
Pada 9 Januari 2021 pukul 14.40 WIB pesawat Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak mengalami hilang kontak di sekitar Pulau Lancang, Kepulauan Seribu. Pesawat itu membawa 50 penumpang dan 12 awak kabin. Pesawat bernomor registrasi PK CLC jenis Boeing 737-500 itu hilang kontak pada posisi 11 nautical mile di utara Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, setelah melewati ketinggian 11.000 kaki dan pada saat menambah ketinggian di 13.000 kaki.
Kapal Riset Baruna Jaya IV berlayar menuju ke lokasi area yang sudah dideteksi ada sinyal FDR (flight data recorder) dan CVR (cockpit voice recorder) dari SJ-182, yakni di titik koordinat 5°57’50” Lintang Selatan 106°34’27” Bujur Timur, untuk membantu proses pengambilan FDR dan CVR itu.
Informasi yang menyebar dengan cepat di berbagai platform media sosial pada saat itu, membuat banyak orang mulai mengenali keberadaan kapal riset Baruna Jaya IV yang dikelola dan dioperasikan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Republik Indonesia.
Tapi tentu saja fungsi kapal riset samudera tak hanya dalam soal pencarian puing ataupun benda tertentu di dasar laut, banyak sekali perannya dalam ranah ilmu oseanologi, oseanografi, pelayaran, hukum laut, perikanan, sampai geofisika dan meteorologi.
Penelitian di bidang kelautan adalah sebuah petualangan ilmiah yang takkan ada habisnya. Dari memetakan palung terdalam di dasar laut, mempelajari arus laut dan gelombang yang membentuk iklim kita, mencegah bencana kelautan, hingga memeriksa keberagaman hayati yang menjadi sumber protein dan obat-obatan baru—semuanya menegaskan betapa pentingnya lautan bagi kehidupan di Bumi.
Salah satu contoh Palung di lautan Indonesia adalah Palung Jawa. Di mana Palung Jawa adalah cekungan laut yang berada di bagian timur Samudra Hindia. Palung ini merupakan titik terdalam kedua di Indonesia setelah Palung Weber di Laut Banda. Ciri-ciri Palung Jawa adalah kedalaman maksimalnya mencapai 7.450 meter, membentang dari barat daya pantai Sumatera dan Jawa, juga dikenal dengan nama Sunda Double Trench, serta merupakan zona subduksi, tempat pertemuan 2 lempeng tektonik. Palung Jawa juga termasuk zona vulkanik dan seismik aktif.
Di balik riset-riset ini, kapal riset berperan sebagai panggung utama bagi para ilmuwan. Kapal-kapal seperti armada Baruna Jaya di Indonesia, hingga OceanXplorer secara global, menjadi wahana yang tak hanya membantu kita “menyentuh” dasar laut, tetapi juga membawa cerita, data, dan temuan berharga kembali ke daratan. Dengan begitu, kita dapat memahami samudra lebih baik dan pada akhirnya, menjaga kelestariannya untuk generasi saat ini dan mendatang.
> Laut menutupi sekitar 70% dari permukaan Bumi dan mengandung 97% air yang ada di planet ini. Menurut FAO, lebih dari 3 miliar orang bergantung pada ikan sebagai sumber protein utama. Setiap tahun, diperkirakan lebih dari 100 juta ton ikan ditangkap di seluruh dunia. Indonesia memiliki garis pantai lebih dari 95.000 km, menjadikannya salah satu negara kepulauan terbesar dengan keragaman laut yang sangat tinggi.
Sebagaimana telah disebut di atas, salah satu kapal riset yang saat ini menjadi benchmark kapal riset global adalah OceanXplorer. Di mana OceanXplorer adalah bagian dari proyek OceanX, yang di gagas oleh sebuah organisasi nirlaba asal Amerika Serikat (USA), yang disponsori oleh Yayasan Dalio Philanthropies milik Ray Dalio. Awalnya, kapal ini digunakan untuk survei minyak dan petrokimia, namun setelah kini sepenuhnya telah di-refurbished menjadi kapal riset dan eksplorasi lautan berteknologi canggih; lengkap dengan laboratorium basah, studio produksi media, helipad, dan peralatan selam dalam (submersibles), kapal selam mini, dan ROV.
Kapal riset adalah “jembatan” yang menghubungkan manusia dengan ekosistem laut dalam, juga berbagai karakter geologi kelautan yang sebelumnya sukar atau bahkan tak terjangkau. Ada beberapa penelitian atau survey yang kerap dilaksanakan oleh kapal riset, antara lain adalah; penelitian Geosains Kelautan yang berupaya mengungkap rahasia bawah laut, dari sumber mineral dan migas, gunung api bawah laut, hingga potensi tsunami. Data ini bermanfaat untuk kepentingan geologi, perencanaan tata ruang laut, dan mitigasi bencana.
Lalu ada penelitian tentang Interaksi Laut dan Atmosfer yang mempelajari bagaimana laut dan samudera berinteraksi dengan atmosfer di atasnya. Proses ini mempengaruhi penentuan iklim, sirkulasi panas, dan pola cuaca, mulai dari tingkat lokal hingga global.
Penelitian lain adalah tentang Biodiversitas dan Stock Assessment Ikan atau Biota Laut lainnya, yang dapat menentukan jenis, kelimpahan, proses, dan daur hidup biota laut, serta bagaimana memanfaatkannya secara berkelanjutan. Hal ini penting agar eksploitasi sumber daya perikanan tidak melebihi kapasitas alam, sekaligus menjaga kelangsungan hidup ekosistem laut.
Tak kalah pentingnya adlaah survey terkait Hidrotropi atau Pemetaan Lantai Laut melalui pemetaan batimetri, kita dapat membuat peta dasar laut yang akurat untuk berbagai kepentingan, dari navigasi, instalasi kabel bawah laut, hingga penelitian geologi kelautan.
Riset oseanografi fisika dan kimia yang dilakukan oleh kapal riset bertujuan untuk mempelajari sifat-sifat fisis (seperti suhu, salinitas, dan tekanan) serta kimia (pH, kandungan nutrien, gas terlarut) air laut. Studi ini penting untuk memahami fenomena seperti perubahan iklim, siklus karbon, dan kesehatan ekosistem laut. Sekitar 93% panas berlebih akibat pemanasan global diserap oleh lautan, membuatnya berperan besar sebagai penyeimbang iklim bumi.
Teknologi penunjang yang digunakan dalam risey oseanografi fisika dan kimia antara lain adalah fasiltas CTD (Conductivity, Temperature, Depth) Profiler yang digunakan untuk mengukur konduktivitas (untuk menghitung salinitas), suhu, dan kedalaman. Di OceanXplorer, CTD dilengkapi 12 botol sampel berkapasitas 10 liter, memungkinkan pengambilan sampel air laut di kedalaman berbeda hanya dalam satu kali penurunan alat.
Data yang dikumpulkan dapat memberikan gambaran profil kolom air, sehingga peneliti memahami kondisi fisik dan kimia yang dihadapi organisme laut. Dimana data oseanografi fisika dan kimia sangat diperlukan untuk memahami perubahan iklim, misal bagaimana peningkatan suhu lautan dapat mempengaruhi proses upwelling (pengangkatan nutrien ke permukaan) atau pemutihan terumbu karang.
Riset ini juga dapat digunakan untuk proses pemantauan pencemaran laut, seperti tumpahan minyak, limbah industri, dan sebaran mikroplastik.
Sedangkan survey pendataan profil dan karakter fisika arus laut dapat digunakan untuk proses prediksi cuaca dan Iklim regional. Dimana arus laut dapat mempengaruhi pola hujan dan cuaca, terutama di negara maritim seperti Indonesia.
Baruna Jaya VIII dalam Ekspedisi Indonesia Timur 2021: Ekspedisi ini dilakukan untuk meneliti arus laut Nusantara dan dampaknya terhadap fenomena cuaca ekstrem maupun perubahan iklim. Beroperasi selama 72 hari, Baruna Jaya VIII yang memiliki panjang sekitar 53,2 meter dan dibangun tahun 1998 di Norwegia ini menjadi “laboratorium terapung” bagi para peneliti LIPI. Melalui pengukuran di berbagai titik, mereka berupaya memahami bagaimana arus laut ini berperan dalam distribusi panas dan pola cuaca di wilayah Indonesia timur.
Gelombang dan arus laut berperan seperti “sistem sirkulasi” yang mendistribusikan panas, nutrisi, dan berbagai partikel di seluruh samudra. Mereka memengaruhi iklim global, cuaca ekstrem, pola migrasi biota laut, serta dinamika ekosistem pesisir. Penelitian arus laut Nusantara, misalnya, menjadi perhatian penting karena arus ini mempengaruhi cuaca dan iklim regional di Indonesia, termasuk potensi terjadinya fenomena cuaca ekstrem.
Metodologi penelitian yang menjadi standar akademik riset kelautan untuk mengamati dinamika arus laut antara lain adalah Pengamatan In Situ dengan menggunakan current meter atau drifter buoy yang diletakkan di permukaan atau di kedalaman tertentu untuk mencatat kecepatan dan arah arus. Lalu ada Pengamatan Satelit yang memantau ketinggian permukaan laut, suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature/SST), serta warna laut yang berkaitan dengan kandungan klorofil.
Data dari pengamatan diolah dengan pemodelan numerik berbasis komputer untuk memprediksi perubahan arus dan gelombang dalam jangka waktu tertentu.
Lautpun merupakan rumah bagi lebih dari 200.000 spesies yang sudah teridentifikasi, dan diperkirakan masih ada jutaan spesies lainnya yang belum kita kenal. Keanekaragaman hayati ini tidak hanya menjadi sumber pangan (ikan, kerang, rumput laut), tetapi juga berpotensi menjadi sumber senyawa obat dan bahan kimia baru. Menurut beberapa estimasi, sektor perikanan dunia menyumbang protein hewani bagi lebih dari 3 miliar orang, sehingga riset di bidang biologi maritim menjadi vital bagi ketahanan pangan dan kebersinambungan fungsi ekologis lautan.
Kapal Baruna Jaya IV: Kapal ini didedikasikan untuk riset perikanan. Dirancang oleh CMN, Cherbourgh, Prancis, dan diluncurkan pada tahun 1989. Memiliki lebar 12,10 meter dan kecepatan 8 knot. Dilengkapi dengan side scan sonar Edgetech 4125 dan G-882 marine magnetometer. Sonar ini mampu mendeteksi objek di permukaan laut hingga kedalaman 2.500 meter, membantu memantau pergerakan kawanan ikan, menentukan lokasi terumbu karang, dan mencari habitat biota laut lainnya.
Fokus penelitian pada ranah biologi maritim meliputi antara lain, survey Biodiversitas Biota Laut yang meliputi identifikasi spesies, distribusi, dan kelimpahannya. Ada lila Studi Daur Hidup Biota Laut yang mencakup proses reproduksi, pola migrasi, dan rantai makanan.
Riset biologi maritim penting lain adalah Studi Ekologi dan Konservasi, di mana penerapan hasil penelitian dapat digunakan sebagai panduan untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumber daya kelautan.
Untuk menunjang fungsi riset biomaritim itu, kapal riset sekelas OceanXplorer dilengkapi dengan dua kapal selam Triton dengan kemampuan menyelam hingga 1.000 meter dan kapasitas tiga orang (termasuk pilot). Dilengkapi kamera 8K atau 4K, rig kamera VR 360 derajat, serta manipulator untuk pengambilan sampel biologis.
OceanXplorer juga memiliki ROV dengan kemampuan menyelam hingga 6.000 meter, memungkinkan eksplorasi ekosistem laut dalam yang sulit dijangkau manusia.
Di kapal riset itu juga ada laboratorium basah dan tangki akuarium khusus di atas kapal untuk mengamati spesimen di lingkungan yang menyerupai habitat aslinya. Teknologi ini memastikan bahwa penelitian terhadap organisme laut dalam dapat berlangsung tanpa segera mematikan atau merusak spesimen.
Saat ini Indonesia, melalui BRIN, tengah menyiapkan 2 kapal riset canggih yang fasilitasnya tak kalah dengan OceanXplorer.
“Ada dua kapal yang sedang dibangun, masih dalam masa tender (open international tender). Meliputi kapal penjelajah samudera ke laut lepas dengan kedalaman sepuluh ribu meter lebih dan kapal riset penjelajah pesisir untuk melakukan riset di pesisir di muara sungai, teluk, hingga ke continental shelf.” (Direktur Pengelolaan Armada Kapal Riset BRIN Nugroho Dwi Hananto, 2024)
Riset oseanografi biologi atau biologi maritim tak hanya semata bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang berbagai jenis makhluk laut, tetapi juga membantu memetakan potensi ekonomi kelautan yang berkelanjutan menuju _lblie and circular economy. Dari hasil riset inilah kita dapat menyusun kebijakan pengelolaan perikanan dan perlindungan ekosistem laut, seperti kawasan konservasi laut atau kuota tangkapan yang tepat.
Riset kelautan dengan menggunakan fasilitas kapal riset juga penting dalam konteks mitigasi bencana. Indonesia yang terletak di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) memiliki tingkat risiko gempa bumi dan tsunami yang tinggi. Selain itu, potensi bencana lain seperti letusan gunung berapi bawah laut dan badai tropis dapat mengancam ekosistem pesisir dan keselamatan masyarakat.
Berbagai sistem peringatan dini dan teknologi pemantauan potensi bencana kelautan telah dikembangkan oleh beberapa pusat penelitian dan riset akademik. Salah satunya adalah InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) yang dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang kini bertransformasi menjadi BRIN.
Sistem ini memadukan pemantauan di darat (seismometer broadband, GPS) dan di laut (buoy, tide gauge, CCTV, kabel bawah laut, radar tsunami) untuk mendeteksi potensi tsunami setelah gempa bumi.
Jaringan seismometer dan GPS memantau pergerakan lempeng di darat. Buoy, tide gauge, dan radar memantau perubahan ketinggian muka laut. Data dikirim via Satelit Garuda-1 untuk komunikasi cepat dan aman. Informasi yang diperoleh akan diteruskan dalam bentuk peringatan dini dengan status “Awas”, “Siaga”, atau “Waspada”.
Kapal riset berperan dalam pemasangan dan pemeliharaan alat-alat pemantauan di laut, seperti buoy dan kabel bawah laut. Selain itu, kapal riset juga berfungsi untuk melakukan survei seismik bawah laut dan memetakan zona patahan atau gunung api bawah laut yang berisiko.
Kapal riset Baruna Jaya I dan III, misalnya, dapat melakukan pemetaan geosains kelautan untuk melacak aktivitas gunung api bawah laut maupun potensi jalur longsoran bawah laut yang berpotensi memicu tsunami.
Kapal dengan teknologi ROV (Remotely Operated Vehicle) dan submersible juga membantu peneliti meninjau langsung kondisi geologi dasar laut hingga kedalaman ribuan meter. Dengan begitu, data yang diperoleh lebih lengkap untuk mempersiapkan langkah mitigasi.
Tapi untuk menunjang semua riset di atas, ada satu jenis riset yang amat fundamental serta menjadi dasar bagi pengembangan riset lainnya, termasuk pengimplementasian hasil risetnya. Apakah survey atau riset kelautan penting itu ? Tak lain dan tak bukan, ia adalah: batimetri.
Batimetri adalah ilmu yang mempelajari topografi dasar laut. Sama halnya seperti peta topografi daratan, batimetri membantu kita memahami struktur “dunia” di bawah permukaan air: lereng kontinental, palung, punggungan, gunung api bawah laut, hingga cekungan terdalam. Bagi peneliti, informasi ini krusial untuk berbagai tujuan, seperti mencari potensi mineral dasar laut, memetakan risiko gempa bawah laut, atau sekadar memetakan jalur kabel bawah laut yang aman.
Metode dan teknologi yang menjadi standar dan sering digunakan untuk pemetaan dasar laut adalah multibeam echosounder. Alat ini memancarkan gelombang akustik secara luas dan menangkap pantulannya, sehingga dapat merekonstruksi bentuk dasar laut secara tiga dimensi. Teknologi ini memungkinkan pemetaan dengan resolusi tinggi, akurasi lebih baik, dan area liputan yang lebih luas dibandingkan teknologi konvensional.
Kapal Baruna Jaya I dan III menjadi andalan Indonesia untuk pemetaan bawah laut. Kedua kapal ini telah dilengkapi dengan multibeam echosounder, Baruna Jaya I dan Baruna Jaya III mampu memetakan topografi dasar laut dengan detail dan tingkat akurasi tinggi. Data ini juga penting untuk mengidentifikasi potensi sumber daya geologi seperti mineral dan minyak serta mengkaji aktivitas tektonik bawah laut.
Dengan luas wilayah laut Indonesia yang mencapai sekitar 3,25 juta km², data batimetri yang akurat sangat dibutuhkan untuk kepentingan navigasi pelayaran, pemetaan zona penangkapan ikan, hingga mitigasi bencana seperti potensi letusan gunung api bawah laut dan tsunami.
Ketika kita menatap hamparan lautan biru nan luas di cakrawala, mungkin kita hanya melihat permukaannya saja. Padahal, di balik permukaan tenang atau bergelombang itu, lautan menyimpan berbagai misteri dan potensi besar bagi kehidupan manusia. Mulai dari kawasan terumbu karang, hutan Mangrove pesisir, gugusan pegunungan bawah laut, kekayaan biodiversitas biota laut, hingga interaksi kompleks antara lautan dan atmosfer; semuanya menjadi lahan riset yang menarik dan vital bagi kemajuan ilmu pengetahuan serta kesejahteraan umat manusia.
Maka sambil menikmati senja yang semakin menjingga di langit tanpa mega di pantai Jerman Kuta, saya terpesona, dari 510.072.000 kilometer persegi luas permukaan bumi, 70,8% nya adalah lautan dan kawasan perairan, sedangkan daratan hanya sekitar 29,2% saja. Maka wajar bukan, jika kita masih harus banyak belajar tentang Samudera dan Lautan yang telah dianugerahkan kepada kita, agar dapat kita optimasi keberadaannya untuk sebaik-baiknya kemaslahatan semesta. 🙏🏾🩵🇲🇨