Pada tahun 2022, timbunan sampah di Kota Yogyakarta mencapai 110.462,60 ton per tahun atau 303,13 ton per hari. Volume sampah di Yogyakarta, Bantul, dan Sleman sering kali melebihi kapasitas TPA Piyungan yang dirancang untuk menampung 650 ton sampah per hari. Sementara data dari kota Bandung menunjukkan bahwa selama Ramadhan 2024, kota Bandung menghasilkan 32.807,35 ton sampah. Jumlah muatan sampah yang dikelola di Kota Bandung mengalami peningkatan pada bulan Februari, Maret, April, dan Mei. Lonjakan terbesar jumlah muatan sampah terjadi pada bulan Maret 2024, yaitu 33.486,6 ton. Sampah makanan menjadi penyumbang terbesar sampah di Kota Bandung. Sampah plastik menjadi penyumbang kedua terbesar sampah di Kota Bandung. Sedangkan Denpasar sebagai ibukota propinsi tujuan wisata paling terkenal di Indonesia, data statistiknya menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah per orangnya adalah 1,04 kg per hari. Sampah yang dihasilkan Denpasar setiap hari sekitar 866 ton. 30% dari sampah yang dihasilkan Denpasar adalah sampah anorganik, seperti plastik, kertas, dan residu.
Ini kisah tentang 3 serangkai sahabat sepermainan yang kini telah menjadi ahlinya ahli, alias pakar dengan gelar guru besar dan juga jenjang akademik doktoral. Ini cerita khayal penuh dengan aroma tak romantis limbah kota yang dibumbui hubungan cinta antara Bambang Iman Santoso dan Diah Natarina, sejoli yang bak Galih dan Ratna terus saja asyik masyuk berolahasmara sejak di bangku SMA. Hadir dalam kisah ini seorang ahli spiritual Jawa yang juga praktisi dan akademisi terkemuka yang namanya selalu menghebohkan jagat pakeliran, Kyai Marius Gumono.
“Kita tak bisa lagi mengabaikan sampah di jalanan ini, Prof,” keluh Dr. Diah Natarina sembari menutup hidung dengan pashmina birunya. Ia dan kedua rekannya, Prof Bambang Iman Santoso serta Prof Marius Gumono, baru saja tiba di kawasan Malioboro, Yogyakarta. Bau sampah menyengat yang berserakan di trotoar sebuah jalan kecil di kawasan Ketandan, belakang pasar Beringharjo, seolah menampar penciuman mereka.
Langit Yogyakarta siang itu terang benderang tanpa awan sedikitpun, panas membara. Namun, di tengah hiruk-pikuk wisatawan dan pedagang pasar serta penjaja berbagai cendera mata, potret ketidakpedulian sosial terbentang nyata di depan mata. Kertas makanan, botol plastik, dan sisa kopi dan es teh terbuang sembarangan tanpa ada rasa bersalah dari para pelakunya.
Prof Bambang Iman Santoso, seorang ahli neurosains terkemuka Indonesia, menghela napas panjang. Ia sudah menghabiskan puluhan tahun meneliti perilaku sosial dan bagaimana otak manusia memengaruhi keputusan sehari-hari. Di sampingnya, Prof Marius Gumono, seorang ahli psikologi sosial, mencatat segala detail fenomena; jumlah sampah, karakter orang yang membuang, hingga kondisi cuaca. Sementara itu, Dr. Diah Natarina, yang berlatar belakang neurobiologi, meneliti ekspresi wajah para pejalan kaki yang menyaksikan sampah-sampah itu.
“Kita tahu dari riset sebelumnya bahwa korteks prefrontal (PFC) memegang kendali fungsi eksekutif dan pengambilan keputusan,” jelas Dr. Diah sambil meletakkan gadget canggihnya di saku. “Kerusakan atau disfungsi PFC dapat menyebabkan orang lebih impulsif, kurang empati, dan abai terhadap konsekuensi jangka panjang.”
Prof Bambang mengangguk. “Benar. Penelitian Koenigs dan Tranel (2007) juga menegaskan bahwa individu dengan cedera PFC sering gagal memahami dampak sosial dari perbuatannya.”
Malam itu, di salah satu ruangan laboratorium FEB Universitas Gadjah Mada, ketiganya menumpuk data-data awal. Grafik dan tabel berjajar di layar laptop mereka. Data dari Yogyakarta, Bandung, dan Denpasar; tiga kota yang ramai dikunjungi wisatawan, namun masih kerap dilanda masalah sampah, menjadi bahan pemantik diskusi yang amat menarik.
“Lihat ini,” ujar Prof Marius sambil mengetik di laptopnya. “Sebagian besar responden kita menyatakan tahu bahwa membuang sampah sembarangan itu salah. Tapi tetap saja mereka melakukannya.”
“Itu mungkin karena gangguan sistem limbik, khususnya amigdala,” timpal Dr. Diah. “Amigdala memproses emosi dan mendorong kita untuk merasakan empati. Kalau amigdala nggak berfungsi optimal, kita sulit merasakan dampak emosional; apa lagi soal kerusakan lingkungan.”
Prof Bambang membuka salah satu jurnal di tablet-nya. “Blair (2013) menunjukkan bahwa individu dengan gangguan kepribadian antisosial sering punya volume amigdala lebih kecil. Bisa jadi, hal serupa terjadi pada beberapa orang normal, tetapi dalam derajat yang lebih ringan.”
Pagi berikutnya, ketiganya bergegas menuju Stasiun Tugu untuk melakukan survei lapangan. Sembari menunggu kereta Lodaya dengan rangkaian stainless steel next generation, yang akan membawa mereka ke Bandung, Prof Bambang menjelaskan peran neurotransmiter kepada Dr. Diah yang masih mengolah data di laptopnya.
“Serotonin itu seperti rem alamiah di otak. Kalau kadarnya rendah, meningkatlah impulsivitas dan agresi (Higley et al., 1996). Tidak mustahil, perilaku seenaknya membuang sampah berasal dari impuls yang tidak terkontrol,” ujar Prof Bambang.
Dr. Diah menambahkan, “Ada juga oksitosin, hormon cinta, yang meningkatkan kepercayaan dan ikatan sosial (Kosfeld et al., 2005). Kalau oksitosin rendah, rasa memiliki terhadap lingkungan dan empati ke orang lain juga menurun.”
Prof Marius tersenyum tipis. “Dopamin?” tanyanya.
“Dopamin sangat terkait sistem reward otak,” jawab Dr. Diah. “Ia memotivasi perilaku prososial. Bayangkan jika orang tidak merasakan ‘kepuasan’ ketika menjaga kebersihan, maka mereka cenderung cuek. Data kita di sini jelas: _perilaku membuang sampah sembarangan meningkat ketika orang merasa tidak ada ‘reward’ sosial atas tindakan menjaga kebersihan_ (Rilling et al., 2002).”
Di Bandung saat akhir pekan, mereka menjumpai lautan manusia di kawasan Gasibu-Gedung Sate yang dapat menjadi living laboratory bagi riset tim peneliti perilaku sosial ini. Ribuan pejalan kaki dan pengendara lalu-lalang; beraneka lapak penjual kuliner, mulai dari seblak, cilok, siomay, batagor, dimsum, sampai beraneka minuman seperti thai tea, coffee kekinian, dan banyak ragam lainnya, seolah mengundang wisatawan lapar dan dahaga untuk datang menuntaskan hasratnya. Tetapi, seperti sudah dapat diduga, dibalik gairah dan dinamika maraknya kegiatan berusaha dan ramainya arena tamasya keluarga itu, tumpukan plastik dan kemasan makanan di jalan menandakan cerita lama yang terus terulang.
Seorang pemulung tua berdiri di sudut trotoar, sambil memungut botol plastik bekas. Pemandangan ini menarik perhatian Prof Marius. “Bisa jadi, sang Kakek malah punya empati lebih besar terhadap lingkungan dibanding para pengunjung di sini,” gumamnya.
Dr. Diah tersentuh, “Bisa jadi dia terbiasa dengan tanggung jawab menjaga kebersihan sejak kecil, faktor epigenetik dan lingkungan keluarga yang mengajari empati (Heim et al., 2010). Otak yang terus dilatih untuk peduli lingkungan akan menciptakan koneksi syaraf yang mendukung perilaku pro-lingkungan.”
Perjalanan riset mereka berlanjut ke Denpasar, Bali. Meski terkenal akan keindahan pantainya, seperti Kuta, Jimbaran, Pandawa dll, mereka justru menemukan pantai yang ditumpuki aneka sampah plastik yang hanyut dari laut. Seperti deja vu, pengabaian lingkungan tampak sama kuatnya di sini.
Prof Bambang menatap laut dengan raut prihatin. “Gangguan konektivitas otak juga berperan,” katanya pelan. “Korteks prefrontal dan amigdala harus selaras agar kita bisa sadar dan tergerak menjaga lingkungan. Jika koneksi itu terganggu, sinyal emosi dari amigdala tidak cukup kuat menahan dorongan impulsif.”
“Sama seperti jaringan neuron cermin (mirror neuron system) yang mempermudah kita meniru perilaku positif,” sambung Dr. Diah. “Kalau jaringan ini tidak bekerja baik, orang susah meniru aksi peduli lingkungan.”
Malam terakhir di Bali, ketiganya duduk di kedai kopi Temu, milik pasangan media darling Indonesia: Raisa Andriana dan Hamish Daud, di kawasan Seminyak, merenung dan memandangi sisa sunset jingga keemasan yang masih sedikit tersirat di gelapnya langit selatan. Diskusi pun mengerucut pada upaya intervensi.
“Pendidikan dan kampanye sejak dini,” kata Dr. Diah tegas. “Studi Schonert-Reichl et al. (2015) menunjukkan bahwa pelatihan empati dan manajemen stres pada anak-anak bisa memperkuat perkembangan otak sosial mereka.”
Prof Marius mengangguk. “Intervensi farmakologis pun bisa dipertimbangkan, misalnya SSRI untuk mengelola impulsivitas, atau semprotan oksitosin untuk meningkatkan rasa percaya dan empati (Guastella et al., 2010). Tapi tentu bukan solusi instan.”
Prof Bambang memandang keduanya dengan tatapan mantap. “Kita perlu rangkaian strategi; dari perbaikan kebijakan, pendidikan empati, hingga riset berkelanjutan. Karena, perilaku sosial bukan sekadar persoalan psikologis semata, tapi juga persoalan neurobiologis yang kompleks.”
Keesokan paginya dari bandara nan estetik yang kaya akan unsur dan ornamen etnik, Ngurah Rai, mereka akan kembali ke Yogyakarta membawa piranti digital yang telah dipenuh data dan laporan temuan yang siap dipublikasikan. Dalam perjalanan menuju bandara, Prof Bambang merenung. Ia yakin, pengetahuan tentang “otak sosial” akan membuka pintu bagi strategi efektif mengatasi perilaku abai pada lingkungan. Namun, perubahan paling inti tetap berada di tangan manusia itu sendiri; bagaimana setiap individu bisa merekonstruksi konektivitas otak dan menghidupkan empati demi bumi yang lebih lestari.
“Siapa sangka,” bathin Prof Bambang, “bahwa meneliti sampah bisa menjadi salah satu cara terhebat untuk memahami kerja tersembunyi otak manusia?”
Bacaan Untuk Menjemput Senja di Pantai Kedonganan
1. Koenigs, M., & Tranel, D. (2007). Neuroanatomical correlates of social emotion.
2. Blair, R. J. R. (2013). The neurobiology of psychopathic traits in youth. Nature Reviews Neuroscience.
3. Higley, J. D., et al. (1996). Serotonin and impulsive/aggressive behavior. Archives of General Psychiatry.
4. Kosfeld, M., et al. (2005). Oxytocin increases trust in humans. Nature.
5. Rilling, J. K., et al. (2002). A neural basis for social cooperation. Neuron.
6. Heim, C., et al. (2010). The potential role of neurobiology and genetics in childhood maltreatment. Child and Adolescent Psychiatric Clinics of North America.
7. Guastella, A. J., et al. (2010). Oxytocin increases gaze to the eye region of human faces. Biological Psychiatry.
8. Schonert-Reichl, K. A., et al. (2015). Enhancing cognitive and social-emotional development through a simple-to-administer mindfulness-based school program. Developmental Psychology.
Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.