Tauhid Nur Azhar

Mencari Konsep Kecerdasan Indonesia dan Kearifan Nusantara: Belajar dari Prof SHS dan Ki Juru Martani

Prof. Bart Barendregt, guru besar Digital Anthropology at the Leiden Institute, menatap Prof Suhono Harso Supangkat dengan  sorot mata penuh dengan kekaguman. Demikian pula Mbak Meirina Triharini, M.Ds., Ph.D dari lab Design EthnographybFakultas Seni Rupa dan Desain ITB, yang tak dapat menyembunyikan ekspresi hormatnya pada sensei smart system yang satu ini. Konsistensi dan ketrampilan menjalin jejaring strategis lintas disiplin dan generasi telah menjadikan beliau sebagai salah satu patron sistem cerdas di Indonesia. 
Kalau saya pribadi senang menjuluki beliau sebagai Paus Kota Cerdas Indonesia. Meskipun pada kenyataannya konsep dan sistem cerdas itu tak terbatas pada kota, melainkan dapat dikembangkan dan diterapkan secara holistik di setiap aspek penyangga dan pendukung tumbuhnya pohon peradaban dengan berbagai rumpun perdu yang membersamai dalam mengembangkan habitat dan ekosistem yang menjadi semesta bagi hutan peradaban yang akan dilahirkan.
Tokoh dan cendekiawan lintas disiplin tersebut respek pada Prof SHS tentulah karena penilaian objektif terkait kreativitas, inovasi, dan tentu saja konsistensi dalam mengembangkan suatu paradigma dalam konteks implementasi teknologi yang secara elok dapat terdifusi ke sistem eksisting yang biasanya punya potensi besar untuk mengedepankan sikap resistensi terhadap perubahan. Tapi Prof SHS dengan kearifan dan keluwesannya,  じゅうなんせい, kalau kata orang Jepangnya, dapat memodulasi resistensi menjadi *torsi reluktansi*
Ada satu tokoh kunci di era Mataram Islam masih berupa satu perdikan kecil di Alas Mentaok yang dihadiahkan oleh Sultan Hadiwijaya dari Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan, setelah putranya, Danang Sutawijaya, berhasil mengalahkan Raden Hario Penangsang, Adipati Jipang, putra Pangeran Sekar Sedo Lepen dari Demak. Tokoh itu mirip dengan Prof SHS, cerdas, luwes, sekaligus sakti mandraguna dan pandai dalam mengelola potensi strategis dan membina berbagai kemitraan strategis. Tokoh tersebut adalah Ki Juru Martani.
Ki Juru Martani adalah putra dari Ki Ageng Saba dan Nyai Ageng Saba. Ayahnya adalah putra dari Pangeran Made Pandan. Sedangkan ibunya adalah putri dari Ki Ageng Sela. Ki Juru Martani memiliki adik perempuan bernama Nyai Sabinah, yang kemudian dinikahi oleh Ki Ageng Pamanahan, ayah Danang Sutawijaya, putra Ki Ageng Enis.
Sedangkan Ki Ageng Enis adalah adik dari Nyai Ageng Saba. Dengan demikian, Ki Ageng Pamanahan adalah adik sepupu sekaligus saudara ipar dari Ki Juru Martani. (Olthof, W. L. (2014), Babad Tanah Jawi, (terj.), Yogyakarta: Media Pressindo, ISBN 9789791680479)
Ki Juru Martani menikah dengan Ratu Mas Banten dan memiliki putra yang nantinya diberi kedudukan oleh raja Mataram, antara lain Pangeran Mandura (bergelar Adipati Mandaraka II) dan Ki Juru Kiting Natanigrat. Pangeran Mandura memiliki putra bernama Pangeran Mandurareja dan Pangeran Upasanta. (_Olthof, W. L. (2014), Babad Tanah Jawi, (terj.), Yogyakarta: Media Pressindo, ISBN 9789791680479_)
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Pangeran Mandurareja diangkat menjadi bupati Pekalongan. Sedangkan Pangeran Upasanta diangkat menjadi bupati Batang. Putri Pangeran Upasanta, menikah dengan Sultan Agung dan diangkat menjadi permaisuri bergelar Ratu Wetan menggantikan Ratu Kulon dari Cirebon. (Olthof, W. L. (2014), Babad Tanah Jawi, (terj.), Yogyakarta: Media Pressindo, ISBN 9789791680479)
Karena kecerdikan Ki Juru Martani itulah lahir kerajaan Mataram yang mencapai masa kejayaan dj era Sultan Agung Hanyokrokusumo berkuasa, yang ditandai dengan beberapa penyerangan ke benteng VOC di Batavia, meski hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan.
Ki Juru Martani adalah cucu dari tokoh legendaris tanah jawa, Ki Ageng Selo, yang dalam banyak kisah legenda digambarkan dapat menangkap petir, jauh sebelum percobaan Benjamin Franklin. Dimana percobaan listrik Benjamin Franklin yang dilakukan dengan menggunakan layang-layang, benang rami, dan kunci logam itu dilakukan pada tahun 1752. Percobaan ini bertujuan untuk membuktikan bahwa petir merupakan bentuk listrik.
Ia bersama Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi mencoba mengikuti sayembara dari Sultan Hadiwijaya/Adiwijaya terkait pemadaman pemberontakan Adipati Jipang, Raden Hario Penangsang, yang juga santri kesayangan Sunan Kudus. Hario Penangsang ditakuti pasukan Pajang karena prajuritnya trengginas dan patihnya yang dikenal sebagai Macan Mentaun adalah tokoh karismatik yang sakti mandraguna.
Sebagai ahli strategi Ki Juru Martani lah yang merancang strategi agar Hario Penangsang dapat dikalahkan dengan memanfaatkan kelemahannya sendiri. Mengetahui bahwa Adipati Jipang Panolang yang juga santri sunan Kudus ini dilarang bertempur di seberang Bengawan Sore (kini Bengawan Solo), maka Ki Juru Martani sengaja memancing emosi nya, karena Hario Penangsang ini juga dikenal sangat temperamental, seperti ayahnya, Pangeran Sekar yang tewas terbunuh dalam konflik tahta Demak.
