Tauhid Nur Azhar

Memprediksi Arus Mudik Lebaran: Analisis Interdisipliner Berbasis Data

Berdasar prakiraan Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kemenhub, jumlah pemudik tahun ini diprediksi mencapai 146,48 juta orang, atau sekitar 52 persen dari total populasi Indonesia. Puncak arus mudik diprakirakan akan terjadi pada tanggal 26-28 Maret 2025 dan puncak arus balik akan terjadi pada tanggal 6-7 April 2025.

Mudik Lebaran adalah fenomena tahunan terbesar di Indonesia, di mana jutaan orang berbondong-bondang pulang ke kampung halaman. Pada 2023, Kementerian Perhubungan mencatat 18,5 juta kendaraan melintasi jalan tol selama arus balik, sementara PT KAI mengangkut 3, 78 juta penumpang kereta api. Sedangkan pada Lebaran 2024, pergerakan pemudik tembus pada angka 242 juta atau melampaui survei awal Kemenhub di angka193 juta pemudik, dengan 4,39 juta di antaranya menggunakan angkutan kereta api.

Namun, memprediksi dinamika mudik bukan sekadar menghitung angka, melainkan sebuah persoalan matematika kompleks yang melibatkan berbagai aspek dan faktor seperti ekonomi, budaya, psikologi, dan infrastruktur. `Bagaimana sains dapat membantu memahami fenomena ini?`

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 60% pekerja di Jakarta adalah migran, dengan rata-rata pendapatan bulanan Rp 4,2 juta (2022). Kemampuan mudik sangat bergantung pada daya beli. Saat inflasi bahan pokok naik 5,5% pada 2023, survei Bank Indonesia mencatat penurunan 12% niat mudik di kalangan pekerja berpenghasilan di bawah Rp 5 juta/bulan.

Harga tiket transportasi juga menjadi penentu. Pada 2023, PT KAI menaikkan kapasitas kereta api menjadi 6,9 juta kursi (naik 15% dari 2022), tetapi kenaikan harga tiket kereta ekonomi sekitar 20% menyebabkan pergeseran ke moda bus atau kendaraan pribadi. Data Kemenhub 2023 menunjukkan 5,8 juta pemudik menggunakan bus dan 9,1 juta menggunakan sepeda motor, didorong subsidi BBM dan program “Mudik Gratis” pemerintah.

Pola belanja masyarakat juga menjadi sinyal. Data Bank Indonesia mencatat peningkatan transaksi e-commerce sebesar 35% pada bulan Ramadhan 2023, terutama untuk paket mudik, pakaian, dan oleh-oleh. Lonjakan ini berkorelasi dengan peningkatan permintaan jasa logistik dan persiapan mudik.

Jika tahun lalu asumsi perputaran uang selama Idul Fitri 2024 mencapai Rp 157,3 triliun, maka asumsi perputaran uang libur Idul Fitri 2025 diprediksi mencapai Rp 137.975 triliun,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Sarman Simanjorang, dalam pernyataan pers, Selasa (18/3/2025). “Prediksi tersebut dihitung dari jumlah pemudik tahun ini sejumlah 146,48 atau setara dengan 36,26 juta keluarga dengan asumsi per keluarga empat orang,” Ujarnya. “Jika rata rata keluarga membawa uang sebesar Rp 3.75 juta naik 10% dari tahun lalu maka potensi perputaran uang diprediksi sebesar Rp 137.975 triliun.”

BPS mencatat bahwa pada tahun 2023, sekitar 56,7% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan, yang berarti sekitar 158,6 juta jiwa dari total populasi 278,7 juta jiwa. Peningkatan urbanisasi di Indonesia terus meningkat, dengan perkiraan 66,6% penduduk tinggal di perkotaan pada tahun 2035.

Sementara itu ada 27,7% penduduk Indonesia tinggal di metro dan megapolitan pada tahun 2022, dengan Jakarta, Surabaya, dan Bandung sebagai magnet utama migrasi pekerja. Dari 10,2 juta migran di Jakarta, 68% berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung, hingga Jakarta menjadi sumber utama arus mudik ke tiga provinsi tersebut.

Budaya mudik sebagai “kewajiban sosial” semakin kuat di daerah dengan ikatan kekeluargaan erat. Survei Litbang Kompas (2023) mengungkap bahwa 82% responden merasa “dosa” jika tidak mudik Lebaran. Tradisi ini juga dipicu oleh peristiwa hidup seperti pernikahan atau kelahiran. Data BPS menunjukkan adanya trend peningkatan 12% pernikahan di Jawa Tengah pada 2022, yang berpotensi menambah daya tarik mudik.

Media sosial memperkuat fenomena ini. Analisis sentiment analysis di X/Twitter menggunakan NLP (2023) menemukan bahwa kata kunci “mudik” dan “rindu kampung halaman” meningkat 300% sejak awal Ramadhan, dengan sentimen positif dominan (74%).

Faktor psikologis memainkan peran krusial. Teori Need for Affiliation (McClelland) menjelaskan mudik sebagai upaya memenuhi kebutuhan reunifikasi keluarga. Namun, tekanan sosial juga berkontribusi. Survei Alvara Research Centerb(2023) menunjukkan 65% pemudik merasa “tidak enak” jika tidak pulang kampung, meski secara finansial berat.

Alvara juga pernah merilis hasil survei terkait akses pengetahuan keagamaan di kalangan anak muda Indonesia yang mayoritas didominasi oleh media sosial dan digital. Data pada tahun 2021, 97 persen Gen Z telah terkoneksi dengan dunia digital. Sementara pada 2022 angkanya naik menjadi 98 persen. Maka budaya mudik sebagai bagian dari tradisi agama juga perlu dianalisis dari sudut pandang pengguna sosial media.

Di sisi lain, kecemasan akan kemacetan dan kecelakaan memengaruhi keputusan. Data Korlantas Polri mencatat 2.143 kecelakaan selama arus mudik 2023, dengan 70% melibatkan sepeda motor. Ini menjelaskan mengapa 18% calon pemudik dalam survei Kemenhub memilih mundur dari rencana mudik darat.

Kapasitas transportasi masih belum seimbang dengan permintaan. Pada 2023, sektor transportasi massal berbasis rel masih memiliki keterbatasan kapasitas dan akses (termasuk skema harga dll), sementara kapasitas bus antarkota turun 20% karena pemangkasan armada pasca-pandemi. Akibatnya, 1,2 juta pemudik beralih ke moda darat pribadi, memicu kepadatan di jalur utama seperti Pantura Jawa.

Data Jasa Marga menyebut arus lalu lintas di Tol Trans-Jawa meningkat 40% pada H-3 Lebaran 2023, dengan titik rawan di Brebes dan Cikampek. Sementara itu, transportasi udara justru mengalami penurunan penumpang sebesar 15% (data AP II) akibat mahalnya tiket pesawat, yang rata-rata naik 35% dibanding 2022.

Pandemi COVID-19 dapat menjadi studi kasus kondisi ekstrem, dimana pandemi menjadi ujian terberat prediksi mudik. Pada 2020-2021, kebijakan larangan mudik mengurangi arus hingga 70%. Data KAI menunjukkan penurunan penumpang dari 4,1 juta (2019) menjadi 1,2 juta (2021). Namun, gelombang “mudik diam-diam” tetap terjadi, dengan BPS mencatat 4,8 juta kendaraan terdeteksi di jalan tol meski ada pelarangan hal ini membuktikan betapa kuatnya dorongan budaya.

Teknologi dan Pemodelan: Masa Depan Prediksi Mudik. Pemerintah dan peneliti kini mengadopsi teknologi mutakhir untuk prediksi akurat arus mudik yang dapat disusul dengan strategi pengelolaannya, dengan memanfaatkan model AI seperti Machine Learning lewat model Random Forest dapat mengintegrasikan data BPS, harga tiket, dan sentimen media sosial, menghasilkan akurasi tinggi dalam memprediksi titik padat mudik.

Sementara data GIS dan Real-Time Tracking sebagaimana yang digunakan Kemenhub sebagai heatmap dapat memantau arus mudik secara real-time, menggabungkan data Map dan Google Mobility. Sementara Simulasi Agent-Based dapat menggambarkan “agen” pemudik dengan variabel ekonomi, jarak, dan tekanan sosial, misal dapat mengungkap bahwa kenaikan BBM Rp x/liter dapat mengurangi arus mudik motor sebesar y%.

Meski teknologi dapat membantu, tantangan dan kesulitan prediksi akan tetap ada, mengingat masih ada kasus seperti data terfragmentasi. Misalnya, data migrasi pekerja informal sulit diakses BPS. Lalu ada Perilaku Tak Terduga, seperti tren “mudik lokal” pasca-pandemi ke destinasi wisata terdekat (naik 25% pada 2023). Demikian pula adanya keterbatasan akses Infrastruktur seperti kapasitas pelabuhan penyeberangan yang hanya mencakup 60% kebutuhan puncak (data ASDP/Indonesia Ferry), menjadi salah satu pertimbangan dalam keputusan untuk mudik.

Untuk itu, kolaborasi multidisiplin diperlukan. Integrasi data BPS, operator transportasi, dan platform digital seperti Gojek/angkutan daring (data frekuensi order penumpang pada saat mudik di daerah asal) bisa menyempurnakan model prediksi. Di sisi lain, edukasi publik tentang “mudik alternatif” perlu digencarkan untuk mengurangi tekanan pada infrastruktur.

Tak dapat dipungkiri bahwa mudik Lebaran adalah cerminan kompleksitas Indonesia: tradisi yang dirayakan dengan hangat, namun sarat tantangan logistik dan sosial-ekonomi.

Semestinya dengan pendekatan sains yang menggabungkan data riil, teknologi, dan empati terhadap budaya, kita tak hanya bisa memprediksi arus mudik, melainkan juga dapat menjadikannya sebagai suatu peristiwa budaya yang luar biasa kandungan nilai dan pembelajaran di dalamnya. Seperti kata pepatah Jawa, “Mangan ora mangan sing penting kumpul”, di mana value terpenting yang muncul ke permukaan adalah kebersamaan, meski jika kita bicara prediksi, maka angka harus terus dihitung bukan ?

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts