Tauhid Nur Azhar

Rokok, Batubara, Kelapa Sawit

Pagi di Ploso Kediri diwarnai dengan hilir mudiknya sepeda onthel yang oleh masyarakat setempat kerap disebut sebagai pit kebo, serapan dari bahasa Belandanya sepeda, fiets, baik ibu-ibu yang menuju ke pasar, ataupun bapak-bapak bercaping yang sedang bergegas hendak mengurus sawah ladang.

Ploso adalah sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Di desa ini terdapat sebuah Pondok Pesantren yang didirikan oleh KH. A. Djazuli Utsman pada tanggal 1 Januari 1925 yang sampai saat ini dikenal sebagai Ponpes Al Falah.

Tak dapat dipungkiri bahwa budaya mengaji para santri di pondok juga kerap kali diwarnai dinamika budaya dan beraneka tradisi yang merupakan bentuk pembelajaran sosial kemasyarakatan yang sarat dengan nilai-nilai humaniora. Tradisi merokok kretek misalnya, bukan saja hanya berkutat di daerah asalnya, Kudus, tapi juga sudah berkembang menjadi bagian yang terintegrasi dalam budaya santri.

Dimana pada awalnya di Nusantara khususnya Jawa, soal merokok dengan bungkus daun jagung atau klobot yang dikenal juga sebagai tingwe alias ngelinting dewe atawa membungkus dan membuat batang rokoknya sendiri, sudah jamak ditemui semenjak tembakau telah menjadi komoditas agri yang mulai banyak dibudidayakan seperti di Besuki Jawa Timur dan Temanggung-Parakan (Kedu-Bagelen) Jawa Tengah.

Kudus menjadi episentrum industri rokok, khususnya kretek, diawali pada inovasi lokal yang antara lain diinisiasi oleh Pak Djamhari dan Mbok Nasilah. Pak Djamhari yang merasa kurang sehat, meracik rokok klobot yang telah biasa dikonsumsinya dengan isian tembakau kering yang dicampur cengkih (Syzygium aromaticum). Racikan beliau ini saat dinyalakan dan dihisap berbunyi kretek-kretek.

Sedangkan Mbok Nasilah punya cerita yang sedikit berbeda. Beliau adalah seorang pemilik warung dan pedagang rokok klobot yang kerap merasa kesal dengan ulah para kusir delman yang saat itu amat gemar mengunyah kapur sirih bersama buah pinang yang disebut nginang. Kekesalan Mbok Nasilah diakibatkan kebiasaan para kusir tersebut meludah sembarangan di warungnya pada saat nginang. Maka ia pun berinisiatif untuk membuat rokok yang memiliki cita rasa dan daya tarik lebih unik dari pinang dan kapur sirih.

Baik Mbok Nasilah maupun Pak Djamhari melakukan invensi rokok kretek pada saat yang hampir bersamaan, akhir abad ke 19, di sekitar tahun 1870-1880. Tapi industrualisasj rikok kretek dimulai setelah seorang pengusaha lokal yang jeli, Nitisemito, melihat rokom kretek adalah komoditas yang berpotensi untuk diproduksi dalam skala industri. Inspirasi itu mungkin muncul setelah Nitisemito menikahi Mvok Nasilah. Karena setelah menikah itulah, Nitisemito mengembangkan usaha rokok kretek skala industri dengan merek Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo.

Bahkan dalam perkembangannya, Nitisemito menerapkan strategi pemasaran modern, seperti menyewa pesawat Fokker untuk menyebarkan pamflet dan mengikuti pameran niaga. Nitisemito juga memperkerjakan tenaga pembukuan (akuntan) asal Belanda dan menyediakan armada mobil untuk mendistribusikan produknya. Sungguh pengusaha hebat pada jamannya bukan?

Tapi sebelum kita melangkah untuk mengenal rokok secara lebih jauh, ada baiknya kita mengenal bahan baku utama di dalamnya ya. Selain cengkih yang menjadi menambah rasa atau bumbu dalam “saus kretek”, ada tanaman yang sebenarnya spesies introduksi di Indonesia, yaitu Tembakau. Tembakau atau Nicotiana tabacum yang masih masuk dalam keluarga terong-terongan (Solanaceae), diprakirakan masuk ke Indonesia pada awal abad ke-17, dibawa oleh bangsa Eropa. Beberapa teori menyebutkan bahwa tembakau dibawa oleh orang Portugis melalui Filipina, atau oleh bangsa Spanyol ke pulau Jawa pada tahun 1601. Maka tak heran sejak abad ke 17 itulah telah dimulai budaya merokok tembakau di Nusantara.

Hari ini rokok dan budaya merokok serta industri rokok di Indonesia telah bertiwikrama dan menggurita menjadi raksasa bisnis yang punya kontribusi besar sebagai penyumbang devisa.

Menurut data dan estimasi yang sering dikutip oleh berbagai sumber industri dan lembaga penelitian, produksi rokok Indonesia dalam beberapa tahun terakhir berada di kisaran 300 miliar hingga 330 miliar batang per tahun.

Sebagai contoh, data Badan Pusat Statistik (BPS) maupun informasi dari Asosiasi Pengusaha Rokok Indonesia (Gappri) dan Kementerian Perindustrian sering menyebutkan angka produksi rokok nasional sekitar 320 miliar batang pada periode sekitar tahun 2020-2021. Angka ini menunjukkan skala industri rokok yang sangat besar di Indonesia, dan tentu sebesar itu pulalah kontribusi industri rokok dalam konteks pendapatan atau penerimaan negara.

Penerimaan negara dari industri rokok terutama berasal dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Kementerian Keuangan. Selain dari cukai, negara juga mendapatkan penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rokok, namun porsi terbesarnya adalah dari cukai.

Pada tahun 2021, realisasi penerimaan negara dari Cukai Hasil Tembakau mencapai sekitar Rp 188,81 triliun (Sumber: Laporan Realisasi APBN Kementerian Keuangan).

Pada tahun 2022, penerimaan cukai rokok kembali meningkat. Menurut data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau tahun 2022 mencapai sekitar Rp 218,6 triliun.

Jika data-data tersebut dielaborasi secara lebih detil, maka kita akan bisa mendapatkan prosentase kontribusi industri rokok melalui mekanisme cukainya ke penerimaan negara. Prosentase sumbangan Cukai Hasil Tembakau (CHT) terhadap total penerimaan negara dalam APBN dapat bervariasi dari tahun ke tahun, tergantung pada total realisasi penerimaan negara.

Sebagai contoh pada tahun 2021, berdasarkan Laporan Realisasi APBN Tahun 2021, total penerimaan negara tercatat sekitar Rp 2.011,3 triliun. Pada tahun yang sama, penerimaan CHT (Cukai Hasil Tembakau) mencapai sekitar Rp 188,81 triliun.
Prosentase sumbangan CHT terhadap total penerimaan negara pada 2021:
(188,81 triliun / 2.011,3 triliun) × 100% ≈ 9,4%

Sedangkan data pada tahun 2022, mengacu pada data Kementerian Keuangan, total penerimaan negara pada tahun 2022 sekitar Rp 2.626,4 triliun, sementara penerimaan CHT mencapai sekitar Rp 218,6 triliun.
Prosentase sumbangan CHT pada 2022:
(218,6 triliun / 2.626,4 triliun) × 100% ≈ 8,3%

Dari hasil perhitungan di atas, sumbangan CHT terhadap total penerimaan negara dalam APBN berkisar pada angka sekitar 8%–10% tergantung pada tahun anggaran dan realisasi penerimaan. Data terkini dan detail dapat diperoleh dari Laporan Realisasi APBN yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan RI.

Sekarang mari kita bandingkan kontribusi industri rokok yang secara prosentase berkontribusi pada penerimaan negara secara ajeg di angka 8-10% tersebut, dengan kontribusi sektor-sektor lain yang juga dianggap sebagai primadona pendapatan negara, batubara (atau minerba pada umumnya), dan kelapa sawit.

Data prosentase penerimaan negara yang secara spesifik berasal dari sektor pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit dapat bervariasi dari tahun ke tahun, tergantung pada harga komoditas, volume ekspor, serta kebijakan fiskal dan penerimaan negara yang berlaku (seperti pajak, bea keluar, dan PNBP).

Berikut estimasi berbasis data yang pernah dilaporkan dalam beberapa publikasi resmi dan berita ekonomi pada sekitar tahun 2022. Data ini bersifat prakiraan (estimasi) karena laporan resmi APBN umumnya tidak memberikan rincian prosentase khusus per subsektor komoditas (batubara dan sawit) secara terpisah dalam bentuk proporsi langsung dari total penerimaan negara.

Di sektor pertambangan, data pada tahun 2022, menunjukkan bahwa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan mineral dan batubara meningkat pesat karena lonjakan harga komoditas internasional, terutama batubara.

Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PNBP subsektor mineral dan batubara (minerba) pada tahun 2022 mencapai sekitar Rp 179,21 triliun (sumber: paparan Kementerian ESDM, laporan media ekonomi pada akhir tahun 2022). Sebagian besar PNBP minerba ini didominasi oleh batubara mengingat porsi produksinya sangat besar dibanding mineral lainnya.

Jika dibandingkan dengan total penerimaan negara tahun 2022 yang sekitar Rp 2.626,4 triliun (Laporan Realisasi APBN 2022, Kementerian Keuangan), maka kontribusi sektor minerba (dominan batubara) terhadap total penerimaan negara berada di kisaran:
(Rp 179 triliun / Rp 2.626,4 triliun) × 100% ≈ 6,8%

Prosentase ini merupakan indikasi kontribusi minerba, dengan dominasi batubara, namun bukan 100% murni batubara. Meskipun demikian, mengingat batubara merupakan kontributor terbesar pada sektor minerba, sebagian besar dari prosentase ini dapat dianggap mewakili kontribusi batubara.

Sedangkan dari sektor agro industri, yang selain menjadi sumber devisa juga banyak dikaitkan dengan isu lingkungan karena masifnya konversi lahan dan tereduksinya fungsi hutan di berbagai daerah, tak dapat dipungkiri sawit juga telah menjadi salah satu penggerak ekonomi negeri.

Penerimaan negara dari sawit terutama berasal dari bea keluar (export duty), pungutan ekspor (levy) oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), serta pajak terkait industri sawit. Pada tahun 2022, dengan adanya harga CPO (*Crude Palm Oil) yang tinggi, penerimaan dari pungutan ekspor sawit meningkat.

Estimasi dari berbagai laporan media dan analisis ekonomi menyebutkan total pungutan ekspor dan bea keluar CPO serta produk turunannya pada tahun 2022 dapat mencapai puluhan triliun rupiah. Misal, BPDP-KS pernah melaporkan bahwa penerimaan pungutan ekspor sawit dapat melebihi Rp 50 triliun pada tahun 2022 (berdasarkan pernyataan pejabat dan laporan media ekonomi). Jika ditambahkan dengan bea keluar dan pajak lainnya, totalnya mungkin masih di bawah Rp 100 triliun.

Dengan asumsi total penerimaan dari sektor sawit (pajak, bea keluar, pungutan ekspor) berkisar di antara Rp 50 triliun hingga Rp 80 triliun, maka jika dibandingkan dengan total penerimaan negara Rp 2.626,4 triliun:
(Rp 50-80 triliun / Rp 2.626,4 triliun) × 100% ≈ 1,9% – 3%

Perhitungan kasar ini memberikan kisaran indikatif. Angka pastinya sulit dipastikan tanpa laporan resmi yang merinci secara langsung komponen penerimaan dari sawit saja. Penerimaan terkait sawit pun tersebar dalam bentuk pajak, bea keluar, dan pungutan ekspor yang dikelola BPDP-KS, sehingga tidak selalu terangkum secara sederhana dalam laporan realisasi APBN.

Tapi sejujurnya dengan melihat berbagai data di atas yang dapat kita komparasikan langsung di antara ketiga sektor utama penerimaan negara itu, industri rokoklah kontributor terbesar penerimaan negara. Rokok: 8 -10%, Batubara: 6,8%, dan Sawit : 1,9 – 3%.

Dahsyat bukan kontribusi industri rokok dalam penerimaan negara? Lalu sejalan dengan isu krusial yang kini mulai banyak digaungkan terkait dengan masalah kesehatan, seperti apa dan bagaimana sesungguhnya kontribusi budaya merokok itu terhadap kualitas kesehatan?

Data dari berbagai penelitian yang telah dirilis oleh berbagai lembaga kesehatan resmi menunjukkan bahwa di dalam sebatang rokok terdapat ribuan senyawa kimia yang terbentuk dari pembakaran tembakau dan bahan tambahan lainnya.

