Tauhid Nur Azhar

Menanti Rinai Hujan di Gambiranom

Giyarto, atau akrab disapa Ajo, adalah lelaki paruh baya asal desa Gambiranom, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Desa ini terletak di dataran dengan ketinggian 154 meter di atas permukaan laut, lumayan tinggi untuk ukuran wilayah Wonogiri, namun untuk kebutuhan pertanian, desa yang terdiri dari beberapa dusun seperti Puhnunggal, Crabak, dan Gambiran ini tetap bergantung pada air hujan karena terletak di atas sistem irigasi yang ada.

Di sebelah barat Gambiranom-Baturetno, hamparan Waduk Gajahmungkur membentang dan memantulkan cahaya matahari yang terik di siang hari. Suhu di Baturetno rata-rata berkisar 25°–30° celsius, cukup panas menurut orang Eropa-atau orang Bandung seperti saya, namun menurut penduduk setempat, suhu sedemikian dirasa nyaman, sejuk, bahkan merupakan bagian dari keseharian yang selalu mereka syukuri.

Di lahan garapan milik tetangganya, Giyarto menanam padi ladang atau padi gogo dan sesekali berganti dengan jagung atau palawija lainnya. Hasil panennya memang tidak melimpah karena sistem tadah hujan membuat tanah tak selalu subur sepanjang tahun.

Namun, Giyarto tak pernah mengeluh. “Kuncinya sabar, Mas,” katanya suatu ketika, sembari menuntun sepasang sapi yang ia beli dari hasil merantau di Bandung. Baginya, sapi atau rajakaya”, lebih dari sekadar hewan ternak. Rajakaya merupakan bentuk tabungan sekaligus investasi jangka panjang bagi banyak warga desa; nilainya dapat meningkat tajam ketika anak atau keluarga membutuhkan biaya sekolah atau pernikahan.

Pekerjaan Giyarto bukan hanya menggarap lahan. Ia juga seorang nayaga di seni karawitan, sekaligus pranatacara (master of ceremony) dalam adat Jawa. Keterampilan itu ia dapat selama bekerja di Bandung, sembari menyambi membuka kedai Pecel Pincuk Wonogiri di dekat Pasar Sederhana. Kini, ia pulang ke kampung halaman membawa sedikit modal, dan sepasang sapi, untuk membangun masa depan yang lebih menjanjikan.

Namun, keceriaan Giyarto belakangan sedikit terusik oleh berita kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dimana menurut kabar, tarif PPN yang semula 11% akan naik menjadi 12% pada tahun 2025. Bagi sebagian besar orang kota, barangkali perbedaan 1% tak begitu terasa. Tetapi bagi Giyarto dan para petani di Gambiranom, kenaikan ini bisa berarti pupuk menjadi lebih mahal, ongkos transportasi naik, hingga harga pangan pun terdongkrak. Sepeser demi sepeser akhirnya harus dihemat lebih ketat. Giyarto tahu, jika biaya hidup naik, mau tak mau ia harus lebih banyak bekerja atau menjual sapi lebih awal, jika terpaksa. Begitulah dilema yang ia hadapi, antara menyiapkan dana untuk keluarga, sekaligus membayar kebutuhan operasional yang kian meningkat.

Meski begitu, Giyarto bukan tipe orang yang mudah menyerah. Ia percaya, sebagaimana ritme gamelan yang ia mainkan, semua hal akan menemukan harmoni asal diatur dan dijalani dengan sabar. Dan di Desa Gambiranom, kehidupan memang sudah terbiasa bersabar menunggu hujan, dan mereka selalu yakin bahwa segalanya akan kembali seimbang pada waktunya.

Kenaikan PPN mungkin akan menambah beban keseharian, akan tetapi semangat gotong royong dan keteguhan hati warga desa tampaknya juga akan selalu menemukan jalan, persis seperti lirik tembang Jawa yang kerap Giyarto dendangkan sambil menanti ladangnya menumbuhkan kehidupan baru.

Gugur Gunung

Karya: Ki Narto Sabdo

Ayo Konco
Ngayahi karyaning projo
Kene, Kene
Gugur gunung tandang gawe
Sayuk sayuk rukun
Bebarengan ro kancane
Lila lan legowo
Kanggo mulyaning nagoro
Siji, Telu
Maju papat papat
Diulang ulungake
Mesthi enggal rampunge
Holopis kuntul baris
Holopis kuntul baris
Holopis kuntul baris

Giyarto atau Mas Ajo dalam perbincangan santai saat ngarit pakan sapinya di lahan dengan banyak pohon Lamtoro di sisi timur desa sempat mengutarakan sebagian isi pikirannya. Menurut beliau hasil dari pajak itu kalau dikelola dengan amanah dan disertai perencanaan yang tepat, terukur, dan bervisi masa depan serta tidak dialokasikan secara tumpang tindih karena ego sektoral dan “mental proyekan” dampaknya akan besar bagi kemaslahatan masyarakat.

Saya agak “ndlowoh” alias bengong saking terkejutnya. Pria desa yang tamatan sekolah menengah ini dapat menyampaikan pemikiran yang tak hanya cerdas dan tajam, tapi juga bening dan bijak loh. Mas Ajo melanjutkan bahwa ia dan keluarganya telah merasakan hasil pajak; anak-anak desa bisa sekolah sampai SMA, beberapa diantaranya mendapat bidik misi dan kuliah di UNS, UGM, dan Undip. Ada pula yang mendapat beasiswa LPDP dan sekolah tinggi di luar negeri. Jalan kampung jadi mulus, angkutan hasil panen jadi gampang dan murah, walhasil tabungan keluarha dapat bertambah. Irigasi membuat sawah dapat panen sekurangnya 2x, syukur-syukur 3x, meski desanya sendiri sebenarnya belum kebagian sistem itu, tapi taraf daya beli warga desa tetangga membuat penjaja kuliner dari Gambiranom meningkat pelanggannya. “Multiplier effect Mas”, demikian sambungnya, yang membuat saya makin lebar melongonya.

Belum lagi koneksi internet dan sinyal HP sudah bagus. Hingga Kakak Mas Giyarto yang bernama Mbak Giyarti bisa berjualan rempeyek secara daring di marketplace dan media sosial. Hasilnya lumayan, bisa buat tambah tabungan. Tak hanya itu saja, Mbak Giyarti juga banyak dapat resep baru dari You Tube dan sebagainya, yang bisa jadi modal untuk mengkreasikan produk kuliner berikutnya. Saya tambah melongo, kali ini ditambahi meringis, karena pada awalnya sudah merasa lebih pinter, alias keminter.

Penerimaan pajak sampai dengan 31 Oktober 2024 sebesar Rp1.517,53 T atau 76,3% dari target. Penerimaan pajak ini terus mengalami perbaikan dalam empat bulan terakhir. PPh non migas membaik karena peningkatan penerimaan bruto dari sektor pertambangan dan menurunnya restitusi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan keterangan pers APBN KiTa edisi November 2024 di Jakarta, Jumat (8/11/2024). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan tax ratio Indonesia masih di level 10,02% dari Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Oktober 2024.

Saya selalu penasaran dengan cara pemerintah suatu negara mengatur perekonomian yang terkait dengan upaya menyejahterakan rakyatnya. Bagi saya yang kerap mengalami sindroma kepoan, alias usil untuk selalu ingin tahu, salah satu sistem unik yang paling ingin saya ketahui “dongeng sebab-musabab” nya, adalah sistem yang sering digunakan pemerintah untuk memperoleh dana sebagai “energi” untuk melaksanakan pembangunan dan menyelenggarakan berbagai layanan publik yang dikenal sebagai instrumen pajak.

Bahkan di penghujung pandemi, saya selaku Wakil Ketua Tim Task Force Riset dan Teknologi untuk Covid-19 BPPT/BRIN/Kemenristekdikti, pernah diminta menjadi narasumber dalam salah satu even edukasi publik yang diselenggarakan salah satu unit eselon 2 Ditjen Pajak, yang pada saat itu mengusung tema: Peran Pajak dalam Upaya Mengelola Dampak Pandemi. Menarik bukan? Pajak sebagai salah satu instrumen fiskal, tak dapat dipungkiri punya peran besar sebagai “catu daya” dalam upaya meminimalisir dampak pandemi, sekaligus menjadi stimulus yang diharapkan dapat menggerakkan roda ekonomi.

Lalu sejak kapan peradaban manusia yang kemudian mengembangkan model transaksi dan alat tukar berupa uang ini mulai mengenal konsep “memungut” pajak sebagai sumber pendapatan otoritas penyelenggara negara?

Bukti paling awal mengenai pajak formal bisa dilacak di Mesir Kuno, sekitar 3000 SM. Pemerintah (zaman dinasti Firaun) memungut pajak biji-bijian, ternak, dan hasil pertanian lainnya untuk membiayai pembangunan piramida dan proyek-proyek publik lain seperti irigasi di sepanjang daerah aliran sungai Nil.

Pada masa itu para juru tulis dan pejabat kerajaan melakukan pencatatan hasil panen, serta memastikan besaran “pajak” yang harus diserahkan rakyat. Sementara di kurun waktu yang hampir sama, di Lembah Sungai Eufrat dan Tigris, peradaban Sumeria, Babilonia, dan Asyur juga mengenal pajak atas tanah dan hasil pertanian, yang hasilnya digunakan untuk membangun irigasi, jalan, dan tembok pertahanan.

Sementara di wilayah yang terletak lebih ke selatan, Dinasti-dinasti awal di Tiongkok (seperti Dinasti Zhou dan Qin) memiliki sistem “upeti” atau “surplus hasil panen” yang disetorkan ke pemerintah. Pajak ini menopang pembangunan infrastruktur, pertahanan, dan birokrasi kekaisaran.

Di polis-polis (kota-negara) Yunani, pajak awalnya lebih mirip iuran sukarela bagi warga kaya (disebut liturgies). Orang-orang kaya membiayai acara-acara publik (festival, pembangunan galangan kapal, dll.). Namun, pada masa perang, sering diterapkan pajak darurat untuk membiayai biaya militer.

Di era Romawi yang wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar Eropa, kepulauan Britania, sampai ke batas Asia (Byzantium), telah dikembangkan sistem pajak yang lebih terstruktur. Ada pajak atas tanah (tributum soli), pajak kepala (tributum capitis), dan bea impor-ekspor (portoria).

Pajak itu diperlukan untuk membiayai pasukan Romawi, membangun jalan-jalan, jembatan, akuaduk, dan administrasi pemerintahan yang luas. Kekaisaran Romawi juga mengandalkan “pemungut pajak” (sering dikenal dengan istilah publicani) yang mengumpulkan pajak atas nama negara. Metode ini kadang menimbulkan penyimpangan karena para pemungut sering menarik lebih banyak demi keuntungan pribadi.

Di Eropa abad pertengahan, sistem feodal membuat kaum petani atau serf mengolah lahan milik tuan tanah (bangsawan). Mereka menyerahkan hasil pertanian sebagai “pajak” atau “sewa” lahan. Raja atau penguasa tertinggi pun memungut pajak dari para bangsawan, sering dalam bentuk logistik (gandum, ternak) dan upeti lain yang disepakati.

Lahirnya Magna Carta di Inggris pada tahun 1215, menandai awal pembatasan kekuasaan raja dalam mengenakan pajak. Dokumen ini mewajibkan persetujuan dewan bangsawan sebelum raja dapat memungut pajak baru. Pembatasan ini menjadi embrio bagi sistem parlemen dan persetujuan pajak oleh wakil rakyat di kemudian hari.

Seiring berkembangnya perdagangan dan munculnya kelas pedagang yang kuat, negara-negara Eropa mulai mengenakan pajak perdagangan, pajak pelabuhan, bea, dan cukai. Pertumbuhan kota-kota dagang seperti Venesia, Genoa, dan kota Hanseatik memperluas basis pajak.

Model pajakpun semakin berkembang seiring dengan berbagai dinamika yang terjadi di berbagai belahan dunia. Adanya kolonialisme atau penjajahan oleh sebagian negara Eropa, mendorong munculnya pajak kolonial dll. Sampai akhirnya persoalan pajak juga menjadi salah satu pemantik atau pencetus terjadinya Revolusi Amerika pada tahun 1775-1783.

Dimana slogan “No Taxation without Representation” menjadi pemicu penduduk koloni Inggris di Amerika memberontak. Mereka menolak pajak yang dikenakan London tanpa adanya perwakilan koloni di parlemen Inggris. Peristiwa ini menggambarkan pentingnya prinsip keterwakilan dalam pemungutan pajak.

Demikian pula Revolusi Perancis 1789-1799, terpantik oleh ketidakpuasan terhadap sistem perpajakan saat itu yang dianggap memberatkan kaum petani dan borjuis, sementara kaum bangsawan dan klerus diberi banyak pengecualian dan privileve yang menimbulkan kecemburuan banyak kalangan. Akibatnya lahir revolusi yang menuntut sistem pajak yang lebih adil dan merata, yang kemudian mempengaruhi tata kelola pajak modern di Eropa.

Pemerintahan modern di berbagai negara mulai menerbitkan undang-undang perpajakan tertulis. Pajak penghasilan (Income Tax) pertama kali dikenakan di Inggris pada tahun 1799 (untuk membiayai perang dengan Prancis), namun sistemnya baru menjadi permanen pada pertengahan abad ke-19.

Pajak penghasilan berkembang di Eropa dan Amerika Serikat pada abad ke-19 sebagai respons atas kebutuhan pendanaan negara yang semakin besar (pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan).

Konsep pajak pertambahan nilai (Value-Added Tax) modern dikenalkan oleh seorang ekonom Prancis, Maurice Lauré, pada pertengahan abad ke-20 (sekitar 1950-an). Mekanisme ini kemudian diadopsi banyak negara karena dianggap lebih efisien dan sulit dihindari daripada pajak penjualan umum.

Di beberapa waktu terakhir, PPN telah menjadi perhatian publik karena adanya rencana kenaikannya dari 11% ke 12% pada tahun 2025.

Lalu bagaimana perkembangan sistem perpajakan di Indonesia sendiri? Sejarah mencatat bahwa sejak era kerajaan di periode awal Nusantara, misal Mataram Kuna, sistem fiskal yang dikenal sebagai pajak telah mulai diterapkan.

Dalam sistem pajak Kerajaan Mataram Kuno, rakai dan pamgat berperan sebagai penguasa daerah yang bertanggung jawab mengumpulkan pajak dari wilayah mereka. Pajak tersebut dikumpulkan dua kali setahun, biasanya setelah panen, dan kemudian dipersembahkan kepada raja pada bulan Asuji dan Karttika (Oktober-November).

Mereka bertindak sebagai perantara antara desa-desa (yang dikelola oleh watak atau pangurang) dan pusat kerajaan, memastikan hasil pajak seperti uang logam, hasil bumi, atau hewan sampai ke istana. Penyerahan hasil pajak dilakukan secara terorganisir melalui sistem hierarkis, di mana hasil pajak dari tingkat desa dihimpun oleh pejabat lokal seperti watak, kemudian diteruskan oleh rakai dan pamgat ke pusat kerajaan untuk dikelola oleh pejabat tinggi seperti pangkur, tawan, dan tirip.

Adapun jenis pajak yang dikenakan di Kerajaan Mataram Kuno meliputi
pajak tanah yang dikenakan pada berbagai jenis lahan/tanah seperti sawah, kebun, rawa, dan sungai. Besarannya dihitung berdasarkan luas tanah yang diukur oleh petugas kerajaan (wilang thani). Lalu ada pajak perdagangan yang dibebankan pada pedagang, terutama di wilayah bukan sima (daerah bebas pajak). Kemudian ada pajak orang asing, yang dikenakan khusus untuk pendatang asing, seperti pedagang dari Kling atau Singhala. Selain itu ada pula upeti dan sesembahan berupa hasil bumi, hewan, atau uang logam sebagai bentuk loyalitas rakyat kepada raja.

Lalu pada masa kolonial, pemerintahan Hindia Belanda mulai memperkenalkan huistaks pada tahun 1816. Huistaks adalah pajak yang dikenakan bagi warga negara yang mendiami suatu wilayah atau tempat tertentu di atas bumi. Seperti sewa tanah, bangunan atau yang mungkin sekarang dikenal sebagai PBB atau Pajak Bumi dan Bangunan. (Rachel Yolanda Pratiwi S, 2022)

Seiring dengan perkembangan zaman, pemerintah Hindia Belanda kemudian juga mulai menerapkan Ordonantie op de Herziene inkomstenbelasting alias pajak penghasilan pada tahun 1920, tahun mulai berdirinya perguruan tinggi teknik di Bandung yang bernama TH dan kelak dikenal sebagai ITB. Lalu pada tahun 1925 juga mulai diterapkan Ordonantie op de Vennootschapbelasting atau pajak perseroan yang sekarang dikenal dengan nama Pajak Penghasilan Badan. (Rachel Yolanda Pratiwi S, 2022)

Pada tahun 1920-1921 sudah ada juga pajak penghasilan terhadap hasil bumi atau hasil lahan penduduk, dikenal dengan nama Versponding Warde, berupa pajak untuk hasil panen kebun teh, kelapa, jati, dan tembakau. Pengenaan tarifnya sebesar 7,5 (tujuh koma lima) % dari hasil. Pada tahun 1934 sudah mulai ada pula pajak kendaraan bermotor, seiring dengan mulai maraknya penggunaan kendaraan bermotor sebagai alat transportasi di masa itu.

Pengenaan pajak secara sistematis dan permanen memang dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah. Pengenaan pajak terhadap tanah atau sesuatu yang berhubungan dengan tanah sudah ada sejak periode awal kolonial. Bentuknya antara lain seperti Contingenten dan Verplichte Laverantieen yang lebih dikenal dengan nama tanam paksa atau cultuurstelsel, pasca perang Jawa pada tahun 1825-1830.

Di masa Gubernur Jenderal Raffles yang mewakili Britania Raya, pajak atas tanah tersebut disebut Landrent yang arti sebenarnya adalah “sewa tanah”. Setelah penjajahan Inggris berakhir maka kemudian Indonesia dijajah kembali oleh Belanda. Pajak tersebut kemudian diganti menjadi Landrente dengan sistem atau cara pengenaan yang sama. (Rachel Yolanda Pratiwi S, 2022)

Di era kemerdekaan yang ditandai dengan peristiwa Proklamasi pada 17 Agustus 1945, sektor perpajakan pun diatur dalam bentuk perundangan yang bersumber dari UUD 1945 sebagai dasar negara. Pajak diatur dalam Pasal 23 UUD 1945 sebagai sumber utama pembiayaan negara, dan pada tahun1946, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Pajak yang pertama yang cakupannya antara lain meliputi pajak penghasilan dan pajak penjualan.

Lalu pada era Orde Lama (1960-an), pajak hasil bumi dialihkan menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) untuk mendukung pembangunan daerah. Pemerintahan Orde Baru melakukan reformasi besar sistem perpajakan nasional antara lain yang diwujudkan dalam penerapan sistem self-assessment, penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan penyederhanaan tarif pajak.

Sementara di era pasca reformasi sampai saat ini, terkait sistem perpajakan, pemerintah berfokus pada modernisasi administrasi, transparansi, dan peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui digitalisasi, yang merupakan bagian dari peta jalan lahirnya core tax system yang canggih dan diharapkan dapat memberikan banyak benefit bagi negara dan para wajib pajak tentunya.

Nah isu yang sedang hangat saat ini adalah soal pajak pertambahan nilai atau yang kerap disingkat sebagai PPN. PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa. Di Indonesia, pajak ini termasuk jenis pajak nasional yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan. Secara teori, meskipun subjek hukum PPN adalah perusahaan (sebagai wajib pajak badan), pada praktiknya pajak ini dibebankan kepada konsumen akhir. Artinya, saat kita membeli barang kebutuhan sehari-hari, tarif PPN langsung melekat dalam tagihan yang kita bayarkan.

Kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tahun 2025 ini menimbulkan reaksi beragam. Bagi pemerintah, kenaikan ini bertujuan mengurangi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta memastikan kestabilan fiskal. Di sisi lain, Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah, pernah menyampaikan bahwa kebijakan ini diproyeksikan memberi tambahan pendapatan negara sebesar Rp350–375 triliun. Namun, di sisi lain beliau juga mewanti-wanti risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi sekitar 0,12% dan penurunan konsumsi masyarakat hingga 3,2%. Bahkan, upah minimum (UMP) berpotensi ikut tergerus. Intinya, setiap kebijakan pajak pasti membawa konsekuensi yang tidak sederhana.

Dari sudut pandang saya, orang awam yang naif dan “rada belagu” ini, kebijakan fiskal sepertinya harus menyeimbangkan dua hal; meningkatkan penerimaan negara dan melindungi daya beli masyarakat. Di Indonesia, subsidi, terutama subsidi energi (BBM, listrik) dan bantuan sosial, menjadi bantalan penting. Sebagai contoh, data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa belanja subsidi tahun 2022 naik hingga 26% dibandingkan 2021, yakni mencapai sekitar Rp239 triliun. Langkah ini diambil untuk menjaga daya beli kelompok berpendapatan rendah ketika tarif PPN naik dari 10% menjadi 11% (April 2022).

Para pakar fiskal, termasuk Pak Doktor Chatib Basri yang pernah menjadi petinggi negeri ini, menyebut kenaikan PPN secara bertahap memang diperlukan. Namun, pemerintah harus menyiapkan program perlindungan sosial yang tepat sasaran. Jika tidak, beban kenaikan pajak tidak langsung dapat memperdalam ketimpangan ekonomi, sebab masyarakat berpenghasilan rendah relatif lebih terdampak oleh naiknya harga barang kebutuhan pokok.

Saya sendiri dengan sindrom kepoisme yang telah sedikit kita bahas di atas, cukup sering dengan sotoy nya mencoba membaca beberapa teori, termasuk teori konsumsi Keynes. Dalam The General Theory of Employment, Interest and Money (1936), Keynes menjelaskan bahwa konsumsi masyarakat sangat bergantung pada pendapatan disposibel. Begitu pajak atau harga barang naik, alokasi belanja menurun, terutama bagi rumah tangga dengan pendapatan pas-pasan.

Tidak hanya Keynes, konsep Laffer Curve yang pernah saya dengar saat mengikuti siniar atau podcast seorang profesor ekonomi terkenal, juga kerap diperbincangkan. Walau mulanya dirancang untuk pajak penghasilan, intinya Laffer Curve menunjukkan adanya titik optimal tarif pajak. Jika tarif pajak dinaikkan terlalu tinggi, maka justru basis pajak bisa menurun akibat menurunnya konsumsi dan investasi. Dengan kata lain, kebijakan fiskal selalu berhadapan dengan trade-off antara kenaikan penerimaan negara dan potensi penurunan aktivitas ekonomi.

Saat mencoba mengulas dampak kebijakan pajak pada harga-harga di pasar, saya yang pernah mengikuti program pendidikan pasca sarjana dan mengangsu sedikit kawruh dari para guru besar ekonomi yang mumpuni, tak bisa lepas dari Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). IHK mengukur perubahan harga rata-rata sekumpulan barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Melalui IHK inilah kita bisa melihat perkembangan inflasi setiap bulannya.

BPS menetapkan keranjang komoditas, mulai dari pangan hingga transportasi, berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH). Setiap komoditas punya bobot tertentu dalam keranjang. Jika harga-harga naik, maka IHK akan meningkat.
Kemudian BPS akan memantau harga di puluhan kota di seluruh Indonesia, lalu menggabungkannya menjadi satu angka indeks nasional.

BPS pun rutin merilis data IHK bulanan. Sebagai contoh (dengan asumsi tahun dasar 2018=100), pada paruh awal 2023, inflasi year on year (yoy) masih berada di kisaran 5%. Namun, seiring waktu, inflasi yoy menurun hingga berada di bawah 3% di sisa tahun 2023. Stabilnya harga energi global serta kebijakan moneter yang ketat turut meredam laju inflasi.

Sebagai peneliti amatir bidang kepoisme, saya mencoba membuat model ekonometrik ngawur dan sangat sederhana untuk memproyeksikan dampak kenaikan PPN terhadap penerimaan negara dan konsumsi masyarakat.

Model 1: TPPN_t = α + β1 * PPNRate_t + β2 * GDP_t + ε_t

TPPN_t : Total Penerimaan PPN

PPNRate_t : Tarif PPN (dari 10%, 11%, 12%)

GDP_t : Produk Domestik Bruto

α, β : Koefisien regresi

Model 2: C_t = γ + δ1 * PPNRate_t + δ2 * GDP_t + δ3 * Subsidy_t + μ_t

C_t : Konsumsi Rumah Tangga

Subsidy_t : Nilai Subsidi Pemerintah

Nah kalau kedua model tersebut dioperasikan, secara umum, hasil estimasinya memperlihatkan bahwa ketika tarif PPN naik, total penerimaan negara (TPPN_t) juga naik. Namun, konsumsi (C_t) relatif menurun, apalagi kalau tidak ada peningkatan subsidi. Di sinilah titik krusialnya: subsidi akan berperan penting menahan laju penurunan konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah.

Berangkat dari sana, saya jadi menyadari, bahwa pemerintah perlu menambah penerimaan untuk menekan defisit anggaran. Mengandalkan PPN sebagai sumber utama menjadi pilihan yang logis, karena basisnya sangat luas dan relatif mudah dipungut dibandingkan pajak penghasilan. Hanya saja, pemerintah dituntut berhati-hati dalam mengelola dampaknya.

Dari sisi ekonomi makro, kenaikan PPN dapat menekan laju pertumbuhan PDB, meski tidak besar (diperkirakan 0,12%). Sementara dari sisi mikro, ada potensi penurunan daya beli masyarakat sekitar 3,2%. Kenaikan harga barang kebutuhan pokok paling dirasa kelompok menengah-bawah seperti keluarga Mas Giyarto di Gambiranom Baturetno sana. Maka dari aspek sosial, ketika harga naik, desakan untuk menaikkan upah minimum akan menguat. Namun, jika perekonomian melambat, penyerapan tenaga kerja baru juga terhambat. Petani dan peternak juga akan sedikit mengalami kesulitan dalam hal pengadaan benih pupuk serta memperhitungkan marjin keuntungan di saat penjualan hasil panen.

Tak pelak mekanisme subsidilah yang dapat menjadi senjata andalan pemerintah. Sepanjang 2022–2023, belanja subsidi energi dan bantuan sosial terbukti cukup efektif menjadi perisai jaminan sosial. P
Maka pada 2024–2025, menurut saya yang “sotoy” ini, ada baiknya pendekatan serupa diambil agar masyarakat tidak terlalu terpukul oleh dampak kenaikan PPN.

Sebagai penutup sebenarnya sih pendapat yang menurut saya paling masuk akal dan rasional serta benar secara sadar ya pendapat Mas Giyarto di atas;

penyelenggara negara harus cerdas dan berintegritas, program pembangunan dan kebijakan pro rakyat jelas, pelaksana program amanah, sistem dibangun sedemikian rupa agar dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan program, dan tentu saja diperlukan partisipasi dan keterlibatan nyata segenap komponen masyarakat yang menjadi elemen utama sebuah bangsa yang bernama INDONESIA.

Sumber Rujukan

1. Adams, C. (2001). For Good and Evil: The Impact of Taxes on the Course of Civilization. Lanham: Rowman & Littlefield.

2. Badan Pusat Statistik (BPS). (2022). Laporan Indeks Harga Konsumen dan Inflasi. Jakarta: BPS.

3. Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). Berita Resmi Statistik – Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi (berbagai edisi bulanan tahun 2023). Jakarta: BPS.

4. Bank Indonesia. (2023). Laporan Kebijakan Moneter (edisi triwulanan). Jakarta: Bank Indonesia.

5. Burg, D. F. (2004). A World History of Tax Rebellions: An Encyclopedia of Tax Rebels, Revolts, and Riots from Antiquity to the Present. New York: Routledge.

6. Chatib Basri, M. (2021). “Pandangan Kebijakan Fiskal dalam Percepatan Pemulihan Ekonomi,” Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 29(2), 45–56.

7. Direktorat Jenderal Pajak (DJP). (2023). Laporan Realisasi Penerimaan Pajak Periode 2018–2023. Jakarta: Kementerian Keuangan RI.

8. Keynes, J. M. (1936). The General Theory of Employment, Interest and Money. London: Macmillan.

9. Mankiw, N. G. (2020). Principles of Economics (9th ed.). Boston: Cengage Learning.

10. Marshall, A. (1890). Principles of Economics. London: Macmillan.

11. Musgrave, R. A., & Musgrave, P. B. (1989). Public Finance in Theory and Practice. New York: McGraw-Hill.

12. OECD. (2017). Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Project Papers. Paris: OECD.

13. “Pemerintah Harus Hati-Hati”. (2024). Harian Ekonomi dan Bisnis, 12 Juni 2024.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts