SMART ACCOUNTING
Dalam beberapa tulisan saya sebelum ini, saya kerap menyoroti kiprah petani milenial Ngantang Malang yang bernama Mas Nanda. Nah beliau ini selain seorang petani sejati dengan kebun riil di desa Ngantru Kabupaten Malang, juga seorang engineer dengan keahlian khusus di bidang programming, lulusan fakultas informatika Telkom University. Secara formal ia bekerja sebagai salah satu group head di departemen IT salah satu perusahaan rintisan bidang mina teknologi yang sudah mencapai level unicorn.
Tapi belakangan perusahaan rintisan ini mengalami masalah yang jika dibedah dari PoV kedokteran, dikenal sebagai radang dengan jenis kronis eksaserbasi akut. Penyakit yang sudah lama tapi “meledak” di waktu yang tak terduga. Mungkin seperti bisul pecah yang menyakitkan. Tiba-tiba perusahaan tempat Mas Nanda bekerja ini dilanda prahara yang teramat luar biasa di saat para shareholder nya mengungkap fakta yang mengguncang jagat pewayangan maya.
Apa yang sebenarnya terjadi pada usaha rintisan kebanggaan negeri itu? Informasi yang saya dapat dari media, dan tentu perlu diklarifikasi serta dikomparasi ulang dengan berbagai data dari berbagai sumber yang tervalidasi, antara lain adalah sebagai berikut:
Pada laporan keuangan internal, eFishery mengumpulkan pendapatan senilai Rp2,6 triliun selama periode 9 bulan, yakni Januari-September 2024. Sementara itu, laporan keuangan eksternal menunjukkan eFishery meraup pendapatan 4,8 kali lebih besar senilai Rp12,3 triliun.
Berdasarkan laporan keuangan yang diterbitkan untuk pihak eksternal, pertumbuhan pendapatan eFishery melonjak tajam. Pada 2021 senilai Rp1,6 triliun, lalu 2022 menjadi Rp5,8 triliun, dan 2023 menjadi Rp10,8 triliun, menurut dokumen yang diterima CNBC Indonesia, Kamis (23/1/2024).
Angka itu berbeda dalam laporan keuangan internal yang menunjukkan pendapatan eFishery sebesar Rp1 triliun pada 2021, lalu Rp4,3 triliun pada 2022, dan Rp6 triliun pada 2023.
Laporan internal dan eksternal juga timpang untuk pencatatan profit sebelum pajak. Berdasarkan laporan eksternal, eFishery membukukan profit sebelum pajak senilai Rp261 miliar selama periode Januari-September 2024. Padahal, versi laporan internal menunjukkan eFishery justru rugi Rp578 miliar dalam periode yang sama. (CNBC, Kamis 23/01/2025)
Dugaan yang kini muncul ke permukaan adalah terjadinya fraud dalam konteks tata kelola keuangan di sistem internal perusahaan rintisan tersebut. Kemungkinan motif dari perilaku dugaan fraud itu sendiri bisa beragam, dapat terkait dengan upaya meningkatkan citra kinerja perusahaan dalam hubungannya dengan pembiayaan dan tingkat kepercayaan investor, ataupun mungkin ada motif lain terkait dengan perilaku manipulatif yang jamak dijumpai pada kasus-kasus yang berhubungan dengan uang.
Menarik jika kondisi ini kita kaji juga dari perspektif neurosain, dimana perilaku manipulatif, termasuk fraud dapat dijelaskan melalui penelusuran beberapa fungsi otak dalam kondisi terkait.
Perilaku manipulatif seperti fraud keuangan tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor psikologis, sosial, dan biologis. Dari sudut pandang neurobiologi, perilaku manipulatif berkaitan erat dengan proses pengambilan keputusan, pengaturan emosi, dan sistem reward (sistem penghargaan) di otak. Berikut beberapa mekanisme utama yang kerap dihubungkan dengan perilaku manipulatif dan kecurangan, antara kain adalah; wanting& liking, di mana pada banyak kasus fraud, pelaku tergiur oleh potensi keuntungan finansial yang besar. Secara neurobiologis, “godaan” ini berkaitan dengan sistem dopaminergik, khususnya jalur mesolimbik (dari ventral tegmental area di batang otak menuju nukleus akumbens di area basal forebrain).
Dopamin tidak hanya mengatur rasa senang (liking), tetapi juga hasrat atau dorongan (wanting). Saat seseorang memprediksi atau membayangkan keuntungan, kadar dopamin dapat meningkat sehingga memunculkan motivasi kuat untuk memperoleh “hadiah” atau reward tersebut, meski caranya berpotensi melanggar norma dan etika, juga hukum positif yang berlaku.
Lalu ada pula fenomena risk bias& reward sensitivity, di mana sirkuit dopamin juga mempengaruhi persepsi terhadap resiko. Jika bagian otak yang terkait reward sensitivity bekerja lebih dominan, seseorang dapat meremehkan konsekuensi negatif atau hukuman yang mungkin terjadi.
Dalam konteks fraud, alih-alih memikirkan resiko hukum atau moral, dorongan untuk memenuhi kepentingan pribadi (keuntungan finansial, status, dsb.) menjadi lebih kuat karena sistem reward telah mengambil alih proses penilaian yang menimbulkan bias dan degradasi tingkat objektivitas.
Menarik untuk disimak bahwa kemampuan kendali diri dalam meregulasi pemuasan dan pemenuhan hasrat, termasuk yang memantik sifat manipulatif dalam konteks fraud, juga bergantung kepada kinerja beberapa bagian otak yang telah teridentifikasi sebagai regulator moral dan budi luhur. Peran Prefrontal Cortex dalam konteks kendali diri dan pengambilan keputusan misalnya, sangat relevan dengan pilihan eksekutif untuk melakukan manipulasi seperti di kasus-kasus fraud keuangan.
Di PFC ada area Orbitofrontal Cortex (OFC) dan Ventromedial Prefrontal Cortex (vmPFC) yang berperan dalam menimbang konsekuensi jangka panjang dan mengintegrasikan aspek emosional serta kognitif dalam pengambilan keputusan.
Pada perilaku manipulatif, fungsi OFC yang terganggu atau diabaikan (misalnya karena dorongan emosi dan reward yang berlebihan) dapat menyebabkan individu mengabaikan norma moral, resiko hukum, atau dampak kerugian bagi orang lain.
Sementara bagian dari PFC yang dikenal sebagai Dorsolateral Prefrontal Cortex atau dlPFC, adalah pusat “pengendalian eksekutif” (executive control) yang membantu menekan impuls, menyusun rencana, dan menilai resiko secara rasional.
Jika integritas atau aktivitas dlPFC berkurang (misalnya, di bawah tekanan stresor tinggi, tekanan eksternal, atau adanya rangsangan reward yang menggoda), kemampuan untuk mengontrol dorongan manipulatif melemah, sehingga seseorang cenderung melakukan tindakan curang.
Tak luput perlu kita beri atensi khusus juga dalam kasus manipulasi ini adalah peran dari sistem Limbik dalam proses regulasi emosi. Dimana Amigdala yang merupakan bagian dari sistem limbik, terlibat dalam memantik respons “takut” atau “cemas” terkait sanksi sosial, kerugian, atau hukuman.
Namun, dalam kasus manipulatif, dorongan untuk meraih untung cepat sering kali menurunkan sensitivitas terhadap ketakutan. Beberapa individu mungkin memiliki reaktivitas amygdala yang lebih rendah terhadap ancaman hukuman, membuat mereka lebih berani mengambil keputusan yang tidak etis.
Sementara bagian lain otak yang dikenal sebagai Anterior Cingulate Cortex (ACC), membantu mengawasi konflik internal antara dorongan reward (ingin melakukan kecurangan) dan norma atau etika moral (merasa bersalah atau takut hukuman).
Jika proses monitoring ini tidak berjalan dengan baik (atau dikalahkan oleh impuls reward), orang cenderung tetap menjalankan tindakan manipulatif meski menyadari potensi konsekuensinya.
Ada pula bagian otak yang bertugas menghasilkan sifat empatif yang berhubungan erat dengan moralitas dan perilaku manusia, namanya Insula. Insula kerap dikaitkan dengan empati dan persepsi terhadap penderitaan (diri sendiri maupun orang lain). Pada perilaku manipulatif, pemrosesan empati dapat terganggu atau secara sengaja diabaikan. Rendahnya empati dapat membuat seseorang lebih tega melakukan penipuan karena mereka tidak benar-benar “merasakan” kerugian yang dialami korban.
Sedangkan dalam konteks psikososial memang dikenal juga suatu mekanisme pembenaran diri (Self-Justification), di mana otak manusia cenderung mencari alasan rasional untuk menutupi perilaku salah. Proses ini bisa memunculkan distorsi kognitif, seperti “semua orang juga melakukan ini”, “ini kan hanya sementara”, atau “hasilnya juga demi kebaikan bersama kok”, yang dapat menonaktifkan sistem alarm moral.
Dimana peristiwa tersebut sebenarnya dapat dicegah jika kita terlatih untuk mengoptimalkan fungsi Default Mode Network (DMN) dalam proses refleksi diri. Dimana DMN (melibatkan medial prefrontal cortex, posterior cingulate cortex, dsb.) aktif saat otak sedang beristirahat atau merenung, termasuk proses refleksi moral.
Individu yang jarang melakukan refleksi moral ataupun pembiasaan “self-checking”/ tabayyun mungkin lebih mudah terdorong untuk melakukan hal-hal manipulatif tanpa merasa bersalah.
Kembali ke masalah fraud di perusahaan rintisan sekaliber unicorn di atas, e-Fishery adalah perusahaan rintisan Indonesia di sektor teknologi pakan perikanan terotomasi yang menarik perhatian karena inovasinya. Boleh dikata, inovasi para foundernya itu sangat brilian dan solutif.
Teknologi yang ditawarkan membantu peternak ikan untuk mengatur jadwal dan jumlah pakan secara otomatis, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan hasil panen. Dengan dukungan investor lokal dan internasional, dalam perjalanannya e-Fishery tumbuh pesat di beberapa tahun terakhir ini.
Kendati memiliki prospek cerah, e-Fishery kemudian dihadapkan pada kasus dugaan kecurangan (fraud) yang muncul di bagian keuangan. Modusnya ditengarai meliputi manipulasi laporan penjualan, mark-up biaya operasional, serta kemungkinan adanya penggelapan dana investor.
Awalnya, dugaan penyelewengan ini tidak terdeteksi karena manajemen terlalu fokus pada ekspansi bisnis dan perolehan pendanaan baru, sehingga aspek pengawasan keuangan kurang mendapat perhatian serius.
Kecurangan tersebut baru terungkap setelah adanya laporan ketidaksesuaian di laporan audit internal. Angka penjualan yang dilaporkan jauh lebih tinggi dibandingkan realitas di lapangan. Biaya operasional pun membengkak tanpa bukti pendukung yang memadai. Keseluruhan praktek fraud semacam ini pada gilirannya dapat menggerus kepercayaan investor dan mitra bisnis, serta menimbulkan kerugian materiil yang signifikan.
Tentu kasus ini menjadi alarm bagi banyak perusahaan rintisan, tak hanya di sektor perikanan, tapi juga di berbagai sektor lain. Pertumbuhan eksponensial startup kerap mengaburkan perhatian terhadap pengelolaan keuangan yang baik. Walau agaimanapun juga, fraud adalah ancaman nyata yang dapat muncul di tengah euforia ekspansi bisnis. Tanpa sistem akuntansi dan kontrol internal yang kokoh, kecurangan dapat terjadi dan berujung fatal bagi keberlanjutan perusahaan.
Mungkin ini saat yang tepat untuk kita bersama kembali mempelajari fungsi fundamental dari ilmu akuntansi. Sejarah akuntansi dapat ditelusuri sampai ke peradaban kuno Mesopotamia, di mana masyarakat saat itu sudah mengenal sistem pencatatan untuk keperluan perdagangan dan perpajakan. Dokumen tablet tanah liat (clay tablets) dari zaman Sumeria menunjukkan adanya catatan transaksi pertukaran barang (barter) dan distribusi hasil pertanian.
Meskipun pada tahap ini pencatatan masih sangat sederhana, prinsip utama yang digunakan; merekam informasi transaksi secara sistematis, yang menjadi fondasi dari akuntansi modern.
Pada era Yunani kuno, sistem pencatatan mulai berkembang untuk memfasilitasi perdagangan maritim dan administrasi negara. Masyarakat semakin menyadari pentingnya transparansi dan akurasi data keuangan. Di masa Romawi, praktik pembukuan meningkat pesat karena kebutuhan administratif yang semakin kompleks: penagihan pajak, pendanaan proyek infrastruktur, hingga pencatatan upah tentara.
Puncak perkembangan penting ilmu akuntansi berikutnya terjadi pada abad ke-15 di Eropa, khususnya di wilayah Italia utara yang makmur berkat perdagangan. Sistem pencatatan berpasangan (double-entry bookkeeping) mulai diperkenalkan oleh Benedetto Cotrugli dan kemudian dipopulerkan melalui karya ilmiah Luca Pacioli (1447-1517) yang berjudul Summa de Arithmetica, Geometria, Proportioni et Proportionalità (1494).
Metoda ini memberikan struktur “kredit-debit” yang memungkinkan setiap transaksi dicatat secara sistematis dan memudahkan pelacakan arus keuangan. Prinsip pengawasan internal (internal control) pun lahir dari sistem ini, sebab kesalahan dan ketidaksesuaian lebih mudah terdeteksi.
Memasuki abad ke-19 dan 20, kebutuhan akan transparansi dan akuntabilitas meningkat seiring dengan berkembangnya revolusi industri dan munculnya perusahaan-perusahaan besar. Lembaga-lembaga profesional akuntan mulai terbentuk, seperti The Institute of Chartered Accountants di Inggris dan lembaga sejenis di negara-negara lain. Standar akuntansi pun disusun secara formal demi memastikan keseragaman pelaporan keuangan di berbagai perusahaan.
Pada abad ke-20, peran akuntansi semakin diakui sebagai instrumen penting bagi stabilitas ekonomi. Lahirnya Securities Exchange Commission (SEC) di Amerika Serikat setelah Depresi Besar 1929, dan diimplementasikannya International Financial Reporting Standards (IFRS) di banyak negara, menunjukkan bahwa akuntansi bukan lagi sekadar pencatatan keuangan, melainkan kerangka kerja global yang berpengaruh pada tata kelola dan pengambilan keputusan bisnis.
Kasus-kasus skandal keuangan besar seperti Enron, WorldCom, hingga beberapa kasus terbaru di berbagai penjuru dunia, semakin menekankan betapa pentingnya akuntansi yang akuntabel. Munculnya peraturan seperti Sarbanes-Oxley Act (2002) di Amerika Serikat menandai babak baru pemantauan praktik akuntansi melalui kewajiban transparansi lebih ketat, pengawasan dewan direksi yang lebih baik, serta sanksi yang lebih tegas. Kesadaran ini memicu semua pemangku kepentingan (pemilik, manajemen, auditor, regulator) untuk membangun sistem kontrol internal yang dapat menekan terjadinya fraud.
Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi, termasuk kecerdasan artifisial atau akal imitasi sebenarnya dapat sangat membantu proses audit dalam ranah akunting. Pada praktiknya, AI mampu mengautomasi proses yang sebelumnya manual, meningkatkan akurasi pencatatan, hingga mendukung pengambilan keputusan yang berbasis data secara lebih cepat.
Berikut adalah beberapa peran AI dalam akuntansi beserta model AI yang dapat digunakan, serta fungsi-fungsi akuntansi yang dapat dioptimalkannya, seperti Automated Data Entry, dimana banyak pekerjaan dasar akuntansi, seperti input data transaksi, dapat diotomatisasi dengan pemrosesan bahasa alami (Natural Language Processing, NLP) atau teknologi Optical Character Recognition (OCR).
Contohnya, sistem AI dapat memindai faktur (invoice) maupun tanda terima (receipt) fisik, lalu mengekstraksi informasi numerik (nomor faktur, nominal transaksi, tanggal, dll.) untuk langsung dimasukkan ke dalam sistem akuntansi. Juga implementasi Robotic Process Automation, meski proses otomasi ini tidak sepenuhnya menerapkan AI dalam prosesnya, tetap saja RPA dapat memudahkan integrasi dan alur kerja (workflow) yang menjadikan proses pelaporan dan audit akuntansi menjadi lebih efektif dan efisien.
RPA juga dapat membantu mengeksekusi tugas berulang, misalnya memproses dokumen, memindahkan data antar-sistem, dan menyiapkan laporan periodik. Dengan cara ini, bagian bookkeeping’ atau pembukuan dapat berjalan lebih efisien dan mengurangi risiko kesalahan manusia (human error).
AI juga dapat berperan optimal dalam mekanisme deteksi anomali dan pencegahan fraud, di mana model AI seperti unsupervised learning (misal Isolation Forest, One-Class SVM) atau supervised learning (misal Random Forest, Neural Networks) dapat memindai pola transaksi untuk mendeteksi anomali.
Hingga ketika sistem mampu mendeteksi dan mengidentifikasi transaksi yang menyimpang dari pola historis, auditor atau tim keuangan dapat segera melakukan verifikasi lebih lanjut.
Algoritma machine learning (misal Logistic Regression, Gradient Boosting, Neural Networks) dapat dilatih menggunakan data historis transaksi yang terbukti mengandung kecurangan atau fraud detection. Setelah melalui proses pelatihan dengan dataset khusus, sistem mampu menilai kemungkinan kecurangan secara real-time.
Maka proses deteksi dini terhadap anomali dapat membuat perusahaan akan lebih sigap mencegah terjadinya fraud yang dapat berdampak serius terhadap kesehatan finansial maupun reputasi perusahaan.
Sebenarnya tak hanya dalam persoalan deteksi anomali dan pencegahan fraud saja, AI dapat berperan. AI juga dapat mengoptimalkan proses analisis data dan prediksi dinamika keuangan. Model AI seperti Long Short-Term Memory (LSTM) dan Recurrent Neural Networks (RNN) dapat digunakan untuk memprediksi tren keuangan, termasuk perkiraan penjualan, biaya, dan arus kas (cash flow). Bahkan baru saja beberapa hari yang lalu, salah satu mahasiswa pascasarjana bimbingan Prof Suhono di ITB telah berhasil mempertahankan tesisnya tentang peran LSM dalam prediksi fluktuasi saham LQ45 di sektor keuangan.
Pada gilirannya prediksi dinamika keuangan dengan AI yang lebih akurat tentu dapat membantu pengambilan keputusan terkait pengelolaan modal kerja, pengaturan persediaan, dan strategi investasi.
Dengan menggabungkan business intelligence tools dan AI, laporan manajerial (Management Accounting Reports) dapat dihasilkan secara otomatis dan diperbarui secara berkala sesuai kebutuhan pimpinan.
Penjelasan naratif (narrative reporting) berbasis AI (LLM~Gen AI) juga dapat membantu menyajikan data keuangan dalam bentuk yang lebih mudah dipahami oleh manajemen non-akuntansi.
Pada gilirannya, para pengambil kebijakan (decision maker) dapat lebih berfokus pada strategi dan pengembangan bisnis ketimbang terjebak pada urusan administratif yang dapat menjurus pada kondisi kontra produktif.
Adapun Model AI yang umum digunakan dalam ranah akuntansi antara lain adalah Supervised Learning Models seperti Linear/Logistic Regression, Decision Tree, Random Forest, dan Gradient Boosting, yang kerap digunakan untuk memprediksi nilai numerik (contohnya penjualan di masa depan) atau mengklasifikasi transaksi yang berpotensi fraud.
Lalu dapat pula digunakan model Unsupervised Learning Models, seperti K-Means Clustering, DBSCAN, Isolation Forest, dan One-Class SVM, yang berguna untuk mendeteksi pola transaksi yang tak biasa (anomali) dan segmentasi pelanggan atau produk.
Tentu saja model Deep Learning seperti Convolutional Neural Networks (CNN) berperan krusial dalam akunting. Umumnya CNN digunakan untuk pengolahan gambar (misalnya dokumen invoice, struk, dsb.). Sedangkan Recurrent Neural Networks (RNN), dan LSTM jamak digunakan untuk memprediksi tren dan pola data deret waktu (time series) seperti arus kas atau penjualan harian. Hasil akhir dari pross pembuktian atau audit dapat memperoleh sentuhan model Transformer-based Models (BERT, GPT), untuk phembuatan laporan naratif secara terotomasi melalui pemrosesan bahasa alami, praktis bukan ?
Maka jika perusahaan rintisan, institusi pemerintahan, atau entitas bisnis lainnya (yayasan dll) dapat mengoptimalkan fungsi teknologi digital (termasuk AI), maka diharapkan tingkat akuntabilitas dan arah bisnisnya akan semakin objektif dan transparan, yang ditandai dengan sistem pengambilan keputusan yang rasional dan dapat terbebas dari distorsi akibat adanya kesempatan untuk memanipulasi sistem.
Lebih khusus lagi, peran AI dalam ranah akuntasi antara lain meliputi optimasi fungsj pembukuan atau bookkeeping (Pembukuan Dasar), dimana otomatisasi pencatatan transaksi, penghitungan piutang dan utang, serta rekonsiliasi bank dapat dilakukan secara otomatis dengan tingkat akurasi tinggi dan presisi. Hal ini tentu dapat mengurangi beban pekerjaan manual dan meminimalkan kesalahan krusial seperti input data.
Dalam konteks budgeting dan perencanaan keuangan, AI dapat membantu menyusun anggaran berbasis data historis secara lebih akurat. Hingga dapat mempercepat proses revisi anggaran jika ada perubahan asumsi makroekonomi atau perubahan strategi bisnis.
AI juga dapat mengoptimalkan fungsi audit internal perusahaan atau institusi tertentu melalui pemanfaatan algoritma machine learning untuk menyeleksi sampel yang memiliki tingkat resiko tinggi. Hal inj tentu mempermudah penelusuran bukti transaksi dan mempersingkat durasi audit.
Pembuatan laporan berkala dan laporan khusus (special reports) juga dapat diotomasi, misal dengan penerapan NLP untuk membuat uraian naratif (narrative reporting) berdasarkan temuan kunci di laporan keuangan.
Dalam konteks manajemen resiko dan kepatuhan (Compliance), sistem AI dapat memonitor perubahan regulasi (misalnya perubahan pajak, standar akuntansi) dan memperingatkan tim akuntansi mengenai kewajiban pelaporan yang harus dipenuhi. Juga mengidentifikasi transaksi yang berpotensi melanggar peraturan atau etika bisnis. Lengkap bukan fungsi akuntansi yang dapat disubstitusi atau dikomplementasi oleh AI ?
Akhirul kalam, sebagai renungan, tampaknya jika kita dapat mengoptimasi pemanfaatan teknologi, termasuk AI, maka kemungkinan munculnya kecurangan dan potensi untuk berbuat dosa melalui mekanisme manipulasi seperti fraud dapat direduksi. Maka bisa saja pada masanya (sebentar lagi), teknologi akan menjadi bagian dari Guardian of Integrity. Hal yang sudah dipraktikkan oleh seorang Ignasius Jonan di PT Kereta Api Indonesia.
Jonan menggunakan teknologi yang terbukti mampu mencegah terjadinya manipulasi tiket kereta dan penyimpangan keuangan karena keterlibatan unsur manusia yang tak terbebas dari hasrat pada saat mendapat peluang dan kesempatan. Sistem tiket elektronik yang dirancang dan diterapkan Jonan, pada gilirannya tak hanya berhasil menanamkan kedisiplinan kepada para pengguna jasa layanan transportasi kereta api, hingga rela antri dan tertib dalam menggunakan sarana dan prasarana perkeretaapian, juga terbukti mampu menekan tingkat korupsi dan kebocoran keuangan di internal perusahaan. Pak Jonan yang juga seorang sarjana akuntansi alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Surabaya, telah membuktikan bahwa penerapan teknologi yang tepat ternyata dapat mengoptimalkan tak hanya kinerja perusahaan saja, melainkan juga akhlaq manusia. 🙏🏾🙏🏾🩵