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), asap rokok mengandung lebih dari 7.000 zat kimia, di mana setidaknya 70 di antaranya diketahui bersifat karsinogenik (CDC, 2020). Berbagai penelitian dan laporan ilmiah dari World Health Organization (WHO) serta National Cancer Institute (NCI) juga konsisten menyatakan bahwa sebagian besar senyawa dalam asap rokok berdampak buruk pada kesehatan manusia (WHO, 2019; NCI, 2010).

Berikut adalah beberapa komponen utama dalam asap rokok beserta efeknya pada tubuh, dilengkapi data ilmiah dan rujukan:

Nikotin

Nikotin adalah alkaloid yang terkandung dalam daun tembakau. Menurut US Surgeon General Report (USDHHS, 2010), nikotin merupakan zat yang bertanggung jawab terhadap kecanduan merokok.

Nikotin memicu pelepasan dopamin di otak, menimbulkan efek kesenangan sesaat, tetapi juga menyebabkan ketergantungan. Secara fisiologis, nikotin meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, sehingga berkontribusi pada risiko penyakit jantung (USDHHS, 2014).

Tar

Tar adalah residu padat yang tersisa saat tembakau terbakar. Menurut National Cancer Institute, tar mengandung berbagai zat karsinogenik yang dapat merusak sel-sel paru dan saluran napas (NCI, 2010).

Tar dapat menempel di paru-paru, merusak silia, dan menyebabkan gangguan fungsi pernapasan jangka panjang. Akumulasi tar meningkatkan risiko kanker paru, bronkitis kronis, emfisema, dan penyakit paru obstruktif kronis (CDC, 2020).

Karbon Monoksida (CO)

Karbon monoksida terbentuk dari pembakaran tidak sempurna tembakau. Kadar CO dalam darah perokok dapat mencapai beberapa kali lipat dibandingkan non-perokok (WHO, 2019).

CO berikatan lebih kuat dengan hemoglobin daripada oksigen, mengurangi kapasitas darah mengangkut oksigen. Hal ini menyebabkan kelelahan, sesak napas, dan meningkatkan risiko penyakit jantung koroner (USDHHS, 2014).

Sianida (Hidrogen Sianida)

Hidrogen sianida terdapat dalam asap rokok dan telah diidentifikasi oleh berbagai studi analitik kimiawi asap tembakau (Rodgman & Perfetti, 2013).

Mengganggu transport oksigen dalam sel, dapat mengiritasi saluran napas, dan dalam paparan jangka panjang berkontribusi terhadap kerusakan paru serta sistem syaraf.

Formaldehida

Formaldehida adalah gas karsinogenik yang dihasilkan dari pembakaran tembakau (IARC, 2012).

Formaldehida mengiritasi mata, hidung, dan tenggorokan, serta meningkatkan risiko kanker saluran napas atas dengan paparan kronis (IARC, 2012; NCI, 2010).

Benzena

Benzena ditemukan dalam asap rokok dan merupakan salah satu dari 70 karsinogen yang diidentifikasi (CDC, 2020).

Benzena terkait dengan peningkatan risiko leukemia dan gangguan pada sumsum tulang, serta merusak sistem peredaran darah.

Logam Berat (Arsenik, Kadmium, Timbal)

Daun tembakau menyerap logam berat dari tanah, sehingga arsenik, kadmium, dan timbal dapat ditemukan dalam asap rokok (Rodgman & Perfetti, 2013).

Arsenik merupakan karsinogen yang meningkatkan risiko kanker kulit, paru, dan kandung kemih. Kadmium dan timbal merusak ginjal, sistem syaraf, serta berkontribusi pada penyakit kardiovaskular.

Amonia

Amonia ditambahkan untuk meningkatkan pelepasan nikotin, memperkuat efek adiktif rokok (Baker RR & Bishop LJ, 2004).

Amonia mengiritasi saluran pernapasan, memperparah asma, dan meningkatkan kerusakan paru-paru pada paparan jangka panjang.

Nitrosamin Spesifik Tembakau (TSNA)

TSNA terbentuk selama proses pengolahan tembakau dan dikenal sangat karsinogenik (IARC, 2012).

TSNA merupakan salah satu kelompok karsinogen utama dalam asap rokok, meningkatkan risiko kanker paru, mulut, tenggorokan, serta organ lain di sepanjang jalur pernapasan dan pencernaan.

Fenol dan Senyawa Iritan Lainnya

Fenol dan berbagai senyawa iritasi telah diidentifikasi melalui analisis kimia asap tembakau (Rodgman & Perfetti, 2013).

Menyebabkan iritasi saluran napas, batuk kronis, peningkatan lendir, dan kerusakan pada epitel saluran pernapasan, memicu gangguan fungsi paru.

Melihat data dan fakta ilmiah di atas, tampak aspek bahaya merokok adalah suatu ancaman kesehatan serius yang nyata bukan ? Meskipun demikian, dari sudut pandang biokimia, biomolekuler, dan neuropsikologi, terdapat beberapa efek tertentu yang bersifat menguntungkan Penting untuk ditekankan bahwa manfaat ini mungkin bersifat terbatas, sering kali dapat diperoleh dari sumber lain yang lebih aman, tetapi secara objektif perlu saya sampaikan di sini karena memang secara saintifik manfaat dari rokok memang memiliki fakta ilmiah juga.

Aspek Biokimia dan Biomolekuler

Nikotin dan Interaksi Reseptor Asetilkolin Nikotinik (nAChRs):
Nikotin yang terkandung dalam asap rokok berinteraksi dengan reseptor asetilkolin nikotinik di otak. Aktivasi reseptor ini dapat meningkatkan pelepasan sejumlah neurotransmiter seperti dopamin, serotonin, norepinefrin, dan asetilkolin. Pada tingkat biokimia, peningkatan dopamin di jalur reward otak dapat menciptakan sensasi peningkatan mood atau kewaspadaan jangka pendek (Benowitz, 2009).
Dari aspek biomolekuler, beberapa penelitian menunjukkan bahwa nikotin dapat memicu perubahan ekspresi gen tertentu yang terkait dengan respons sel saraf terhadap rangsangan, memperbaiki transmisi sinyal sinaptik dalam jangka pendek. Meskipun demikian, perubahan ini tidak selalu bermanfaat dalam jangka panjang dan dapat berkontribusi pada ketergantungan dan kerusakan sel saraf (Changeux, 2010).

Potensi Efek Neuroprotektif Nikotin dalam Model Tertentu:
Beberapa studi eksperimental menemukan bahwa nikotin dapat memiliki efek neuroprotektif terhadap kematian sel dopaminergik di otak yang terkait dengan penyakit Parkinson. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa perokok memiliki insidensi Parkinson yang sedikit lebih rendah dibandingkan non-perokok (Quik & Wonnacott, 2011). Secara biomolekuler, nikotin mungkin memicu mekanisme perlindungan sel, seperti peningkatan ekspresi faktor pertumbuhan syaraf atau pengurangan stress oksidatif pada sel tertentu. Namun, manfaat potensial ini sangat terbatas, tidak direkomendasikan secara klinis, dan tidak mengurangi risiko penyakit serius lain akibat merokok.

Aspek Neuropsikologi

Peningkatan Kewaspadaan dan Perhatian Jangka Pendek:
Dari sudut pandang neuropsikologi, nikotin dapat meningkatkan kewaspadaan, fokus, dan kecepatan reaksi untuk sementara waktu. Hal ini terjadi karena nikotin menstimulasi sistem kolinergik, dopaminergik, dan noradrenergik, sehingga meningkatkan aktivitas kortikal dan fungsi kognitif jangka pendek (Heishman et al., 2010). Perokok terkadang melaporkan bahwa merokok membantu mereka berkonsentrasi atau mengerjakan tugas yang menuntut atensi tinggi. Namun, efek ini bersifat sementara dan terkait erat dengan pencegahan gejala putus nikotin (withdrawal), bukan peningkatan performa kognitif yang murni.

Efek Pada Gejala Tertentu dalam Gangguan Psikiatri:
Beberapa pasien dengan gangguan psikiatri seperti _skizofrenia_ dan *Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)* dilaporkan memiliki tingkat merokok yang tinggi. Sebagian peneliti menduga bahwa individu-individu ini mungkin “mengobati diri sendiri” dengan nikotin untuk meredam sebagian gejala seperti gangguan konsentrasi, atensi, atau anhedonia (Gould, 2006). Secara neuropsikologis, nikotin dapat memperbaiki sedikit kerusakan fungsi kognitif pada kelompok ini. Namun, ini bukanlah solusi yang direkomendasikan secara medis karena risiko merokok jauh lebih besar daripada potensinya dalam mengelola gejala.

Reduksi Singkat Stres Psikologis:
Beberapa perokok melaporkan perasaan lega atau penurunan stres setelah merokok. Secara neuropsikologis, ini sebagian besar karena nikotin meredakan gejala putus nikotin yang muncul saat kadar nikotin turun dalam darah, bukan karena rokok benar-benar memperbaiki kondisi psikologis. Penelitian menunjukkan bahwa mantan perokok jangka panjang cenderung memiliki tingkat stres yang sama atau lebih rendah setelah berhenti sepenuhnya (Taylor et al., 2014).

Sekarang mari kita hitung secara ekonometrika yang rasional, objektif, dan berbasis pada data serta metodologi saintifik, apakah pengurangan konsumsi rokok akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia? Tentu ini hanya dari satu aspek saja ya, anggaran pembangunan (fiskal), terkait dengan redistribusi anggaran ke berbagai sektor yang dapat menghasilkan kesejahteraan dan peningkatan kapasitas serta kualitas sumber daya manusia, terutama di aspek kesehatan, pendidikan, dan berbagai layanan publik yang krusial seperti transportasi dan ketersediaan pangan.

Pagi ini iseng-iseng saya mencoba untuk membuat sebuah model matematika untuk menguji asumsi terkait upaya penurunan tingkat konsumsi rokok di negeri ini.

Tujuan Model:

Menggambarkan dampak penurunan konsumsi rokok terhadap penerimaan negara dari cukai rokok, biaya kesehatan akibat penyakit terkait rokok, dan alokasi anggaran pada sektor pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, transportasi, dan pangan).

Variabel dan Parameter:

T = konsumsi rokok tahunan (dalam batang).

T0 = konsumsi awal (baseline).

T1 = konsumsi setelah kebijakan pengurangan.

P cukai = pendapatan cukai rokok per batang.

C kesehatan (T) = biaya kesehatan tahunan terkait penyakit akibat rokok pada tingkat konsumsi T.

Pendapatan cukai rokok:

R cukai(T) = P cukai.T

Biaya kesehatan akibat rokok diperkirakan proporsional terhadap konsumsi:

C kesehatan (T) = α . T
(α adalah biaya kesehatan rata-rata per batang terkait rokok)

Saldo fiskal terkait rokok:

F(T) = R cukai (T) – C kesehatan (T)

Perubahan fiskal akibat pengurangan konsumsi:
ΔF = [R cukai (T1) – C kesehatan (T1)] – [R cukai (T0) – C kesehatan (T0)]

Jika ΔF > 0, artinya ada ruang fiskal tambahan untuk sektor publik. Jika ΔF < 0, ruang fiskal berkurang.

Alokasi ke sektor publik (jika ΔF > 0):

Misal proporsi alokasi: β.H = proporsi untuk kesehatan
β.E = proporsi untuk pendidikan
β.T = proporsi untuk transportasi
β.P = proporsi untuk pangan
dengan β.H + β.E + β.T + β.P = 1

Maka alokasi anggaran tambahan:

A.H = β.H x ΔF
A.E = β.E x ΔF
A.T = β.T x ΔF
A.P = β.P x ΔF

Data Riil (Contoh Tahun 2021, sumber: Kemenkeu, BPS, WHO):

Menurut Kementerian Keuangan, penerimaan cukai hasil tembakau tahun 2021 sekitar Rp 188,81 triliun. (Sumber: Laporan Realisasi APBN)

Menurut beberapa studi dan data WHO, estimasi total konsumsi rokok di Indonesia berkisar sekitar 320 miliar batang per tahun (angka perkiraan 2019-2021, dapat disesuaikan dengan data BPS atau Kemenkes).

Dengan asumsi 320 miliar batang/tahun, maka rata-rata cukai per batang:
P cukai = 188,81 triliun / 320 miliar ≈ Rp 590/batang.

Estimasi biaya kesehatan akibat rokok:
Sebuah studi WHO memperkirakan total beban ekonomi akibat rokok (termasuk biaya kesehatan dan kehilangan produktivitas) di Indonesia sangat besar. Untuk ilustrasi, kita asumsikan biaya kesehatan langsung terkait rokok sekitar Rp 31,28 triliun/tahun (ini dapat dikalibrasi dari data Kemenkes, BPJS, dan studi WHO/Kosen et al.).

Dengan konsumsi T0 = 320 miliar batang,
α = 31,28 triliun / 320 miliar ≈ Rp 98/batang (pembulatan dari 97,75).

Ringkasan data awal (T0):
T0 = 320 miliar batang/tahun
R_cukai(T0) = 590 * 320 miliar = 188,8 triliun (mendekati data real 188,81 triliun)
C_kesehatan(T0) ≈ 98 * 320 miliar ≈ 31,36 triliun (dibulatkan dari data asumsi 31,28 triliun)

Maka: F(T0) = R_cukai(T0) – C_kesehatan(T0)
≈ 188,8 triliun – 31,36 triliun
≈ 157,44 triliun

Simulasi Penurunan Konsumsi:

Misalkan ada kebijakan yang menurunkan konsumsi 10% dari 320 miliar menjadi 288 miliar batang/tahun:
T1 = 288 miliar batang

Maka: R_cukai(T1) = 590 x 288 miliar ≈ 170 triliun
C_kesehatan(T1) = 98 x 288 miliar ≈ 28,22 triliun

F(T1) = 170 triliun – 28,22 triliun
≈ 141,78 triliun

Perubahan fiskal: ΔF = [R_cukai(T1) – C_kesehatan(T1)] – [R_cukai(T0) – C_kesehatan(T0)]
= (170 – 28,22) – (188,8 – 31,36)
= (141,78) – (157,44)
= -15,66 triliun

Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa dengan penurunan konsumsi 10%, pendapatan cukai turun cukup besar, sementara penghematan biaya kesehatan belum cukup untuk menutupi hilangnya cukai. Akibatnya, ΔF negatif, berarti ruang fiskal terkait rokok mengecil.

Untuk skenario berbeda (misalnya penurunan konsumsi yang lebih besar, atau asumsi biaya kesehatan yang lebih tinggi per batang), hasilnya dapat berbeda. Jika biaya kesehatan per batang lebih besar, maka pengurangan konsumsi dapat menghasilkan penghematan biaya kesehatan yang lebih signifikan, berpotensi membuat ΔF menjadi positif.

Dalam jangka panjang, seiring berkurangnya prevalensi merokok, beban biaya kesehatan mungkin turun lebih drastis. Selain itu, dana yang tidak digunakan untuk membeli rokok dapat digunakan untuk konsumsi barang lain, yang menciptakan pendapatan pajak alternatif dan efek positif bagi PDB (model multiplier effect). Model ini dapat diperluas dengan memasukkan elastisitas permintaan, perubahan pola belanja masyarakat, dan dampak ekonomi makro.

Jika pada suatu titik ΔF > 0, misalnya karena pengurangan konsumsi sangat signifikan atau penghematan biaya kesehatan lebih besar, maka dana tersebut dapat dialokasikan ke sektor kesehatan (A.H), pendidikan (A.E), transportasi (A.T), dan pangan (A.P) sesuai proporsi yang ditentukan. Contoh, jika ΔF = 10 triliun dan β.H = 0,4; β.E = 0,3; β_T = 0,2; β.P = 0,1, maka:
A.H = 0,4 x 10 triliun = 4 triliun
A.E = 0,3 x 10 triliun = 3 triliun
A.T = 0,2 x 10 triliun = 2 triliun
A.P = 0,1 x 10 triliun = 1 triliun

Sebenarnya dalam permodelan yang lebih kompleks, dapat dihitung pula berbagai dampak jangka panjang terkait dengan berbagai faktor yang terlibat, misal psikososiologis, industri pendukung seperti perkebunan cengkih dan tembakau, jaringan retail, pendapatan dari sektor pajak penjualan PPN dan penghasilan PPh, dll. Termasuk berbagai faktor kesehatan sendiri yang perlu diamati dalam jangka panjang dan dengan mengedepankan berbagai aspek terkait.

Sebenarnya konsep dan model yang sama perlu kita kembangkan untuk menganalisa dan mengevaluasi berbagai kebijakan lain terkait sektor-sektor krusial dan vital seperti batubara dan perkebunan kelapa sawit yang juga punya dampak lingkungan dan kesehatan bukan ? Maka tulisan pagi ini memang saya maksudkan sebagai sekedar pengingat saja bagi kita semua, bahwa ada cara-cara bijak untuk menganalisa kebijakan secara tepat. Terimakasih atas segenap perhatiannya 🙏🏾🇲🇨🩵

Daftar Pustaka

Chiolero A, Faeh D, Paccaud F, Cornuz J. (2008). Consequences of smoking for body weight, body fat distribution, and insulin resistance. American Journal of Clinical Nutrition, 87(4), 801–809.

GBD 2015 Tobacco Collaborators. (2017). Smoking prevalence and attributable disease burden in 195 countries and territories, 1990–2015: a systematic analysis from the Global Burden of Disease Study 2015. The Lancet, 389(10082), 1885–1906.

Hughes JR. (2004). Motivating and helping smokers to stop smoking. Journal of General Internal Medicine, 19(12), 1162–1168.

IARC. (2012). IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans, Volume 100E. Lyon, France: International Agency for Research on Cancer.

Lawrence H, Hunter A, Murray R, Lim WS, McKeever T. (2013). Cigarette smoking and the occurrence of influenza – Systematic review. Clinical Infectious Diseases, 57(3), 393–401.

Parrott AC. (1999). Does cigarette smoking cause stress? American Psychologist, 54(10), 817–820.

Rosen LJ, Ben Noach M, Winickoff JP, Hovell MF. (2018). Parental smoking cessation to protect young children: a systematic review and meta-analysis. Pediatrics, 141(1), e20173333.

Taylor G, McNeill A, Girling A, Farley A, Lindson-Hawley N, Aveyard P. (2014). Change in mental health after smoking cessation: systematic review and meta-analysis. BMJ, 348, g1151.

Thun MJ, Carter BD, Feskanich D, et al. (2013). 50-year trends in smoking-related mortality in the United States. New England Journal of Medicine, 368(4), 351–364.

U.S. Department of Health and Human Services. (2020). Smoking Cessation: A Report of the Surgeon General. U.S. Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Office on Smoking and Health.

WHO. (2019). WHO Report on the Global Tobacco Epidemic. Geneva: World Health Organization.

Benowitz NL. (2009). Pharmacology of nicotine: addiction, smoking-induced disease, and therapeutics. Annual Review of Pharmacology and Toxicology, 49:57-71.

Changeux JP. (2010). Nicotine addiction and nicotinic receptors: lessons from genetically modified mice. Nature Reviews Neuroscience, 11(6):389-401.

Gould TJ. (2006). Nicotine and hippocampus-dependent learning: implications for addiction. Molecular Neurobiology, 34(2):93-107.

Heishman SJ, Kleykamp BA, Singleton EG. (2010). Meta-analysis of the acute effects of nicotine and smoking on human performance. Psychopharmacology, 210(4):453-469.

Quik M, Wonnacott S. (2011). α6β2*-nicotinic acetylcholine receptors as therapeutic targets for Parkinson’s disease. Pharmacol Rev, 63(4):938–966.

Taylor G, McNeill A, Girling A, et al. (2014). Change in mental health after smoking cessation: systematic review and meta-analysis. BMJ, 348:g1151.

Badan Pusat Statistik (BPS). (2022). Produk Domestik Bruto (PDB) & Kinerja Sektor Industri Pengolahan. Diakses dari https://www.bps.go.id pada tahun 2023.

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). (2022). Laporan Tahunan & Informasi Pungutan Ekspor Sawit. Diakses dari https://www.bpdp.or.id pada tahun 2023.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). (2022). Capaian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Subsektor Mineral dan Batubara (Minerba). Siaran Pers KESDM. Diakses dari https://www.esdm.go.id pada tahun 2023.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2022). Laporan Realisasi APBN 2021. Diakses dari https://www.kemenkeu.go.id pada tahun 2023.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Laporan Realisasi APBN 2022. Diakses dari https://www.kemenkeu.go.id pada tahun 2023.

Media Ekonomi & Bisnis (Kontan, Bisnis Indonesia, Kompas). (2022). Laporan dan Berita Terkait Penerimaan Negara dari Sektor Pertambangan Batubara dan Perkebunan Kelapa Sawit. Diakses dari https://www.kontan.co.id, https://www.bisnis.com, https://www.kompas.com pada tahun 2023.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts