BANDIT dan KERETA
Perubahan pada Grafik Perjalanan Kereta Api tahun 2025, antara lain ditandai dengan hadirnya beberapa kereta api dengan relasi baru, peningkatan kecepatan di jalur tertentu, dan perubahan nomenklatur beberapa kereta. Salah satunya Argo Parahyangan yang kembali ke nama legendarisnya: Parahyangan.
Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 31 Juli 1971, Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) meluncurkan KA Parahyangan. Saat itu rangkaian KA Parahyangan dihela oleh lokomotif diesel hidraulik BB301 yang dapat menempuh perjalanan dari Jakarta menuju Bandung dalam waktu empat jam tiga menit.
Lokomotif BB 301adalah lokomotif diesel hidraulik milik PT Kereta Api Indonesia (Persero) buatan pabrik Fried Krupp dan Krauss-Maffei, Jerman Barat. Dimana BB 310 yang digunakan oleh KA Parahyangan berdaya mesin sebesar 1.010 kW (1.350 hp) dengan berat lokomotif sebesar 52 ton. Lokomotif ini biasa digunakan untuk menarik kereta penumpang ataupun kereta barang, termasuk untuk langsiran Lokomotif ini dapat berjalan dengan kecepatan maksimum 120 km/h (33 m/s). Lokomotif ini bergandar B’B’, artinya lokomotif ini memiliki dua bogie yang masing-masing memiliki dua poros penggerak yang saling dihubungkan.
Selanjutnya mulai era 80an KA Parahyangan dihela oleh lokomotif diesel elektrik CC201. Lokomotif CC201 adalah lokomotif diesel elektrik yang diproduksi oleh General Electric Transportation dengan model GE U18C. Lokomotif CC201 mempunyai massa 84 ton. Desain lokomotif ini lebih ramping serta mampu menghasilkan daya sebesar 1.454 kW (1.950 hp). Lokomotif ini memiliki susunan gandar Co’Co’, yakni dua bogie yang masing-masing memiliki tiga gandar berpenggerak. Pada lintasan datar maupun pegunungan, kecepatan lokomotif CC201 dapat mencapai 120 km/h (33 m/s) (Wikipedia)
KA Parahyangan yang bereinkarnasi kembali mulai tanggal 1 Februari 2025 memang tak dapat dilepaskan dari catatan sejarah PT Kereta Api Indonesia, selain menghubungkan jalur KA legendaris, restorasi KA nyapun mempunyai legacy yang sampai hari ini masih dilestarikan sebagai menu andalan Reska dengan nama Nasi Goreng Legenda Parahyangan.
Tapi izinkanlah saya hari ini untuk menulis soal kereta api di jalur yang kini digunakan tak hanya oleh KA Parahyangan saja, melainkan juga KA Pangandaran dan Papandayan, serta Serayu, Harina, dan Ciremai ini dari perspektif masa lampau. Terkait suatu peristiwa kriminal besar yang menghebohkan Hindia Belanda di awal abad ke 20.
Era Hindia Belanda awal abad ke-20 ditandai dengan perkembangan pesat dalam berbagai bidang infrastruktur, terutama telekomunikasi, transportasi, irigasi, dan energi. Di sektor transportasi primadonanya adalah sub sektor perkeretaapian.
Di tengah geliat modernisasi ini, sebuah skandal penggelapan dana bank terbesar di Hindia Belanda, Nederlandsch-Indie Escompto Maatschappij (sering disebut Bank Escompto), mengguncang Batavia. Kisah ini berpusar pada sosok A.M. Sonneveld, mantan perwira KNIL yang kemudian menjadi buronan setelah membawa kabur uang nasabah senilai 122 ribu gulden. Pelariannya, yang menggunakan jalur kereta api dari Meester Cornelis (kini Jatinegara) menuju Bandung, kemudian Bandung ke Surabaya, menjadi saksi bisu betapa strategisnya jaringan rel di Tanah Jawa.
Pada awal 1900-an, Batavia (kini Jakarta) menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda sekaligus kota dagang terpenting. Di tengah gemerlap kota, berdiri sebuah tempat hiburan malam termashyur bernama Societeit Harmoni. Sedemikian elitnya klub ini, hingga di masa itu sudah mengimpor balok es dari Amerika Serikat, karena pada masa itu belum ada teknologi kulkas.
Di sanalah hampir setiap malam A.M. Sonneveld dan istrinya berpesta, menikmati sajian mahal tanpa memedulikan biaya. Sonneveld, yang sebelumnya perwira KNIL, tampak seolah benar-benar kaya dari karier profesional atau keturunannya. Usai pensiun dini dari ketentaraan, ia bekerja di Bank Escompto sebagai kepala bagian keuangan nasabah. Tidak ada yang meragukan sumber kekayaannya karena jabatan tersebut memang strategis dan bergaji besar.
Namun, segenap citra glamour dengan segala atribut kemewahan itu berakhir tiba-tiba pada awal September 1913. Koran-koran di Hindia Belanda, termasuk Harian Deli Courant edisi 5 September 1913, menulis berita besar bahwa Sonneveld terbukti melakukan pencurian uang nasabah Bank Escompto sejumlah 122 ribu gulden.
Setelah pihak bank melakukan audit internal, terbongkarlah “permainan kotor” Sonneveld. Menyadari perbuatannya mulai terendus, Sonneveld dan istrinya segera kabur meninggalkan Batavia sebelum polisi sempat menetapkan mereka sebagai tersangka.
Pada tahun 1913 itu, jalur kereta api di Batavia tengah berkembang pesat. Salah satu stasiun penting adalah Stasiun Meester Cornelis, yang kini dikenal sebagai Stasiun Jatinegara. Pada masa itu, stasiun ini menjadi penghubung utama jalur timur (lintas Karawang–Cikampek–Purwakarta–Bandung) milik Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Memang stasiun Meester Cornelis tidak semegah Stasiun Beos (Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij) di area Batavia Kota (kini wilayah kota tua Jakarta), tetapi sangat strategis karena menjadi titik pemberangkatan untuk perjalanan ke wilayah Jawa bagian timur. Sonneveld dan istrinya memilih stasiun ini supaya dapat segera menyingkir ke luar kota tanpa harus banyak menarik perhatian di pusat kota Batavia.
Sebelum tahun 1900, perjalanan kereta dari Batavia ke Bandung hanya tersedia via Bogor (Buitenzorg)–Cianjur, jalur yang dibangun oleh Nederlansch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Namun jalur ini masih dirasa terlalu panjang, memutar, dan relatif perjalanan menjadi lambat. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah Hindia Belanda melalui Staatsspoorwegen membangun lintas timur melewati Karawang, Cikampek, dan Purwakarta.
Perencanaan jalur ini dimulai tahun 1900 (berdasarkan Staatsblad No. 8 Tahun 1901). Sedangkan pembangunannya sendiri mulai dikerjakan sejak 1902. Hingga kemudian jalur ini; Batavia–Bandung via Karawang–Cikampek–Purwakarta, mulai beroperasi pada 2 Mei 1906.
Pada tahun 1913, jalur ini sudah beroperasi lancar, dan menjadi pilihan utama banyak penumpang karena lebih cepat ketimbang lintas Bogor–Cianjur. Waktu tempuh rata-rata Batavia–Bandung via lintas timur di era itu berkisar 5–6 jam (tergantung jadwal dan jumlah pemberhentian).
Di jalur ini, Staatsspoorwegen mengoperasikan beberapa rangkaian kereta penumpang reguler, di antaranya: Kereta Kelas Campuran (Kelas 1 & 2) yang kerap disebut SS Klasse 1/2. Di mana kereta ini melayani penumpang kelas atas dan menengah. Lalu ada alternatif berupa kereta ekonomi kolonial (Kelas 3), yang biaasa disebut “Kereta Rakyat,” dan diperuntukkan bagi penduduk pribumi serta penumpang berkantong tipis.
Dalam kasus Sonneveld, besar kemungkinan ia naik kereta kelas atas (Klasse 1/2) demi kenyamanan dan demi menyembunyikan statusnya sebagai buronan.
Lokomotif yang umum dipakai Staatsspoorwegen pada awal abad ke-20 adalah lokomotif uap seri C28 atau C50 ( berdasarkan pengelompokan SS lama). Tipe lokomotif uap dengan spesifikasi 2-6-0 atau 2-6-2 (dua roda penuntun, enam roda penggerak, dan kadang dua roda belakang penuntun). Kecepatan maksimumnya sekitar 50–60 km/jam di lintasan datar. Namun, di jalur berkelok dan menanjak, laju bisa turun hingga 30–40 km/jam. Hingga sesuai dengan kapasitas lok dan jaringan rel pada saat itu, waktu tempuh Batavia (Meester Cornelis) – stasiun Bandung rata-rata 5–6 jam sesuai kondisi jalur dan jumlah perhentian.
Setibanya di Stasiun Bandung, salah satu stasiun tertua di Indonesia yang dioperasikan sejak 1884, Sonneveld dan istrinya segera melanjutkan perjalanan menuju Surabaya. Saat itu, jalur kereta lintas selatan dan utara di Pulau Jawa sudah relatif terintegrasi.
Dari Bandung, ada dua opsi jalur kereta ke Surabaya, lintas selatan (via Yogyakarta) dengan jalur Bandung–Banjar–Yogyakarta–Surabaya (melalui Kutoarjo, Purwokerto, Kroya). Atau lintas utara (melalui Cikampek lagi, lalu Semarang). Dari Bandung kembali ke Cikampek melalui Padalarang – Purwakarta, lalu meneruskan perjalanan ke Semarang, dan kemudian berlanjut ke Surabaya.
Peninggalan jalur rel dan stasiun-stasiun kuno era Hindia Belanda masih bisa dilacak hingga saat ini. Setiap lokomotif tua, setiap bekas jalur lama, seolah menyimpan jejak sejarah termasuk kisah dramatis buronan bernama A.M. Sonneveld. Di sanalah, sejarah kolonial Hindia Belanda menegaskan bahwa kemajuan teknologi selalu memiliki dua sisi mata uang: pembangunan ekonomi dan modernisasi, serta peluang kejahatan yang kian canggih dan terorganisasi.
Pada akhirnya pasangan Sonneveld berhasil ditangkap di Hongkong dan diekstradisi ke Batavia. Andai saja pelarian mereka itu terjadi di tahun 1920an dimana sudah ada transportasi udara, kisah pelarian mereka bisa punya ending yang berbeda.
Penerbangan pertama dari Amsterdam ke Batavia (Jakarta) dilakukan pada tahun 1924. Penerbangan ini merupakan hasil kerja sama antara Comité Vliegtocht Nederland-Indië (Komite Penerbangan Hindia Belanda) dan KLM. Penerbangan ini menggunakan pesawat Fokker F-VII bermesin tunggal, dan memakan waktu sekitar 55 hari perjalanan dengan pemberhentian (transit) di 20 kota. Tujuan dari penerbangan perdana ini adalah untuk memperlihatkan bahwa Eropa dan Asia bisa terhubung dengan aman lewat udara.
Sebelum penerbangan pertama dari Amsterdam ke Batavia ini, sudah pernah ada penerbangan militer pertama di Indonesia pada tahun 1913. Penerbangan ini dilakukan di seputar ruang udara Surabaya oleh penerbang asal Belanda. Penerbang militer Belanda pertama di Indonesia itu bernama Johan Willem Emile Louis Hilgers. Ia melakukan penerbangan militer di Surabaya pada tanggal 18 Februari 1913.
Sementara pada tahun 1934 ada suatu peristiwa bersejarah dalam dunia aviasi Indonesia. Pada tahun itu publik Hindia Belanda dikejutkan dengan kehadiran pesawat dengan prefix number PK-KKH. Dimana pesawat itu adalah pesawat Walraven-2 yang dibuat di Bandung, Pesawat ini dirancang oleh Kapten M.P. Pattist dan L.W. Walraven, sedangkan pengerjaan badannya dilakukan oleh teknisi pribumi bernama Achmad bin Talim.
Pesawat ini diterbangkan pertama kali oleh Letnan Satu Cornelis Terluin pada 4 Januari 1935. Dimana dalam perjalanannya, pesawat ini mendapatkan sertifikat laik terbang dalam 20 hari, dan didaftarkan dengan kode PK-KKH, yang merupakan singkatan dari nama pemiliknya, Khouw Khe Hien, pebisnis Bandung yang memliki toko Merbaboe.
Kemudian pesawat ini diterbangkan ke Belanda pada tahun 1935. Penerbangan ke Belanda ini membuat geger Eropa karena pesawat buatan Indonesia bisa sampai ke sana.
Kembali ke kereta api, perkembangan kereta api di Hindia Belanda juga tidak hanya berkutat pada penyediaan sarana dan prasara transportasi massal antar kota dan angkutan barang belaka, tetapi juga memunculkan inovasi yang menjanjikan pengalaman baru dalam hal efisiensi dan kecepatan. Dalam konteks inilah Eendagsche Express, yang berarti kereta satu hari (dalam bahasa Belanda), hadir sebagai layanan kereta cepat (express) yang menghubungkan Jakarta (waktu itu Batavia) dan Surabaya.
Menurut Henk Schulte Nordholt (2011), kehadiran kereta api menjadi simbol zaman modern karena menawarkan “pengalaman baru dalam pergerakan dan kecepatan.” Bukan hanya alat transportasi biasa, kereta api kala itu menandai perkembangan teknologi yang luar biasa di Hindia Belanda.
Di sisi lain, kota-kota besar seperti Batavia, Bandung, dan Surabaya semakin menjelma sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan budaya yang menurut Vickers (2005), ketiganya telah bergerak menuju status “metropolis” yang sibuk dan modern.
Berangkat dari tuntutan masyarakat yang menginginkan transportasi jarak jauh yang lebih cepat dan efisien, Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta milik pemerintah kolonial Hindia Belanda, menggagas layanan ekspres yang dapat mempersingkat waktu tempuh perjalanan. Hasilnya adalah Eendagsche Express yang diresmikan pada 1 November 1929. Kereta ini dirancang mampu memangkas durasi perjalanan Jakarta–Surabaya menjadi cukup ditempuh dalam satu hari.
Tentu upaya untuk memangkas waktu tempuh perjalanan kereta api, sebagaimana yang hari ini juga terus diupayakan dengan peningkatan kapasitas sarana dan prasarana berupa infrastruktur penunjang operasi seperti jalan rel, jembatan, sistem interlocking dan persinyalan, serta berbagai aspek rekayasa operasi seperti sistem pengendali perjalanan kereta api terotomasi, memerlukan effort khusus dari segenap pemangku kebijakan dan kepentingan.
Semoga konsep pengembangan sistem transportasi massal secara terintegrasi yang murah, ramah lingkungan, aman, nyaman, dan dapat menjadi faktor pengungkit ekonomi dapat terus dilakukan secara berkesinambungan.
Biarlah Sonneveld dan nyonya menjadi sekedar intermezzo tentang buron kasus korupsi bank yang menjadi bunga cerita di tulisan ini. Tapi inti dari artikel kita hari ini tentu bukan soal gangsir menggangsir aset bank bukan? Melainkan lebih berupaya untuk memantik upaya kita dalam menggangsir inovasi demi terciptanya solusi transportasi dengan prinsip berkesinambungan dan berkelanjutan di Indonesia tercinta ini 🙏🏾🩵🇲🇨