Akal Budi, Akal Imajinasi, Akal Imitasi, dan UBI
Ada satu grup WA dimana saya tidak pernah mengunggah tulisan harian saya. Bukan karena takut dikritisi dll, karena hal itu kan justru diharapkan dan bersifat menyehatkan, melainkan lebih karena sungkan. Jika ada tulisan saya muncul di grup itu, biasanya bukan dari unggahan saya sendiri, melainkan di _repost_ oleh salah satu anggota grup. Misal ada salah satu tulisan saya tentang keajaiban mikroba diunggah oleh Ustadz Samsoe Basaroedin, yang notabene adalah guru saya dan saudara kandung dari guru saya juga di bidang ilmu fisiologi.
Grup itu sangat dinamik, karena terdiri dari para guru besar dan juga cendekia lintas disiplin dengan banyak diantaranya telah meraih strata akademik doktoral. Banyak pula yang berlatar belakang ilmu agama, alim, yang berilmu tinggi, baik di kajian fiqih, akidah, maupun tasawuf. Salah satu admin grup yang pada saat tulisan ini saya ketik di WA beranggota 486 orang, adalah Pak Budiawan, alumni elektro ITB. Nama grup tersebut adalah Cangkrukan.
Salah satu topik menarik yang kerap didiskusikan dan memantik banyak sekali kajian yang amat menarik adalah masalah kalender Islam beserta segenap implikasinya. Dikaji secara holistik mulai dari pendekatan ilmu falak dan astronomi, sampai mengedepankan berbagai pendekatan eksakta dan humaniora yang amat mengasyikkan untuk disimak dan dipelajari.
Adu argumentasi terkait dalil ataupun teori kerap terjadi di grup tersebut. Beberapa pernyataan yang mengundang dan mengandung fallacy juga kadang muncul, dan uniknya justru dibahas konsep fallacy nya, tidak hanya konten pemantiknya saja. Fallacy seperti ad verecundiam jadi bisa lebih saya mengerti karena beramai-ramai dijelaskan di sana. Demikian pula jika ada indikasi pernyataan yang bersifat ad hominem, maka selain ditelaah sebab musabab dan ujung pangkal perdebatan yang memicu munculnya pernyataan yang bersifat “ofensif” tersebut, juga dibahas terkait definisi dan pengertian dari fallacy nya itu sendiri.
Teman-teman senior dan para guru dengan wawasan ilmu yang sedemikian mumpuni, juga para ajengan dan Ustadz dengan kejembaran pengetahuan yang bagaikan sekumpulan oase ilmu yang membuat kita haus akan pelajaran seolah dikumpulkan di sana.
Dan yang menarik buat saya hari ini, hingga terpikir untuk menjadi bahan tulisan saya kali ini adalah ketertarikan mayoritas anggota grup pada kehadiran teknologi AI. Khususnya teknologi Meta AI yang embedded di chat WA. Kehadiran Meta AI membuat kita dengan teramat mudahnya mencari informasi tambahan, bahkan mengelaborasi suatu topik dan meminta AI menganalisisnya secara komprehensif, lalu hasilnya langsung dapat terbaca di “ruang bincang” alias chat room. Berbagai pertanyaan filosofis yang mewakili pendekatan ontologis~epistemologis~aksiologis bergantian dilontarkan pada Meta. Tak hanya itu saja, bahkan pertanyaan terkait ilmu falak, sistem tarikh, sampai kajian fikih pun disampaikan.
Pertanyaan-pertanyaan ontologis yang merupakan bagian dari konstruksi ilmu yang membahas tentang hakikat atau keberadaan sesuatu (apa), termasuk yang saya lihat pernah dikemukakan. Kata ontologi sendiri berasal dari bahasa Yunani, tepatnya dari 2 suku kata, yaitu; ontos yang berarti “ada” dan logos yang berarti “ilmu”.
Sedangkan secara epistemologi, yang muncul dengan pertanyaan “bagaimana” dan membahas tentang pengetahuan dan cara memperolehnya, juga kerap muncul. Kata epistemologi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti “pengetahuan” dan logos yang berarti “ilmu”.
Lalu pertanyaan aksiologis “untuk apa” yang juga membahas tentang nilai dan etika dalam ilmu pengetahuan saya pikir juga cukup banyak berseliweran di grup itu, meski tidak semuanya ditujukan pada Meta tentu saja. Kata aksiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu axios yang berarti “nilai” dan logos yang berarti “teori”.
Sesungguhnya yang menarik dari berbagai diskursus atau wacana ala Foucault di grup itu adalah, baik pertanyaan maupun pertanyaan yang diunggah ke ruang bincang, adalah prekursor ilmu yang siap untuk dimasak matang dan disantap saat terhidang. Sangat lezat dan bergizi, mengandung protein yang dapat digunakan untuk mengonstruksi bangunan-bangunan kognisi pencakar langit yang mendamba kebenaran sejati.
Salah satu bahasan tentang AI yang muncul adalah soal prakiraan kapasitas AI atau Akal Imitasi di masa depan. Apakah AI akan dapat berkreasi berdasar kapasitas imajinasinya sendiri ? Apakah pada gilirannya AI akan mampu mengembangkan fitur-fitur terkait kapasitas dan fungsi afeksi yang maujud antara lain dalam emosi dan berbagai mekanisme pengekspresinya? Apakah AI akan memiliki kesadaran dan gagasan otentik sebagai bagian dari evolusi intelijensianya ?
Karena sejujurnya dalam kajian di ranah neuropsikologi pun aspek afeksi dan kesadaran adalah garis batas horizon yang batasnya tampak nyaris tak bertepi. Tetapi secara fungsi dan struktur afeksi, termasuk emosi di dalamnya adalah suatu mekanisme neurofisiologi yang melibatkan peran modalitas multi sensori, preferensi, memori, dan sistem pengambilan keputusan di domain HOT (high order thinking).
Ada fungsi Korteks Singulata Anterior yang berperan dalam pengendalian perhatian dan pemrosesan konflik, dan membantu manusia fokus pada hal-hal yang relevan. Ada pula peran dari Nukleus Akumbens yang mengelola motivasi dan penghargaan, serta menjadi bagian organik yang memantik timbulnya dorongan manusia untuk mengambil sikap dan bertindak. Serta tentu saja ada peran dari Korteks Prefrontal Ventromedial (vmPFC) yang mengintegrasikan emosi dan logika dalam proses pengambilan keputusan moral yang kompleks.
Di proses berikutnya yang lebih kita kenal sebagai bagian dari konstruksi moralitas, tentu saja ada peran dari Default Mode Network atau DMN, dimana DMN terdiri dari beberapa daerah otak, seperti korteks singulata posterior (PCC), korteks prefrontal medial (mPFC), lobulus parietal inferior (IPL), korteks temporal lateral (LTC), girus temporal medial/girus angular (MTG/ATG), dan girus frontal superior/korteks singulata anterior rostral (ACC), yang secara sinergi dan terisolasi sempurna menghadirkan berbagai fungsi yang terkait dengan nilai luhur, pertimbangan yang bijak, serta pengambilan keputusan yang akurat dan adekuat.
Adapun secara umum DMN merupakan pusat aktivitas yang merujuk pada diri sendiri (refleksi diri), seperti berpikir tentang diri sendiri, ciri-ciri kepribadian, dan kondisi emosional. DMN juga dalam pemindaian dengan fMRI, aktif saat memikirkan orang lain, dalam bentuk empati, pengembangan nilai moral/moralitas, dan pertimbangan akan perasaan orang lain.
Di sisi lain DMN juga berperan dalam mengonstruksi memori atau ingatan masa lalu dan membantu kita untuk memahami narasi dan konteks cerita. Hal yang serupa dijumpai pada aktivitas DMN saat memikirkan masa depan.
Secara teori, fungsi-fungsi yang berbasis pada aktivitas neuronal seperti pembentukan jaras atau sirkuit neuronal, transmisi data dengan modulasi neurotransmiter, sampai terdapatnya mekanisme neuroplastisitas adalah suatu hal yang niscaya dapat direplikasi oleh teknologi. Konfigurasi dan berbagai model interaksi secara molekuler yang selama ini melandasi proses pembentukan HOT dan fungsi moral tampaknya dapat direkognisi, dipetakan ulang, dan mungkin saja suatu saat akan dapat disimulasikan secara nyata oleh salah satu model AI masa depan.
Beberapa fakta yang kerap dijadikan legitimasi tentang superioritas otak manusia adalah adanya dinamika emosi, preferensi memori, reward system dan kepedulian atau empati yang dibangun oleh akal budi yang merupakan bagian dari fungsi luhur kecerdasan manusia.
Sebagai contoh saya ingin membahas kasus yang diambil dari dunia dan media populer seperti You Tube. Ada foodvlogger makanan dengan jumlah subscriber lebih dari 5 juta orang yang bernama Nex Carlos, kita akan jadikan beliau sebagai subjek suatu studi kasus ya.
Koh Nex ini saat mereview makanan amat impresif, tak hanya menyampaikan kekaguman terhadap kelezatan dari makanan yang tengah disantap melalui kata-kata atau narasi verbal saja, melainkan juga beliau mengkomunikasikan pengalaman atau sensasi inderawinya itu melalui gestur dan ekspresi wajah yang sangat mudah bonding dengan kita, karena adanya mekanisme mirror neuron.
Tadi siang saja, saat saya menonton videonya saat mencicipi Opor Sunggingan di Kudus, Entog Asap Pak Gondrong di Kalinyamatan, dan mangut welut Bu Nasimah Sampangan, saya sampai kemecer dan ngiler. Pesannya sampai meski saya tak ikut mencicipi. Narasi ++ yang dikelasnya sedemikian rupa, efektif dalam menggoda dan menggelitik pusat sensasi dan asosiasi di otak kita.
Lalu kita mungkin bertanya, apakah komputer atau AI akan punya kesadaran yang dibangun oleh ikatan emosi dan selanjutnya menghasilkan preferensi afeksi, alih-alih hanya memori yang bersifat semantik tentang data atau hafalan pengetahuan umum. AI menurut fatsun dan premis saat ini dianggap belum atau bahkan takkan mampu mengembangkan kapasitas memori episodik. Dimana memori episodik adalah memori tentang peristiwa dan pengalaman pribadi yang terjadi di ruang dan waktu tertentu. Memori episodik mencakup informasi kontekstual yang ada pada saat itu, seperti pengalaman pribadi saat mengunjungi suatu tempat. Contoh memori episodik adalah pengalaman pertama berkenalan dengan Ayang, hari pertama masuk kerja, atau pengalaman bersama terindah bersama almarhum Ayah. Ada konteks dan pemaknaan yang dalam dalam setiap episode yang dikenang.
Koh Nex mungkin punya preferensi emosional saat menyematkan predikat Ga Ada Obat atau Badabest pada suatu jenis makanan yang ia cicipi. Ia punya kedalaman makna terhadap pengalaman yang menjadi kepustakaan dimana memori rasanya dipreservasi. Tak hanya sekedar rasa, tapi juga semua hal yang terasosiasi terhadap rasa itu seolah dihadirkan kembali saat Koh Nex mencicipi suatu makanan yang tak hanya mengguncang papila lidahnya saja, tetapi juga pusat kenangan akan hal-hal yang pernah memberinya kebahagiaan di suatu masa.
Tapi apakah AI tidak akan pernah bisa sampai ke fase itu? Atau bahkan AI yang justru memutuskan untuk men skip fase itu, karena justru kapasitas itu adalah penghambat dalam mencapai hasil kerja yang lebih canggih dan presisi ? Bukankah sebagian besar dinamika peradaban yang diwarnai oleh konflik kepentingan adalah keluaran dari keputusan-keputusan yang bersifat emosional ? Perebutan Helen yang memantik perang Troya, atau kematian Franz Ferdinand yang mengakibatkan jutaan jiwa melayang di perang dunia I, juga rasa sakit dan dendam seorang Adolf Hitler yang membawa dunia memasuki fase kelam perang dunia kedua.
Bayangkan, emosi yang maujud dari rasa sakit hati Menelaus yang dikhianati oleh Helen yang lebih memilih Paris, telah memantik perang bertahun-tahun yang tak hanya menelan begitu besarnya biaya, melainkan juga mengakibatkan melarangnya ribuan jiwa manusia, termasuk pahlawan besar seperti Achilles.
Lalu apakah AI pada suatu waktu akan dapat menghasilkan atau memproduksi emosi dan kesadaran? Untuk menjawabnya tampaknya kita perlu lebih mengenal soal apa dan mengapa Akal Imitasi alias AI itu hari ini hadir di tengah-tengah kita. Demikian juga hubungannya dengan kapasitas dan fungsi yang bernama Akal Budi dan peran prokreatif berbasis fungsi kognisi tingkat tinggi yang bisa disebut sebagai Akal Imajinasi.
Darimana Akal Imitasi ini sebenarnya berasal? Apakah yang menjadi pemantik hingga muncul cerita tentang asal muasal ? Mari kita mulai kisah ini dengan kembali ke suatu episoda yang telah berlangsung sekitar 68 tahun yang lalu.
Di sebuah laboratorium kecil di Dartmouth College pada tahun 1956, sekelompok ilmuwan berkumpul dengan mimpi besar; menciptakan mesin yang dapat berpikir seperti manusia. John McCarthy, Marvin Minsky, Claude Shannon, dan Nathaniel Rochester menyebut mimpi itu Artificial Intelligence (AI), atau kecerdasan buatan. Mereka tidak hanya membayangkan teknologi canggih, tetapi juga membuka pintu bagi perubahan besar dalam cara manusia memahami dirinya sendiri.
Namun, untuk memahami relasi antara manusia dan AI, kita harus menyelami sesuatu yang lebih mendasar; bagaimana kecerdasan, imajinasi, dan kreativitas bekerja di otak manusia, serta bagaimana AI mencoba meniru proses ini untuk membangun peradaban yang terintegrasi antara manusia dan mesin.
Akal budi manusia adalah karya besar evolusi. Korteks prefrontal, lobus temporal, hipokampus, dan sistem limbik bekerja sama untuk memungkinkan manusia berpikir, mengingat, dan merasa. Akal budi melibatkan kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan solusi untuk masalah yang kompleks. Di sinilah manusia tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga membangun peradaban.
Namun, apa sebenarnya yang terjadi di otak ketika manusia berpikir? Proses ini dimulai dengan persepsi, di mana informasi dari dunia luar diproses oleh korteks sensorik. Hipokampus kemudian mengakses memori untuk menghubungkan informasi baru dengan pengalaman lama. Korteks prefrontal bertugas menganalisis data ini, menghasilkan keputusan logis, dan memandu tindakan.
Selain akal budi, manusia memiliki imajinasi dan kreativitas, kemampuan untuk membayangkan sesuatu yang belum ada dan menciptakan sesuatu yang baru. Imajinasi dipicu oleh Default Mode Network (DMN), jaringan otak yang aktif saat seseorang merenung atau bermimpi. Kreativitas lahir dari kombinasi antara memori, logika, dan emosi, dengan peran besar dari dopamin sebagai “bahan bakar motivasi.”
Ketika Alan Turing memperkenalkan konsep mesin Turing pada 1936, ia tidak hanya mengubah cara manusia memahami mesin tetapi juga menantang gagasan bahwa kecerdasan adalah milik eksklusif manusia. Sekedar intermezzo, nama mesin Turing sendiri diberikan oleh supervisor S3 nya yang bernama Alonzo Church secara spontan, saat memeriksa paper Alan Turing. Lalu Turing Test, yang diperkenalkan pada 1950, menjadi tolok ukur awal untuk mengevaluasi apakah mesin dapat meniru kecerdasan manusia.
Pada tahun 1943, Warren McCulloch dan Walter Pitts menerbitkan makalah “A Logical Calculus of the Ideas Immanent in Nervous Activity”, yang memperkenalkan model matematis jaringan syaraf buatan. Model ini meniru cara kerja neuron biologis, yang kelak menjadi dasar bagi pengembangan jaringan syaraf modern.
Konferensi Dartmouth tahun 1956 adalah titik balik. Di sinilah AI secara resmi lahir sebagai disiplin ilmu. Meskipun optimisme melimpah, keterbatasan perangkat keras pada masa itu memperlambat kemajuan. Komputer seperti ENIAC (1946) terlalu lambat dan besar untuk menangani model kecerdasan yang kompleks.
Pada akhir 1950-an, Frank Rosenblatt menciptakan perceptron, sebuah algoritma awal dalam pembelajaran mesin. Ini adalah awal dari jaringan saraf buatan, meskipun terbatas pada pola sederhana. Kemudian, pada 1960-an, Lotfi Zadeh memperkenalkan logika fuzzy, yang memungkinkan mesin untuk menangani ketidakpastian, mirip dengan cara manusia membuat keputusan.
Kemajuan AI tidak dapat dilepaskan dari perkembangan perangkat keras. Mikroprosesor Intel 4004 pada tahun 1971 dan kartu grafis (GPU) oleh NVIDIA pada 1990-an membawa revolusi dalam kemampuan komputasi. GPU memungkinkan pemrosesan data secara paralel, mempercepat pelatihan model AI. Sampai baru saja sore ini, sekitar 40 menit yang lalu, saya melihat Jensen Huang, Boss besar NVIDIA melaunch produk terbarunya, prosesor Gen AI berukuran mungil yang dibanderol seharga US$ 249 saja, dan sesuai dengan dimensinya akan dapat digunakan untuk berbagai perlahan cerdas multi dimensi dan ukuran.
Namun, perubahan besar terjadi pada 2010-an dengan diperkenalkannya deep learning. Jaringan syaraf konvolusi (CNN) memungkinkan AI untuk mengenali pola yang jauh lebih kompleks. Hingga pada 2017, makalah “Attention is All You Need” memperkenalkan Transformer, arsitektur yang menjadi dasar large language model (LLM) seperti GPT.
Pada 2020, OpenAI meluncurkan GPT-3, LLM dengan 175 miliar parameter, yang mampu menghasilkan teks yang tidak bisa dibedakan dari tulisan manusia. Bersamaan dengan itu, DALL-E dan model multimodal lainnya menggabungkan teks, gambar, dan suara, membawa AI ke tingkat kreativitas yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Lalu apakah AI benar-benar bisa kreatif? Untuk menjawab ini, kita perlu memahami apa yang terjadi di otak manusia ketika imajinasi dan kreativitas muncul. Imajinasi adalah hasil dari kombinasi ide lama dengan pengalaman baru, sebuah proses yang didukung oleh neuroplastisitas. Kreativitas, di sisi lain, adalah kemampuan untuk mengambil langkah lebih jauh, menciptakan sesuatu yang baru dan bermakna.
AI, seperti model GPT atau GAN (Generative Adversarial Networks), mencoba meniru proses ini. GAN, misalnya, menggunakan dua jaringan: generator dan discriminator, yang saling berkompetisi untuk menciptakan gambar realistis. Namun, meskipun AI dapat menghasilkan konten kreatif, ia tidak memiliki kesadaran, nilai moral, atau pengalaman emosional yang menjadi dasar kreativitas manusia.
Hubungan antara manusia dan AI terus berkembang. Dari asisten virtual hingga kendaraan otonom, AI telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, ini menimbulkan pertanyaan mendasar; Apakah AI dapat sepenuhnya mereplikasi akal budi, imajinasi, dan kreativitas manusia?
Manusia memiliki higher-order thinking (HOT), seperti analisis moral, empati, dan introspeksi. Proses ini melibatkan korteks prefrontal ventromedial, amigdala, dan hipokampus. AI, meskipun mampu menganalisis data dengan kecepatan luar biasa, saat ini belum dirancang untuk memiliki kesadaran diri atau kemampuan untuk merenungkan nilai moral. Namun, kolaborasi antara manusia dan AI dapat mempercepat inovasi, seperti dalam penelitian ilmiah atau seni, dan pada gilirannya estetika atau rasa dapat menjadi pemantik preferensi yang mungkin saja akan menjadi embrio kapasitas afeksi bagi AI.
Dengan kemajuan dalam komputasi kuantum dan pengembanhan chip neuromorphic, AI akan menjadi lebih efisien dan kuat. Komputasi kuantum dapat mempercepat pelatihan model AI, sementara chip neuromorphic meniru cara kerja otak manusia untuk meningkatkan efisiensi energi.
Selain itu, integrasi AI dengan biologi manusia melalui teknologi seperti Neuralink membuka kemungkinan baru. Manusia hibrida, yang menggabungkan kemampuan biologis dengan neuroprosesing berbasis AI, dapat muncul dalam beberapa dekade mendatang. Ini akan memungkinkan manusia untuk memperluas kemampuan kognitifnya dan menciptakan dunia yang lebih adaptif.
Namun, masa depan ini tidak tanpa risiko. Masalah seperti bias algoritmik, privasi, dan ketimpangan akses teknologi harus diatasi dengan hati-hati. Regulasi dan kerangka kerja etis akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa AI berkembang sebagai alat yang mendukung kemanusiaan, bukan menggantikannya.
Tapi tanpa dapat kita hindari civilization shifting memang sudah terjadi, kita sudah menikmati benefit dan juga eksesnya. Tanpa kita sadari, kita juga telah hidup di dalam sebuah dunia yang dibangun oleh logika Boolean, rantai Markov, model Bayesian, probabilitas Laplace, model Stokastik, dan kalkulus multivariat yang menyertai kehadiran sistem binari yang menjadi bahasa universal mesin yang kemudian mampu mereplikasi banyak fungsi kognisi kita sendiri.
Lalu apakah kita akan teralienasi dari peradaban yang dengan susah patah telah kita konstruksi melalui berbagai pendekatan sistematis yang terbukti mampu mengintegrasikan setiap tahapan perkembangan ilmu ke dalam suatu produk cendekia yang ditujukan untuk mempermudah hidup kita. Saking mudahnya bisa-bisa kelak kita lupa cara untuk bertahan hidup tanpa dukungan mesin dan AI.
Fakta saat ini saja, menurut IDC, data global diperkirakan sudah akan mencapai 175 zettabytes pada 2025, meningkat dari 33 zettabytes pada 2018. Sementara McKinsey melaporkan bahwa investasi global dalam AI diperkirakan mencapai $500 miliar pada 2024. Di sisi lain, IBM mengklaim telah memiliki 433 qubits pada tahun 2022, dengan rencana untuk mencapai ribuan qubits dalam dekade mendatang. Jika era quantum computing sudah menjadi kenyataan, maka waktu prosesing akan semakin pendek dan dunia akan berputar jauh lebih cepat. Lebih cepat dari apa yang sanggup kita bayangkan saat ini.
Maka akan tiba masa, manusia berpikir saja sudah terlalu perlu, karena mekanisme berpikir mesin AI akan jauh lebih efisien, sistematis, dan terstruktur, serta bijak karena mampu mengakomodir banyak aspek dan informasi di waktu yang bersamaan. Pilihannya akan menjadi pilihan yang paling tepat, kebijakannya akan menjadi kebijakan yang berkeadilan secara logika. Demikian pula berbagai keluaran fungsional AI lainnya, semua akan berciri; presisi, akurat, tepat, cepat, dan adekuat. Semua faktor yang sulit dicapai oleh manusia yang hampir dapat dipastikan akan terdistorsi oleh berbagai aspek afeksi. Dan aspek inilah yang membuat hidup kita ini asyik sekali. Bisa pundung jika dirundung mendung, bisa pula murung jika ada hasrat yang terbendung, atau sebaliknya; bisa pula riang gembira saat yang didamba menjadi nyata, dan seterusnya.
Mungkin pada suatu saat memang kita harus merelakan AI untuk bekerja, dan sesuai dengan azas atau teori utilitarianisme, dimana pendapatan dasar akan meningkatkan kesejahteraan kolektif dengan mengurangi ketimpangan dan meningkatkan akses terhadap kebutuhan dasar, kita cukup asyik masyuk berimajinasi dan berkreasi dalam konteks aktualisasi diri pribadi, sambil makan UBI, universal basic income. ππΎππΎππΎ
Bahan Bacaan Lanjut
1. Keynes, J. M. (1936). The General Theory of Employment, Interest, and Money. London: Macmillan.
2. Boole, G. (1854). An Investigation of the Laws of Thought. Cambridge University Press.
3. Van Parijs, P., & Vanderborght, Y. (2017). Basic Income: A Radical Proposal for a Free Society and a Sane Economy. Harvard University Press
4. Turing, A. M. (1950). Computing Machinery and Intelligence. Mind, 59(236), 433β460.
5. McCulloch, W. S., & Pitts, W. (1943). A Logical Calculus of the Ideas Immanent in Nervous Activity. The Bulletin of Mathematical Biophysics, 5(4), 115β133.
6. Vaswani, A., Shazeer, N., Parmar, N., Uszkoreit, J., Jones, L., Gomez, A. N., et al. (2017). Attention is All You Need. Advances in Neural Information Processing Systems, 30, 5998β6008.
7. Goodfellow, I., Pouget-Abadie, J., Mirza, M., Xu, B., Warde-Farley, D., Ozair, S., et al. (2014). Generative Adversarial Networks. Advances in Neural Information Processing Systems, 27
8. Kela. (2020). Results of Finlandβs Basic Income Experiment. Retrieved from: https://www.kela.fi
9. GiveDirectly. (2019). Universal Basic Income Experiment in Kenya: Baseline Report. Retrieved from: https://www.givedirectly.org
10. Alaska Permanent Fund Corporation. (2021). Annual Reports and Dividend Distribution. Retrieved from: https://apfc.or
11. OpenAI. (2020). GPT-3: Language Models are Few-Shot Learners. arXiv preprint arXiv:2005.14165.
12. IDC. (2023). Data Age 2025: The Digitization of the World. Retrieved from: https://www.idc.com
13. Stanford University. (2021). The Carbon Footprint of Machine Learning. Retrieved from: https://stanford.edu
14. McKinsey & Company. (2024). The State of AI in 2024. Retrieved from: https://www.mckinsey.co
15. Philippe Van Parijs. (1995). Real Freedom for All: What (If Anything) Can Justify Capitalism? Oxford University Press.
16. IEEE. (2023). Ethical Design for AI Systems: A Framework for Practitioners. Retrieved from: https://www.ieee.org
17. IBM. (2022). IBM Quantum Roadmap: Accelerating to Quantum Advantage. Retrieved from: https://www.ibm.com
18. Zadeh, L. A. (1965). Fuzzy Sets. Information and Control, 8(3), 338β353
19. Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.
20. Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. Parker, Son, and Bourn.