Desaku yang Kucinta
Kemarin pagi saat membuka media sosial, saya singgah ke akun Mbak Weka, seorang ahli kesehatan masyarakat terkemuka Indonesia yang juga bergiat di lembaga kemanusiaan PMI selain peran utamanya sebagai akademisi. Saya terpukau dengan lantunan suara beliau yang menyanyikan sebuah lagu karya komposer legendaris L Manik. Lagu itu berjudul Desaku, potongan liriknya kira-kira demikian;
Desaku yang kucinta
Pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda
Dan handai taulanku
Tak mudah kulupakan
Tak mudah bercerai
Selalu kurindukan
Desaku yang permai
Mbak Weka menyanyikannya dengan sepenuh penghayatan. Lagu itu seolah dilantunkan langsung dari hati yang dipenuhi kerinduan. Terlebih Mbak Weka menyanyikannya di tepi sebuah lembah dengan lereng bukit yang menghijau dengan sawah teraseringnya yang memukau. Dalam keterangan di unggahannya, beliau menyampaikan bahwa daerah irunadalah sebuah desa di kabupaten Bandung Barat.
Ketika saya berkomentar dan memberikan apresiasi, jawaban beliau begitu jujur dan menohok. Intinya beliau mengingatkan bahwa nilai kearifan dari habitat di segenap pelosok Nusantara telah memudar. Bukan tanpa maksud nenek moyang kita membangun rumah Betang, rumah Panjang, juga rumah Gadang. Membuat leuit atau lumbung, sebagaimana juga ada bale bengong, bale jineng, dan joglo serta tongkonan. Semua punya maksud, punya nilai, dan tentu saja punya filosofi.
Kebersamaan itu menurut Mbak Weka bukan sekedar keinginan untuk mengakomodasi pertautan atau ikatan emosi yang ditandai kedekatan atau proximity, melainkan juga merupakan sebentuk kearifan lokal yang bersifat fungsional, terkait dengan mitigasi dan juga keberlangsungan beberapa fungsi sosial untuk menjaga harmoni dalam berbagai model interaksi komunal.
Kebersamaan adalah upaya untuk menjaga keselarasan dan kearifan dalam mengelola tantangan dan persoalan serta kesiagaan terhadap berbagai potensi kondisi-kondisi yang dapat membahayakan.
Tak berselang lama, ternyata efek entanglement atau mungkin spooky action at a distance nya Einstein yang juga bersama Podolsky dan Rosen menghasilkan paradoks EPR tentang realitas kuantum, terjadi. Dr Imam Indratno dari LPPM Unisba, yang juga seorang ahli perencanaan wilayah, mengirimi saya sebuah tulisannya tentang desa-desa yang tak saja telah kehilangan marwahnya, tapi seolah telah kehilangan jati dirinya.
Pak Imam dengan mengutip Lefebvre menekankan bahwa desa bukanlah sekedar ruang fisik, melainkan ruang yang sarat dengan nilai simbolik yang emosional. Henri Lefebvre sendiri dalam The Production of Space (1991), menekankan bahwa ruang tidak pernah netral; ia adalah hasil dari praktik sosial yang melibatkan tiga dimensi utama: perceived space (ruang yang dirasakan), conceived space (ruang yang dirancang), dan lived space (ruang yang dialami).
Pak Imam juga menyitir konsep Yi-Fu Tuan tentang space dan place dalam Space and Place: The Perspective of Experience (1977). Dimana Tuan menjelaskan bahwa space adalah ruang abstrak yang memungkinkan kebebasan eksplorasi, sementara place adalah ruang yang bermakna karena hubungan emosional dan historis. Amat menarik bukan?
Pak Imam dan Mbak Weka yang bukan kebetulan, keduanya bergelar Doktor, punya irisan pemikiran yang berangkat dari keprihatinan cendekiawan tentang arah perubahan peradaban yang terkadang tak lagi memberi ruang bagi hadir dan lahirnya kearifan dari rahim ingatan yang merupakan metoda pewarisan nilai melalui pendekatan paling primordial: kekerabatan.
Saya sendiri saat menanggapi tulisan Pak Imam yang dimaksudkan sebagai respon atas tulisan saya sebelumnya yang bertajuk; Ruang, Waktu, bagi Cinta dan Hati, juga pada intinya menyepakati kegundahan beliau dan juga mengamini premis-premis beliau tentang posisi ideal desa tradisional di konstelasi peradaban berbasis teknologi saat ini.
Saya pikir tulisan Pak Imam adalah sebuah jawaban yang juga sebuah elegi untuk desa penjaga tradisi yang perlahan bermutasi karena tergusur industrialisasi dan manglih rupa menjadi lokus yang tak ubahnya sekedar kelompok hunian yang berusaha meng-urban-kan diri dengan mengorbankan nilai inti yang lahir dari rahim kearifan lokalnya sendiri.
Desa yang berevolusi dengan melucuti segenap atribut yang dilahirkan ibu pertiwi, ibu bumi yang kini dianggap sebagai ibu tiri yang tak lagi diakui anaknya sendiri karena dianggap tak lagi mumpuni dan mampu memenuhi aneka tuntutan yang dilahirkan oleh pergeseran persepsi tentang apa yang dibutuhkan saat ini.
Desa yang kehilangan jati diri karena diseragamkan dengan angka dan beda bukan lagi hal yang istimewa, melainkan sebuah kondisi yang tak dapat diterima. Keragaman dan kemajemukan seolah dosa; pemakan sagu, ubi, ganyong, dan garut adalah cela, karena beras adalah simbol resmi makanan negara. Desa-desa berhuma tapi tak bersawah adalah salah. Desa berpindah di dalam rimba yang bagaikan Howl’s Moving Castle nya Ghibli dianggap perambah. Padahal mereka merawat dan membantu konservasi tanah, bertani tapi tidak serakah, menjamah tapi tidak menjarah, meski mengambil tapi memelihara dengan amanah.
Desa-desa yang kehilangan anak-anak sungainya yang hitam melegam karena sedimentasi akibat erosi masif karena tindak eksploitasi yang agresif. Bahkan kata Mbak Weka, saat ini dengan sungai-sungai hitam itu tak ada lagi warga kampung dj Kalimantan mau mandi di sana.
Desa yang tanpa bisa menolak terpaksa menerima kehadiran makanan instan siap saji dalam kemasan yang semakin dimudahkan untuk didapatkan atas nama pemerataan pembangunan, karena lubuk mereka kehilangan sumber makanan, karena pesisir mereka kehilangan sumber pangan, dan bahkan mereka sendiri kehilangan anak-anak penerus harapan yang terpukau oleh gaya hidup urban yang dihadirkan melalui berbagai media informasi yang semula didedikasikan sebagai upaya untuk mengedukasi.
Desa yang merana karena dalam konsep perbandingan menjadi tak berdaya dan tak punya apa-apa, karena apa-apa itu terkodifikasi dan terkomoditisasi menjadi apa-apa dengan standar urban. Tak ada pesan antar makanan daring, tak ada kedai kopi dengan mesin espresso, dan tak ada cineplex dengan multi studio adalah hal yang sangat menyedihkan.
Runtuhnya desa tak ubahnya bunuh dirinya sang penjaga surau dalam kisah Robohnya Surau Kami karya AA Navis, dimana sang marbot mengakhiri hidupnya karena terprovokasi omongan seorang pembual tentang ibadah tanpa aksi adalah kesia-siaan hakiki. Ibadah mahdhah tanpa amal kebaikan untuk kemasyarakatan adalah kesalahan yang tak terampuni. Pernyataan bersayap yang mungkin saja benar secara logika, sekaligus racun yang melumpuhkan akal pikiran lewat kekecewaan yang ditanamkan di alam keakuan sang penjaga surau. Sebagaimana nilai-nilai kekinian yang menyesaki paru-paru desa hingga menjadikan lumpur-lumpur sawahnya, juga lereng-lereng bukitnya adalah setumpuk aib yang sudah semestinya raib.
Lalu apa itu sebenarnya desa? Apa itu habitat, apa itu kota, apa itu permukiman, dan apa itu masyarakat? Mengapa ada tata kelola, aturan, dan berbagai sendi norma dalam konteks hidup bersama? Lalu bagaimana idealnya habitat manusia, atau kita, ke depan? Seperti apa baiknya?
Berbagai pertanyaan di atas silang sengkarut di benak saya, belum lagi jika memikirkan Elon Musk yang sudah berniat kuat dan bertekad bulat untuk bedhol desa ke planet Mars atau planet apapun dengan prasyarat zona Goldilocks terpenuhi. Ia ingin migrasi dan membangun koloni sebagaimana di zaman batu muda atau Neolitikum, manusia mulai merasa perlu mengonstruksi habitat untuk hidup bersama.
Meski official zaman Neolitikum diprakirakan dimulai sekitar 10.000 tahun yang lalu, tapi justru di Nusantara peradaban itu telah dimulai di masa yang lebih awal. Terbukti pada seputaran tahun 50an, C.H.M Heeren-Palm menemukan lukisan cap tangan berwarna merah di gua Leang Pattae, dan HR van Heekeren menemukan lukisan prasejarah dari genre yang sama di Leang Pettakere, keduanya di kawasan karst Maros.
Terbaru, ditemukan lukisan telapak tangan di Leang Karampuang, juga di kawasan Karst Maros. Dimana lukisan ini bahkan diprakirakan telah berusia minimal 51.200 tahun.
Selain lukisan telapak tangan, di Maros juga ditemukan lukisan-lukisan prasejarah lainnya, seperti:
lukisan babi hutan di Leang Tedongnge, yang diperkirakan berusia minimal 45.500 tahun, lalu ada pula ukisan telapak tangan dan _babirusa_ di taman Prasejarah Leang Leang, dan lukisan cap tangan di Gua Jarie.
Hal itu semua dapat menjadi pertanda bahwa konsep habitat dan peradaban Nusantara telah berkembang sejak 50 ribuan tahun lalu, dan mungkin lebih tua dari peradaban di Eropa yang ditandai dengan lukisan tangan di gua Lascaux yang usia dari pengukuran carbon dating nya diketahui lebih muda.
Menarik untuk dipelajari sebenarnya, karena perkembangan hunian manusia tidak semata hanya bercerita tentang bagaimana manusia berlindung dari alam, tetapi juga tentang bagaimana ide, budaya, dan struktur sosial terbentuk serta bertransformasi. Bagi para antropolog, sejarah hunian manusia mencerminkan proses adaptasi dan inovasi yang terus berlangsung, mulai dari kehidupan nomaden hingga munculnya kota-kota besar modern.
Jejak-jejak arkeologis paling awal menunjukkan bahwa nenek moyang manusia (seperti Homo erectus dan Homo sapiens awal) cenderung memilih gua atau ceruk batu sebagai hunian sementara. Contoh hunian gua sebagaimana di Leang-Leang sebagaimana telah kita bahwa di atas, atau Gua Lascaux di Prancis, juga dengan lukisan-lukisan prasejarahnya. Hunian semacam ini berfungsi sebagai perlindungan dari cuaca ekstrem, predator, dan sekaligus menjadi “markas” untuk berburu.
Mobilitas tinggi pada masa ini bersandar pada ketersediaan sumber makanan dan air. Komunitas pemburu-peramu sering kali berpindah tempat ketika sumber daya mulai menurun. Transisi dari hunter-gatherers atau pemburu-pengumpul menuju masyarakat yang lebih menetap menjadi kunci penting lahirnya gagasan untuk membangun tempat tinggal yang lebih permanen.
Sekitar 10.000 tahun yang lalu, terjadi perubahan mendasar dalam sejarah manusia, yang dikenal sebagai Revolusi Neolitik. Melalui domestikasi biji-bijian (seperti gandum, jelai, padi) dan ternak (seperti domba, kambing, sapi), manusia mampu memenuhi kebutuhan pangan secara lebih berkelanjutan. Peningkatan produksi pangan memicu pertumbuhan populasi dan semakin kompleksnya struktur sosial.
Penelitian arkeologi mutakhir menunjukkan bahwa ekosistem tertentu, seperti di wilayah Fertile Crescent atau area _lBulan Sabit Emas di Timur Tengah, menawarkan kondisi ekologis ideal untuk berkembangnya pertanian. Teknologi pembuatan gerabah, penyimpanan hasil panen, dan pengembangan alat-alat pertanian menjadi fondasi yang memungkinkan manusia menetap lebih lama. Pola permukiman di masa Neolitik ini mulai membentuk cikal bakal desa-desa pertama di dunia, seperti situs Çatalhöyük di Turki.
Melimpahnya hasil pertanian menciptakan surplus yang memungkinkan munculnya spesialisasi sosial, seperti pandai besi, pedagang, dan pemuka agama. V. Gordon Childe menyebut fenomena ini sebagai Urban Revolution, ketika desa-desa tumbuh menjadi pusat kehidupan ekonomi, politik, dan agama yang kompleks. Situs-situs kuno seperti Uruk di Mesopotamia dan Mohenjo-Daro di Lembah Indus menandai tahap awal peradaban kota.
Kota-kota awal dilengkapi dengan tembok pertahanan, istana, dan kuil. Struktur sosial menjadi lebih berlapis; ada elite penguasa, pedagang kaya, tukang, dan petani. Perkembangan sistem tulisan (misalnya piktograf di Mesopotamia) merupakan tonggak penting yang memudahkan pencatatan administratif dan aktivitas ekonomi. Pada titik ini, kota bukan hanya pusat administrasi, melainkan juga pusat kebudayaan.
Keberadaan sungai, pantai, atau jalur darat strategis memengaruhi cepat atau lambatnya pertumbuhan kota. Banyak kota besar berdiri di sekitar sungai yang dapat dilayari (contoh: Nil di Mesir, Tigris-Efrat di Mesopotamia) atau di titik persimpangan jalur perdagangan seperti Samarkand di Jalur Sutra. Konektivitas ini menciptakan interaksi budaya lintas wilayah, memperkaya teknologi dan gagasan arsitektur. Salah satunya yang amat saya suka karena eksotikanya yang luar biasa adalah Bukhara.
Di beberapa kasus, kota-kota baru lahir karena ekspansi kerajaan atau kolonisasi, seperti pendirian kota-kota koloni Yunani di pesisir Mediterania (misalnya Miletus, Ephesus), atau oleh Kekaisaran Romawi di wilayah Eropa Barat. Elemen arsitektur dan tata kota sering kali mencontoh kota asal atau mengikuti standar metropolis penakluk. Hal ini membuat peradaban perkotaan menyebar ke berbagai benua.
Masuknya era modern ditandai oleh Revolusi Industri di Eropa pada abad ke-18 dan ke-19. Penemuan mesin uap dan kereta api oleh James Watt dan Richard Trevithick, yang diikuti dengan peningkatan produksi manufaktur mengubah lanskap perkotaan secara besar-besaran. Kota-kota seperti London, Manchester, dan Liverpool berkembang pesat dengan masuknya tenaga kerja dari pedesaan. Fenomena urbanisasi massal ini memicu berbagai tantangan sosial, seperti kepadatan penduduk, permukiman kumuh, hingga masalah sanitasi.
Pada masa inilah fungsi desa mulai termarjinalisasi, dan kapasitas kapital serta tingkat produksi yang bernilai ekonomi mulai menjadikan desa termekanisasi. Harus punya cara yang deterministik agar layak eksis dan bisa dipertahankan keberadaannya. Kontribusi suatu lokus geografi yang semula adalah habitat dalam pengertian sebagai habitare, untuk ditinggali, dan habere, untuk dimiliki, kini eksistensinya dinilai dari seberapa besar kontribusi dan nilai ekonominya dalam konstelasi standar ekonomi yang indikatornya antara lain adalah PDB atau pendapatan domestik bruto. Tampaknya dari fase inilah mulai terjadi pergeseran nilai dan definisi kesejahteraan (welfare), dari semula bersifat holistik dan personal, menjadi _kuantitatif transaksional._
Sementara di Indonesia, istilah “desa” tidak sekadar menunjuk pada batasan administratif terkecil, melainkan mencerminkan sebuah entitas sosial-budaya dan ekonomi yang memiliki ciri khas tersendiri. Desa menjadi pijakan bagi berbagai dinamika kehidupan masyarakat, mulai dari interaksi sosial, sistem nilai, hingga pengelolaan sumber daya alam. Untuk memahami konsep desa di Indonesia, penting meninjau dari perspektif hukum, kajian antropologi, serta pendapat para ahli yang telah meneliti dan menulis tentang fenomena pedesaan di Nusantara.
Secara formal, pengertian desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini menegaskan bahwa desa:
– Merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah,
– Berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prakarsa masyarakat,
– Hak asal-usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks ini, desa tidak hanya menjadi unit administratif, tetapi juga diakui hak kolektifnya untuk mengatur dan mengelola sumber daya sesuai dengan konteks lokal. UU Desa memperkuat otonomi desa lewat kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang sudah lama berlangsung.
Konsep desa sebagai habitat dengan aneka kearifan komunal yang melekat di dalamnya, sebenarnya dapat dikaji lebih mendalam melalui berbagai pendekatan. Dari penamaan saja, desa di Indonesia itu sudah beragam. Ada Gampong di Aceh, Nagari di Minang, Huta di Tapanuli, atau Tiyuh di Lampung. Dimana penamaan itu juga menunjukkan bahwa desa adalah bagian dari identitas sosial, sekaligus “rumah” bagi nilai dan kearifan komunitas bisa bersemayam.
Keberagaman istilah ini juga menggambarkan bahwa identitas desa di Indonesia tidak monolitik. Setiap daerah mempunyai kerangka adat, sistem sosial, dan kelembagaan tradisional yang berbeda, namun secara substansi memiliki fungsi serupa sebagai komunitas yang otonom.
Menurut antropolog Indonesia terkemuka, Koentjaraningrat, desa di Nusantara pada dasarnya tumbuh dari komunitas-komunitas kekerabatan atau kelompok teritorial yang hidup dengan sistem budaya dan aturan adat masing-masing. Ia menekankan pentingnya “sistem nilai” yang tertanam dalam komunitas desa, seperti gotong royong, musyawarah, dan kepatuhan terhadap pemimpin adat. Nilai-nilai semacam ini menjaga harmoni sosial dan menjadi landasan bagi dinamika kehidupan pedesaan.
Sedangkan Clifford Geertz (1963) dalam karya klasiknya, Agricultural Involution, pernah membahas bagaimana sistem pertanian di Jawa membentuk suatu pola masyarakat desa yang “tertanam” dalam ekosistem sawah-irigasi (wet-rice cultivation). Pola ini turut menentukan bentuk relasi sosial, misalnya pembagian kerja berbasis lahan pertanian, lembaga subak (di Bali) atau irigasi teknis (di Jawa), serta tata kehidupan desa yang bergantung pada ritus-ritus musim tanam dan panen. Dengan demikian, desa bukanlah sekadar entitas teritorial, tetapi sebuah ekosistem sosial-budaya yang terbentuk oleh hubungan manusia dengan lingkungan alamnya.
Oleh karena itu, salah seorang tokoh yang juga guru besar di UGM yang karyanya kerap saya baca dan pelajari, ahli sosiologi pedesaan termuka Indonesia pada zamannya, Prof Mubyarto, senantiasa menekankan dan mengedepankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa. Pendekatan _bottom-up_ diyakini mampu menumbuhkan rasa memiliki (sense of ownership) warga desa terhadap program pembangunan, sehingga berpotensi berkelanjutan.
Program-program pemerintah seperti Dana Desa (pasca UU Desa) juga diharapkan dapat mendorong pembangunan infrastruktur sekaligus memperkuat kapasitas kelembagaan desa. Pemikiran Prof Mubyarto ini di era pemerintahan terdahulu sempat menjadi fatsun dan arus utama pemikiran pembangunan kawasan perdesaan di Indonesia.
Meski tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan peradaban dengan vektorisasi arah yang banyak ditentukan oleh pendekatan ekonomi berbasis teknologi telah memberikan dampak signifikan pada konsep dan nilai desa di masyarakatnya sendiri. Beberapa ahli secara spesifik telah menyoroti dampak modernisasi dan urbanisasi terhadap eksistensi desa di Indonesia. Bachtiar (1991) menunjukkan bahwa arus migrasi penduduk desa ke kota dapat menimbulkan tantangan bagi kehidupan sosial pedesaan, seperti berkurangnya tenaga kerja pertanian dan potensi hilangnya tradisi lokal. Di sisi lain, urbanisasi kadang juga membuka peluang bagi desa untuk meningkatkan taraf hidup melalui remitansi (kiriman uang dari keluarga yang bekerja di kota). Suatu lingkar pragmatisme yang sulit untuk dielakkan tentu saja.
Di sisi lain para peneliti yang menitikberatkan pada ekologi budaya, misalnya Adimihardja dkk, menunjukkan bahwa praktik pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal di desa (misal subak di Bali, lubuk larangan di Sumatra, atau Lom Plai dan Mamapas Lewu di Kalimantan dapat menjadi contoh kearifan keberlanjutan. Kearifan lokal yang menitikberatkan pada keserasian manusia dengan alam, mekanisme pengaturan yang kolektif, dan kesepakatan adat.
Sementara di sisi lain, inisiatif generasi baru Indonesia, sebagaimana yang terepresentasi dalam kegiatan berbasis komunitas dari Common Room dll, mulai dapat menkatalisa integrasi antara keniscayaan kemajuan peradaban digital dengan keutamaan dan kearifan nilai-nilai lokal yang terpreservasi dengan baik di masyarakat adat dan budaya tradisional. Kemajuan teknologi informasi membuka peluang baru bagi desa, seperti e-commerce, perbankan digital, dan platform edukasi. Namun, di sisi lain, masuknya budaya global juga berpeluang “menekan” nilai-nilai tradisional. Desa dihadapkan pada tantangan menyeimbangkan adaptasi terhadap dunia modern tanpa kehilangan identitas lokal. Di titik inilah peran komunitas “perantara” seperti yang kerap dijalankan oleh Kang Khemal, antropolog digital dkk menjadi krusial.
Tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia sebagai negara agraris masih sangat bergantung pada produksi pangan yang mayoritas dihasilkan desa-desa. Krisis global seperti pandemi dan perubahan iklim semakin menegaskan peran strategis desa dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Studi terbaru (Rosyadi, dkk., 2021) menekankan perlunya pengembangan infrastruktur penunjang (irigasi, teknologi pertanian) yang selaras dengan kelestarian lingkungan agar kapasitas produksi pangan desa terjaga. Tapi tentu saja perlu dipertimbangkan peran lain dari desa sebagai penyangga nilai-nilai tradisi yang tidak semestinya sepenuhnya dikooptasi.
Berita gembiranya, dengan maraknya inisiatif para ahli seperti Dr Imam Indratno dkk yang concern terhadap keutuhan nilai desa yang sebenarnya sakral, juga adanya adaptasi teknologi digital dengan kebijakan gradual sebagaimana yang coba diterapkan Kang Khemal, entitas dan identitas desa Nusantara semestinya akan tetap dapat terjaga, di tengah derasnya gerusan arus perubahan zaman.
Dengan konsep hibrid tersebut, berbagai wilayah, desa mulai menggali potensi ekonomi berbasis sumber daya setempat, seperti agrowisata, ekowisata, hingga produk kerajinan unggulan. Program BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) memberikan kerangka kelembagaan untuk mengelola usaha secara kolektif. Keberhasilan inisiatif tersebut ditentukan oleh seberapa kuat dukungan masyarakat, transparansi pengelolaan, dan kemampuan inovasi menghadapi persaingan pasar.
Semoga desa-desa kita tak hanya sekedar menjadi sejahtera secara finansial ataupun berbagai tolok ukur kuantitatif ekonomi saja ya, melainkan dapat sejahtera secara holistik, agar tetap dapat menjadi rahim bagi lahirnya nilai-nilai luhur yang menjadi perekat dalam konstruksi peradaban Nusantara yang saat ini terus bertumbuh pesat. 🙏🏾🙏🏾🙏🏾