Ruang Waktu bagi Cinta dan Hati
Pada akhir pekan menjelang akhir tahun ini saya bermuhibah ke 2 kota yang bak sejoli, selalu bergandengan tangan; Semarang dan Yogya. Bukan perjalanan karena tugas seperti biasa, tapi lebih pada perjalanan tautan jiwa. Menautkan jiwa pada kenangan dan kehangatan persahabatan dan persaudaraan. Menautkan jiwa dan mengikhlaskan segenap pikiran pada kasunyatan tentang hakikat keberadaan manusia dalam ruang dan waktu yang mengenal kata sementara.
Se-sementara perjalanan sekitar 8 jam 12 menit dari stasiun Bandung ke stasiun Tugu Yogyakarta dengan KA tambahan Bandung Solo yang dijalankan dalam rangka libur Nataru. Perjalanan sekitar 498 km yang membawa saya berjumpa dengan Mas Wawan dari Insmart yang telah menunggu saya dengan sepeda motornya untuk memulai perjalanan selanjutnya.
Perjalanan melepas kepergian seorang sahabat baik di daerah Turi Sleman dengan doa-doa yang bersama kami panjatkan dalam prosesi tahlilan. Sungguh kebaikan dan kemuliaan hati, sebagaimana yang ditunjukkan dalam ketulusan seorang Dudi Muksin Junaidi,sahabat yang kami lepas hari ini, akan meninggalkan banyak kenangan yang dapat menjadi banyak kisah untuk diceritakan di masa depan.
Melepas kepergian seseorang dapat menjadi pemantik pertanyaan tentang makna dan arti dari kehadiran bukan? Ini yang terus muncul di pikiran saat saya naik GoJek sepulang dari rumah keluarga dr Ita Murbani, SpPD-KGH dan dr William Alfred, SpBOnk yang baru saja ditinggal ibunda tercintanya. Apa yang terjadi dan mengapa itu harus terjadi. Lalu tentu kita akan bertanya, setidaknya saya akan bertanya, apa itu waktu? Dan apa itu ruang? Apakah ruang itu sebentuk kompleks dari representasi seperti media temu di hotel Grasia tempat putra Prof Ahmad Zulfa sahabat baik saya melangsungkan pernikahannya? Media temu dan interaksi dengan segenap fungsi berelasinya?
Ruang di Grasia itu kemarin telah berhasil mempertemukan kenangan di lini masa yang terasosiasi dengan perjalanan hidup kita, serta menghadirkan lokus geografis yang dapat mereduksi jarak. Jakarta, Bandung, Purwokerto, dll menjadi satu di Candi Semarang. Kehadiran dr Yuslam Samiharja, SpTHT, dr Syarief Taufiq Hidayat, SpOG, dr Subiyanto, SpBonk, Prof Sultana, Prof Husein, dan banyak lainnya yang merupakan guru kami, seolah menautkan kenangan pada kenyataan.
Pada masanya kami pernah berinteraksi, dan pada masanya pula kami dapat bersama menyegarkan kembali memori dengan lambaran afeksi yang menjadikan setiap momentum dalam hidup menjadi indah dan berkesan.
Kenangan dan kesan, yang menghadirkan kehangatan di hati kita, ataupun ketidakpastian masa depan yang menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan adalah suatu keniscayaan yang pada gilirannya akan melahirkan harapan dan juga pelajaran bukan? Dan itu semua dipentaskan di suatu konsep media yang bernama ruang dan waktu.
Lalu apa itu ruang dan waktu? Sebuah pertanyaan yang kerap membuat saya termangu-mangu. Merenung dan berpikir soal ruang dan waktu di dalam ruang dan waktu itu sendiri. Lucu juga ya? Ruang dan waktu adalah dua konsep paling mendasar dalam fisika. Keduanya tidak hanya menjadi media pentas atau “layar perak” bagi semua fenomena alam, tetapi juga memainkan peran aktif dalam dinamika semesta. Perubahan cara pandang terhadap ruang dan waktu dapat terjadi melalui beragam eksperimen dan teori, mulai dari fisika Newtonian yang menekankan sifat absolut, hingga relativitas dan mekanika kuantum yang mengungkap kelengkungan ruang waktu serta sifatnya yang tidak terpisahkan.
Dalam Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, Isaac Newton (1687) memperkenalkan pandangan bahwa ruang bersifat mutlak (absolute space) dan waktu mengalir sama untuk semua pengamat (absolute time). Ruang dianggap sebagai “panggung universal” yang tidak terpengaruh oleh keberadaan benda di dalamnya, sedangkan waktu dipandang universal. Pendekatan ini dianggap berhasil menjelaskan gerak planet dalam tata surya, jatuhnya benda, dan dinamika partikel berkecepatan rendah (Goldstein, 1950).
Tak dapat dipungkiri bahwa hukum gerak Newton memang dapat terbukti akurat pada skala kecepatan jauh di bawah kecepatan cahaya. Sementara pada eksperimen balistik sederhana (peluru, gerak planet) semua dapat dijelaskan dengan asumsi ruang-waktu Newtonian.
Menjelang akhir abad ke-19, para fisikawan berusaha menemukan “eter” sebagai medium perambatan cahaya. Eksperimen Michelson-Morley (1887), yang memanfaatkan interferometer untuk membandingkan kecepatan cahaya dalam arah yang berbeda, gagal mendeteksi “angin eter” (Michelson & Morley, 1887). Kegagalan ini memicu revisi besar-besaran tentang konsep ruang dan waktu mutlak, membuka jalan bagi lahirnya teori relativitas.
Pada 1905, Albert Einstein merumuskan dua postulat dalam tulisannya “Zur Elektrodynamik bewegter Körper” (Annalen der Physik, Einstein, 1905):
1. Keseragaman Hukum Fisika: Segala hukum fisika memiliki bentuk yang sama di semua kerangka acuan inersial.
2. Kecepatan Cahaya Konstan: Kecepatan cahaya di ruang hampa adalah konstan, terlepas dari gerak sumber atau pengamat.
Dari sinilah muncul gagasan bahwa waktu tidak lagi universal, melainkan bergantung pada kondisi gerak pengamat. Implikasi teori yang dilahirkan dari postulat di atas, relativitas khusus, antara lain adalah adanya konsep Dilatasi Waktu. Di mana semakin cepat seseorang bergerak, semakin lambat arus waktu relatifnya dibanding pengamat diam (Taylor & Wheeler, 1966). Juga Kontraksi Panjang, di mana benda yang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya akan tampak “memendek” di sepanjang arah geraknya.
Seperti kenangan yang seolah tak peduli dengan waktu yang berjalan, meski pada kenyataan perubahan adalah sesuatu yang tak terelakkan. Demikian pula pada kunjungan saya kali ini, saat saya menjumpai 2 Tante saya yang kini semakin menua dengan perubahan yang menjadi keniscayaan. Tapi dalam kenangan mereka tetaplah dua sosok yang sama. Sosok yang selalu penuh cinta, perhatian, dan kehangatan yang menghadirkan kedamaian. Mereka berdua lah yang dulu mendampingi saya mulai dari masuk FK sampai mengawali proses berumah tangga dengan seorang anak gadis pujaan.
Meski tentu saja, sains punya cara lain yang secara makna tak berbeda, saat bicara tentang relatifnya pengalaman menelusuri waktu dalam ruang. Hermann Minkowski (1908) menunjukkan bahwa cara terbaik memahami relativitas khusus adalah menyatukan ruang (tiga dimensi) dan waktu (satu dimensi) ke dalam ruang waktu (empat dimensi). Formulasi Minkowski berkontribusi signifikan dalam memudahkan analisis relativistik dan menjadi fondasi bagi teori relativitas umum.
• Kecepatan cahaya di ruang hampa terukur konsisten ~3 x 10^8 m/s (NIST, 2018).
• Partikel berenergi tinggi di laboratorium fisika partikel (seperti di CERN) menunjukkan efek dilatasi waktu yang terukur dengan jam atomik (Griffiths, 2008).
Pada 1915, Einstein menggeneralisasi relativitas khusus untuk mencakup gravitasi. Dalam relativitas umum, gravitasi bukanlah gaya tarik-menarik seperti pandangan Newton, melainkan konsekuensi kelengkungan ruang waktu yang diinduksi oleh massa-energi (Einstein, 1915). Dimana persamaan medan Einstein adalah sebagai berikut:
G{μν} = (8πG / c⁴) T{μν},
yang mengaitkan geometri ruang waktu (G{μν}) dengan distribusi massa-energi (T{μν}) (Wald, 1984).
Pembuktian secara empiris terhadap teori tersebut dapat dilihat pada;
• Observasi LIGO terhadap gelombang gravitasi (2015) menunjukkan perbedaan panjang lintasan detektor sebesar ~10^-19 meter, sesuai teori (Abbott et al., 2016).
• Pengukuran lensa gravitasi pada gugus galaksi menegaskan kelengkungan ruang waktu skala besar (Refsdal, 1964).
Lalu dari apakah gerangan ruang dan waktu serta materi di dalamnya tersusun? Juga terbuat dari apakah memori di benak kita ini? Di dunia dengan skala sub atomik, mekanika kuantum mengungkap dualitas gelombang-partikel. Persamaan Schrödinger atau formalisme matriks (Heisenberg) memodelkan probabilitas keberadaan partikel. Ruang dan waktu dalam mekanika kuantum masih “klasik” (flat spacetime), tetapi fenomena mikro seperti superposisi dan ketidakpastian sangat berbeda dari fisika klasik (Dirac, 1930).
Teori medan kuantum (QFT) memandang partikel sebagai eksitasi dari medan fundamental yang meresap di ruangwaktu (Peskin & Schroeder, 1995). Setiap jenis partikel terkait dengan jenis medan tertentu, misalnya medan elektron atau medan quark. Namun, efek gravitasi kerap diabaikan karena masih belum ada teori gravitasi kuantum yang komplet.
Efek Casimir menunjukkan adanya gaya antara dua pelat logam yang sangat berdekatan karena fluktuasi medan vakum (Sparnaay, Nature, 1958).
Mekanika kuantum terbukti akurat dalam memprediksi struktur atom, sifat kimia, dan reaksi nuklir dengan ketelitian tinggi (Weinberg, 1995).
Menggabungkan relativitas umum dengan data pengamatan kosmik melahirkan model Friedmann–Lemaître–Robertson–Walker (FLRW). Model ini memprediksi alam semesta berekspansi dari keadaan awal yang sangat padat dan panas (Big Bang). Hubble (1929) menemukan bahwa galaksi-galaksi menjauh sesuai laju ekspansi yang kemudian dikenal sebagai Hubble’s Law, sementara pengamatan radiasi latar mikro kosmik (Penzias & Wilson, 1965) menegaskan skenario Big Bang (Peebles, 1993).
Nilai konstanta Hubble (H_0) terkini diperkirakan sekitar 67–74 km/s/Mpc tergantung metode pengukuran (Freedman et al., Astrophysical Journal, 2020).
Radiasi latar mikro kosmik memiliki temperatur rata-rata sekitar 2,725 K (COBE, 1992; WMAP, 2003; Planck, 2018).
Pada skala besar, alam semesta tampak homogen dan isotropik. Namun, fluktuasi kepadatan pada tahap awal alam semesta menjadi benih pembentukan galaksi dan kluster galaksi. Survei besar seperti Sloan Digital Sky Survey (SDSS) memetakan distribusi galaksi untuk memahami evolusi struktur semesta (Tegmark et al., Physical Review D, 2004).
Pada skala kecil atau mikrokosmos, semesta ini berdegup pada jaringan syaraf yang menghadirkan aneka fungsi, mulai dari kognisi sampai konasi dan kemampuan untuk berempati. Ada fungsi default mode nenetwordan salience networkbyang melandasi setiap keputusan yang diambil oleh executive function yang dikenal sebagai fungsi luhur di area prefrontal korteks otak. Dari sanalah lahir persepsi, juga imajinasi yang pada gilirannya akan menghadirkan semua teori yang dikutip dalam tulisan ini.
Meskipun demikian kerasnya otak para ahli bekerja, ada imajinasi mereka dan juga kitab yang masih memerlukan banyak upaya dalam mengkonstruksi kasunyatan yang konsepnya nyata, tapi di luar kuasa kendali kita. Contohnya, meski relativitas umum sangat berhasil di skala makroskopik dan QFT cemerlang di skala mikroskopik, keduanya belum tersatukan dalam satu format “teori segalanya”, Theory of Everything. Upaya untuk menggabungkan gravitasi dengan mekanika kuantum dari superstring hingga loop quantum gravity, masih terus berlangsung (Rovelli, 1998), dan dalam skala Planck (~10^-35 meter), ruang waktu diduga tidak lagi halus mulus , melainkan seolah “berbusa” (space-time foam). Di dalam bubble-bubble itulah mungkin terjadi banyak anomali dan peristiwa, seperti sensasi subjektif, waktu yang terasa berlalu begitu cepat di saat kita bahagia bersama, atau waktu yang seolah melambat di saat kita merasa tertekan dalam ujian yang berat.
• Spekulasi “partikel virtual” dan fluktuasi kuantum vakum diduga kian signifikan di energi sangat tinggi (~10^19 GeV) (Peskin & Schroeder, 1995).
• Observasi Hawking Radiation pada lubang hitam mikro (hipotetis) atau analog di laboratorium tetap menjadi kajian intensif (Hawking, 1974; Nation et al., Reviews of Modern Physics, 2012).
Lalu bagi kita yang mungkin tak membutuhkan aneka rupa penjelasan fisika yang membuat pening kepala, apa wahana yang paling tepat untuk memahami dan menjalani waktu? Bagi saya mungkin jawabannya sederhana, CINTA. Cinta juga yang pada akhirnya meski membutuhkan ruang, tak dapat dijauhkan oleh ruang. Sebagaimana apa yang terjadi kemarin di ballroom hotel Grasia, cinta yang terpaut jarak dan usia seiring waktu, terbukti masih mampu menautkan kehadiran kenangan yang tersimpan dan bersemayam di sebuah dimensi yang tak tersentuh hukum-hukum materi; HATI
Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya Illahi
Bahan Belajar Lanjutan
1. Abbott, B. P., et al. (LIGO Scientific Collaboration and Virgo Collaboration). 2016. “Observation of Gravitational Waves from a Binary Black Hole Merger”. Physical Review Letters, 116(6).
2. Dirac, P. A. M. (1930). The Principles of Quantum Mechanics. Clarendon Press, Oxford.
3. Einstein, A. (1905). “Zur Elektrodynamik bewegter Körper”. Annalen der Physik, 17.
4. Einstein, A. (1915). “Die Feldgleichungen der Gravitation”. Sitzungsberichte der Preussischen Akademie der Wissenschaften.
5. Goldstein, H. (1950). Classical Mechanics. Addison-Wesley.
6. Hawking, S. W. (1974). “Black Hole Explosions?”. Nature, 248(5443).
7. Michelson, A. A. & Morley, E. W. (1887). “On the Relative Motion of the Earth and the Luminiferous Ether”. American Journal of Science, 34.
8. Peebles, P. J. E. (1993). Principles of Physical Cosmology. Princeton University Press.
9. Peskin, M. E. & Schroeder, D. V. (1995). An Introduction to Quantum Field Theory. Addison-Wesley.
10. Taylor, E. F. & Wheeler, J. A. (1966). Spacetime Physics. W. H. Freeman & Co.
11. Wald, R. M. (1984). General Relativity. University of Chicago Press.