Tauhid Nur Azhar

ILMU MINYAK

Salah satu hal yang selalu sangat saya sukai pada saat berada di KL (Kuala Lumpur) adalah mengunjungi Petronas Twin Towers. Sepasang menara kembar yang merupakan landmark ikonik di ibukota Malaysia itu. Dengan tinggi mencapai 452 meter, Petronas Twin Towers memiliki 88 lantai dan dirancang dengan gaya arsitektur modern yang mencerminkan kekayaan budaya Malaysia.

Menara Kembar Petronas ini dirancang oleh arsitek Cesar Pelli, seorang arsitek Amerika kelahiran Argentina. Twin Towers yang sejak didesain sampai akhirnya selesai dibangun, memerlukan waktu sekitar 6 tahun, tepatnya dari 1992 sampai dengan 1998, sempat menjadi gedung pencakar langit tertinggi di dunia, sebelum akhirnya gelarnya diambil alih oleh Taipei 101.

Alhamdulillah saya sudah pernah mengunjungi keduanya, meski tentu saja saya lebih banyak menyambangi Twin Towers nya Petronas, karena memang lebih dekat. Kunjungan ke Taipei 101 yang berkesan bagi saya adalah saat ditraktir oleh Kementerian Riset dan Pendidikan Tingginya dalam jamuan makan malam di salah satu rumah makan yang mendapat bintang Michelin; Din Tai Fung.

Taipei 101 sendiri mengambil alih tahta Menara Kembar Petronas sebagai gedung tertinggi di dunia pada tahun 2004. Tapi bagi saya, gedung Petronas yang penampang melintang kedua menaranya berbentuk Rub al-hizb, suatu simbol geometri dasar Islam, tetaplah punya tempat tersendiri di hati. Tamannya yang ramah anak dengan lantai dasar play ground yang terbuat dari produk turunan pengolahan minyak bumi, kolam renang anak, telaga buatan dan air mancur menarinya, serta deretan kedai kekinian dan juga tradisi yang ada di beberapa lokasi gedung itu, membuat kunjungan ke sana selalu mengasyikkan.

Tapi lebih dari itu semua, selain di Petronas twin towers juga ada toko buku Kinokuniya*l yang sangat besar, ada satu hal lagi yang selalu menjadi juara dalam itinerari saya di KL; Petrosains. Sungguh fasilitas yang dibangun dan dikembangkan Petronas ini sangatlah luar biasa mempesona bagi saya.

Kecanggihan ilmu dan teknologi lintas disiplin disajikan di sana dengan teknik presentasi interaktif yang telah mengakuisisi teknologi semacam mixed reality, holografik, dan juga AI. Ruang lingkup sains yang ditampilkan di sana komprehensif sekali. Mulai dari ilmu kebumian (geologi), yang sejalan dengan core perusahaan pengembangnya/Petronas, sampai ke perkembangan wahana luar angkasa, teknik kloning, dan juga teknologi informasi, termasuk ilmu-ilmu dasar seperti kimia dan fisika.

Terus terang, dibanding dengan blusukan di American Natural History Museum yang terletak di jalan Central Park West persis di seberang Central Park yang legendaris itu, belajar di Petrosains bagi saya sedikit lebih menyenangkan karena unggul secara teknologi informasi.

Saya jadi paham banyak hal, tentu secara sepintas dan pada aspek yang mendasar saja, tentang aneka sains yang lahir dan melahirkan peradaban manusia dengan segenap dinamikanya, ya di Petrosains ini. Misal, soal pengolahan minyak bumi. Di Petrosains kita dapat belajar mulai dari konsep yang sangat mendasar seperti konsep zat dan atom, struktur molekul, sampai berbagai proses dalam menghasilkan aneka produk minyak dan gas (migas) yang punya peran dan daya guna di masyarakat.

Ketika pertama kali diterima sebagai PhD student di pusat kajian siswazah UKM, tempat yang memikat saya di KL adalah museum sains ini. Jika biasanya pada saat umroh bersama keluarga, atau ketika sedang ada reuni akbar teman seangkatan Ibu yang dulu kuliah di Teknik Kimia ITB, saya hanya bisa mendengarkan cerita
Mama, demikian saya memanggil Ibu, yang dengan sangat faseh menceritakan setiap langkah dalam proses pengolahan materi hidrokarbon dari perut bumi sampai menjadi produk-produk yang sampai saat ini, bagi masyarakat urban tak terpisahkan, setelah sering main di Petrosains saya jadi bisa ikut berkomentar, meski sedikit-sedikit.

Mungkin timbul pertanyaan, mengapa saya jadi bercerita soal Petrosains dan prosesing minyak bumi? Karena tadi sore saat sedang melihat-lihat You Tube, saya melihat video rapat dengar pendapat antara Komisi XII DPR-RI dengan pimpinan beberapa unit usaha retail bahan bakar di tanah air, termasuk yang sedang viral; Pertamina Patra Niaga.

Jadi memori saya terpantik dan teringat akan wahana edukasi perminyakan di Petrosains itu, serta obrolan seru Ibu saya dengan kawan seangkatannya yang memang banyak juga yang berkiprah di dunia perminyakan, termasuk sahabat Ibu yang pernah menjadi Dirut Pertamina pada jamannya.

Kadang saya juga bertanya, mengapa Petrosains bisa membuat landmark luar biasa dan fasilitas edukasi yang sangat baik untuk masyarakat? Apakah memang kinerjanya sebagus itu? Bagaimana dengan perusahaan minyak nasional lainnya seperti Saudi Aramco, atau BP? Juga bagaimana dengan Pertamina kita?

Saudi Aramco, perusahaan minyak terbesar di dunia, memproduksi 11,5 juta barel minyak per hari (BOPD) pada 2023, setara dengan 11% pasokan minyak global. Cadangan minyaknya mencapai 258,8 miliar barel, jauh melampaui kompetitor lainnya. Sebagai perbandingan, BP memproduksi 2,3 juta BOPD dengan cadangan 7,1 miliar barel, sementara Petronas dan Pertamina masing-masing memproduksi 1,5 juta BOPD dan
800.000 BOPD.

Di sektor gas, Saudi Aramco juga memimpin dengan produksi 12,3 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD), diikuti oleh BP yang memiliki portofolio LNG global dengan produksi 7,1 BSCFD. Petronas, sebagai eksportir LNG terbesar di Asia Tenggara, memproduksi 6,2 BSCFD, sementara Pertamina menghasilkan 5,8 BSCFD dengan fokus pada pemenuhan pasar domestik.

Dari segi kinerja keuangan, Saudi Aramco kembali mencatatkan rekor laba bersih tertinggi di industri ini, mencapai $121 miliar pada 2023. Pendapatan brutonya sebesar $535 miliar didukung oleh biaya produksi rendah ($3/barel) dan skala operasi yang masif. BP, meski pendapatannya lebih rendah ($230 miliar), mencatat laba bersih $15 miliar berkat efisiensi operasional dan diversifikasi energi terbarukan.

Petronas, dengan pendapatan $100 miliar, menghasilkan laba bersih $18 miliar, didorong oleh kinerja kuat di sektor LNG dan petrokimia. Sedangkan PT Pertamina (Persero) telah membukukan laba bersih sebesar US$ 2,6 miliar atau setara Rp. 41,43 triliun (kurs Rp15.935,95) dengan pendapatan sebesar US$ 62,5 miliar atau setara Rp. 996,25 triliun sepanjang tahun sampai Oktober 2024.

Volume penjualan minyak Saudi Aramco mencapai 13,5 juta BOP, dengan 75% produksi diekspor ke pasar global, terutama Cina, AS, dan Eropa. Sedangkan BP, dengan jaringan ritel global terluas (lebih dari 20.000 SPBU), menjual 3,5 juta BOPD, sementara Petronas mengekspor 60% produksinya, terutama dalam bentuk LNG.

Pertamina, di sisi lain, lebih berfokus pada pasar domestik dengan 70% produksi nya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Meskipun demikian, perusahaan ini mulai mengembangkan ekspor produk olahan seperti biofuel dan geothermal.

Sektor energi berbasis hidrokarbon harus diakui kini memang mulai memasuki fase sandyakalaning jagat, di mana konsumsinya yang rakus telah mempercepat habisnya cadangannya sendiri, demikian pula masifnya emisi dan tapak karbon yang dihasilkan telah menghantarkan energi hidrokarbon untuk memasuki masa terminasi yang tak terhindari lagi.

Diversifikasi menjadi kata kunci bagi perusahaan-perusahaan energi saat ini. Sebagai contoh BP misalnya, yang memimpin dengan investasi besar di energi terbarukan, termasuk tenaga angin, surya, dan kendaraan listrik (EV). Petronas memilih lebih berfokus pada petrokimia dan LNG, sementara Saudi Aramco mengembangkan hidrogen biru dan proyek CCS (Carbon Capture and Storage). Sementara Pertamina mengandalkan geothermal, yang membuatnya menjadi produsen geothermal terbesar kedua di dunia.

Terkait dengan isu global terkait lingkungan, indeks ESG (Environmental, Social, and Governance) menjadi tolok ukur penting bagi perusahaan energi. BP mencatat skor tertinggi (75/100) berkat komitmennya mencapai “Net Zero 2050” dan investasi besar di energi terbarukan. Petronas menempati posisi kedua (68/100), diikuti oleh Saudi Aramco (60/100) dan Pertamina (52/100).

Terlepas dari tolok ukur serta perbandingan kinerja keempat perusahaan energi dunia tersebut, juga terlepas dari polemik yang kini tengah melanda anak usaha Pertamina yang bertanggung jawab pada aspek distribusi bahan bakar nasional, terkait dengan dugaan fraud pada proses pengadaan bahan bakar minyak yang diduga tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan, tentu kita perlu tahu juga, apa yang terjadi dalam proses perjalanan minyak bumi yang berasal dari sumber alami sampai menjadi bahan bakar yang siap digunakan bukan?

Lalu apa itu RON yang kini begitu banyak dibicarakan orang dengan berbagai intensitas perbincangan dan sentimen yang melekat padanya.

RON (Research Octane Number) adalah angka yang menunjukkan kualitas bahan bakar minyak (BBM). RON juga disebut sebagai nilai oktan atau tingkat oktan. Fungsi RON sebenarnya adalah indikator untuk mengukur stabilitas bahan bakar. Indikasi kualitas bahan bakar pada mesin bakar (combustion engine) adalah dengan mengukur tingkat ketukan (knocking) yang terjadi saat pembakaran, juga dengan mengukur resistensi bahan bakar terhadap efek detonasi atau ledakan.

RON tinggi cocok untuk mesin dengan kompresi tinggi, hingga dapat memberikan performa lebih baik dan lebih efisien, membuat kendaraan semakin lincah, serta mampu meningkatkan kecepatan dan tenaga mesin dikarenakan proses pembakaran BBM pada mesin berlangsung lebih sempurna.

Lalu darimana datangnya bahan bakar seperti bensin dengan nilai RON nya yang kini dapat dengan mudah kita jumpai di SPBU? Sebagian dari kita akan menjawab dengan cepat dan tepat; dari minyak bumi tentu saja. Tapi fakta dan data menunjukkan, prosesnya tidak semudah dan semurah yang dapat kita bayangkan. Bukan sekedar menggali sumur minyak dan memasukkan hasilnya ke tong serta mengirimnya langsung ke konsumen bukan?

Harus diakui bahwa sampai hari ini, minyak bumi, yang sering disebut sebagai emas hitam, masih menjadi sumber energi utama dunia. Menurut International Energy Agency (IEA), produksi global minyak bumi mencapai 100 juta barel per hari pada 2023, dengan sekitar 25 juta barel diolah menjadi bensin. Proses pengolahan minyak bumi tidak hanya menghasilkan bahan bakar, tetapi juga produk petrokimia, pelumas, dan bahan baku industri.

Minyak bumi diekstraksi dari reservoir bawah tanah atau lepas pantai. Teknologi seismik 3D dan pengeboran horizontal memungkinkan efisiensi ekstraksi hingga 60-70% (Speight, 2014). Setelah diekstraksi, minyak mentah diangkut ke kilang minyak melalui pipa, kapal tanker, atau truk. Data IEA menunjukkan bahwa 80% minyak mentah global diangkut melalui pipa dan kapal.

Proses selanjutnya adalah pengolahan di kilang minyak yang tahapannya dimulai dari Distilasi Atmosferik, di mana minyak mentah akan dipanaskan hingga suhu 350–400°C dalam kolom distilasi.

Proses fisika ini memisahkan fraksi berdasarkan titik didih sebagai berikut:
– Gas (C1–C4): LPG, bahan baku petrokimia.
– Nafta (C5–C12): Bahan baku bensin.
– Kerosin (C12–C15): Bahan bakar jet dan minyak tanah.
– Solar (C15–C20): Bahan bakar mesin diesel.
– Residu: Aspal dan bahan baku cracking.

Selanjutnya dilakukan prkses konversi atau cracking, di mana fraksi berat dipecah menjadi molekul ringan dengan tahapan sebagai berikut:
– Fluid Catalytic Cracking (FCC): Menggunakan katalis zeolit untuk memecah molekul panjang (C40+) menjadi C3–C10. Efisiensi konversi mencapai 75-85% (Gary & Handwerk, 2001).
– Hydrocracking : Menggunakan hidrogen dan katalis logam (nikel, platinum) untuk menghasilkan bahan bakar sulfur rendah.

Selanjutnya Nafta (C6–C8) diubah menjadi senyawa aromatik (benzena, toluena) dan isoparafin melalui dehidrogenasi dan isomerisasi yang disebut catalytic reforming. Di mana proses ini meningkatkan Research Octane Number (RON) dari 40–60 menjadi 90–105 (Speight, 2014).

Lalu ada proses yang dikenal sebagai Alkilasi dan Isomerisasi,
– Alkilasi: Menggabungkan olefin (C3–C4) dengan isobutana menggunakan katalis asam sulfat, menghasilkan alkilat (C8–C9) dengan RON 90–94.
– Isomerisasi: Mengubah n-pentana menjadi isopentana bercabang (RON 85 → 92).

Selanjutnya untuk menghilangkan sulfur dan nitrogen dari fraksi minyak, dilakukan proses hidrotreater dengan menggunakan hidrogen. Misalnya, kandungan sulfur solar dikurangi dari 500 ppm menjadi 10 ppm, sesuai dengan standar Euro 5.

Hasil akhir dari serangkaian proses kimia dan fisika pada minyak bumi yang juga dipelajar oleh Ibu saya selama bertahun-tahun di Teknik Kimia ITB ini adalah bahan bakar yang terdiri dari Bensin dengan campuran reformat, alkilat, dan aditif (RON 88–98). Lalu ada Avtur, fraksi kerosin dengan titik beku -47°C yang cocok untuk mesin pesawat, dimana suhu di ketinggian sekian ribu kaki akan menurun sangat drastis.

`Kemudian ada Biodiesel, yang merupakan hasil transesterifikasi minyak nabati dengan metanol (tidak langsung dari minyak bumi).`

Hasil lainnya adalah produk Petrokimia, berupa antara lain; Etilena (C2H4) yang dihasilkan melalui steam cracking, dan merupakan inti dari bahan baku plastik (polietilena). Lalunada Benzena (C6H6) yang menjadi bahan dasar produksi nilon, resin, dan obat-obatan.

Produk non-bahan bakar yang dihasilkan antara lain adalah aspal yang merupakan residu distilasi yang dapat digunakan untuk konstruksi jalan. Kemudian ada Lilin Parafin yang merupakan fraksi C20–C40 untuk bahan baku lilin dan produk kosmetik. Juga dihasilkan Kokas, suatu bahan bakar padat untuk industri baja yang digunakan sebagai sumber kalor untuk tanur reaktornya.

Berdasar apa yang masih saya ingat dari pelajaran yang diberikan Ibu saya yang senang sekali dengan proses kimia industri dan kerap menerangkan pada kami saat berkumpul di meja makan, ada beberapa reaksi kimia penting dalam proses pengolahan minyak bumi.
Adapun reaksi kimia pokok itu antara lain adalah;

Cracking Termal
`C16H34 → 2C8H18 + C2H4`
Contoh: Pemecahan heksadekana menjadi oktana dan etilena.

Reforming Dehidrogenasi
`C6H14 → C6H6 + 4H2` (Katalis: Pt)
Contoh: Konversi heksana menjadi benzena.

Alkilasi
`C3H6 + C4H10 → C7H16` (Katalis: H2SO4)
Contoh: Pembentukan alkilat dari propilena dan isobutana.

Dimana perkembangan peradaban kita saat ini telah bergantung pada produk-produk turunan minyak bumi terutama etilena yang merupakan bahan baku berbagai produk plastik, hingga permintaan dan produksi etilen mencapai titik ekuivalen di 200 juta ton/tahun. Maka limbah plastik pun menjadi masalah dunia bukan?

Karena memang manusia dan inovasinya yang semua semula diniatkan untuk menjadi solusi, akan selalu punya potensi menimbulkan masalah baru, termasuk dalam hal memicu konflik global, kerusakan lingkungan secara fundamental, sampai dengan krisis yang bersifat universal.

Maka mungkin ini saat yang tepat untuk kita bersama~ untuk terus membangun kecerdasan kolektif dalam rangka mencari berbagai pola interaksi yang tak hanya berkeadilan, melainkan juga BERKEARIFAN 🙏🏾🙏🏾🇲🇨

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts