Tauhid Nur Azhar

SILSafe 4000, Track-Mod, dan Smart Rail; Meningkatkan Tingkat Keselamatan Perkeretapian Kita

Pagi ini diskusi di salah satu grup WA yang bertajuk Rumah Peradaban Cihampelas no 36 atau yang akronimnya RPC 36 diawali oleh suatu pertanyaan menggelitik dari seorang anggota grup, yang juga broadcaster senior Indonesia, Mas Gilang Pambudi dari Delta-Prambors grup.

Pertanyaan itu terkait dengan suatu tragedi kecelakaan kereta api di Bintaro pada tahun 1987 silam. “Mengapa dua kereta api yang berjalan perlahan, sekitar 35 km/jam, ketika bertubrukan dapat menimbulkan korban jiwa yang sedemikian besar?” Demikian tanyanya, terkait suatu informasi sejarah yang baru beliau baca kembali. Jumlah korban yang mencapai 156 orang memang sangat memprihatinkan, terlebih jika kita dulu sempat memperhatikan berbagai pemberitaan tentang tragedi tersebut, dimana kondisi para korban yang terjepit rangkaian sangatlah mengenaskan.

Belum lama ini, dan masih segar di ingatan kita, pernah pula terjadi suatu kecelakaan kereta api di petak antara stasiun Haur Pugur dengan Cicalengka. Menyitir dari resume laporan akhir investigasi kecelakaan kereta api oleh KNKT, diinformasikan sedemikian rupa, sebagaimana di bawah ini;

Pada hari Jumat tanggal 5 Januari 2024, terjadi kecelakaan tabrakan antara KA 350 CL Bandung Raya dengan KA 65A Turangga di Km 181+700 petak jalan antara St. Cicalengka – St. Haurpugur, Daop 2 Bandung.

Kronologi kecelakaan berawal saat KA 350 CL Bandung Raya berangkat dari St. Rancaekek menuju St. Haurpugur pada pukul 05.41 WIB tanggal 5 Januari 2024. Pada pukul 05.46 WIB, terdapat KA 65A Turangga melintas langsung St. Nagreg menuju St. CicaIengka.

Pada pukul 05.51 WIB, KA 350 CL Bandung Raya datang dan berhenti di Jalur II St. Haurpugur dan kemudian diberangkatkan kembali pukul 05.56 WIB ke St. CicaIengka.

Pukul 05.59 WIB, KA 65A Turangga melintas langsung St. Cicalengka menuju St. Haurpugur. Kemudian terjadi tabrakan antara KA 350 CL Bandung Raya dengan KA 65A Turangga di Km 181+700 petak jalan St. Cicalengka – St. Haurpugur.

Sementara pada kejadian yang melatar belakangi pertanyaan Mas Gilang Pambudi di atas, hasil investigasinya menunjukkan bahwa kecelakaan kereta api Bintaro pada 19 Oktober 1987 antara lain disebabkan oleh adanya kelalaian petugas di Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) stasiun Sudimara yang memberikan sinyal aman untuk kereta api dari arah Rangkasbitung, padahal tidak ada pernyataan/ warta aman dari Stasiun Kebayoran. Akibatnya salah satu kereta tidak berhenti sesuai dengan jadwal dan jarak aman yang telah ditentukan
Kecelakaan ini terjadi antara Kereta Api (KA) 225 Merak dan KA 220 Rangkas yang bertabrakan dengan posisi adu banteng atau adu Bagong.

Akibatnya, 156 orang meninggal dunia, dan ratusan lainnya mengalami luka-luka.
Setelah kecelakaan ini, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) memberikan beberapa rekomendasi untuk mencegah kecelakaan serupa, di antaranya;
– Memperbaiki sistem persinyalan dari mekanik ke sistem digital
– Mereview Standard Operating Procedure (SOP) PJKA (sekarang KAI)

Sebenarnya kasus Adu Bagong sebagaimana yang terjadi pada tragedi Bintaro ataupun Haur Pugur dapat dicegah jika sistem persinyalan dan wesel sudah sepenuhnya mengadopsi sistem interlocking.

Dimana sistem interlocking adalah mekanisme pengamanan (safety system) pada sistem persinyalan dan pengendalian perjalanan kereta api yang memastikan tidak terjadi pergerakan kereta api yang saling bertentangan (conflicting movements). Melalui interlocking, jalur rel (track), wesel (switch), dan sinyal saling “terkunci” (interlocked) secara logis maupun fisik sehingga hanya satu rangkaian perjalanan (route) yang dapat diaktifkan di waktu tertentu. Hal ini diharapkan dapat meminimalkan risiko kecelakaan seperti tabrakan atau anjlokan karena kesalahan pengaturan rute.

Konsep Dasar Sistem Interlocking adalah sebagai berikut;

1. Menghindari Konflik Rute

Interlocking akan “mengunci” wesel dan sinyal pada konfigurasi tertentu saat rute kereta disiapkan.

Sinyal tidak bisa menampilkan aspek “aman/jalan” (proceed) jika ada wesel yang belum berada di posisi benar atau jika terdapat jalur lain yang berpotensi konflik.

2. Proteksi Otomatis

Begitu rute ditetapkan, sistem interlocking mencegah operator/PPKA mengubah posisi wesel atau sinyal yang sedang dipakai oleh rangkaian kereta.

Hanya setelah rangkaian melewati titik-titik kritis (seperti wesel atau sinyal blok berikutnya), kuncian dapat “dilepas” untuk konfigurasi perjalanan lain.

3. Integrasi dengan Sistem Persinyalan

Interlocking terhubung dengan panel kendali (di stasiun atau pusat kontrol), sinyal di lapangan, detektor posisi wesel, dan terkadang dengan sensor deteksi rangkaian (track circuit atau axle counter).

Saat operator menetapkan rute, sistem interlocking akan memeriksa status jalur (apakah bebas atau masih ada kereta lain), posisi wesel, serta sinyal-sinyal terkait.

Adapun jenis Interlocking yang telah dikembangkan dalam teknologi perkeretapian, antara lain adalah sebagai berikut;

1. Interlocking Mekanis (Mechanical Interlocking)

Menggunakan tuas mekanis (lever) yang saling terhubung dengan batang penggerak (rodding) dan kunci fisik. Saat satu tuas tertentu diaktifkan (misalnya tuas wesel), tuas lainnya yang berpotensi menimbulkan konflik akan “terkunci” tidak dapat digerakkan.

Banyak ditemui pada stasiun-stasiun lama di Indonesia yang belum terdigitalisasi. Termasuk yang terintegrasi dengan sistem persinyalan mekanik seperti sinyal Krian.

2. Interlocking Elektromekanis (Electro-Mechanical Interlocking)

Masih menggunakan prinsip tuas, namun didukung rangkaian listrik sederhana (relay, solenoid) untuk memastikan kuncian tertentu dan menggerakkan sinyal. Sistem ini dapat meningkatkan efisiensi dan memperkecil jarak fisik sistem kendali dan wesel/sinyal.

3. Interlocking Elektrik / Elektronik (Electronic Interlocking)

Mengandalkan relay (pada tahap awal) atau modul logika komputer (programmable logic controller, microprocessor-based) untuk mengatur logika kuncian. Sering disebut RRI (Route Relay Interlocking) dan kini berkembang ke SSI (Solid State Interlocking) atau bentuk-bentuk modern lainnya.

Dioperasikan lewat panel kendali atau layar komputer. Lebih mudah diperluas, diintegrasikan dengan sistem kendali pusat (CTC/Centralized Traffic Control), dan memiliki tingkat keandalan serta keamanan lebih tinggi.

Mekanisme Penguncian (Locking) dan Pelepasan (Unlocking)

1. Penguncian Rute

Operator, dalam hal PPKA memilih rute pada panel/komputer. Sistem akan memeriksa ketersediaan jalur, posisi wesel, sinyal, serta bebas-tidaknya jalur dari kereta. Jika semua aman, wesel diarahkan secara otomatis (pada sistem yang lebih modern) lalu dikunci dalam posisi itu.

Sinyal yang menjadi bagian rute baru dapat menampilkan aspek “aman/jalan” (semboyan 5) setelah seluruh kondisi terpenuhi.

2. Pelepasan Rute (Route Release)

Rute tetap terkunci selama kereta belum sepenuhnya melewati area kritis (misalnya blok antar stasiun atau wesel yang digunakan). Setelah kereta melewati titik tertentu, interlocking “melepaskan” kuncian, sehingga wesel dapat diubah untuk rute lain dan sinyal dapat diatur kembali.

3. Failsafe

Sistem interlocking umumnya dirancang dengan prinsip “gagal aman” (failsafe). Jika terjadi gangguan (misalnya listrik padam atau sinyal putus), sistem cenderung mengembalikan sinyal ke aspek “berhenti” (stop) untuk mencegah pergerakan kereta yang tidak terkontrol.

Di sistem perkeretapian Indonesia sejumlah stasiun besar di lintas utama Jawa (misalnya Stasiun Cirebon, Stasiun Yogyakarta, Stasiun Solo Balapan, atau Stasiun Bandung) pernah dan sebagian masih ada yang menggunakan sistem RRI. Dimana PPKA di stasiun mengendalikan rute lewat panel, ketika sebuah rute dipilih, rangkaian relay dan elektromekanis akan mengunci wesel dan menampilkan sinyal yang tepat.

Beberapa stasiun utama lainnya telah menerapkan sistem yang lebih modern, sejalan dengan program penataan jalur, mulai mengadopsi sistem interlocking yang lebih canggih berbasis komputer (SSI). Mungkin saat ini di jalur-jalur double-double track sistem sintel nya semua sudah terkomputerisasi.

Sistem ini terhubung dengan Axle Counter atau Track Circuit untuk mendeteksi keberadaan rangkaian di jalur, dan diintegrasikan dengan CTC sehingga pengaturan perjalanan kereta dapat dikontrol secara terpusat.

Perkembangan saat ini sebagian jalur utama dan perkotaan telah menggunakan teknologi interlocking SILSafe 4000 buatan LEN Railway System, di mana SiLSafe 4000 sudah dioperasikan di jalur commuter line jalur Jagomanja (Jatinegara-Bogor dan Manggarai-Jakarta Kota), Jalur Stasiun Cikarang – Stasiun Cikampek, Kiaracondong-Cicalengka Tahap I Segmen Gedebage-Haurpugur dan di beberapa segmen lintas utama lainnya.

Khusus di lintas perkotaan Jabodetabek (KRL/ Commuter Line), sistem persinyalan telah menggunakan teknologi lebih maju (seperti Automatic Block System) yang tetap memerlukan interlocking di tingkat stasiun/stasiun antara.

Sedangkan pada lintas LRT dengan lebar sepur 1435 mm di daerah operasi Jabodebek, konsep interlocking telah diperluas dengan teknologi Communication-Based Train Control (CBTC) yang sangat terkomputerisasi, walau prinsip kuncian (tidak boleh ada rute konflik) tetap sama. Demikian pula yang diterapkan di lintas Tegalluar-Halim di jalur kereta cepat Jakarta-Bandung, Whoosh.

Sistem interlocking secara umum memiliki manfaat untuk memastikan tidak ada dua kereta memasuki jalur yang sama secara bersamaan. Sistem ini juga dapat mencegah operator/PPKA melakukan kesalahan pengaturan wesel/sinyal ketika kereta sudah bergerak.

Selain itu dalam sistem elektronik, pengaturan rute dapat dilakukan lebih cepat dan bisa dipantau secara real-time, hingga dapat memudahkan pengendalian lalu lintas kereta, terutama di stasiun besar dengan volume perjalanan tinggi.

Dengan pengaturan yang andal, jarak antar kereta dapat dioptimalkan tanpa mengorbankan keselamatan. Maka semakin modern sistemnya, semakin mudah melakukan traffic management yang kompleks.

Berangkat dari peran penting sistem interlocking yang telah sedikit kita bahas di atas, maka agar sistem perkeretapian di Indonesia semakin handal dalam aspek keselamatan dan kenyamanan perjalanan, telah dilakukan berbagai upaya dan inisiasi untuk mengembangkan sistem interlocking jalan rel oleh industri strategis nasional.

PT LEN Industri (melalui entitas bisnisnya di bidang perkeretaapian, PT Len Railway Systems, telah mengembangkan dan memproduksi sistem interlocking berbasis teknologi modern yang dirancang khusus untuk kebutuhan operasional perkeretaapian di Indonesia.

Sistem ini ditujukan untuk menggantikan dan/atau meningkatkan sistem interlocking lama (relay-based, mekanis, atau elektromekanis) di stasiun-stasiun dan lintas kereta api, dengan tetap mengutamakan aspek keselamatan (safety), keandalan (reliability), dan kemudahan integrasi.

PT Len Railway Systems menawarkan sistem interlocking elektronik (microprocessor-based) yang memenuhi standar keselamatan internasional seperti SIL4 (Safety Integrity Level 4) sesuai pedoman EN 50126, EN 50128, dan EN 50129. Dimana prinsip failsafe diimplementasikan agar jika terjadi kegagalan atau gangguan (termasuk listrik padam, kerusakan perangkat keras, atau gangguan transmisi data), sistem kembali ke kondisi aman (biasanya sinyal kembali ke “berhenti”/stop).

Prinsip Redundansi pun diterapkan dalam arsitektur perangkat lunak dan perangkat kerasnya. Misal, modul CPU ganda (dual CPU) atau jalur komunikasi cadangan (redundant link) untuk mencegah kegagalan tunggal (single point of failure).

Arsitektur dan Komponen Utama Sistem Interlocking yang Dikembangkan oleh LEN Railways

1. Central Processing Unit (CPU) / Controller

– Otak sistem interlocking yang menjalankan logika penguncian (locking) dan pelepasan (unlocking).

– Didukung oleh sistem operasi real-time (RTOS) atau platform embedded yang telah disertifikasi untuk aplikasi kritis.

2. I/O Module (Input/Output Module)

– Menghubungkan sistem dengan perangkat lapangan (wesel, sinyal, detektor rangkaian — track circuit atau axle counter).

– Menerima status dari lapangan (posisi wesel, sinyal, kondisi trek) dan mengirimkan perintah untuk menggerakkan aktuator wesel atau menampilkan aspek sinyal.

3. Interface ke Panel Operator

Sistem interface dapat berupa panel kendali mimik (Route Setting Panel) tradisional ataupun HMI/SCADA berbasis komputer (misalnya tampilan layar di PPKA/stasiun). Dimana operator/PPKA dapat memilih rute, lalu sistem interlocking melakukan pengecekan otomatis (apakah jalur masih kosong, posisi wesel sudah benar, dan tidak ada konflik rute lain).

4. Komunikasi Data dan Diagnostik

Menggunakan protokol komunikasi industri (misalnya Ethernet industrial, serial RS-485, atau protokol khusus) yang telah dilengkapi mekanisme error checking ketat. Juga dilengkapi dengan perangkat lunak diagnostik untuk memantau kesehatan sistem, merekam kejadian (event logger), dan mempermudah pemeliharaan.

Sementara secara logika fungsi, sistem interlocking karya LRS atau LEN Railway System mengikuti pola standar dengan mekanisme Elecrronic Interlocking Logic yang terdiri dari Route Setting, Locking, Holding, dan Unlocking. Di mana sistem SILSafe 4000 dari LRS juga mendukung opsi pola operasi remote oleh OCC/CTC (Operation Control Centre/Centralized Trafic Control) di pusat kontrol OCC Manggarai untuk efisiensi bagi pihak operator.

Data dari Ditjen Perkeretapian Kementerian Perhubungan menginformasikan sebelum diimplementasikannya SILSafe 4000 karya LRS, sekurangnya ada 3 sistem interlocking yang telah digunakan di Indonesia.

Sistem interlocking relay pertama adalah buatan Siemens (Jerman) yang dikenal dengan sistem interlocking relay tipe DRS-60. Kontrol pelayanannya dari meja pelayanan, sinyal yang digunakan adalah sinyal cahaya warna, wesel digerakkan dengan motor wesel. Sepur di dalam emplasemen dilengkapi dengan pendeteksi bakal pelanting berupa sirkuit sepur. Hubungan blok antar stasiun menggunakan interface blok dari sistem relay ke sistem blok elektromaknetik. Instalasi perkabelan dimulai dari ruang relay dihubungkan sampai ke semua peralatan luar.

Berikutnya ada sistem Modular Interlocking yang dikenal sebagai System-801, di mana generasi pertama diproduksi pada tahun 1980. Relay yang digunakan adalah tipe K50 (standar UIC-Codex 736 tipe C) disusun ke dalam bentuk modul. Secara meja pelayanan, sinyal cahaya, motor wesel, pendeteksi sepur, Instalasi perkabelan, hubungan blok antar stasiun, sama seperti tipe DRS-60. Sistem persinyalan MIS-801 dapat digunakan di emplasemen besar dan dikembangkan melayani 2-3 stasiun dan waktu pelayanan cepat dengan efisiensi penggunaan operator.

Kemudian yang ketiga adalah sistem interlocking relay Ansaldo buatan Italia. Elemen dasar untuk interlocking nya adalah relay P-150 yang dipadupadankan dengan peralatan kontrol elektronik Genisys buatan Union Switch & Signal Inc (Amerika Serikat). Instalasi perkabelnya sendiri dimulai dari ruang relay dihubungkan ke peralatan luar terjauh seperti sinyal muka, dan sirkuit sepur terjauh sampai dengan sinyal masuk. Sirkuit sepur yang digunakan yang bertegangan tinggi (high impulse voltage). Di petak blok yang digunakan untuk mendeteksi kereta api menggunakan penghitung gandar (axle counter).

Dengan sistem persinyalan dan pengamanan jalur operasi kereta api yang sedemikian rupa, semestinya memang kejadian seperti adu Bagong Bintaro dan Haur Pugur dapat terhindari.

Pemanfaatan teknologi dalam konteks peningkatan keselamatan perjalanan kereta api juga telah menerbitkan harapan baru, setelah baru saja inovasi karya insan kereta api diluncurkan dan siap untuk digunakan. Ada 2 inovasi terkait evaluasi kelayakan jalan rel; Track-Mod dan Smart Rail. Di mana menyitir dari rilis resmi KAI, *Track-Mod* adalah alat ukur geometri jalur yang mampu mengumpulkan data secara real-time dengan validitas tinggi dalam pemeriksaan jalan rel.

Alat ini dirancang khusus untuk memantau dan mengukur parameter geometri jalur kereta api dengan lebar sepur 1.067 mm dengan tingkat presisi tinggi. Track-Mod dapat dioperasikan oleh Petugas Pemeriksa Jalur (PPJ) atau diintegrasikan dengan Lori Kendaraan Pemeriksa Jalur (KPJ).

Sementara Smart Rail adalah alat ukur portabel/mobile yang dirancang untuk mengukur kondisi jalan rel kereta api berdasarkan parameter goyangan keras. Smart Rail menggunakan sensor pengukuran deteksi tiga sumbu yang terintegrasi dengan aplikasi gawai pintar Android. Sehingga dapat memberikan data lebih objektif dan efisien dalam pemeliharaan serta deteksi anomali. Dengan adanya kedua inovasi tersebut, kasus seperti PLH Kalimenur yang mengakibatkan anjlokan KA Argo Semeru akan dapat dicegah agar tidak terulang kembali. Karena kondisi seperti spaten atau rail buckling akan dapat dideteksi semenjak awal secara presisi.

Maka sebenarnya jika semua sistem pengamanan operasi pada perjalanan kereta api dapat berjalan dengan baik dan sesuai prosedur yang telah ditetapkan, maka perjalanan yang dan nyaman dapat menjadi suatu kepastian, meski tak dapat terelakkan bahwa ada faktor lain seperti kelalaian atau force majeure yang dapat terjadi.

Di penutup, pertanyaan Kang Gilang Pambudi mengenai besarnya jumlah korban, saat kereta bertabrakan meski kecepatan kereta relatif rendah, masih mengganggu pikiran saya. Agar afdhol baiknya kita bahas juga secara fisika ya.

Adu Bagong Dua Kereta dan Gaya Dahsyat yang Terjadi pada Penumpangnya

Bayangkan kita, atau tepatnya Kang Gilang Pambudi (announcer kondang Delta FM) sedang berada di dalam sebuah kereta yang melaju dengan kecepatan 35 km/jam dari arah stasiun Bandung. Begitu pula, dari arah berlawanan datang kereta lain dengan kecepatan sama , yang mungkin ditumpangi Pak Ano Sajid dari Jakarta, misalnya. Dari luar, mungkin tampak “hanya” 35 km/jam, tidak terlalu cepat jika dibandingkan dengan mobil di jalan tol Cipularang tentunya. Namun, ketika kedua kereta ini saling bertabrakan secara frontal alias adu bagong atau adu banteng, kejadian yang sangat singkat itu dapat menimbulkan gaya yang luar biasa besar pada setiap penumpang di dalamnya.

Kecepatan yang Tampak Lambat, Ternyata Berbahaya

Sekilas, 35 km/jam (setara dengan sekitar 9,72 m/s) tidak terasa seperti kecepatan “tinggi”. Padahal, karena masing-masing kereta bergerak ke arah satu sama lain, kecepatan relatif menjadi sekitar 19,44 m/s (kira-kira 70 km/jam jika dilihat dari sudut pandang salah satu kereta).

Konversi kecepatan:

35 km/jam ≈ 35 × (1000 m / 1 km) × (1 jam / 3600 s) ≈ 9,72 m/s.

Kecepatan relatif (jika dilihat dari satu kereta):

v relatif ≈ 9,72 m/s + 9,72 m/s = 19,44 m/s.

Ketika kedua kereta bertumbukan, energi kinetik total akan melonjak drastis, seolah-olah kita berhadapan dengan objek berkecepatan hampir 70 km/jam.

Mengapa Gaya yang Terjadi Bisa Sangat Besar?

Untuk menjawabnya, kita perlu menengok momentum dan impuls dalam fisika.

Momentum (p)

p = m × v
di mana m adalah massa dan v adalah kecepatan.

Impuls (I) atau perubahan momentum:

I = Δp = m × Δv
dan juga dapat dituliskan sebagai:

I = F rata_rata × Δt,
di mana

F rata-rata adalah gaya rata-rata selama tumbukan,

Δt adalah waktu kontak atau durasi tumbukan.

Semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk menghentikan (atau membalikkan) gerakan penumpang, maka semakin besar pula gaya rata-rata yang dirasakan.

Simulasi Sederhana dengan Angka

Bayangkan penumpang bermassa 70 kg (misal Kang Gilang) sedang duduk di dalam kereta yang bergerak dengan kecepatan 9,72 m/s:

Perubahan momentum (Δp) ketika penumpang harus terhenti dari 9,72 m/s ke 0 m/s:

Δp = m × Δv = 70 kg × 9,72 m/s ≈ 680,4 kg·m/s.

Jika proses berhenti ini berlangsung dalam waktu 0,2 detik, maka gaya rata-rata (F_rata_rata) adalah:

F rata_rata = Δp / Δt = 680,4 / 0,2 = 3402 N (sekitar 3,4 kN).

Jika waktu berhenti (Δt) hanya 0,1 detik, gaya rata-ratanya bisa menjadi dua kali lipat, mencapai 6804 N (sekitar 6,8 kN).

Tentu saja, dalam kenyataan, penumpang dapat terhempas lebih parah jika bagian kereta remuk atau jika waktu tumbukan sangat singkat.

Faktor-Faktor Penting yang Mempengaruhi Gaya

1. Struktur dan Sistem Keamanan Kereta

Zona remuk (crumple zone) pada kereta, bahan rangka yang kuat, dan sistem keselamatan lain bisa memperpanjang durasi tumbukan (Δt). Semakin lama Δt, semakin kecil puncak gaya pada tubuh penumpang.

2. Perlindungan Tambahan

Selain konstruksi gerbong, posisi duduk, serta keberadaan sandaran yang kokoh dapat membantu mengurangi gaya puncak.

3. Massa Kereta

Jika kedua kereta memiliki massa yang sama, maka perlambatan (deselerasi) pun cenderung mirip. Namun, bila ada ketimpangan massa, kereta yang lebih ringan akan mengalami perlambatan yang jauh lebih besar, sehingga gaya yang dirasakan penumpangnya bisa lebih dahsyat.

Pesan Penting: Kenapa Tumbukan Frontal alias Adu Bagong Itu Berbahaya?

Meski semuanya berlangsung sangat cepat, mungkin hanya sepersekian detik. Energi kinetik yang besar “dilepaskan” pada saat itu juga.

Penumpang tidak serta-merta berhenti seketika bersama kereta. Tubuhnya akan terdorong ke depan (atau terhempas ke belakang) dengan kecepatan hampir 10 m/s.

Selama proses itu, jaringan tubuh bisa mengalami tekanan luar biasa. Misal dalam kasus lain di mobil, sabuk pengaman dapat mencegah tubuh terhempas terlalu jauh, tetapi gaya tetap dirasakan dalam hitungan Kilo Newton.

Adu Bagong kereta dengan kecepatan “hanya” 35 km/jam masing-masing bisa menimbulkan gaya yang sangat besar karena deselerasi ekstrim yang terjadi dalam waktu sangat singkat. Fisika menyadarkan kita betapa pentingnya sistem keselamatan, maka ada baiknya INKA dan Balai Yasa, mempertimbangkan beberapa hal berikut, agar keselamatan berkereta api lebih terjamin, mengingat saat ini kecepatan kereta pun sudah sangat tinggi;

– Rancang bangun kereta yang mampu menyerap energi tumbukan,
– Penempatan kursi dan desain ergonomis yang baik,
– Edukasi bagi penumpang agar tetap duduk dan mengenakan sabuk pengaman jika tersedia, sayangnya ini tak tersedia di fasilitas transportasi sejenis kereta. Mengapa? Karena kereta sudah didesain untuk memiliki tingkat keselamatan yang sangat tinggi, dan kecil sekali kemungkinan untuk terjadinya tabrakan “adu banteng/bagong”.

Dengan demikian, kita dapat meminimalkan cedera serius meski gaya-gaya besar ini hadir tak terelakkan dalam sebuah kecelakaan frontal.

Semakin cepat kita menghentikan benda bermassa tertentu, semakin singkat waktu yang digunakan, maka semakin besar gaya yang muncul. Dalam konteks tabrakan dua kereta, hal itu berarti gaya luar biasa yang dirasakan tubuh penumpang.

Demikian sedikit penjelasan atas pertanyaan sangat baik yang telah disampaikan oleh Kang Gilang Pambudi di pagi ini. Dilantik oleh pertanyaan beliau kita sedikit banyak jadi menggali berbagai fitur yang telah dikembangkan oleh KAI, LRS, juga INKA dan Balai Yasa, yang semata ditujukan untuk meningkatkan kualitas keamanan dan keselamatan pada perjalanan kereta api.

Jadi liburan Nataru mau kemana? Ke berbagai daerah di Indonesia sama indahnya, terlebih jika pergi bertamasyanya naik kereta api bersama keluarga, karena kereta aman, nyaman, dan dapat memberikan jaminan keselamatan, sejalan dengan ikhtiar dan tentu saja kehendak dan ketetapan Tuhan 🙏🏾🙏🏾🙏🏾

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts