
Pagi ini saya mulai membuka-buka PR dari Ibu Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan, yang maujud dalam sebuah buku super tebal yang bertajuk: Konsep Implementasi dan Dampak JAMINAN KESEHATAN NASIONAL, Perjalanan Satu Dekade. Semua data terkait sistem jaminan nasional tersaji di sana. Mulai dari tingkat kepesertaan, besaran iur, sampai kapitasi dan kemitraan dengan penyelenggara fasilitas kesehatan hadir dalam bentuk narasi dan angka, juga peraturan dan regulasi, sampai ke berbagai kelengkapan administrasi. Kumplit dan spesial sekali.
Tapi entah bagaimana, secangkir kopi yang saya konsumsi tadi pagi, justru mendorong terjalinnya koneksi sinaptik dari neuron yang tereksitasi hingga terjalin untai kognisi dengan struktur memori yang merekonstruksi jembatan antara tugas untuk mempelajari berbagai informasi jaminan kesehatan negeri ini dengan tugas yang dimandatkan mentor saya Prof Hammam Riza yang menahkodai KORIKA, untuk memetakan prioritas pemanfaatan AI di bidang kesehatan.
Maka sebelum pikiran kita mengembara terlampau jauh, mari kita mulai dengan kondisi yang membumi;
masalah pelayanan kesehatan negeri ini.
Penyakit tidak menular (PTM) merupakan salah satu tantangan kesehatan terbesar di abad ke-21. Berdasarkan catatan Pradipta RO (Universitas Airlangga, 2023), PTM telah menjadi perhatian global baik di negara berkembang maupun negara maju dengan kontribusi 41 juta dari total 57 juta kematian dunia (71%). PTM terdiri atas beberapa jenis utama, yaitu penyakit kardiovaskular (44%), kanker (9%), penyakit pernapasan kronis (9%), dan diabetes (4%). Lebih lanjut, 75% kematian dini (usia 30-69 tahun) terjadi akibat PTM. Fakta ini menjelaskan mengapa beban pelayanan kesehatan terus meningkat, mulai dari tingginya angka rawat inap, kebutuhan obat-obatan mahal, hingga kesiapan fasilitas kesehatan untuk menangani kasus-kasus kompleks.
Di Indonesia, beban fasilitas kesehatan amat berat. Di satu sisi, jumlah pasien meningkat pesat, terutama penderita PTM, sementara di sisi lain, ketersediaan sumber daya kesehatan belum sepenuhnya mampu mengimbangi. Data dari dashboard RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) menunjukkan tingginya angka kunjungan rawat jalan dan rawat inap, dengan persentase Bed Occupancy Rate (BOR) yang sering berada di atas 80%.
RSCM juga melaporkan ribuan tindakan bedah dan prosedur diagnostik tiap bulan, belum termasuk layanan penunjang medis lainnya. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa rumah sakit rujukan nasional pun masih terus berjuang untuk memenuhi kebutuhan pelayanan.
Kesiapan infrastruktur, tenaga medis, dan teknologi kesehatan, bersama persoalan pembiayaan dan jaminan kesehatan menjadi tantangan besar. Defisit pendanaan, rendahnya kepatuhan sebagian masyarakat membayar iuran, serta beban biaya yang terus meroket akibat penyakit kronis, menuntut lahirnya model pendanaan kesehatan yang lebih inovatif dan berkelanjutan.
Salah satu konsep yang banyak dibahas untuk memperkuat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah pendekatan hibrida. Model Beveridgebdi Inggris (NHS) mengandalkan pajak umum untuk menyediakan layanan kesehatan publik. Sedangkan model Bismarck di Jerman/Jepang memanfaatkan asuransi sosial dengan iuran pekerja dan pemberi kerja, sementara model National Health Insurance (NHI) di Kanada menganut sistem single payer yang sederhana, namun tetap memerlukan kolaborasi pendanaan dari berbagai sumber.
Bagi Indonesia yang memiliki populasi besar dan beragam, mengkombinasikan ketiga model ini berpeluang menghasilkan skema pembiayaan yang kokoh. Sumber pendanaan yang bersifat berkesinambungan pun memerlukan pendekatan lintas sektoral berupa keselarasan kebijakan fiskal terkait. Beberapa sumber pembiayaan alternatif yang dapat dipertimbangkan untuk diintensifikasi antara lain adalah;
Pendanaan dari Pajak & Cukai (Beveridge), dimana pajak penghasilan dan pertambahan nilai yang sudah maksimal jangan dibebani lagi dengan tambahan untuk insentif pembiayaan kesehatan. Fokus intensifikasi bisa pada pajak produk beresiko kesehatan/tax health yang diterapkan untuk produk makanan beresiko kesehatan seperti tinggi gula, garam, dan lemak, serta minuman beralkohol), juga melalui cukai rokok.
Mengapa faktor resiko layak dikenai bea tambahan melalui instrumen fiskal seperti pajak dan cukai? Karena keuntungan yang didapat oleh shareholder dari produk-produk ini berkontribusi pada peningkatan biaya kesehatan karena resiko penyakit yang diinisiasinya. Meski tentu saja jika dimodeling dengan pendekatan matematika kuantitatif, bobot ataupun konstanta faktor kontribusi dari produk pangan beresiko harus dihitung secara presisi dan berkeadilan dengan biaya yang ditimbulkan oleh faktor-faktor penyebab lain dalam teori HL Blum misalnya.
Sejujurnya masih diperlukan penelitian mendalam yang bersifat lintas disiplin terkait dengan dampak asupan produk beresiko dan bobot pengaruh atau kontribusinya dibanding dengan faktor lain seperti genetik, gaya hidup (sedentari), kondisi habitat/lingkungan, pekerjaan, budaya, sampai sosial ekonomi.
Tapi pada umumnya tak dapat dipungkiri pula bahwa produk makanan ringan yang kerap dianggap beresiko kesehatan memang memliki kandungan garam, gula, dan lemak yang cukup tinggi. Nilai akumulatif pada konsumsi harian dapat menunjukkan angka objektif yang perlu diketahui untuk mengukur tingkat pengaruhnya pada etiologi kondisi patologis tertentu.
Sebagai gambaran pada 2021 rata- rata tiap orang di Indonesia mengkonsumsi 4,6 kg makanan ringan. Angka ini meningkat 5% dari tahun 2020 dimana rata- rata konsumsi makanan ringan per kapita di Indonesia sebesar 4,4 kg per orang per tahun. Sedangkan di tahun 2022, angka ini mengalami peningkatan sebesar 6,5% menjadi 4,9 kg per kapita per tahun. Bandingkan dengan angka konsumsi ikan per kapita di Indonesia pada tahun 2023 yang mencapai 57,61 kilogram. Konsumsi makanan ringan mencapai 8,5% dari konsumsi ikan.
Terkait dengan produk-produk beresiko kesehatan yang telah dibuktikan secara saintifik melalui serangkaian penelitian akademik yang dilakukan oleh lembaga dan peneliti bereputasi dan kredibel, dapat dipertimbangkan penerapan pajak bergenre Pajak Hipotekasi Kesehatan atau PHK. Secara berkeadilan, sesuai dengan prosentase, porsi, dan bobot kontribusi sesuai analisis probabilitas statistik, dan dibebankan pada produsen dengan catatan diregulasi sedemikian agar tidak merubah HET atau harga eceran tertinggi, hingga tidak membebani konsumen dan tidak memantik terjadinya kontraksi karena peningkatan laju inflasi dan indeks harga konsumen.
Adapun PHK sendiri bukanlah barang baru, ide tahu bulat (karena digoreng dadakan) saya ini juga berangkat dari penelusuran terkait model pembiayaan kesehatan di berbagai negara di dunia.
Pajak hipotekasi, atau yang sering disebut earmarked tax; adalah jenis pungutan yang pendapatannya dialokasikan khusus untuk membiayai program atau pengeluaran tertentu. Alih-alih semua pendapatan pajak terkumpul dalam satu “pundi” besar (dana Konsolidasi) untuk didistribusikan dan dibelanjakan secara luas, pajak hipotekasi mengikat (meng-“hipotekkan”) pendapatan pajak pada pos belanja spesifik. Contoh klasiknya adalah pajak penggunaan jalan, jembatan, pelabuhan, atau pungutan kapal yang dalam sejarahnya ditujukan khusus untuk perawatan infrastruktur atau pemeliharaan armada laut.
PHK yang merupakan pengembangan dari pajak terhipotekasi kini dapat dijalankan dengan relatif mudah, murah, akurat, dan tervalidasi, karena dapat dikelola dengan teknologi Block Chain. Di mana konsep distributed ledger selain meningkatkan optimasi proses otorisasi, juga memudahkan proses tracing aliran dana yang sudah dilabeli sebagai dana hipotek kesehatan. Data dana akan terklasifikasi secara otomatis dan masuk ke pos pembukuan anggaran kesehatan secara transparan, akurat, dan tervalidasi.
PHK sebenarnya konsep pajak dan cukai paling primordial, tapi dengan formulasi proporsi secara berkeadilan dengan dukungan teknologi Block Chain, pajak hipotek dapat menjadi alternatif yang efektif saat ini.
Resiko penerapannya pun “resiko bagus”, mengapa? Karena jika penerapan PHK berjalan dan produsen serta distributor banyak menjual produk beresiko kesehatan di batas atas HET, maka yang akan terjadi adalah penurunan angka konsumsi karena limitasi daya beli secara psikologi.
Pajak Hipotek sendiri sudah dikenal sejak jaman Yunani Kuno, dimana pajak tidak ditarik secara langsung dari warga negara perorangan. Negara kota (polis) membebankan pungutan atas aktivitas komersial tertentu; misalnya pungutan untuk menggunakan jalur laut atau pelabuhan, dan hasilnya dialokasikan langsung untuk merawat fasilitas tersebut.
Sementara di Inggris abad pertengahan berlaku “Ship Money” (pajak kapal) yang dipungut oleh Raja Charles I, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan biaya pemeliharaan kapal angkatan laut kerajaan di masa damai. Namun, pemaksaan pungutan ini (terutama di kota-kota pesisir) memicu ketidakpuasan yang berkontribusi pada pecahnya Perang Saudara Inggris dan berakhir dengan tumbangnya kekuasaan Sang Raja.
Untuk pembiayaan kesehatan, konsep pajak hipotekasi dapat diterapkan sebagai berikut, pemerintah menetapkan pajak tambahan (surtax) atas produk atau aktivitas yang berdampak pada kesehatan (misalnya minuman bergula, cemilan asin, manis, berlemak, rokok, atau bahan makanan ultra-proses).
Hasil pungutan ini dialokasikan langsung untuk menambah dana jaminan kesehatan (misalnya untuk menutup biaya segmen penerima bantuan iuran, program promotif-preventif, atau subsidi obat untuk penyakit kronis).
Selanjutnya pajak hipotekasi atau PHK, dapat dimasukkan ke pooling fund sebuah lembaga payor (misalnya BPJS Kesehatan) namun dengan “label” khusus. Hal ini bisa dilakukan dengan teknologi BC. Artinya, dana ini hanya boleh digunakan untuk layanan kesehatan tertentu, misalnya deteksi dini (skrining) PTM, pencegahan stunting, atau pembiayaan infrastruktur faskes di daerah pelosok atau 3T, tertinggal-terdepan-terluar.
Pajak hipotekasi harus diatur melalui undang-undang/peraturan tegas yang mengunci penggunaan dana demi menghindari penyimpangan. Transparansi dan pelaporan publik harus menjadi fungsi mandatori, karena dengan tersedianya laporan realisasi penggunaan dana secara periodik diharapkan akan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat. Kebersinambungan kebijakan dan program diperlukan untuk memastikan sumber pendapatan pajak tetap stabil (atau dialihkan secara terencana jika perilaku konsumsi berubah). Skenario cadangan perlu disiapkan agar dana kesehatan tidak tiba-tiba defisit.
PHK atau pajak hipotekasi kesehatan, kketika dikelola secara transparan, akuntabel, dan fleksibel; berpotensi menjadi sumber pendanaan kuat untuk membiayai jaminan kesehatan, terutama bagi negara yang masih menghadapi defisit di sektor kesehatan. Mengingat beban penyakit tidak menular (PTM) dan biaya perawatan yang kian meningkat, strategi mengarahkan pendapatan pajak ke layanan kesehatan tertentu dapat membantu menyeimbangkan neraca pembiayaan jangka panjang.
Model pembiayaan jaminan kesehatan lainnya yang dapat dimodifikasi adalah Asuransi Sosial (Bismarck), di mana iuran formal yang didapatkan dari pekerja dan pemberi kerja, serta iuran mandiri (PBPU), adalah sumber pendanaan utama dari sistem penjaminan kesehatan nasional suatu negara.
Model lainnya adalah model pendanaan campuran (NHI), yang dapat mengkonsolidasi dana yang bersumber dari Sovereign Wealth Fund (SWF), saat ini seperti yang dikelola DANANTARA, dana Zakat-Infaq-Shodaqoh (ZIS), CSR korporasi, carbon trade, hingga pajak lingkungan.
Jika seluruh sumber dana dari 3 alternatif campuran tersebut bisa didapatkan, maka dana dapat dikumpulkan dalam pooling fund yang dikelola satu lembaga payor (BPJS Kesehatan), dengan sistem yang mengintegrasikan berbagai fungsi koordinasi dan kontrol lintas kementerian dan lembaga; (Kemenkeu, Kemenkes, Bappenas, OJK, dsb.) untuk memastikan akuntabilitas pengelolaan dan alokasi dana tersebut.
Jika model pembiayaan sudah dapat menjamin ketersediaan catudaya finansial dalam proses pelayanan kesehatan berjenjang, maka secara paralel perlu dilakukan pula optimasi dalam hal penentuan proporsi dan distribusi pembiayaan dan pendanaan.
Untuk meningkatkan efisiensi di tingkat layanan primer, sistem kapitasi perlu diberlakukan secara optimal. Kapitasi adalah skema pembayaran prepaid dari badan penjamin kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), sehingga FKTP mendapat jendela peluang dan terdorong untuk berfokus pada upaya kesehatan promotif-preventif. Optimasi aspek pencegahan dan deteksi dini di FKTP di masa depan akan sangat terbantu dengan kehadiran teknologi Akal Imitasi (AI), IoT/internet of things~wearable device.
Formulasi Kapitasi, katakanlah besaran kapitasi per bulan di sebuah Puskesmas/klinik didefinisikan sebagai:
Kapitasi per FKTP = ( α × PM_dasar ) × (1 + β × R_morbid) × (1 + γ × R_preventif) × (1 – δ × Efisiensi_AI)
Penjelasan Variabel
– (α × PM_dasar) PM_dasar = nilai premi dasar per kapita, ditentukan dari total biaya kesehatan historis, proyeksi inflasi medis, dan standar operasional FKTP. α = bobot pendanaan pokok yang diperoleh dari pooling fund (integrasi pajak, iuran asuransi, SWF, dll.).
– (1 + β × R_morbid) β = koefisien penyesuaian risiko. R_morbid = indeks risiko morbiditas populasi di wilayah FKTP (misal angka hipertensi, diabetes, dsb.).
– (1 + γ × R_preventif) γ = koefisien insentif untuk upaya promotif-preventif. R_preventif = capaian target pencegahan (skrining, vaksinasi, edukasi kesehatan) yang dilakukan FKTP.
– (1 – δ × Efisiensi_AI) δ = koefisien efisiensi penerapan teknologi (misal telemedicine, AI).
Efisiensi_AI = persentase penurunan biaya akibat diagnosis dini, optimasi manajemen rujukan, dan pemantauan pasien kronis dengan AI.
Hasil perkalian keseluruhan faktor ini menghasilkan nilai kapitasi per kapita yang variatif dan dinamis sesuai kinerja FKTP, beban penyakit, serta inovasi teknologi yang ditetapkan.
Pada jangka menengah, upaya pencegahan berbasis _precision medicine_;dengan pemanfaatan data genom dan kecerdasan artifisial (AI) dalam _*predictive analytics*_ dapat menurunkan beban klaim. Secara konseptual, gagasan tersebut dapat dihitung dan bisa diformulasikan dengan rumus sebagai berikut:
Biaya_Klaim(t+1) = [ Biaya_Klaim_aktual(t) × (1+ i) ] × [ 1 – λ x Intervensi_Genom ] × [ 1 – μ × AI_Predictive_Reduction ]
Penjelasan makna notasi dalam rumus operasi
– Biaya_Klaim_aktual(t) = total klaim nyata tahun sebelumnya.
– (1 + i) = faktor inflasi medis tahunan.
– (1 – λ × Intervensi_Genom) = reduksi biaya akibat deteksi dini berdasarkan profil genetik (misal skrining BRCA untuk kanker payudara).
– (1 – μ × AI_Predictive_Reduction) = penghematan karena AI mencegah komplikasi penyakit melalui monitoring dan diagnosis cepat (telemedicine, wearable device, dsb.).
Dengan kata lain, semakin efektif strategi pencegahan yang didukung genomik dan AI, semakin berkurang pula beban klaim kuratif di masa mendatang.
Jika model integratif ini dijalankan, maka FKTP dapat memperoleh valuasi kapitasi lebih tinggi ketika dapat mengelola layanan kesehatan promotif-preventif yang efisien hingga angka rujukan karena kasus-kasus seperti PTM dapat berkurang. Hal ini dspag tercapai jika ada upaya untuk meningkatkan cakupan deteksi dini, dengan memanfaatkan teknologi AI untuk efisiensi layanan. Di sisi lain, masyarakat pun diuntungkan karena beban biaya dapat diminimalisir atau dirasionalisasi secara wajar sesuai dengan standar, dengan ketersediaan dana jaminan yang stabil dan berkelanjutan.