Tauhid Nur Azhar

EPEK GINCU

Libur panjang di penghujung bulan Januari 2025 yang baru saja usai, menyisakan banyak data untuk kita olah dan ambil hikmah. Kemacetan di berbagai destinasi wisata dalam negeri menjadi fenomena yang menggejala. Ada wisatawan tertahan selama lebih kurang 8 jam, dalam upayanya mencapai kawasan Puncak Bogor karena adanya rekayasa lalu lintas yang perlu dilakukan karena tingginya perlintasan pengunjung di ruas jalur Jagorawi-Simpang Gadog-Puncak Pass.

Ada pula potongan kabar viral terkait video pengunjung yang mengular untuk memasuki kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Antrian selain disebabkan oleh sekali jumlah kunjungan, jika karena adanya perilaku kurang tertib dari para wisatawan yang tidak mengindahkan berbagai ketentuan yang telah ditetapkan, seperti; kuota kunjungan harian dan metoda pembelian tiket secara daring yang akan memudahkan proses kunjungan.

Dari data yang dicatat BB TNBTS (Balai anesar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) jumlah pengunjung pada hari Minggu (26/1/2025) mencapai 6.109 orang sedangkan pada hari Senin (27/1/2025) tercatat sebanyak 5511 orang. Jumlah yang jauh di atas kuota harian yang 2.752 orang, dimana kuota tersebut diharapkan dapat menjaga kebestarian lingkungan kawasan, dan tentu juga demiki kenyamanan serta keamanan pengunjung sendiri.

Sementara di kawasan wisata lainnya, Lembang-Bandung Barat, yang memiliki banyak destinasi wisata keluarga menarik seperti Farm House, Floating Market, The Ranch, Lembang Zoo Park, dan Dusun Bambu, juga tercatat lonjakan kunjungan wisatawan yang luar biasa. Dinas Perhubungan Kabupaten Bandung Barat mencatat jumlah kendaraan yang melintas Lembang, pada Sabtu 25 Januari 2025 mencapai 58.855 kendaraan dengan rincian 33.738 kendaraan masuk Lembang dan 25.117 kendaraan melintas keluar Lembang. Data dari hari-hari berikutnya pun menunjukkan angka yang nyaris sama. Kemacetan tentulah menjadi konsekuensi wajarnya.

Demikian pula kita dapat melihat berbagai video viral di media sosial tentang tumpah ruahnya manusia di kawasan Malioboro Jogja, di stasiun KA, juga antrian di berbagai destinasi wisata. Ditambah pula cuaca awal tahun kali ini tengah mengalami dinamika yang cukup ekstrem.

Bahkan Prof Dwikorita selalu Kepala BMKG telah memperingatkan beberapa kepala daerah tentang adanya potensi bencana hidrometeorologi terkait dengan prediksi dinamika cuaca yang akan memasuki puncak musim hujan. “Kondisi ini dipengaruhi oleh kombinasi aktif beberapa fenomena atmosfer global, seperti La Nina lemah, Monsun Asia, Madden-Julian Oscillation (MJO), serta gelombang ekuatorial Kelvin dan Rossby,” Demikian jelas Prof Dwikorita saat rapat koordinasi kesiapan dan mitigasi bencana bersama penjabat Gubernur Jawa Tengah di Semarang.

Saya yang sempat menonton kemacetan luar biasa di dekat rumah, sambil berjalan kaki ke warung nasi Sidamulya yang sambal dadaknya joss gandos, untuk membeli lauk makan siang, terperangah. Melihat antrean kendaraan bermotor yang mengular dan terkunci dalam kemacetan kronis. Pengendara motor pun yang biasa selap-selip susulapan, indung anjing susuna dalapan, alias bisa berkelit dengan mencari dan memasuki celah sempit, kini posisinya juga ikut terjepit. Sebagian pengendara motor malah ada yang memilih untuk memarkir kendaraannya dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Mungkin pengendara ini termasuk warga lokal yang memang tujuannya berada di area kemacetan.

Yang jelas jangan ditanya berapa kadar emisi gas buang yang dihasilkan, konsumsi bahan bakar yang percuma, serta tingkat stress para pengguna jalan yang dapat terakumulasi sebagai stressor patologis di aspek psikoneuroimunologi ya. Karena saya sedang bingung dan bertanya-tanya, di tengah kelesuan ekonomi, sulitnya lapangan pekerjaan, dan terdegradasinya status kelas menengah karena berkurangnya daya beli, kok bisa yang berdarmawisata seramai ini?Duit darimana?

Memang di penghujung tahun 2024 ada angin segar tren perbaikan ekonomi, meski menurut saya pribadi tidak terlalu signifikan juga. Di tengah masih tingginya ketidakpastian dan dinamika perekonomian global, ekonomi Indonesia pada triwulan III-2024 mampu tumbuh sebesar 4,95% secara tahunan dengan inflasi yang terkendali pada rentang sasaran 2,5% ±1% yakni 1,71% di Oktober 2024.

Perekonomian Indonesia berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan III-2024 mencapai Rp5.638,9 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp3.279,6 triliun. Sedangkan pada Maret 2024, rata-rata pengeluaran per kapita penduduk Indonesia sebesar Rp1,5 juta per bulan. Dimana pengeluaran per kapita penduduk Indonesia untuk makanan pada Maret 2024 sebesar Rp751,79 ribu per kapita per bulan.

Indeks Harga Konsumen (IHK) di Indonesia pada tahun 2024 mengalami inflasi di berbagai bulan. Inflasi tersebut terjadi karena kenaikan harga pada sebagian besar kelompok pengeluaran. Pada bulan Februari 2024, IHK Indonesia tercatat sebesar 105,58 dengan inflasi tahun-ke-tahun (y-on-y) sebesar 2,75%. Sedangkab pada Juli 2024, tercatat IHK sebesar 106,09 dengan inflasi y-on-y sebesar 2,13%.

Data indeks harga konsumen (IHK) adalah data yang menunjukkan perubahan harga rata-rata dari barang dan jasa yang dibeli oleh masyarakat. IHK merupakan salah satu indikator ekonomi penting yang digunakan untuk mengukur tingkat inflasi.

Cara menghitung IHK adalah dengan membagi harga barang saat ini dengan harga dasarnya di periode sebelumnya, lalu dikalikan 100. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan tingkat kenaikan (inflasi) atau penurunan (deflasi) dari barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat.

Dengan melihat data tersebut, terus terang saya terkejut, dengan pengeluaran perkapita untuk makan sebesar sekitar 750 ribu rupiah, banyak orang masih bisa berwisata yang tentu saja memerlukan biaya cukup tinggi. Dimana biaya yang dikeluarkan meliputi biaya transportasi, akomodasi, konsumsi, dan tentu saja rekreasi.

Prakiraan saya terkait besarnya alokasi anggaran pada saat liburan itu terkonfirmasi dari data perputaran uang di daerah tujuan wisata pada saat liburan. Prakiraan perputaran uang di daerah wisata pada saat liburan panjang Libur Natal dan Tahun Baru 2024 misalnya, diperkirakan mencapai Rp150 triliun. Sementara pada libur Lebaran 2024 diperkirakan mencapai Rp369 triliun. Bahkan proses mudik Lebaran 2024pun diperkirakan berkontribusi pada perputaran uang mencapai Rp386 triliun. Sungguh jumlah yang fantastis bukan?

Data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung terkait dengan libur panjang atau _long weekend_ tahun lalu, menunjukkan bahwa lebih dari 195 ribu orang datang ke Kota Bandung selama 4 hari, kurang lebih 195.655 wisatawan. Dengan besaran pembelanjaan sebesar Rp306.224 per hari per wisatawan, maka diprediksi ada perputaran uang sebesar Rp59.914.256.720, – di kota Bandung selama masa libur panjang.

Maka jika belanja wisata mencapai 300 ribu per kapita dan biaya makan perbulan 750 ribu, satu hari berwisata itu telah menghabiskan jatah makan setengah bulan bukan? Tapi wisata itu penting. Mengapa? Karena multiplier effect nya. Dampak berantai dari peristiwa mobilisasi manusia dan uang saat wisata adalah pemantik berputarnya roda ekonomi, sekaligus juga metoda healing psikososial yang bila dikelola dengan tepat akan dapat memberikan solusi bagi masyarakat secara akurat.

Nah baru saja saya merenung di meja kerja pribadi di rumah gunung tentang berapa banyak yang yang harus disiapkan untuk berlibur bersama keluarga di masa vakansi lebaran nanti, tiba-tiba saya mendapat notifikasi di hape bahwa ada video terbaru dari Begawan Manajemen Indonesia, Prof Rhenald Kasali.

Saya pribadi pernah menjadi “anak buah” beliau, tepatnya sebagai faculty member di Rumah Perubahan, pada saat ada program pengembangan sumber daya manusia di salah satu BUMN. Ughaz, mantan murid saya di fakultas psikologi Universitas Kristen Maranatha, “menyeret” saya tercebur ke sana. Dan karena ulahnya itu saya pun merasa sangat berbahagia. Terimakasih banyak Ughaz yang bageur, cageur, dan pinter.

Kata Prof Rhenald dalam video terbarunya itu, kondisi dimana objek wisata ramai dan dipenuhi oleh wisatawan yang secara umum diketahui tengah terdampak krisis ekonomi yang mendekati resesi itu, dikenal sebagai Lipstick Effect. Bahkan ada satu istilah beliau yang amat menarik untuk disimak: Kemewahan yang Terjangkau.

Singkatnya kondisi perekonomian yang depresif ini memerlukan katarsis personal dan komunal dalam bentuk-bentuk yang secara rasional masih terjangkau, tapi dapat memberikan efek rekreatif yang menghibur sekaligus terukur.

Pak Rhenald menganalisis fenomena ini melalui telaah kasus pasca peristiwa 9/11 di USA yang menghadirkan kondisi mendekati malaise, di mana lesunya perekonomian pada saat itu melanda seluruh negeri, bahkan berdampak sistemik secara global.

Uniknya ada hal yang menarik, di saat semua komoditas mengalami penurunan tingkat penjualan, lipstik justru mengalami peningkatan penjualan yang sangat signifikan. Mengawal lipstik atawa gincu ya? Karena ternyata dari komponen kosmetika dan tata kelola estetika rupa (wajah), lipstiklah yang paling murah, mudah, dan efek penggunaannya langsung terlihat nyata. Cocok bukan dengan premis Prof Rhenald soal kemewahan yang terjangkau.

Gara-gara video Pak RK alias Rhenald Kasali itu, naluri menelisik saya jadi terpantik. DeepSeek pun segera saya ulik, agar saya bisa mendapatkan jawaban unik yang sistematik. Hasilnya? Ada teori terkait rupanya, dimana Efek LLipsti (Lipstick Effect) didefinisikan sebagai suatu fenomena ekonomi di mana konsumen cenderung membeli barang-barang kecil yang memberikan kepuasan instan, seperti kosmetik, selama krisis ekonomi.

Konsep ini dipopulerkan oleh Leonard Lauder, CEO Estée Lauder, yang mengamati peningkatan penjualan lipstik saat resesi 2001, pasca peristiwa tragis 9/11. Namun, akar teoritisnya dapat ditelusuri hingga Depresi Besar 1930-an, di mana penjualan produk kecantikan tetap stabil meski daya beli masyarakat menurun.

Fenomena ini tidak hanya relevan secara global tetapi juga tercermin di Indonesia, terutama pasca-krisis ekonomi 1998 dan pandemi COVID-19. Tulisan kita pagi ini mencoba menganalisis efek Lipstik melalui lensa psikologi ekonomi, dilengkapi data statistik, teori akademis, dan perspektif ahli, sebisa yang mungkin saya kumpulkan di waktu yang amat terbatas.

Beberapa teori yang mendasari fenomena ini antara lain adalah Kompensasi Psikologis (Compensatory Consumption). Di mana menurut Rucker dan Galinsky (2016), konsumsi barang-barang kecil berfungsi sebagai mekanisme kompensasi untuk mengatasi perasaan tidak berdaya selama krisis. Pembelian produk seperti lipstik memberikan ilusi kontrol dan meningkatkan harga diri.

Lalu ada Hierarki Kebutuhan Maslow, dimana pada saat krisis, kebutuhan dasar (sandang, pangan) diprioritaskan, tetapi kebutuhan akan aktualisasi diri (misalnya, penampilan) tetap ada. Produk kecantikan memenuhi kebutuhan psikologis akan ekspresi diri tersebut (Danziger, 2020). Sejalan dengan Terror Management Theory (TMT), di mana krisis ekonomi dapat memantik dan meningkatkan kesadaran akan mortalitas (mortality salience). Perlawanan bawah sadarnya adalah berbelanja dan menunjukkan eksistensi pribadi. Konsumsi simbolis seperti kosmetik menjadi cara untuk memproyeksikan identitas yang “abadi” (Rindfleisch et al., 2009).

Ternyata teori efek gincu ini memang punya dasar data hasil survey yang valid. Selama resesi global 2008 misalnya, penjualan lipstik global meningkat 11%, sementara industri mewah (luxury products) turun 15% (Laporan Euromonitor, 2009). Sementara pada periode 2020–2022, pasar kosmetik global tumbuh dari $483 miliar (2020) menjadi $579 miliar (2023) meski terjadi penurunan PDB dunia (Statista, 2023).

Sedangkan konteks di Indonesia yang pernah dilanda pandemi COVID-19, ternyata penjualan produk kecantikan di e-commerce Indonesia selama pandemi justru naik 35% (Laporan Alibaba, 2022). Sementara hasil survei BPS (2023) menunjukkan bahwa 68% perempuan urban Indonesia membeli lebih banyak produk perawatan diri selama masa krisis, meski pengeluaran untuk pakaian turun 22%.

Jadi ini mirip-mirip dengab teori cabe saya ya. Di mana harga cabe yang naik karena demand pull, kerap saya asumsikan disebabkan oleh adanya eskalasi atau peningkatan stress psikososial di masyarakat konsumen cabe. Mengapa? Karena rasa pedas dari capsaicin cabe ternyata berhubungan dengan peningkatan kadar endorfin yang tidak hanya berelasi dengan sifat rekreatif saja, melainkan juga berfungsi merepresi rasa sakit atau nyeri. Termasuk nyeri bathin/mental karena akumulasi tekanan sosial.

Lipstik dan liburan rupanya menjadi bagian dari survival mode yang bisa berdampak konstruktif dalam konteks sirkulasi sumber daya di tengah keterbatasan berbagai parameter ekonomi lainnya.
Sarah Hill, seorang ahli psikologi konsumen, menyatakan bahwa “Lipstik adalah simbol ketahanan. Saat orang tak bisa membeli mobil, mereka membeli lipstik untuk merasa masih memiliki kuasa atas hidupnya.” Sejalan dengan itu laporan L’Oréalb(2021) menyampaikan data bahwa “Pasar Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menyumbang 18% pertumbuhan penjualan global kami selama pandemi, didominasi produk affordable luxury seperti maskara dan lipstik.”

Affordable Luxury adalah kata kunci. Libur dan gincu adalah sedikit kemewahan yang diharapkan secara psikologis dapat menjadi suplemen pembangkit daya juang agar aktivitas ekonomi kreatif terungkit. Karena resiliensi ekonomi suatu negeri banyak ditentukan oleh derajat inovasi dalam mencari solusi secara kreatif dan efektif.

Terutama efektif dalam mengoptimalkan potensi sumber daya eksisting. Sebagaimana Liang Wenfeng terbukti berhasil membangun model gen AI DeepSeek di tengah keterbatasan karena adanya embargo teknologi USA. Bahkan kini produknya menjadi trending topic dunia karena berhasil tampil mempesona dengan kapasitas prosesingnya yang luar biasa dan murahnya biaya operasi dan rendahnya konsumsi energi.

Indonesia juga semoga bisa ya. Yuk bisa Yuk 🙏🏾🙏🏾😍🇲🇨🇲🇨

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts