbaik bagi segenap Ibu hamil di seluruh penjuru dunia, semoga kehamilan, persalinan, proses inisiasi menyusui dini, sampai tahap pengasuhan yang akan berlangsung tahunan, dapat dijalankan dengan istiqomah dan menempatkannya sebagai amanah yang berkah dan penuh rahmah. 🙏🏾🇲🇨🩵
Daftar Pustaka
Barker, D. J. P. (1990). The fetal and infant origins of adult disease. BMJ, 301(6761), 1111. https://doi.org/10.1136/bmj.301.6761.1111
Class, Q. A., Lichtenstein, P., Langström, N., & D’Onofrio, B. M. (2011). Prenatal maternal stress and offspring aggressive behavior: Intergenerational and transgenerational inheritance. JAMA Psychiatry, 68(10), 1032–1039. https://doi.org/10.1001/archgenpsychiatry.2011.127
Davis, E. P., & Narayan, A. J. (2020). Prenatal stress and the developing brain: Postnatal environments promoting resilience. Neuroscience & Biobehavioral Reviews, 117, 723–740. https://doi.org/10.1016/j.neubiorev.2017.04.014
Feil, R., & Fraga, M. F. (2012). Epigenetics and the environment: Emerging patterns and implications. Nature Reviews Genetics, 13(2), 97–109. https://doi.org/10.1038/nrg3142
Gluckman, P. D., & Hanson, M. A. (2004). Maternal constraint of fetal growth and its consequences. Seminars in Fetal and Neonatal Medicine, 9(5), 419–425. https://doi.org/10.1016/j.siny.2004.03.001
Godfrey, K. M., & Barker, D. J. (2000). Fetal nutrition and adult disease. The American Journal of Clinical Nutrition, 71(5), 1344S–1352S. https://doi.org/10.1093/ajcn/71.5.1344s
Lillycrop, K. A., & Burdge, G. C. (2011). Epigenetic changes in early life and future risk of obesity. International Journal of Obesity, 35(1), 72–83. https://doi.org/10.1038/ijo.2010.122
Monk, C., Feng, T., Lee, S., Krystal, J. H., & Champagne, F. A. (2016). Maternal–fetal stress and DNA methylation signatures in neonatal saliva: An epigenome-wide association study. Development and Psychopathology, 28(4 pt 2), 1319–1331. https://doi.org/10.1017/S0954579416000886
O’Connor, T. G., Monk, C., & Fitelson, E. M. (2014). Practitioner review: Maternal mood in pregnancy and child development—implications for child psychology and psychiatry. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 55(2), 99–111. https://doi.org/10.1111/jcpp.12153
Waterland, R. A., & Jirtle, R. L. (2003). Transposable elements: Targets for early nutritional effects on epigenetic gene regulation. Molecular and Cellular Biology, 23(15), 5293–5300. https://doi.org/10.1128/MCB.23.15.5293-5300.2003
Zhang, T. Y., & Meaney, M. J. (2010). Epigenetics and the environmental regulation of the genome and its function. Annual Review of Psychology, 61, 439–466. https://doi.org/10.1146/annurev.psych.60.110707.163625