Utusan atau Pekatik Kadipaten Jipang Panolang ditangkap, daun telinganya diiris, dan di sisa aurikulanya itu disematkan sepucuk surat tantangan duel bersenjata.
Adapun lawan yang diajukan dalam laga tanding itu adalah Danang Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan yang masih berusia belia. Melihat kondisi anak buahnya yang disakiti, dan membaca isi surat tantangan yang menyakitkan hati, maka menggelegaklah darah Hario Penangsang, Sang Adipati Jipang Panolang.
Berikut ada petikan cerita bersambung karya SH Mintardja yang berjudul Suramnya Bayang-Bayang,  jilid ke 23 yang menggambarkan geramnya Hario Penangsang saat menerima surat tantangan dari Pajang;
Dengan tangan gemetar Arya Penangsang pun membuka surat yang telah terpercik oleh noda-noda darah. Sebagaimana Arya Penangsang sendiri yang pada dasarnya cepat menjadi marah, maka titik-titik darah di lembaran kertas itu bagaikan bara yang membakar jantungnya. Pengaruh bercak-bercak merah itu ternyata sangat besar pada perasaan Arya Penangsang, meskipun ia belum membaca isi surat itu.
Dengan pandangan mata yang menyala Arya Penangsang mengikuti huruf-huruf yang terdapat di lembaran surat itu. Huruf-huruf yang ditulis dengan cermat, tertib dan jelas, suku wulu dan taling-tarungnya.
Darah Ki Patih Mantahun bagaikan semakin cepat mengalir pada saat-saat ia mengikuti gerak wajah Arya Penangsang. Ia sudah dapat menduga isi dari surat orang-orang Pajang itu.
Arya Penangsang yang membawa surat itu merasa dadanya telah diguncang. Penghinaan yang sangat menyakitkan hati. Bahkan kata penutup surat tantangan itu berbunyi, “Kanjeng Adipati Arya Penangsang. Kami menunggu dengan pasukan yang ada pada kami. Jika Arya Penangsang tidak berani keluar ke arena oleh surat tantangan kami yang terakhir ini, maka kami tidak lagi menghargai Kangjeng Adipati sebagaimana sebelumnya, karena Kangjeng Adipati tidak lebih dari seorang perempuan yang hanya berani berlindung dibalik tungku dapur.”
Bergegas ia memacu kuda jantan hitamnya yang bernama Gagak Rimang ke tepian Bengawan Sore, tempat yang tercantum di surat tantangan itu. Strategi lain dari Ki Juru Martani adalah dengan meminta Danang Sutawijaya untuk menunggangi kuda betina putih yang ekornya dipotong agar seksi seperti Beyonce.
Walhasil saat kedua ksatria itu berhadapan di tepi aliran Bengawan Sore, Gagak Rimang yang menjadi berahi, tak bisa dikendalikan dan menceburkan diri mengejar kuda Beyonce Sutawijaya. Pada kesempatan keos itu Sutawijaya dapat menusukkan  tombak Kyai Plered ke lambung Hario Penangsang.
Hario Penangsang yang telah terluka dan ususnya terburai, tak berhenti menyerang Danang Sutawijaya. Ususnya yang terburai dililitkan di warangka keris pusakanya, Setan Kober. Tapi tak dinyana dan tak diduga, tindakan itulah yang akhirnya berakibat fatal.
Karena saat akan menyerang Sutawijaya, ia pun dengan cepat mencabut keluar Setan Kober dari warangkanya yang justru memutus usus yang dililitkan di sana. Keris itu mungkin juga sangat beracun, hingga karena terkena senjata pusakanya itu sendir, Hario Penangsang perlaya.
Peran Ki Juru Martani pun masih berlanjut. Kepiawaiannya dalam tata kelola pemerintahan dan pemanfaatan sumber daya, menjadikan Perdikan Mentaok tumbuh pesat dan dalam waktu singkat bertransformasi menjadi cikal bakal Mataram Islam yang kelak berkedudukan di Kota Gede.
Pajang yang mulai merasa bahwa Mataram sudah menjadi duri dalam daging dan adanya kemungkinan menjadi gerakan separatis terstruktur, berusaha mengeliminir kiprah Mataram. Akan tetapi sejarah telah mencatat bahwa justru Pajang yang kian surut, dan Matarampun tumbuh berkembang menjadi kerajaan yang wilayahnya meliputi darat dan laut.
Bengawan Sore ataupun Solo, tempat pertarungan antara Danang Sutawijaya dengan Raden Hario Penangsang, sebagaimana yang telah diceritakan di atas, kalau terkait dengan posisi Pajang, adalah adalah sungai terpanjang di pulau Jawa di Indonesia yang mengalirkan air dari daerah aliran sungai (DAS) seluas ±16.100 km², mulai dari Pegunungan Sewu di sebelah barat-selatan Surakarta ke laut Jawa di utara Surabaya melalui alur sepanjang ±600 km.
Dimana sepanjang aliran Bengawan Solo banyak ditemukan bukti peradaban manusia terdahulu ataupun pra-hominid. Von Koenigswald menemukan fosil rahang bawah yang diduga kuat sebagai rahang manusia purba.
Temuan di lembah Bengawan Solo itu diberi nama Meganthropus palaeojavanicus (manusia purba Jawa yang bertulang besar). Masih di sekitar lembah Bengawan Solo, di dekat Desa Trinil, ahli dari Belanda, Eugene Dubois menemukan fosil-fosil berupa tengkorak atas, beberapa gigi dan sebuah tulang paha yang kemudian diberi nama Pithecanthropus erectus (manusia kera yang berjalan tegak). Berturut-turut kemudian juga ditemukan di dekat Desa Ngandong di lembah Bengawan Solo fosil-fosil yang dinamakan secara khusus, yaitu Homo soloensis (manusia lembah
Bengawan Solo).
Pada masa Mataram Kuno, bentangan di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo dimanfaatkan sebagai tempat pemukiman. Hal itu tampak pada informasi yang ada dalam temuan dari Prasasti Telang (904 M). Fungsi aliran sungai Bengawan Solo bagi permukiman atau kota disebutkan pula dalam Prasasti Pucangan pada masa Wangsa Isyana (393 M). Prasasti ini menyebutkan bahwa Pulau Jawa dibanjiri bencana karena mendapat serangan Raja Wura Wari yang datang menyerbu dari *Lwaram* (Yamin 1962, 196).
Lwaram atau Luaran yang disebutkan dalam prasasti Pucangan tersebut tampaknya saat ini identik dengan Ngloram, sebuah kota
yang terletak di selatan Cepu. Adapun jika benar daerah Ngloram yang dimaksud sebagai Lwaran itu merupakan daerah di wilayah tepian Bengawan Solo, maka terbukti bahwa daerah aliran sungai selalu menjadi pilihan bagi manusia untuk membangun habitatnya. Lihat saja peradaban Mesir kuno dengan Nil nya, Mohenjodaro dengan indusnya, Medang dengan Brantasnya, sampai ke sungai Volga, Danube, juga Rhein yang menjadi pemasok kebutuhan dasar manusia; air. (Himawan AH, Purwanta H, dan Susanto, 2021).
Tapi jika yang dimaksud adalah sebuah terusan atau kanal buatan, maka Bengawan Sore adalah kanal buatan atau sodetan Bengawan Solo yang berada di wilayah Lwaram (kelak dikenal dengan nama Jipang), lokasi yang menjadi bagian penting dari eksistensi Kerajaan Medang Kahuripan dan Raja Erlangga, seperti dicatat Prasasti Pucangan (abad 11 M).
Teknologi tata kelola hidrologi memang sudah dikenal di Nusantara sejak abad ke 5. Karena di pulau Jawa khususnya, daerah aliran sungai telah lama menjadi nadi kehidupan bagi berbagai kelompok masyarakat. Penjelajah Cina, bernama Ma-huan di abad 5 M, hingga penjelajah Arab bernama Ibnu Batutah dan Mas’udi di abad 11 M, telah mencatat bahwa Pulau Jawa masyhur memiliki banyak aliran sungai.
Kerajaan Tarumanegara mengawali rekayasa sungai di bagian barat Pulau Jawa, dengan mengelola sungai Candrabhaga, seperti tercatat pada Prasasti Tugu (abad 5 M). Kerajaan Medang Kahuripan menyusul membangun banyak bendungan sungai. Di antaranya Bendungan Waringin Sapta di wilayah timur Pulau Jawa, seperti dicatat Prasasti Kamalagyan (abad 11 M).
Bengawan Solo juga bukanlah sekedar nama atau toponimi wilayah, ia adalah hidup itu sendiri. Fakta geologis pun menunjukkan bahwa aliran sungai Bengawan Solo purba memiliki hulu di Kabupaten Wonogiri dan mengalir hingga ke Samudra Hindia.
Aliran tersebut pada akhirnya terhenti akibat satu peristiwa geologis penjungkatan tanah akibat tumbukan dua lempeng
utama, yaitu Lempeng Eurasia dan Indo Australia pada sekitar 4 juta tahun lalu. Dimana kenaikan permukaan itu kemudian menghentikan aliran Bengawan Solo Purba dan menyebabkan penjungkatan kompensasi di Lembah Giritontro di Wonogiri.
Para ahli geologi berhipotesis peristiwa itu terjadi sejak batu gamping formasi Wonosari terangkat atau muncul ke permukaan pada akhir zaman tersier. Meskipun aliran air menggerus pengangkatan tanah, namun penggerusan tersebut tidak mampu mengembalikan aliran sungai itu tetap ke selatan. Air yang berkumpul di wilayah
cekungan Baturetno di Wonogiri, akhirnya mengalir ke utara hingga akhirnya menjadi aliran Bengawan Solo seperti yang ada sekarang ini. (Tjahyono 2007, 21-23).
Tentu kecerdasan, kearifan, dan kemampuan mengelola informasi dengan perspektif yang komprehensif, serta adanya kapasitas situational awareness yang mumpunilah yang mampu menjadikan seorang ahli atau penasehat dapat membantu merumuskan konsep dan strategi untuk menyelesaikan masalah.
Konsep cerdas atau smart inilah yang mungkin perlu kita elaborasi dalam kajian kali ini. Kecerdasan telah lama menjadi topik perdebatan dan penelitian di berbagai bidang ilmu. Secara umum, kecerdasan didefinisikan sebagai kemampuan untuk belajar, berpikir secara abstrak, memecahkan masalah, dan beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis.
Namun, apakah kecerdasan itu semata hasil dari proses biologi otak, ataukah ia merupakan konstruksi sosial dan budaya yang berkembang seiring waktu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, diperlukan pendekatan interdisipliner yang mengintegrasikan filsafat, neurosains, psikologi, sosiologi, dan antropologi budaya.
Pertanyaan dan pemikiran tentang kecerdasan atau definisi cerdas sudah ada sejak zaman filsuf Yunani Kuno. Plato menganggap kecerdasan adalah aspek transendental dari jiwa yang berkaitan dengan pengetahuan ideal. Sementara Aristoteles yang lebih menekankan pada pengamatan empiris dan logika sebagai dasar pembentukan pengetahuan, menganggap kecerdasan adalah kemampuan untuk mengidentifikasi pola dan fenomena yang ada di alam.
Dalam konteks psikologi modern, perdebatan antara nature versus nurture semakin memantik genre pertanyaan terkait; apakah kecerdasan itu bersifat bawaan atau dipengaruhi oleh lingkungan?
Descartes (1641) menekankan peran akal sebagai sumber kebenaran melalui pendekatan rasionalisme, sedangkan Locke (1690) dengan empirismenya menganggap pengalaman sebagai fondasi pengetahuan.
Konsep kecerdasan sendiri semakin berkembang dengan teori-teori kontemporer seperti Multiple Intelligences yang dikemukakan oleh Howard Gardner (1983) dan Emotional Intelligence oleh Daniel Goleman (1995), yang memperluas cakupan kecerdasan di luar pengukuran IQ semata.
Penelitian neurosains telah mengidentifikasi sejumlah struktur otak yang esensial dalam mendukung kecerdasan seperti korteks Prefrontal yang merupakan pusat fungsi eksekutif, seperti perencanaan, pengambilan keputusan, dan pengendalian impuls. Dimana fungsi ini sangat penting dalam memecahkan masalah dan berpikir abstrak (Miller & Cohen, 2001).
Lalu ada peran dari lobus Parietalis yang bertanggung jawab untuk integrasi informasi sensorik dan pengolahan angka serta ruang. Kemudian ada peran dari lobus Temporalis yang terlibat dalam pembentukan memori (melalui struktur seperti hipokampus) dan pemahaman bahasa.
Ada pula kontribusi dari fungsi corpus calosum, suatu struktur serabut syaraf yang menghubungkan kedua belahan hemisfer otak, yang memungkinkan komunikasi dan koordinasi antar sisi otak. Kemudian substansia alba yang berperan dalam efisiensi transmisi sinyal antar neuron. Sedangkan substansia grisea yang berisi inti sel-sel neuron, terlibat dalam pemrosesan informasi. Kompleks bukan?
Sel-sel otak (neuron) berkomunikasi melalui sinapsis dengan melibatkan neurotransmiter seperti dopamin, yang berkaitan dengan fungsi motivasi dan reward, serta serotonin yang membantu regulasi mood (Kandel et al., 2000).
Otakpun  memiliki kemampuan neuroplastisitas, yautu suatu kemampuan untuk berubah dan beradaptasi berdasarkan pengalaman. Proses ini dimediasi oleh faktor-faktor pertumbuhan/ sitokin seperti Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF), yang mendorong pertumbuhan dan pemeliharaan neuron.
Sementara secara neurogenetik, gen seperti COMT dan BDNF memiliki peran penting dalam menentukan kapasitas kognitif seseorang. Selain itu, faktor lingkungan seperti stres dan nutrisi dapat memodulasi ekspresi gen melalui mekanisme epigenetik (Meaney, 2010).
Tetapi rupanya konsep kecerdasan itu tidak hanya merupakan fenomena biologis semata; ia juga dikonstruksi melalui interaksi sosial dan budaya.
Akses terhadap pendidikan, gizi, dan lingkungan yang mendukung sangat memengaruhi perkembangan kognitif. Studi menunjukkan adanya korelasi antara status sosial ekonomi dan performa kognitif pada anak-anak (Hackman & Farah, 2009).
Sementara Pierre Bourdieu (1986) berpendapat bahwa apa yang dianggap “kecerdasan” sering kali merupakan refleksi dari modal budaya; nilai, pengetahuan, dan bahasa yang dihargai dalam suatu kelompok sosial.
Sedangkan dalam berbagai budaya, konsep kecerdasan memiliki makna yang berbeda-beda. Misal, masyarakat agraris atau tradisional mungkin lebih menghargai kecerdasan ekologis dan kemampuan adaptasi dalam konteks alam, sedangkan masyarakat industri lebih menekankan kecakapan analitis dan literasi digital.
Pada gilirannya dalam habitat dan ekosistem dimana keberagaman sudah menjadi fatsun yang telah disepakati, kemampuan untuk memahami norma sosial, empati, dan teori pikiran (theory of mind) merupakan bagian yang terintegrasi dari kecerdasan, yang memungkinkan individu berinteraksi secara efektif dalam konteks sosial.
Untuk mengeksplorasi kecerdasan dan kearifan Prof SHS dan Ki Juru Martani, pendahulunya, kita juga perlu mengenal konsep kesadaran. Tidak hanya berorientasi pada kesadaran secara biologis, dimana manusia atau makhluk hayati tingkat tinggi lainnya dianggap sadar jika segenap fungsi vital dan inderanya serta sistem respon kognitif atau otaknya bekerja dengan baik saja, melainkan kesadaran dalam konteks yang lebih holistik tentu saja.
Kesadaran akan kehadiran atau eksistensi diri, peran diri, kontribusi diri, atau kesadaran yang bersifat afirmatif. Kesadaran akan kesemestaan, kesadaean untuk menghasilkan makna, dan juga mewariskan legasi lintas generasi terkait sesuatu yang diyakini sebagai mimpi. Walau bagi sebagian dari kita hal tersebut bisa jadi hanyalah sebatas utopi dan mimpi yang terpenjara dalam realitas semu yang bernama imajinasi dan ilusi.
Kesadaran dan kearifan Nusantara inilah yang peu kita gali dari eksplorasi karakter-karakter cerdan nan istimewa seperti Suhono Sensei, Ki Juru Martani, Ki Ageng Suryomentaram, RM Sosrokartono, Haji Agus Salim, Soekarno, Hatta, HOS Cokroaminoto, Aria Wiraraja, Tribhuwana Tunggadewi, Sanjaya, Mpu Sindok, Ratu Shima, Karaeng Pattingalloang, Sultan Antasari, Guru Sekumpul, Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Majid, AA Gede Agung, Bulan Tresna Djelantik, Yan Wospakrik, dr Leimena, Prof Gerrit Agustinus Siwabessy, Prof Herman Johannes, Marie Thomas, dan masih banyak lagi tokoh Indonesia yang harus kita buat database profil otak dan keluarannya.
Kesadaran (consciousness) kerap kali dianggap sebagai salah satu misteri terbesar dalam ilmu pengetahuan. Ia menyentuh ranah filsafat, psikologi, biologi, hingga politik. Dalam konteks neurosains dan neuropolitik, istilah Level of Consciousness merujuk pada tingkatan aktivitas kognitif, emosional, serta dinamika syaraf yang memengaruhi cara kita mempersepsi diri dan realitas. Beranjak dari individu, kesadaran juga memberi dampak besar pada bagaimana masyarakat berinteraksi, membuat kebijakan, hingga menata peradaban global.
Secara sederhana, Level of Consciousness mengacu pada tingkat kewaspadaan dan pengenalan seseorang terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Istilah ini sering dipakai dalam terminologi klinis, untuk menentukan kondisi pasien apakah sadar penuh, terjaga, atau berada pada kondisi yang lebih rendah (contoh: koma atau vegetatif).
Sedangkan dalam ranah psikologi & filsafat, LoC digunakan untuk menggambarkan kedalaman pikiran dan persepsi seseorang; mulai dari pemahaman yang dangkal hingga pemahaman mendalam tentang eksistensi dan pengalaman.
Dalam neuropolitik, konsep LoC juga bisa dipahami sebagai tingkat kesadaran politik, bagaimana individu menilai fenomena sosial-politik, terlibat dalam diskursus publik, atau melakukan aksi kolektif.
William James pada akhir abad ke-19 menekankan istilah stream of consciousness untuk menggambarkan arus pikiran yang terus mengalir. Sedangkan Sigmund Freud membedakan kesadaran menjadi kesadaran sadar (conscious), pra-sadar (preconscious), dan bawah sadar (unconscious).
Seiring perkembangan teknologi pencitraan otak (fMRI, PET scan, konektom-optogenetik,EEG, dll.), peneliti mulai memetakan area otak yang terlibat dalam kesadaran dan kognisi, serta mengidentifikasi neural correlates of consciousness (NCC). Dimana berdasarkan pendekatan neuroanatomi, beberapa peneliti menyebut bahwa area otak tingkat tinggi/fungsi luhur (prefrontal cortex, parietal lobes) bertanggung jawab atas integrasi multi-sensori dan membentuk lokus kesadaran, sementara subkorteks dan batang otak berperan dalam menjaga kewaspadaan dasar (arousal).
Beberapa konsep dan teori tentang kesadaran telah banyak dikaji oleh para peneliti global lintas disiplin, teori yang banyak diterima saat ini, antara lain adalah ; Integrated Information Theory, IIT yang diajukan oleh Giulio Tononi. Dimana teori ini menekankan bahwa kesadaran muncul dari tingkat keterhubungan dan integrasi informasi dalam otak. Semakin tinggi integrasi, semakin tinggi pula level kesadaran.
Lalu ada pula teori Global Neuronal Workspace, GNW yang dikemukakan oleh Stanislas Dehaene dan Jean-Pierre Changeux. Dimana teori ini menggambarkan kesadaran sebagai “ruang kerja/hidup” global atau space di otak, di mana informasi yang relevan disiarkan secara global ke berbagai area, sehingga menjadi “terapresiasi” secara sadar oleh sistem kognitif lainnya.
Dari konsep kesadaran itu dapat dielaborasi konsep terkait awareness di tingkat personal maupun komunal, bahkan global. Kepekaan terhadap proses kognitif dan bias yang terjadi di bawah sadar dapat membantu seseorang menjadi lebih rasional dan kritis. Yang pada gilirannya dapat menimbulkan efek kohesi sosial jika terjadi “penularan” di tingkat komunal karena adanya irisan kesamaan faktor yang mempengaruhinya.
Komunitas yang memiliki tingkat kesadaran bersama tentang nilai, budaya, dan tujuan lebih mampu menjaga persatuan dan mengatasi perbedaan dengan dialog konstruktif.
Perlu dilakukan studi cross sectional dengan objek dan subjek amatan populasi lintas kultural, untuk dapat memperoleh basis data dan profil lintas populasi dan lintas budaya yang dapat dijadikan benchmark dalam upaya mencari dan mengembangkan konsep kecerdasan Indonesia dan Kearifan Nusantara.
Salah satu indikator yang mungkin dapat menjadi acuan adalah tingkat kreativitas. Dimana kreativitas adalah salah satu kunci utama dari proses invensi yang merupakan salah satu upaya untuk menghadirkan solusi bagi beragam masalah bangsa dan kemanusiaan yang kerap kita hadapi.
Di otak kita itu sebenarnya tindak kreatif yang berangkat dari olah memori dan persepsi dalam konteks imajinatif itu sudah ada default nya. Sekurangnya ada 3  kompartemen fungsional utama otak yang berkontribusi pada proses kelahiran gagasan dan kreativitas tanpa batas, yaitu: Default Mode Network (DMN): yang aktif ketika seseorang beristirahat atau melamun (mind-wandering). DMN membantu penggalian ide, imajinasi, serta penarikan informasi dari memori. Lalu ada Executive Control Network yang mengelola perhatian/atenai, pengambilan keputusan, dan evaluasi ide. Jaringan ini lebih banyak melibatkan prefrontal cortex (PFC) yang sering dianggap sebagai control center otak. Sedangkan Salience Network berfungsi sebagai “penjaga gerbang” , sejenis arca Dwarapala, yang memutuskan mana informasi yang relevan untuk diproses lebih lanjut, sehingga membantu mengalihkan fokus dari ide satu ke ide lain secara fleksibel.
Ketiga kompartemen yang banyak didominasi “pemain” dari unsur korteks Prefrontal dan beberapa bagian sub kortikal seperti insula inilah yang akan mengolah konsep-konsep terkait kelahiran kapasitas kreatif dan prokreasi manusia. Dimana kreativitaa itu menurut Mihaly Csikszentmihalyi adalah suatu keadaan “flow”, dimana kondisi keterlibatan mental maksimal. Ketika seseorang begitu tenggelam dalam aktivitas kreatif sehingga lupa waktu dan rasa lelah. Saat mengalir~flow, kombinasi konsentrasi tinggi dan tantangan yang tepat mendorong lahirnya ide-ide baru yang orisinal.
Ide tersebut dapat dihasilkan  secara paradoksal melalui pendekatan Divergent Thinking (berpikir menyebar) yang mengarah pada proses pencarian alternatif sebanyak-banyaknya, misal melalui brainstorming, FGD, ngopi bareng dll. Atau melalui proses Convergent Thinking (berpikir menyempit), terkait penilaian kritis dan pemilihan solusi terbaik. Sebenarnya kreativitas memerlukan tensi seimbang di antara kedua proses tersebut.
Ada satu tesis yang ingin saya ajukan dalam tulisan ini : kecerdasan ekosistem atau eco-intelligence. Karena konstruksi cerdas, apalagi arif itu tentulah memiliki struktur kompleks yang cukup rumit. Tampak keos tapi sesungguhnya sistematis dan teratur, sebagaimana pendekatan fraktal yang diusung oleh Mandelbrot.
Intinya kecerdasan dan kearifan itu adalah hasil multi interaksi di antara berbagai elemen endogen dan berbagai faktor eksternal. Faktor endogennya antara lain kondisi sel dan jaringan syaraf kita, kondisi fisiologi kita secara umum, dan tentu saja gen kita. Sedangkan faktor eksogennya bisa datang dari mana saja, karena dinamika perubahan lingkungan (ekosistem) pasti memiliki dampak sistemik yang signifikan pada sistem fisiologi kita, termasuk aspek neurobiologinya tentu saja.
Kalau begitu bagaimana elemen gen dapat mempengaruhi kecerdasan dan kearifan manusia?
Kecerdasan ditentukan oleh banyak gen dengan efek aditif (polygenic). Masing-masing gen memberikan kontribusi relatif kecil, namun jika dikombinasikan, efeknya sangat signifikan. Kecerdasan juga dipengaruhi secara multifaktorial. Selain faktor genetik, kecerdasan dipengaruhi oleh lingkungan (stimulus belajar, nutrisi, pola asuh, kultur, dll.) dan bentuk-bentuk interaksi b e berbagai faktor tersebut je profil gen kita, disebut epigenetik.
Penelitian twin studies atau genome-wide association studies (GWAS) menunjukkan bahwa komponen heritabilitas (pengaruh genetik) kecerdasan dapat berkisar antara 40–80%, tergantung pada usia, populasi, dan metode pengukuran. Sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal.
Karena sifat kecerdasan poligenik, ratusan hingga ribuan varian genetik dapat berpengaruh, namun masing-masing gen umumnya memiliki efek sangat kecil. Berikut beberapa contoh gen “kandidat” yang kerap disebut dalam literatur, beserta fungsinya,
– BDNF (Brain-Derived Neurotrophic Factor) yang berperan dalam pertumbuhan, pemeliharaan, dan plastisitas neuron. Polimorfisme BDNF (misalnya Val66Met) dikaitkan dengan perbedaan kapasitas memori dan proses belajar.
– COMT (Catechol-O-methyltransferase) yang mengatur metabolisme dopamin di prefrontal cortex, yang berperan penting dalam fungsi eksekutif dan pemecahan masalah. Polimorfisme (Val158Met) pada gen ini dapat mempengaruhi kecepatan pemrosesan kognitif.
– APOE (Apolipoprotein E), lebih sering dibahas dalam konteks penuaan otak dan risiko Alzheimer. Namun, varian APOE tertentu dapat mempengaruhi fungsi kognitif secara umum.
– DRD2, DRD4 (Dopamine Receptor D2 & D4), reseptor dopamin ini terlibat dalam sistem reward, motivasi, dan perhatian. Variasi pada gen reseptor dopamin kadang dikaitkan dengan perbedaan motivasi belajar, sifat eksploratif, dan perhatian (ADHD).
– CHRM2 (Cholinergic Receptor Muscarinic 2) yang berperan pada transmisi sinyal kolinergik, yang penting untuk pembentukan memori dan perhatian. Studi awal menunjukkan gen ini memiliki korelasi kecil dengan perbedaan IQ, tetapi belum sepenuhnya dikonfirmasi.
– KIBRA (Kidney and Brain Expressed Protein) yang berkaitan dengan proses memori jangka panjang dan regulasi jalur sinyal tertentu di otak. Polimorfisme KIBRA telah dikaitkan dengan performa dalam tugas memori.
Kalau gennya sudah terpetakan, tentu pengaruh faktor eksternal pada gen dan kerja otak perlu kita pelajari juga bukan? Karena kecerdasan dan kearifan suatu bangsa tentu amat dipengaruhi oleh kondisi alam yang menjadi habitatnya, budaya, pola makan, aktivitas fisik sesuai dengan kondisi geologi, sebaran keragaman hayati sebagai bahan makanan  bernutrisi, dan juga keragaman dunia mikro yang dikenal sebagai mikrobioma.
Salah satu sub disiplin ilmu genomik yang beririsan erat dengan ilmu gizi adalah nutrigenomik yang mempelajari bagaimana nutrisi mempengaruhi ekspresi gen dan, sebaliknya, bagaimana gen memengaruhi kebutuhan nutrisi individu. Khususnya dalam konteks kecerdasan dan kearifan.
Sebagai contoh, kandungan asam lemak Omega-3 (DHA, EPA) terbukti dapat memengaruhi fluiditas membran sel syaraf dan efisiensi sinaptik. Beberapa studi menunjukkan asupan Omega-3 yang cukup terkait dengan perkembangan otak yang optimal, terutama pada masa kanak-kanak. Maka omega-3 yang banyak terkandung di ikan penting sebagai salah satu material pendukung terbangunnya infrastruktur cerdas yang bernama otak dan jejaring syaraf.
Mikronutrien juga punya peran penting dalam hal ini, misal zat besi, yodium, vitamin B (misalnya asam folat, B6, B12) amat dibutuhkan untuk pembentukan sel syaraf, mielinisasi, dan produksi neurotransmiter. Defisiensi mikronutrien sejak usia dini dapat mengganggu perkembangan kognitif.
Perbedaan polimorfisme dari beberapa gen secara vis versa membuat individu lebih/kurang efisien dalam memetabolisme nutrisi tertentu. Misalnya, variasi pada gen FADS2 (Fatty Acid Desaturase 2) dapat mempengaruhi pemrosesan asam lemak.
Kekurangan atau kelebihan nutrisi tertentu, pada gilirannya akan dapat memicu perubahan penanda epigenetik (metilasi DNA, modifikasi histon), yang selanjutnya berdampak pada ekspresi gen-gen terkait fungsi kognitif. Maka makanan dan lingkungan itu penting dalam konstruksi kecerdasan dan kearifan.
Apa yang kerap dimakan dan  menjadi kegemaran kedua tokoh dalam tulisan kita hari ini ya ? Apakah gudeg Manggar ? Atau bacem Wader?
Maka eksplorasi nutrisi, bahan pangan, dan resep-resep tradisional Nusantara dapat menjadi salah satu elemen kunci, bahkan game changer dalam memetakan potensi untuk mengoptimalkan potensi kecerdasan dan kearifan manusia Indonesia.
Maka sungguh hebat founding father kita, Bung Karno, yang pemikirannya sungguh melampaui jaman. Puluhan tahun lalu, beliau telah memerintahkan pengumpulan 1945 resep Nusantara yang dikerjakan oleh 17 peneliti dan 8 personil militer. Hasil dari pengumpulan bentuk kearifan lokal di ranah kuliner itu dikumpulkan dalam 1 kitab babon masakan Indonesia: MUSTIKA RASA. Pusaka rasa dan makna Nusantara, yang pernah membawa bangsa ini mendunia.
Ke depan saatnya kita kembali mengelaborasi segenap legasi tersebut dalam karya nyata. Penataan dan pengembangan kawasan bersistem cerdas di wilayah urban, sub urban, dan rural adalah suatu keniscayaan.
Data dan fakta ilmiah menunjukkan bahwa aktivitas fisik teratur seperti berjalan kaki, terbukti mampu menyehatkan otak melalui berbagai mekanisme seperti meningkatkan kadar BDNF. Sedangkan intensitas olahraga sedang hingga tinggi terbukti dapat meningkatkan pelepasan BDNF, yang mendukung plastisitas sinaptik dan kesehatan neuron.
Bagaimana itu bisa terlaksana tanpa dukungan prasarana publik di perkotaan untuk digunakan berjalan kaki dengan aman?
Jalan kaki dan berbagai aktivitas fisik lain terbukti pula dapat menurunkan level stres oksidatif. Dimana aktivitas fisik ternyata membantu sirkulasi darah, menstabilkan kadar hormon stres (kortisol), dan meningkatkan pembersihan radikal bebas. Hal ini tentu mempengaruhi lingkungan~ekosistem sel otak dan ekspresi gen yang terkait pertahanan sel.
Studi pada hewan dan manusia menunjukkan olahraga dapat meningkatkan neurogenesis di hipokampus; area yang punya peran penting dalam proses pembentukan memori dan pembelajaran.
Lalu bagaimana dengan kondisi lingkungan? Apakah juga punya pengaruh pada genom dan kinerja otak?Environmental genomics atau ecogenomics meneliti bagaimana lingkungan (polusi, toksin, paparan bahan kimia, stres sosial, dsb.) berinteraksi dengan genom dan memengaruhi ekspresi gen secara langsung.
Kondisi-kondisi yang dapat berdampak langsung pada kinerja neurofisiologi kita, antara lain adalah pencemaran udara atau paparan logam berat. Dimana paparan merkuri, timbal, atau polutan lain pada masa kanak-kanak dapat merusak perkembangan syaraf, mengubah ekspresi gen, dan menghambat kemampuan kognitif. Tentu masih banyak polutan lainnya bukan? Emisi gas buang misalnya. Sistem cerdas dapat membantu mengelola dan memitigasi kondisi tersebut bukan?
Stres kronis atau trauma karena paparan stressor dari ekosistempun dapat memicu perubahan epigenetik, seperti peningkatan metilasi pada gen reseptor glukokortikoid (NR3C1), hingga mempengaruhi regulasi hormon stres dan konektivitas syaraf. Kota atau ruang hidup harus happy bukan?
Sementara lingkungan yang kaya akan rangsangan kognitif (buku, permainan edukatif, diskusi) terbukti dapat meningkatkan kemampuan belajar dan mendorong ekspresi gen-gen yang terlibat dalam plastisitas otak. Sebaliknya, deprivasi sensorik atau sosial dapat menghambat perkembangan synaptic pruning dan koneksi neuronal secara optimal.
Secara keseluruhan, kecerdasan manusia terbentuk oleh interaksi dinamis antara gen-gen yang berkontribusi pada fungsi saraf dan faktor eksternal seperti nutrisi, latihan fisik, dan stimulus lingkungan. Pemahaman yang lebih mendalam tentang gen-environment interplay ini memungkinkan kita mengoptimalkan tumbuh kembang kognitif; misalnya, melalui pemenuhan nutrisi sejak dini, olahraga teratur, dan penyediaan lingkungan belajar yang menstimulasi.
Kembali ke soal Mustika Rasa, sains membuktikan bahwa ternyata dari hasil penelitian selama dua dekade terakhir, para ilmuwan menyadari bahwa saluran cerna tidak hanya berperan dalam pencernaan, tetapi juga memiliki hubungan erat dengan otak melalui apa yang disebut gut-brain axis. Jadi ada hubungannya loh antara Gudeg Manggar dan Gebleg Kulon Progo dengan kecerdasan manusia Jawa.
Alam ghoib mikrobioma dengan semesta yang tak kasat mata ternyata juga punya teranat nyata bagi kecerdasan manusia. Mereka, para makhluk halus ini masuk di tubuh kita sedikit banyak dipengaruhi juga oleh faktor makanan dan bahan pangan organik endemik.
Bakteri di usus manusia terbukti menghasilkan beragam senyawa (asam lemak rantai pendek/SCFA, neurotransmiter, dll.) yang dapat mempengaruhi fungsi sel syaraf dan bahkan dapat menembus sawar otak (blood-brain barrier). Dengan demikian, keseimbangan flora usus (komposisi mikrobiota) berpengaruh terhadap kesehatan mental, kinerja kognitif, hingga emosi kita bukan?
Tidak ada satu jenis bakteri “tunggal” yang sepenuhnya menentukan kecerdasan atau fungsi otak. Namun, beberapa kelompok bakteri terbukti memiliki peran positif dalam menjaga keseimbangan gut-brain axis, seperti keluarga Lactobacillus, misal Lactobacillus rhamnosus, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus acidophilus yang memiliki oeran utama dalam proses produksi asam laktat. Dimana asam laktat dapat membantu menurunkan pH usus/saluran cerna, dan mencegah pertumbuhan patogen.
Mikroba seperti Lactobacillus juga memodulasi sistem imunitas mukosal dengan cara meningkatkan fungsi lapisan mukosa dan menstabilkan barrier usus (intestinal barrier). Penelitian menunjukkan Lactobacillus rhamnosus dapat memengaruhi reseptor GABA di otak, berpotensi menurunkan kecemasan dan meningkatkan ketenangan.
Ada juga keluarga Bifidobacterium seperti Bifidobacterium longum, Bifidobacterium breve,& Bifidobacterium infantis yang membantu proses produksi Asam Lemak Rantai Pendek (Short-Chain Fatty Acids, SCFA), seperti asetat, propionat, dan butirat yang penting untuk kesehatan sel epitel usus serta dapat mempengaruhi fungsi otak.
Bifidobakterium juga dapat meningkatkan perkembangan sistem imunitas pada anak, turut menurunkan peradangan yang berlebihan (inflammatory response), dan beberapa studi menunjukkan adanya kaitan antara Bifidobacterium dengan peningkatan kadar serotonin perifer (hingga dapat berdampak pada suasana hati, walau mekanismenya masih diteliti).
Salah satu bakteri yang paling melimpah di usus orang sehat adalah Faecalibacterium prausnitzii. Di mana F. prausnitzii dikenal sebagai penghasil butyric acid (butirat) yang merupakan SCFA kunci bagi kesehatan usus. Asam Butirat juga membantu menjaga integritas sawar usus (intestinal barrier) dan dapat mengurangi reaksi peradangan yang berdampak ke otak (neuroinflammation).
Sementara Bacteroides fragilis membantu pencernaan karbohidrat kompleks dan pemecahan serat yang tidak dapat dicerna manusia menjadi SCFA. B. fragilis juga dapat mengeluarkan polisakarida spesifik (PSA) yang membantu menyeimbangkan respon imun, termasuk di sistem syaraf pusat.
Bakteri yang berperan penting dalam metabolisme mukus (lendir) pada lapisan usus adalah Akkermansia muciniphila. Perannya dalam pemeliharaan lapisan mukosa dilakukan dengan mengurai mukus untuk menjaga ketebalan dan integritas intestinal barrier.
Keseimbangan populaai Akkermansia juga dikaitkan dengan profil metabolik yang lebih sehat, yang juga berimplikasi pada fungsi otak (melalui penurunan peradangan sistemik).
Sejumlah mikrobiota usus terbukti mampu menghasilkan atau memodulasi senyawa kimia seperti GABA, serotonin, dopamin, hingga prekursor neurotransmiter (misalnya triptofan). Pada gilirannua kadar neurotransmiter di usus dapat mempengaruhi sistem syaraf enterik (jaringan syaraf di saluran cerna) dan berkomunikasi dengan otak melalui nervus vagus dan sistemik melalui peredaran darah.
Mikrobiota saluran usus yang sehat dapat mencegah terjadinya peradangan kronis dan intestinal permeability yang buruk (leaky gut), yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya peradangan sistemik dan berpotensi melemahkan blood-brain barrier (BBB).
Bakteri yang menjaga integritas usus (misalnya Faecalibacterium prausnitzii, Akkermansia muciniphila) dapat membantu menurunkan rrsiko peradangan yang dapat merusak BBB.
SCFA seperti butirat, propionat, dan asetat berpengaruh pada metabolisme neuron, sumber energi sel, dan ekspresi gen di otak. Butirat, khususnya, dapat mendukung trofisme sel glia dan neuron. SCFA juga berperan dalam modifikasi epigenetik (misalnya memengaruhi histone deacetylase), yang pada gilirannya bisa berdampak pada regulasi gen untuk pertumbuhan dan fungsi neuron.
Mikrobiota yang sehat mengatur keseimbangan sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi. Peradangan kronis di tubuh berkorelasi dengan munculnya gangguan kognitif, depresi, hingga penurunan fungsi eksekutif otak.
Mikrobiota juga dapat mempengaruhi ketersediaan nutrisi penting dan mengatur proses imun. Selama masa kanak-kanak, hal ini berkontribusi pada perkembangan cognitive function yang optimal. Ketidakseimbangan mikrobiota (disbiosis) berpotensi terkait dengan gangguan suasana hati (ansietas, depresi) serta gangguan kognitif. Sebaliknya, komposisi mikrobiota yang baik berpotensi mendukung kemampuan berpikir jernih, fokus, dan stabilitas emosi.
Bahkan beberapa studi awal menunjukkan bahwa komposisi mikrobiota tertentu dapat melindungi atau menurunkan resiko penyakit neurodegeneratif (misalnya Alzheimer, Parkinson) melalui modulasi inflamasi dan metabolit yang dihasilkan.
Jadi ngunthal bahan pangan endemik yang punya kearifan sistemik itu penting dalam upaya meningkatkan kecerdasan bangsa bukan?
Jadi ada baiknya dalam riset pemetaan profil dan karakter kecerdasan Indonesia dan kearifan Nusantara yang diinisiasi oleh Asosiasi Prakarsa Cerdas Indonesia ini, kita lakukan penelitian bergenre in depth study berupa ikut merasakan langsung apa yang dimakan oleh Prof SHS ya, 3x sehari, kecuali di bulan puasa 😊🙏🏾🙏🏾
Simpulannya ? Belum ada yang bisa disimpulkan, karen kita masih perlu studi meta-analisis untuk mendapatkan gambaran profil kecerdasan dan kearifan bangsa melalui studi pustaka dan observasi lapangan terkait berbagai elemen pengaruh yang wajib diamati pada tokoh-tokoh besar nan inspiratif bangsa ini. 🇲🇨🇲🇨🇲🇨
Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts