Tauhid Nur Azhar

Eksotika Himalaya

Sore itu Taman Shalimar, lanskap indah yang dibuat oleh Jahangir, kaisar Mughal, pada 1619 dan terletak tepat di tepi danau Dal Srinagar, membeku. Dedaunan coklat kelabu tersaput tipis salju, sementara di sepanjang jalan utama menuju dermaga kecil di tepi danau pepohonan tegak seragam tak berdaun dan menjadi profil indah saat berpadu dengan langit senja yang mulai menjingga.

Saya duduk di sebuah bangku kayu, lelah, karena sebelumnya telah berjalan menjelajah benteng-benteng tua di sekitar danau Dal. Memang bukan benteng besar seperti Hari Prabat, yang berdiri di atas bukit yang juga dikenal sebagai Koh-I-Maraan yang dibangun oleh Kaisar Akbar dari Mughal.

Setelah landing di bandar udara internasional Sheikh ul-Alam Srinagar yang berlokasi di distrik Budgam, Jammu dan Kashmir, serta berada di ketinggian (elevasi) 1.655 mdpl dengan koordinat 33°59′13.7″N 074°46′27.3″E, Om Abdul pemandu kami selama di Kashmir mengajak singgah di Pari Mahal, salah satu situs indah yang juga peninggalan Mughal, sebelum kami berjalan-jalan di sekitar danau Dal.

Masih dari bangku di taman Shalimar itu saya melepas penat dan segera terpukau dengan segenap keindahan yang tetiba menyergap indra penglihatan saya. Jajaran pegunungan dengan puncak-puncak berselimut lapisan salju putih, mengelilingi danau yang mulai membeku. Suasana kelabu yang syahdu membuat isi pikiran saya melangut dan hanyut dalam lirik-lirik lagu, dengan diksi Tere Bin Ab Na Lenge Ek Bhi Dam.

Tere Bin Ab Na Ek Bhi Dam
Aku tidak bisa hidup tanpamu
Tujhe Kitna Chaahne Lage Hum
Aku sangat mencintaimu
Tere Bin Ab Na Lenge Ek Bhi Dam
Aku tidak bisa hidup tanpamu
Tujhe Kitna Chaahne Lage Hum
Aku sangat mencintaimu

Rasa dingin yang membuat jemari saya membeku yang pada akhirnya membuat saya menurut pada Uncle Abdul, untuk bergegas ke rumah perahu. Rumah perahu khas Danau Dal, dimana arti Dal sendiri adalah danau. Rumah kayu dengan ornamen ukiran organik yang rumit sebagaimana ukiran khas Jepara. Rumah perahu yang terbuat dari kayu pilihan, hangat, mewah, dan sangat indah.

Setiba di rumah perahu itu, kami disambut oleh seorang “kapten” atau kepala rumah tangga dan seorang anak buahnya. Kamar kami di ujung kapal telah tersedia dengan setumpuk selimut dan pemanas yang telah dinyalakan. Maklumlah, jika di siang hari suhu sudah berada di kisaran 3-4°C, maka di malam hari, terutama di saat menjelang subuh, suhu akan anjlok sampai sekitar -3°C.

Usai berbenah dan berganti pakaian, kami disuguhi hidangan khas Kashmir yang sangat lezat dan hangat di ruang tengah kapal. Seingat saya, makanan yang disajikan bagi kami bertiga; saya, istri tercinta, dan anak wedhok mbarep, amat berlimpah dan bertumpuk-tumpuk, seolah kami ini pengembara yang sudah tak bertemu makanan seminggu lamanya. Istri saya memandang sajian makanan itu dengan tatapan cemas, sambil mulutnya bermesin: “apa ini semua bisa habis? Mubazir kan kalau bersisa? ” Demikian ujarnya setengah bertanya, setengah bingung harus bersikap bagaimana.

Tapi Kapten menjelaskan bahwa ini semua sudah menjadi bagian dari paket yang memang menjadi hak kami untuk mendapatkannya. Istri saya pun tenang, dan kami baru menyadari bahwa ruang tengah rumah kapal itu luar biasa indah, seluruh dinding dan konsolnya terbuat dari papan berukir dengan warna coklat berkilat yang elegan. Lantainya berkarpet bulu khas Kashmir yang hangat dan tebal. Di salah satu konsol kayu terdapat perdiangan dengan tungku pemanas yang mengalirkan kehangatan ke seluruh ruangan.

Makanan bertumpuk yang ditata indah di atas meja mulai menjadi pusat perhatian. Ternyata setelah saya perhatikan dengan seksama dan mencoba mengingat-ingat berbagai referensi kuliner dataran tinggi Kashmir yang saya baca di internet saat menunggu waktu boarding di bandara KLIA Kuala Lumpur, ternyata saya dapat mengenali hidangan utama yang ada di meja sebagai Rogan Josh. Hidangan khas Kashmir, yang terbuat dari daging domba yang dibumbui aneka rempah hingga menjadi sangat harum dan amat menggoda selera.

Awalnya hidangan ini dibawa ke wilayah Srinagar oleh dinasti Mughal. Hidangan ini berwarna merah tua yang biasanya dikaitkan dengan lal mirch Kashmir atau bunga kering dan akar rotan jot. Saat dicicipi, daging domba yang sangat empuk dan berbumbu khas itu seolah melumer di dalam mulut. Rasanya jangan ditanya, lezat sekali. Apalagi saat disuap, daging domba itu ditemani dengan sesuap nasi yang buttery dan masih mengepulkan asap hangat. Sungguh pada saat itu saya seolah tersadar, “nikmat apa lagi yang akan dapat saya dustakan ?”

Esoknya silih berganti, sang Kapten yang ternyata “dewa masak” menyajikan beraneka surga kuliner ala Kashmir yang bahan utamanya berganti-ganti, domba, ikan, ataupun ayam. Kami dalam beberapa hari seolah dibuai dan dimanja dengan kenikmatan rasa yang tersaji selaras dengan harmoni semesta. Udara sangat dingin, pemandangan di luar rumah kapal sangat indah; pegunungan bersalju dan danau yang mulai membeku dibingkai di bawah naungan langit nan biru, dan di ruang tengah yang hangat ada hidangan yang senantiasa dapat menggugah selera para kembara kelaparan seperti kami ini.

Ada Aab Gosht, di mana daging domba yang empuk dimasak dengan kuah susu yang diberi kapulaga, cengkih, merica, dan beberapa jenis rempah lain yang agak asing bagi lidah Indonesia saya, tapi perpaduan itu semua menghasilkan sensasi rasa yang luar biasa.

Ada Mujh Gaad, sajian ikan khas danau Dal yang dimasak dengan aneka rempah, lobak, dan ini ciri khasnya: nadur atau barang teratai yang tentu saja merupakan salah satu tanaman endemik di ekosistem danau Dal. Dimakan bersama hidangan sumber karbohidrat berbahan kentang, Dum Aloo, dan ditemani Modur Pulao yang rasanya agak mirip kolak Jawa, karena selain berempat juga agak manis.

Perjalanan ke India memang menawarkan banyak eksotika budaya, termasuk tradisi dan kuliner tentu saja. Sebagai sebuah negeri dengan peradaban yang sudah amat tua, India punya keragaman geografi yang luar biasa. Mulai dari bentang alam pegunungan Himalaya sampai ke daerah pesisir yang membuat negara ini menjadi salah satu negara dengan diversitas budaya dan kemajemukan yang luar biasa.

Peradaban ummat manusia pun sebagian berawan dan lahir dari kawasan ini. Siapa yang tak kenal dengan epos Mahabharata? Atau juga angka 0 yang digagas Brahmagupta, dimana Brahmagupta menuliskan aturan-aturan soal angka ini dalam bukunya yang berjudul Brahmasphutasiddhanta. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sekitar tahun 771 Masehi. Dari situ, angka nol diperkenalkan ke bangsa-bangsa lain oleh Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi dalam kitabnya Al-Jami wa Al-Tafriq bi Hisab Al-Hind.

Peradaban Mohenjo Daro juga merupakan peradaban awal yang banyak mempengaruhi peradaban manusia di berbagai belahan dunia. Keunikan-keunikan di berbagai lokus budaya juga melahirkan berbagai ciri khas yang terepresentasi dalam berbagai ekspresi tradisi yang unik. Salah satunya seperti yang dapat kita lihat di wilayah Meghalaya. Dimana Meghalaya adalah negara bagian di India timur laut yang dihuni oleh suku Khasi, Jaintia, dan Garo. Suku Khasi merupakan suku pribumi yang menyebut diri mereka sendiri sebagai Ki Khun U Hynñiewtrep, yang artinya “Anak-Anak dari Tujuh Gubuk”.

Meghalaya ( मेघालय), adalah sebuah negara bagian kecil di wilayah timur laut India. Kata “Meghalaya” berasal dari bahasa Hindi dan Sanskerta yang berarti “Rumah Awan”. Meghalaya adalah wilayah perbukitan di bagian timur laut India, dengan panjang ±300 kilometer, membujur dari barat ke timur dan lebar ± 100 kilometer, dengan luas wilayah 22.429 km². Jumlah penduduk Meghalaya sebesar 2.175.000 jiwa (sensus tahun 2000) dan 2.966.889 (sensus tahun 2011). Meghalaya dikelilingi oleh Assam disebelah utara, dan berbatasan langsung dengan Bangladesh di bagian selatan. Meghalaya ber-ibu kota Shillong yang dihuni sekitar 300.000 jiwa.

Ada sebuah desa ydi Meghalaya yang dikenal sebagai “Desa Bersiul”. Desa ini punya nama asli Kongthong. Penduduk desa ini menggunakan melodi khas atau nada unik untuk menyapa satu sama lain. Ketika seorang ibu melahirkan anaknya, ia akan mencari dan mengkomposisi nada-nada tertentu sebagai panggilan khas untuk anaknya itu. Unik dan menarik sekali bukan?

Kembali ke Dal Boat House di Kashmir, saya yang kekenyangan dan menikmati me time dengan leyeh-leyeh cantik di teras dermaga sambil memandang dengan penuh kepuasan kecantikan danau Dal yang merupakan bagian dari lahan basah alami yang meliputi area seluas sekitar 21 km persegi. Danau ini dialiri oleh Sungai Jhelum.
Danau Dal merupakan salah satu dari 37 lahan basah India yang ditetapkan sebagai situs Ramsar, dan saking cantiknya, danau ini kerap menjadi lokasi syuting beberapa film Bollywood, seperti Jab Tak Hai Jaan dan beberapa judul lainnya.

Eksotika danau yang airnya bersumber dari sungai Jhelum ini sungguh tak terperi. Deretan rumah kapal cantik, perkampungan apung yang unik, serta kilau air yang memantulkan puncak-puncak gunung bersalju di sela-sela tanaman air Rad yang mengapung, membuat danau ini sulit untuk tidak mengundang pesona kita. Termasuk pesona wangsa Mughal yang kemudian menjadikannya salah satu istana utama mereka di musim panas yang kerap melanda dataran rendah India dengan ganasnya.

Ya persis seperti saya juga mungkin ya, yang penasaran dengan keindahan dan kesejukan kawasan Himalaya, yang besok akan saya jelajahi dari wilayah Tang Mark ke arah Gulmarg.

Dan sensasi teras dermaga sore itu semakin nyamleng saat Kapten menyuguhkan sepoci teh susu dan sepiring kashimiri pirni yang hangat dan manis. Saya merenung, beginilah mungkin rasanya menjadi salah satu pangeran dari dinasti Mughal di masanya ya? Dilayani dan asyik masyuk menikmati berbagai privilege seperti yang tengah saya rasakan ini. Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana sejarahnya dinasti Muslim ini bisa menjadi penguasa di India pada jamannya ya?

Dinasti Mughal (1526–1857 M) dikenal sebagai salah satu kekaisaran terbesar dan paling berpengaruh di anak benua India. Berasal dari keturunan Turko-Mongol, nenek moyang para penguasa Mughal menelusuri garis leluhur mereka hingga Timur (Tamerlane) di Asia Tengah dan Jenghis Khan. Dinasti ini resmi didirikan oleh Sultan Babur (1483–1530) yang berhasil merebut kekuasaan di Delhi setelah kemenangan di Pertempuran Panipat Pertama (1526) melawan Kesultanan Lodi (Richards, 1993, The Mughal Empire, dalam The New Cambridge History of India).

Para sultan Mughal umumnya memerintah dengan struktur administrasi terpusat sekaligus mengembangkan seni dan arsitektur yang khas. Tokoh-tokoh terkenal dalam dinasti ini antara lain adalah Sultan Babur (1526–1530), pendiri Kekaisaran Mughal yang membawa tradisi militer dan budaya dari Asia Tengah ke India. Lalu ada penerusnya Humayun (1530–1540, 1555–1556) putra Babur yang sempat mengalami kemunduran kekuasaan sebelum akhirnya kembali memerintah untuk waktu singkat.

Pada periode selanjutnga ada Akbar yang Agung (1556–1605), yang dianggap sebagai kaisar paling sukses dinasti Mughal. Di bawah pemerintahannya, wilayah kekuasaan Mughal meluas secara signifikan. Akbar juga dikenal toleran terhadap berbagai agama dan etnis. Penerusnya adalah Jahangir (1605–1627), putra Akbar yang mewarisi sifat seni dan budaya ayahnya. Ia mendirikan beberapa taman istana, salah satunya Taman Shalimar di Kashmir yang kemarin saya kunjungi.

Shah Jahan (1628–1658) mungkin Selatan dinasti Mughal yang paling kita kenal, lewat Taj Mahal tentunya. Era pemerintahan Shah Jahan disebut “jaman keemasan arsitektur Mughal”. Shah Jahan mendirikan Taj Mahal di Agra, Benteng Merah (Red Fort) di Delhi, dan beberapa mahakarya lain. Kaisar Mughal berikutnya adalah Aurangzeb (1658–1707), yang memperluas wilayah hingga hampir seluruh India modern, namun kebijakan religiusnya memicu ketegangan sosial.

Pada abad ke-18 dan ke-19, kekuatan Mughal mulai melemah akibat perang saudara, kemunculan dinasti-dinasti lokal yang kuat, serta masuknya kekuatan kolonial Inggris. Kekaisaran Mughal resmi berakhir saat Inggris menyingkirkan Bahadur Shah II (Bahadur Shah Zafar) pasca Pemberontakan India 1857.

Jejak kekaisaran Mughal dapat ditemukan di berbagai lokasi di India dan sekitarnya. Beberapa peninggalan yang masih berdiri megah hingga saat ini, di antaranya, Taj Mahal di Agra yang dibangun oleh Shah Jahan sebagai makam istri tercintanya, Mumtaz Mahal, pada abad ke-17. Lalu ada Benteng Merah (Red Fort, Delhi), yaitu istana utama Shah Jahan yang menjadi simbol kemegahan kekaisaran Mughal.

Situs Mughal lainnya antara lain adalah Fatehpur Sikri (dekat Agra), kota kerajaan yang didirikan oleh Akbar, berisi bangunan megah seperti Buland Darwaza dan Masjid Jama. Dan situs yang pernah saya kunjungi juga, Benteng Agra (Agra Fort), sebuah kompleks istana dan benteng yang menjadi saksi kejayaan Mughal di kota Agra.

Serta tentu saja taman dan benteng di Kashmir seperti Shalimar Bagh (Taman Shalimar), Nishat Bagh, dan Pari Mahal di Srinagar, yang menampilkan perpaduan lanskap taman-taman khas Persia dengan keindahan alam pegunungan. Dimana seharian kemarin saya dan keluarga dengan dipandu Uncle Abdul telah menjelajahinya dengan suka cita.

Situs-situs ini tercatat sebagai warisan budaya (World Heritage Sites) oleh UNESCO karena dianggap sebagai monumen penting yang merangkum puncak seni, arsitektur, dan warisan budaya India selama abad ke-16 hingga 19 (Asher, 1992, Architecture of Mughal India).

Lalu darimana manusia-manusia penghuni anak benua Asia ini berasal? Dinasti Mughal sendiri adalah pendatang dari wilayah Asia Tengah. Sejarah juga mencatat bahwa Alexander Agung dari Makedonia pun pernah sampai ke India melalui jalur Khaiber Pass. Saya jadi penasaran tentang asal usul manusia pembangun peradaban anak benua Asia atau Asia Selatan ini.

Menurut catatan paleontologi dan arkeologi, proses migrasi manusia ke wilayah Asia Selatan, khususnya India, telah berlangsung dalam berbagai gelombang sejak Zaman Prasejarah (Paleolitik). Sejumlah teori menyebutkan bahwa gelombang migrasi awal kemungkinan terkait dengan pergerakan manusia modern (Homo sapiens) yang berasal dari Afrika sekitar 70.000 tahun yang lalu (Singh, 2008, A History of Ancient and Early Medieval India).

Berikut adalah garis besar proses migrasi awal tersebut, dimulai dari “Masa Prasejarah_ (Paleolitik–Mesolitik) dimana manusia mulai menempati sub-benua India sejak masa Paleolitik Akhir, ditandai dengan temuan artefak batu di sepanjang Sungai Narmada dan kawasan lembah Sungai Indus. Kemudian pada aman Neolitik dimulailah era pertanian dan domestikasi hewan yang mendorong terbentuknya permukiman permanen, khususnya di lembah Indus dan bagian barat laut India.

Pada masa berikutnya lahirlah peradaban Lembah Sungai Indus (± 3300–1300 SM) yang diikenal dan ditandai dengan penemuan situs Mohenjo Daro dan Harappa, peradaban ini memiliki sistem kota modern lengkap dengan drainase, bangunan bata, serta jaringan perdagangan yang luas.

Profil manusia India masa kini juga turut dipengaruhi oleh adanya gelombang migrasi Indo-Arya dari benua Eropa yang diprakirakan terjadi pada milenium kedua SM. Proses migrasi ini membawa bahasa Indo-Eropa yang kelak menjadi akar bahasa Sanskerta kuno dan bahasa-bahasa Indo-Arya modern.

Perubahan iklim, pergeseran aliran sungai, serta interaksi antarsuku turut berperan membentuk keragaman etnis, budaya, dan bahasa di India yang sangat kaya hingga saat ini. Profil geologi seperti bentang alam pegunungan Himalaya yang juga sangat mempengaruhi perkembangan peradaban Asia Selatan.

Dimana Pegunungan Himalaya adalah salah satu gugusan pegunungan termuda di dunia. Proses terbentuknya dimulai sekitar 50–70 juta tahun yang lalu ketika Lempeng India (yang saat itu terpisah dari benua Afrika) bergerak ke utara dengan cepat dan bertabrakan dengan Lempeng Eurasia (Molnar & Tapponnier, 1975, Nature).

Proses geologis utama yang terjadi dalam mekanisme pembentukan pegunungan Himalaya antara lain adalah Pergeseran Lempeng India, di mana sebelum bertubrukan, Lempeng India telah menempuh perjalanan ribuan kilometer ke utara sejak terpisah dari Gondwana pada era Kapur Akhir (sekitar 100 juta tahun silam).

Mekanisme ini diikuti Tabrakan dengan Lempeng Eurasia yang berlangsung sekitar 50 juta tahun lalu, dimana tepi Lempeng India mulai menekan Lempeng Eurasia, mengangkat lapisan sedimen dan kerak benua ke atas, membentuk lipatan-lipatan geologis yang menjadi cikal bakal pegunungan Himalaya.

Selanjutnya penjajaran dan pengangkatan pegunungan Himalaya terus berlangsung, dan wilayah yang mengalami pengangkatan hingga saat ini muncul dengan bentuk rupa bumi di ketinggian dan beberapa puncak yang terus bertambah tingginya beberapa milimeter per tahun akibat dorongan tektonik yang masih aktif.

Pada fase berikutnya terjadi pembentukan lembah, sungai, dan danau. Tekanan tektonik membentuk beberapa cekungan dan lembah yang dialiri sungai-sungai besar seperti Indus, Gangga, dan Brahmaputra. Proses erosi akibat aliran sungai dan aktivitas glasial turut memahat lanskap alam Himalaya menjadi sangat spektakuler.

Himalaya kini kerap disebut “atap dunia”, karena di pegunungan inilah terdapat beberapa puncak tertinggi di dunia, termasuk Gunung Everest (8.848 mdpl). Pegunungan ini juga menjadi pusat keanekaragaman hayati dan budaya yang tinggi, mengingat ekosistemnya membentang mulai dari lembah sub-tropis di kaki bukit hingga ekosistem salju abadi di puncak (Hodges, 2000, GSA Bulletin).

Dan ya, tampaknya senja jingga di balik puncak-puncak jajaran pegunungan Himalaya yang “berpeci” putih itu akan menjadi latar sholat Maghrib saya hari ini. Lamat-lamat, sayup sampai terdengar suara adzan dengan nada dan aksen khas dari kejauhan, sayapun bergegas mengambil air wudhu sambil menggigil kedinginan, membuka semua jendela di ruang tamu rumah kapal yang berkarpet tebal dan memasang sajadah tepat ke arah barat. Ah betapa nikmatnya…. 🙏🏾🙏🏾🙏🏾

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts