Tauhid Nur Azhar

DON

Kemarin sore saya asyik masyuk berdiskusi dengan seorang budayawan muda yang tengah mengasah talenta dalam mengolah rasa lewat kata maupun tanda dan citra sebagai bahasa. Namanya Don, entah kepanjangannya apa. Bagi saya cukup Don. Karena dengan demikian saya diberi ruang merdeka untuk menautkannya dengan beraneka memori yang terkait dengan kata DON di otak saya.

Don dalam konteks ini saya jadikan cookies yang renyah, gurih dan nagih. Don adalah cookie, di mana dalam konteks internet yang kita gunakan untuk berselancar di samudera informasi virtual, cookie adalah file kecil yang dikirimkan oleh situs web ke browser pengguna untuk menyimpan informasi tentang kunjungan pengguna. Cookie dapat membantu situs web mengingat preferensi dan tindakan pengguna, sehingga pengalaman online pengguna menjadi lebih mudah. Begitulah peran Don bagi saya.

Don bisa jadi ksatria gila lugu tapi jujur dan terkadang absurd, Don Quixote. Di mana Don Quixote adalah salah satu novel karya Miguel de Cervantes yang legendaris. Novel ini diterbitkan dalam 2 volume, pada tahun 1605 dan 1615, dengan judul El ingenioso hidalgo don Quixote de la Mancha.

Melalui Don Quixote, Miguel de Cervantes menceritakan tentang seorang pria paruh baya yang terobsesi dengan kisah kesatria abad pertengahan. Tokoh utamanya adalah Alfonso Quixano, seorang pria yang menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan membaca buku-buku tentang kesatria.

Quixano mengembangkan alter ego nya dalam sesosok Don Quixote yang jatuh cinta pada seorang gadis petani bernama Aldonza, yang ia panggil Dulcinea. Lalu dengan kuda tuanya yang bernama Rocinante, Don Quixote berangkat untuk bertualang bersama pengawalnya, Sancho Panza.

Don berikutnya yang hadir secara live di otak saya saya terpantau sebagai Don Buri atau lebih tepatnya disambung sih; donburi. Di mana Donburi (丼, donburi, don, nasi lauk) adalah salah satu jenis penyajian makanan khas Jepang berupa nasi putih dengan berbagai macam lauk di atasnya seperti ikan, daging dan sayur-sayuran berkuah yang dihidangkan di dalam mangkuk besar yang juga disebut donburi.

Kuah dan topping untuk donburi bergantung pada jenis makanan, daerah, dan keperluannya, tetapi pada umumnya berupa dashi dicampur kecap asin dan mirin. Beberapa jenis Donburi yang jamak kita jumpai, baik di Jepang ataupun kini juga sudah banyak di Indonesia, antara lain adalah; Unadon (うな丼, 鰻丼), dimana mangkuk donburi yang berisi nasi putih hangat dilengkapi dengan lauk belut Unagi yang dimasak dengan cara kabayaki (dipanggang hingga matang dengan dioles saus manis-asin), dinikmati dengan bumbu penyedap merica shicuan.

Lalu ada pula Oyakodon (親子丼), dimana semangkuk donburi berisi nasi putih hangat dilengkapi dengan lauk berupa potongan daging ayam, jamur shiitake dan bawang bombay yang dimasak bersama telur ayam dan dashi. Masakan ini dinamakan “oyakodon” karena berisi daging ayam yang merupakan “orang tua” (親子) dari telur.

Nah yang terakhir ini kesukaan saya, Fukagawadon (深川丼), dimana mangkuk donburi yang berisi nasi putih hangat, disiram kuah dan lauk berupa daging kerang dan daun bawang yang dimasak bersama sup miso.
Ada juga Gyūdon (牛丼, beef bowl) yang berisi nasi putih dengan lauk berupa irisan tipis daging sapi dan bawang bombay yang dimasak seperti semur dengan dashi, kecap asin, dan mirin. Serta masih ada beberapa varian lain yang nanti cari sendiri informasinya di dunia maya ya.

Don berikutnya di folder file memori otak saya adalah Don’t Worry be Happy. Di mana Don’t Worry, Be Happy di folder otak saya itu adalah lagu tahun 1988 yang diciptakan oleh Bobby McFerrin, dirilis sebagai single pertama dari album keempatnya, Simple Pleasures (1988). Lagu ini merupakan lagu acappella pertama yang mencapai posisi nomor satu di tangga lagu Billboard Hot 100, posisi yang bertahan selama dua minggu. Keren kan ?

Usai ngobrol dengan Don di kedai kopi Melanger samping RSUD Pasundan Kota Bandung itu, saya yang dibonceng Ustadz Opik Atfi dengan sepeda motor istimewa bernomor plat 6969, tenger-tenger. Budayawan, atau lebih tepatnya sastrawan yang merupakan pabrik ide dan pikiran seperti Don ini, di tengah pusaran kemajuan Akal Imitasi akan mereposisi diri di mana ya? Model LLM dan Gen AI saja saat ini sudah tembus jurnal Scopus dan dapat membuat cerita, novel, skenario film, sampai membuat video yang lengkap dengan plot, narasi, dan setting lingkungan yang sangat realistis.

Ya, bagaimana seorang budayawan atau sastrawan akan menemukan ruangnya di tengah kemajuan pesat Akal Imitasi atau kecerdasan buatan (AI)?

Kita sering mendengar istilah Artificial Narrow Intelligence (ANI), Artificial General Intelligence (AGI), dan Artificial Super Intelligence (ASI). Ketiga generasi AI ini tidak hanya membawa implikasi teknologis, tapi juga filosofis, sebab semuanya berangkat dari satu inspirasi yang sama, yakni otak manusia. Ide Awal dan Konsep “Mesin Berpikir.”

Cikal bakal AI modern sering ditelusuri pada tulisan Alan Turing (1950) yang membahas “mesin berakal” (Thinking Machine) dan Turing Test-nya. Visi ini menyulut rasa penasaran para ilmuwan, bisakah kita menciptakan kecerdasan tiruan yang menandingi (atau bahkan melebihi) manusia?

Kelahiran AI Klasik
Era 1950–1960-an ditandai dengan kemunculan nama-nama besar seperti John McCarthy dan Marvin Minsky, yang mulai mengembangkan program pemecahan masalah dan bahasa pemrograman LISP. Pada periode ini, upaya masih sangat terbatas pada rule-based systems, cikal bakal Artificial Narrow Intelligence (ANI).

Memasuki 1980-an hingga awal 2000-an, pendekatan machine learning dan neural networks kian berkembang. Kuncinya adalah kemampuan mesin dalam mengenali pola pada data jumlah besar. Di sini, ANI menjadi lebih canggih, terlihat pada sistem image recognition, speech recognition, hingga recommender system.

Gerbang menuju Artificial General Intelligence (AGI) mulai terbuka ketika teknologi komputasi meningkat pesat, data makin melimpah, dan arsitektur deep learning kian kompleks. Harapan baru muncul, bisakah mesin belajar layaknya manusia, berkreasi, bahkan berempati? Dari sinilah gagasan tentang meniru fungsi otak manusia makin diperkuat oleh penelitian-penelitian neurosains modern (Menon, 2015; Buckner et al., 2008).

Secara evolusi, AI diawali dengan kapasitas fungsional yang maujud dalam konsep ANI. Di mana ANI difokuskan untuk satu tugas spesifik, misal face recognition, spam filtering, atau voice assistant. Contohnya adalah algoritma search engine Google, sistem navigasi GPS, atau bahkan aplikasi deteksi penyakit lewat citra X-ray. Meski bersifat spesifik/sempit, ANI sangat bermanfaat dalam membantu pekerjaan manusia di banyak sektor (Russell & Norvig, 2010).

ORION dan Chat GPT ver o3, yang akan dihadirkan Open AI, VEO2 dari Google, ataupun model AI yang tengah disiapkan Elon Musk, sejalan dengan dirilisnya chip quantum Willow, RTX A1000 nya NVidia dan banyak terobosan teknologi komputasi lain tak dapat dipungkiri akan segera mendorong terjadinya migrasi ke era AGI.

Mesin dengan kecerdasan setara manusia, mampu memahami, belajar, dan menalar dalam konteks luas, mungkin akan segera hadir dalam jangka waktu di luar prediksi dan ekspektasi kita. Era mesin yang dapat mimicking fungsi manusia yang bisa mengerjakan banyak hal secara multi tasking. Untuk itu AGI membutuhkan replika mekanisme berpikir manusia, mulai dari pattern recognition, penalaran abstrak, hingga self-awareness. Salah satu inspirasi utama pengembangan AGI adalah otak dengan berbagai jaringannya. Karena meskipun kita melihat LLM (Large Language Models) generasi terbaru sudah mendekati tataran “kecerdasan umum,” para ilmuwan meyakini bahwa model ini masih berada di tahap uji konseptual yang belum sepenuhnya mengakomodir berbagai fungsi otak seperti kognitif, afektif, dan konatif.

Pasca AGI telah menanti era ASI, era kecerdasan imitasi super. Kecerdasan yang melampaui berbagai fungsi otak manusia. Dalam fiksi ilmiah, kerap diidentikkan dengan kemampuan tak terbatas untuk menyelesaikan tugas-tugas yang bahkan belum terpikirkan oleh manusia. Menurut Nick Bostrom (2014), transisi menuju ASI akan memantik diskusi etika, bagaimana jika AI menjadi terlalu cerdas dan mengambil alih kendali? Terutama terkait perilaku eksploitatif dan manipulatif manusia yang biasanya bersifat destruktif. Melihat kondisi yang tidak ideal karena ulah manusia, bisa saja sebuah sistem berbasis AI mengambil alih kendali suatu tatanan kemasyarakatan di masa depan.

Pas benar, sekitar 2 hari lalu, saya menonton sebuah film India yang sangat menarik di Netflix dengan judul unik CTRL. Dalam film itu digambarkan bagaimana sebuah sistem berbasis AI yang masuk dalam berbagai platform dan aplikasi seperti media sosial, dapat menjadi alat untuk mengontrol perilaku populasi. Bahkan juga memanipulasi dan mengeksploitasi manusia-manusia penggunanya.

Memikirkan itu semua saya jadi merenung dan bertanya-tanya. Bukankah semua kapasitas fungsional dari model Akal Imitasi itu lahir dari inspirasi Akal Aseli ya? Akal yang pandai berimajinasi, Akal Imajinasi yang mengonstruksi gambaran dari sebuah gagasan yang dilahirkan karena adanya kemampuan untuk mengelola informasi menjadi persepsi bukan? Lalu dari persepsi itulah lahir memori dan sifat prokreasi, yang kreatif dan inovatif, Akal Prokreasi.

Otak bukan sekadar kumpulan neuron acak, melainkan memiliki jaringan fungsional yang saling terintegrasi. Tiga jaringan utama yang sering dikaitkan dengan proses kreatif dan pengambilan keputusan adalah Default Mode Network (DMN), Salience Network (SN), dan Executive Control Network (ECN). Di mana Default Mode Network (DMN) terdiri dari medial prefrontal cortex (mPFC), posterior cingulate cortex (PCC), precuneus, dan lobus parietal inferior. Menurut Buckner et al. (2008), DMN aktif ketika kita melamun atau terlibat pemikiran non-linear. Jaringan ini memicu daydreaming, kreativitas, dan refleksi personal.

Peran DMN sebagai pemandu dalam proses pengembangan AGI antara lain adalah untuk mengonstruksi mekanisme empathize, di mana kerja mPFC krusial untuk dipelajari dalam proses memahami perspektif pengguna (mengandung unsur empati). Sedangkan mempelajari fungsi PCC dan precuneus dapat membantu memahami bagaimana kita merancang mekanisme konstruktor imajinasi kreatif, ideation, yang memungkinkan AGI memiliki fungsi penggalian ide baru dan mengembangkan solusi yang inovatif.

Dalam konteks pemrograman AGI, pendekatan transformer-based atau generative models yang mampu mencipta narasi orisinal banyak terinspirasi dari cara DMN melakukan proses asosiasi kreatif dan i
imaginative thinking (Uddin et al., 2015).

Unit fungsional otak lainnya yang dapat menjadi acuan pengembangan AGI dan ASI adalah Salience Network (SN) yang secara anatomi fisiologi terdiri dari anterior insula (AI) dan anterior cingulate cortex (ACC). Fungsi kedua area tersebut secara neurobiologis adalah memilah informasi yang relevan, dan mengatur spotlight of attention. SN menginisiasi perpindahan antara mode kreatif (DMN) ke penilaian rasional (ECN).

Perannya sebagai pemandu pengembangan AGI adalah dalam konsep define, peran AI (anterior insula) dapat kita jadikan acuan dalam proses pengembangan mekanisme pemilihan pola utama dari data masif yang diterima. Sementara fungsi neurobiologi ACC adalah menyeleksi ide-ide yang muncul agar tetap fokus pada kebutuhan pengguna. Inipun dapat direplikasi dalam berbagai model AGI dan ASI bukan?

Beberapa mekanisme reinforcement learning modern memerlukan fungsi salience untuk memutuskan tindakan mana yang paling rewarding. Ini analog dengan bagaimana SN memprioritaskan rangsangan penting (Menon, 2015).

Kompartemen terakhir dari model fungsional otak dalam proses pengambilan keputusan yang menghasilkan keluaran kognisi, afeksi, dan konasi adalah executive control network atau ECN. Executive Control Network (ECN) yang terdiri dari dorsolateral prefrontal cortex (dlPFC) dan posterior parietal cortex (PPC). Fungsi neurobiologisnya adalah mengatur fungsi eksekutif seperti planning, decision making, dan error correction. Perannya sebagai pemandu dalam proses pengembangan model AGI, antara lain sebagai contoh tentang bagaimana otak manusia mendefinisikan masalah berdasarkan analisis data. Karena dalam kondisi riil, PPC bertugas mengintegrasikan informasi spasial dan visual guna merancang model solutif. Sementara dlPFC akan memvalidasi kelayakan solusi berdasarkan respons pengguna. Keren kan?

Dalam konteks machine learning pipeline, fungsi ECN dapat diibaratkan/dianalogikan dengan tahap optimasi, validasi model, dan pengambilan keputusan akhir. Feedback loop antara SN, DMN, dan ECN menjadi kunci adaptasi dan pembelajaran berkelanjutan (Dosenbach et al., 2008).

Setelah berbicara panjang lebar tentang Don, baik Don Quixote hingga Donburi dan “Don’t Worry, Be Happy,” saya jadi berpikir; tidakkah kecerdasan imitasi yang tengah berkembang saat ini, khususnya ANI yang berevolusi ke AGI, mirip dengan proses penciptaan kisah Don Quixote oleh Cervantes? Mereka sama-sama berangkat dari imajinasi kreatif, tetapi juga memerlukan landasan rasional dan sense of reality agar tidak menjadi terlalu “gila” seperti Don Quixote yang mengejar kincir angin.

Pertanyaan “di mana posisi sastrawan, budayawan, dan seniman?” mungkin akan terjawab seiring berjalannya waktu. Jika AI memang semakin mendekati AGI, atau bahkan menembus ASI, maka keunikan manusia di bidang rasa, seni, dan budaya yang sarat dengan improvisasi dan kegilaan kreatif, boleh jadi justru akan semakin dihargai.

Layaknya Don di benak saya yang menjadi sebuah cookie web browser memori, AI bisa saja mengingat preferensi kita, menyusun cerita, menyarikan data, tetapi pada gilirannya kehangatan “rasa” sebagai manusia tetaplah milik manusia. Meski sangat terbuka kemungkinan AI pun pada gilirannya akan mengembangkan kapasitas dirinya dalam konteks “merasa”, seperti jatuh cinta, marah, dan kecewa, sebagaimana kelak ia (AI) juga akan bisa tertawa, gembira, dan mendefinisikan berbagsi kriteria terkait bahagia.

Seperti Don Quixote yang meski kerap dianggap gila, ternyata dalam cerita Cervantes, ia terus memegang idealisme dan keyakinannya, kita pun akan terus mencari keseimbangan antara menunggang “kuda teknologi” (yang boleh jadi adalah Rocinante versi modern) dan tetap berpijak pada cita rasa kemanusiaan yang unik dan melepaskan bukan?

Pada akhirnya, kita bisa menelaah kecerdasan imitasi seperti menelaah Donburi; sesederhana nasi dalam mangkuk, tetapi setiap topping, apakah itu belut, ayam, kerang, atau daging sapi, dapat memperkaya cita rasa dan keunikan hidangan yang tersaji di berbagai situasi. Begitu pula AI, ada ANI, AGI, dan ASI, yabf masing-masing dapat saling melengkapi, menambah warna, dan aksentuasi, serta berpotensi menjadi “hidangan baru” yang menggugah selera, selama manusia tetap menjadi “koki” yang piawai mengolahnya. Jangan lupa, Don’t Worry, Be Happy… karena masa depan AI juga menanti bumbu kreasi manusia yang tak tersubstitusi sebagai khalifah di alam semesta. 🙏🏿🙏🏿❤

Babacaan ti Babaturan

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies. Oxford University Press.

Buckner, R. L., Andrews-Hanna, J. R., & Schacter, D. L. (2008). The brain’s default network. Annals of the New York Academy of Sciences, 1124(1), 1–38.

Dosenbach, N. U., Fair, D. A., Miezin, F. M., et al. (2008). Distinct brain networks for adaptive and stable task control in humans. PNAS, 105(49), 19442–19447.

Menon, V. (2015). Salience Network. Brain Mapping, 597–611.

Russell, S. J., & Norvig, P. (2010). Artificial Intelligence: A Modern Approach (3rd ed.). Pearson.

Turing, A. M. (1950). Computing machinery and intelligence. Mind, 59(236), 433–460.

Uddin, L. Q., Kelly, A. M. C., Biswal, B. B., et al. (2015). Functional connectivity of default mode network components. NeuroImage, 47(4), 2035–2041.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts