Sel Punca dan Dr Chitra
Tadi pagi sebelum berangkat ke stasiun Bandung untuk menjalankan tugas, seperti biasa sambil sarapan kecil-kecilan, yang kali ini menunya terdiri dari separuh buah Alpukat (Persea americana) yang kaya akan kandungan vitamin K, B5, B6, Folat, dan mineral seperti kalium, magnesium, zink, dan besi, serta asam lemak tidak jenuh yang sehat, serta nasi Tempura sisa jajan semalam, saya berselancar di dunia maya, di kanal You Tube tepatnya. Tak lama saya jumpa dengan tayangan Om Deddy Corbuzier yang channel Close the Door nya memiliki subscriber 23,8 juta manusia, lebih banyak warganya dibandingkan Taiwan yang hanya 23.571.497. Om Ded memang sudah selayaknya punya peran sekaliber seorang kepala negara.
Nah dalam tayangan kali ini saya lihat Om Ded emosi berat, dan kesal terhadap dokter-dokter yang membuat kegaduhan di dunia media sosial. Saya sih tidak begitu tertarik dengan substansi pemicu ributnya, tapi saya tertarik dengan statement Om Ded soal kurangnya literasi masyarakat Indonesia terkait berbagai perkembangan sains dan teknologi terkini, termasuk di bidang kesehatan. Sehingga masih menyitir pernyataan Om Ded yang diutarakan secara menggebu-gebu itu, masyarakat jadi mudah diperdaya dan mau menjadi konsumen dari berbagai komoditas kesehatan yang overclaim dan sulit untuk dibuktikan kemanjuran atau efikasinya. Karena tampaknya memang bukan produk yang merupakan hasil penelitan yang dilakukan secara bermetodologi dan memenuhi kaidah akademik. Contoh dari Om Ded, misalnya adalah stem cell buah atau hewan yang diaplikasikan pada manusia.
Sampai sejauh itu, sebagai seorang yang pernah belajar ilmu Biomedik dan imunologi, termasuk di dalamnya mempelajari sel punca (stem cell) dan kedokteran regeneratif, saya dapat menerima keberatan Om Ded yang memang cukup beralasan.
Padahal di Indonesia sebenarnya sudah cukup banyak lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang melakukan penelitian cukup mendalam tentang sel punca. Sebagian hasil penelitian merekapun telah banyak dipublikasi di jurnal ilmiah bereputasi. Bahkan tak kurang pula lembaga atau entitas industri farmasi dan bioteknologi dalam negeri yang telah berkutat dengan produk-produk inovasi terkait kedokteran regenerasi, termasuk stem cell. Sebut saja ProStem dari grup Prodia, atapun Regenic yang terasosiasi dengan Kalbe Farma yang bahkan telah mengembangkan pula Stem Cell and Cancer Institute. Di Indonesia telah berdiri pula asosiasi profesi yang menghimpun para dokter ahli di bidang ini; Rejaselindo.
Salah satu dokter yang mendalami dan berfokus pada terapi sel regenerasi ini, adalah dr Chitra Oktavia, alumnus program Magister Penuaan Kulit dan Estetika Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha. Secara personal memang saya cukup mengenal sosok dr. Chitra ini, termasuk sedikit banyak saya mengikuti berbagai proses penelitian yang beliau kerjakan dalam rangka memenuhi kewajiban untuk penyelesaian program magisternya. Juga tak perlu saya rahasiakan di sini, sayapun pernah mendapatkan terapi sekretom/eksosom di klinik beliau, untuk mengelola suatu kondisi medis yang ternyata cukup efektif diatasi dengan metoda terapi tersebut.
Singkat cerita, dari berbagai diskusi dengan dokter Chitra, saya jadi ingin sedikit ikut bebagi informasi agar kita semua dapat lebih terliterasi. Agar Om Ded juga tidak terus terhanyut dalam emosi, dan tentu saja agar masyarakat Indonesia yang cerdas pada gilirannya juga akan mendorong para peneliti dan cendekianya lebih inovatif lagi dalam menghadirkan berbagai kreasi ilmiah yang dapat menjadi jalan pembuka bagi hadirnya berbagai solusi bagi beraneka masalah bangsa.
Tak dapat dipungkiri bahwa sel punca (stem cells) merupakan salah satu inovasi terpenting dalam bidang kedokteran regeneratif. Kemampuan sel punca untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel menjadikannya sangat potensial dalam terapi berbagai penyakit degeneratif, cedera, hingga gangguan inflamasi kronis.
Selain berperan dalam regenerasi jaringan, sel punca juga menghasilkan sekretor (secretome) yang mengandung molekul-molekul bioaktif seperti eksosom, sitokin antiradang, dan faktor pertumbuhan yang berperan dalam modulator peradangan (imunomodulasi).
Penelitian mengenai sel punca berawal dari studi di bidang hematologi pada pertengahan abad ke-20, terutama dalam konteks transplantasi sumsum tulang untuk mengobati leukemia. Pada era 1960-an, Till & McCulloch (1961) berhasil mengidentifikasi populasi sel dengan kapasitas memperbarui diri (self-renewal) dan berdiferensiasi menjadi berbagai sel darah. Inilah tonggak awal konsep sel punca.
Sel Punca Embrionik (Embryonic Stem Cells, ESCs) ditemukan pertama kali pada embrio hewan pengerat pada tahun 1981 (Evans & Kaufman, 1981). Pada manusia, jejak sejarah penting terjadi ketika Thomson dkk. (1998) berhasil mengisolasi sel punca embrionik manusia dari blastokista.
Sementara istilah sel punca dewasa (Adult Stem Cells) mengemuka setelah ditemukannya populasi sel hematopoietik di sumsum tulang yang dapat memproduksi semua jenis sel darah, yang disebut Hematopoietic Stem Cells (HSCs). Penemuan lain adalah Mesenchymal Stem Cells (MSCs) dari sumsum tulang (Friedenstein dkk., 1976). Lalu ada penemuan sel punca pluripoten tereduksi (iPSCs – Induced Pluripotent Stem Cells) pada tahun 2006, dimana Takahashi & Yamanaka (2006) memperkenalkan pendekatan reprogramming dengan 4 faktor transkripsi (Oct4, Sox2, Klf4, c-Myc) yang dapat mengubah sel somatik menjadi sel mirip ESC (iPSC).
Dari penemuan melalui serangkaian penelitian di atas, maka kini kita mengenal berbagai jenis sel punca sebagai berikut;
Sel Punca Embrionik (ESCs) yang bersumber dari inner cell mass (ICM) blastokista. Bersifat pluripoten, artinya mampu berdiferensiasi menjadi hampir seluruh jenis sel dalam tubuh. Penggunaannya dibatasi oleh isu etika dan perizinan.
Lalu ada Sel Punca Dewasa (Adult Stem Cells) yang dapat ditemukan pada berbagai jaringan tubuh dewasa (sumsum tulang, jaringan lemak, hati, kulit, dll.). Contohnya Hematopoietic Stem Cells (HSCs) dan Mesenchymal Stem Cells (MSCs). Bersifat multipoten, mampu berdiferensiasi menjadi beberapa jenis sel tertentu. Meski minim isu etika, tapi kapasitas diferensiasinya terbatas jika dibanding ESCs.
Selanjutnya ada Sel Punca Induced Pluripotent (iPSCs) yang dihasilkan dari sel somatik (misalnya fibroblas kulit) yang direprogram dengan faktor transkripsi tertentu. Bersifat pluripoten seperti ESCs, namun tanpa isu etika penggunaan embrio.
Jenis sel punca ini berpotensi besar untuk digunakan sebagai bagian dari terapi personal (personalized medicine).
Untuk mengelola dan mengolah berbagai jenis sel Punca dari berbagai jenis sumber, dibutuhkan suatu teknologi yang cukup kompleks. Dibutuhkan laboratorium khusus dengan kriteria Good Manufacturing Practice, GMP, dengan kendali sterilitas ketat. Dibutuhkan pula bioreaktor berskala besar yang bisa digunakan untuk memperbanyak sel punca dengan menjaga kondisi mikro yang optimal (pH, suhu, oksigen, nutrien).
Selain itu diperlukan teknologi sortir dan pemurnian sel dengan metoda flow cytometry (FACS) atau magnetic-activated cell sorting (MACS) untuk memurnikan sel punca berdasarkan penanda permukaan sel (mis. CD34 untuk HSCs, CD73/CD90/CD105 untuk MSCs).
Diperlukan pula metoda berbasis bioteknologi untuk melakukan cell reprogramming untuk menghasilkan iPSCs. Di mana dibutuhkan teknik transduksi (lentivirus, retrovirus) atau teknik bebas vektor (plasmid, protein). Pendekatan gene editing dengan CRISPR-Cas9 dapat digunakan untuk modifikasi genetik sel punca.
Selanjutnya diperlukan analisis molekuler dan karakterisasi untuk pengecekan ekspresi gen pluripotensi (Oct4, Nanog, Sox2) pada ESCs/iPSCs, dan pengecekan penanda mesenkimal (CD73, CD90, CD105) dan ketiadaan penanda hematopoietik (CD34, CD45) pada MSCs.
Adapun di tingkat implementasi, aplikasi medis sel punca, antara lain dapat dimanfaatkan untuk;
1. Terapi Regeneratif pada Cedera dan Penyakit Degeneratif
Cedera tulang dan tulang rawan: MSCs dari sumsum tulang atau jaringan lemak dapat digunakan untuk meregenerasi tulang (Meng dkk., Biomaterials, 2020).
Penyakit kardiovaskuler: Transplantasi sel punca kardiak (cardiac progenitor cells) atau MSCs terbukti efektif untuk memperbaiki jaringan pasca infark miokard (Sluijter dkk., Nature Reviews Cardiology, 2018).
Penyakit saraf degeneratif: iPSCs adalah pilihan interfensi yang tepat untuk model penyakit sejenia Parkinson, Alzheimer, dan berbagai penyakit lain yang memerlukan aktivasi potensi diferensiasi sel untuk menjadi sel syaraf (Takahashi & Yamanaka, Cell, 2006).
2. Transplantasi Sel Darah
Hematopoietic Stem Cell Transplantation (HSCT) dapat menjadi terapi standar untuk leukemia, limfoma, dan talasemia.
3. Terapi Autoimun dan Antiradang
MSCs dikenal memiliki sifat imunomodulasi dan antiradang dengan menekan aktivasi sel T dan sel B (Le Blanc & Mougiakakos, Nature Reviews Immunology, 2012).
4. Penerapan iPSCs dalam Kedokteran Personalisasi
Pengujian penerapan iPSC untuk mengatasi penyakit spesifik pada pasien, yang disertai uji toksisitas obat, hingga pengembangan terapi berbasis gen saat ini tengah gencar dikerjakan (Liu dkk., Stem Cell Research & Therapy, 2020).
Selain kemampuan regeneratif, sel punca terutama dari jenis MSCs, memiliki kemampuan untuk mengelola respon peradangan (inflamasi) melalui proses sekresi beberapa sitokin anti radang.
Sebagai gambaran MSCs dapat melepaskan interleukin-10 (IL-10), TGF-β (transforming growth factor-beta), dan prostaglandin E2 (PGE2) yang dapat menekan aktivasi sel T (Uccelli dkk., Nature Reviews Immunology, 2008).
Selain itu sel punca dapat mensekresi faktor pertumbuhan seperti Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Hepatocyte Growth Factor (HGF), dan Insulin-like Growth Factor (IGF-1) yang dapat merangsang regenerasi jaringan dan angiogenesis (Caplan & Correa, Stem Cells Translational Medicine, 2011).
MSCs juga memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan sel imun (makrofag, sel T, sel NK) dan memodulasi profil sitokin untuk menurunkan inflamasi kronis (Bernardo & Fibbe, Blood, 2013).
Sementara itu peradangan kronis yang dapat terjadu pada beberapa kondisi degeneratif, merupakan respon inflamasi yang berlangsung kronis (dengan waktu minggu hingga bertahun-tahun). Berbagai kondisi degeneratif, seperti osteoartritis, aterosklerosis, diabetes tipe 2, serta penyakit autoimun, kerap kali diawali atau diperburuk oleh peradangan kronis. Penyebab terjadinya peradangan kronis itu antara lain adalah;
1. Stres Oksidatif dan Kerusakan Sel yang Berkepanjangan
Radikal bebas dan ROS (Reactive Oxygen Species) menimbulkan kerusakan jaringan yang memicu pelepasan mediator inflamasi. Untuk selanjutnya akan terjadi suatu rantai kerusakan jaringan dan pembentukan radikal baru. Radikal bebas, seperti superoksida (O₂•⁻) dan radikal hidroksil (•OH), adalah molekul dengan elektron tidak berpasangan, membuatnya sangat reaktif. Mereka menyerang hampir setiap struktur biologis dalam tubuh. Maka reaksi kerusakan jaringan dan radang akan terus berlanjut dan menimbulkan berbagai dampak.
Salah satu dampak terbesar adalah peroksidasi lipid, di mana membran sel menjadi target utama. Berikut mekanismenya:
1. _Inisiasi:_
LH + •OH → L• + H₂O
2. _Propagasi:_
L• + O₂ → LOO•
LOO• + LH → LOOH + L•
3. _Terminasi:_
LOO• + L• → Produk stabil
Proses ini menghancurkan integritas membran sel, menyebabkan kematian sel. Radikal bebas juga menyerang DNA, menghasilkan mutasi genetik:
DNA + •OH → DNA• + produk denaturasi
Molekul proteinpun tidak luput dari serangan radikal bebas. Gugus tiol pada protein bisa teroksidasi, menyebabkan denaturasi:
Protein-SH + •OH → Protein-S• + H₂O
Akibatnya, berbagai sistem tubuh mulai mengalami kemunduran fungsi dan berkurang kapasitasnya, misal di otak, stres oksidatif dapat memicu penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer. Sementara di sistem kardiovaskuler, peroksidasi lipid dapat meningkatkan risiko aterosklerosis. Di jaringan kulit:, kolagen dan elastin dapat rusak, dan mempercepat penuaan.
Untuk mengelola potensi ancaman ini, tubuh memiliki mekanisme alami untuk melawan radikal bebas. *Superoksida dismutase* (SOD), misalnya, mampu mengubah superoksida menjadi hidrogen peroksida:
2O₂•⁻ + 2H⁺ → H₂O₂ + O₂
Namun, hidrogen peroksida sendiri bersifat toksik. Enzim seperti *katalase* (CAT) dan *glutathione peroxidase* (GPx) bekerja menguraikannya:
Katalase:
2H₂O₂ → 2H₂O + O₂
_Glutathione peroxidase:_
H₂O₂ + 2GSH → 2H₂O + GSSG
Melalui reaksi ini, tubuh menjaga keseimbangan oksidatif, melindungi DNA, membran sel, dan protein dari kerusakan. Namun, pada kondisi tertentu, seperti penuaan atau penyakit kronis, kapasitas antioksidan ini tidak cukup memadai untuk berkompetisi dengan kuantitas radikal bebas yang meningkat secara eksponensial.
2. Disfungsi Metabolik
Penumpukan jaringan adiposa yang menghasilkan adipokin (leptin, resistin) dan sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-6, pada gilirannya akan mendorong proses radang menjadi berkelanjutan.
3. Stimuli Infeksi Persisten
Infeksi mikroba yang tidak teratasi dengan tuntas (mis. H. pylori, virus hepatitis), pada gilirannya akan memicu respon imun yang menetap.
4. Kondisi Autoimun
Respons imun yang salah sasaran dalam konteks hipersensitivitas (mis. rheumatoid arthritis) mengakibatkan pelepasan sitokin pro-inflamasi kronik (TNF-α, IL-1β, IL-6) juga MCP-1 (Monocyte Chemotactic Protein-1 dan chemokine lainnya seperti CCL2, dan CXCL8/IL-8,
yang akan menginisiasi terjadinya radang kronis.
Peran eksosom atau secretome dari sel punca dalam Mengatasi peradangan kronis banyak diperankan oleh kandungan faktor pertumbuhan dan sitokin yang terdapat di dalamnya.
Hasil penelitian terkinj menunjukkan bahwa memang selain sel punca itu sendiri, komponen secretome-nya, khususnya eksosom (exosomes), berperan penting sebagai agen terapi. Eksosom sendiri adalah vesikel berdiameter 30–150 nm yang dilepaskan oleh sel, membawa protein, miRNA, dan lipid tertentu (Théry dkk., Nature Reviews Immunology, 2009).
Eksosom dari MSCs mengandung miRNA antiradang (mis. miR-146a, miR-155) yang dapat mempengaruhi transkrip gen pro-inflamasi pada sel target (Bruno dkk., Stem Cells Translational Medicine, 2012). Eksosom juga membawa TGF-β, HGF, dan IL-10 yang dapat menekan sinyal inflamasi di sel imun (Lai dkk., Biotechnology Advances, 2013). Hingga sekretom atau eksosom dapat menjadi salah satu terapi alternatif yang rasional dalam tata kelola berbagai penyakit degeneratif. Terlebih kandungan miRNA/protein dalam eksosom dapat dirancang (engineered) untuk menargetkan sel atau jaringan tertentu (Rani & Ritter, Translational Research, 2016), sehingga ekososom pun dapat digunakan sebagai agen utama terapi tertarget (targeted therapy).
Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sekretom atau eksosom memiliki prospek yang sangat baik sebagai agen terapi regeneratif. Penelitian awal uji klinis eksosom MSCs untuk mengatasi cedera ginjal akut (acute kidney injury) menunjukkan hasil yang cukup menjanjikan (Gatti dkk., Journal of the American Society of Nephrology, 2011). Demikian pula studi pada model hewan artritis reumatoid juga menunjukkan efek terapeutik yang baik dari eksosom MSCs, yang ditunjukkan dengan adanya penurunan intensitas sinovitis dan peradangan sendi (Cosenza dkk., Arthritis Research & Therapy, 2016).
Nah karena tampaknya energi dari hasil sarapan alpukat saya sudah mulai habis dan saya mulai keroncongan, maka sebelum saya tinggal makan siang, saya ingin menghimbau Om Ded, “tidak usah khawatir Om Ded, selain segelintir dokter yang anda tengarai senang membuat kegaduhan dengan motifnya masing-masing itu, masih banyak kok dokter dan peneliti Indonesia yang berdedikasi tinggi dan berhati mulia seperti dr Chitra.”
Jadi begitu dulu ya, saya perlu tambahan energi agar sistem hematopoietik saya mampu menghasilkan sel-sel punca di sistem hematologi saya. 🙏🏾🙏🏾🙏🏾
Daftar Rujukan
1. Till, J.E. & McCulloch, E.A. (1961). A direct measurement of the radiation sensitivity of normal mouse bone marrow cells. Radiation Research, 14(2), 213–222.
2. Evans, M.J. & Kaufman, M.H. (1981). Establishment in culture of pluripotential cells from mouse embryos. Nature, 292(5819), 154–156.
3. Thomson, J.A., Itskovitz-Eldor, J., Shapiro, S.S., dkk. (1998). Embryonic stem cell lines derived from human blastocysts. Science, 282(5391), 1145–1147.
4. Friedenstein, A.J., Chailakhjan, R.K., & Lalykina, K.S. (1976). The development of fibroblast colonies in monolayer cultures of guinea-pig bone marrow and spleen cells. Cell and Tissue Kinetics, 3(4), 393–403.
5. Takahashi, K. & Yamanaka, S. (2006). Induction of pluripotent stem cells from mouse embryonic and adult fibroblast cultures by defined factors. Cell, 126(4), 663–676.
6. Le Blanc, K. & Mougiakakos, D. (2012). Multipotent mesenchymal stromal cells and the innate immune system. Nature Reviews Immunology, 12(5), 383–396.
7. Bernardo, M.E. & Fibbe, W.E. (2013). Mesenchymal stromal cells: sensors and switchers of inflammation. Cell Stem Cell, 13(4), 392–402.
8. Théry, C., Ostrowski, M., & Segura, E. (2009). Membrane vesicles as conveyors of immune responses. Nature Reviews Immunology, 9(8), 581–593.
9. Bruno, S., Grange, C., Deregibus, M.C., dkk. (2012). Mesenchymal stem cell-derived microvesicles protect against acute tubular injury. Journal of the American Society of Nephrology, 20(5), 1053–1067.
10. Lai, R.C., Yeo, R.W., Tan, K.H., & Lim, S.K. (2013). Mesenchymal stem cell exosome: a novel stem cell-based therapy for cardiovascular disease. Regenerative Medicine, 8(2), 197–206.
11. Rani, S. & Ritter, T. (2016). The exosome – A naturally secreted nanoparticle and its application to wound healing. Advanced Materials, 28(27), 5542–5552.
12. Gatti, S., Bruno, S., Deregibus, M.C., dkk. (2011). Microvesicles derived from human adult mesenchymal stem cells protect against ischaemia-reperfusion-induced acute and chronic kidney injury. Nephrology Dialysis Transplantation, 26(5), 1474–1483.
13. Cosenza, S., Ruiz, M., Toupet, K., dkk. (2016). Mesenchymal stem cells derived exosomes and microparticles protect cartilage and bone from degradation in osteoarthritis. Arthritis Research & Therapy, 19, 35.
14. Caplan, A.I. & Correa, D. (2011). The MSC: an injury drugstore. Cell Stem Cell, 9(1), 11–15.
15. Sluijter, J.P.G., Verhage, V., Deddens, J.C., dkk. (2018). Microvesicles and exosomes for intracardiac communication. Cardiovascular Research, 114(12), 1633–1646.