Tauhid Nur Azhar

The Humans (Ngabubuwrite-3)

Semalam usai taraweh saya asyik masyuk membaca sebuah buku yang kemarin pagi saya beli di Gramedia Merdeka. Judulnya unik: The Humans, penulisnya Matt Haig. Karya terdahulu Matt Haig yang cukup menonjol adalah “Perpustakaan Tengah Malam”. Dalam The Human Matt Haig menceritakan suatu kisah fiksi ilmiah tentang seorang penduduk planet inter galaksi yang datang ke bumi dan “menyaru” dalam tampilan fisik seorang profesor Matematika terkenal dari Cambridge; Prof Andrew Martin.

Tujuan kehadirannya di bumi sebenarnya adalah untuk menghentikan kemajuan capaian penelitian Prof Andrew Martin yang diduga akan membawa sebuah “pengetahuan baru” yang dapat membawa manusia ke suatu pengenalan tentang konsep “terra incognita” yang oleh peradaban yang jauh lebih tinggi dianggap belum waktunya untuk diketahui manusia. Makhluk aneh yang menurut mereka masih amat terkebelakang dan terikat dengan materi.

Tapi tentu saya tidak boleh banyak bercerita tentang isi novel tersebut bukan? Bisa-bisa nanti saya dimarahi anak wedhok, “Bapak jangan suka spoiler dong!”

Terra incognita ini rupanya adalah obsesi dari banyak manusia yang penasaran dengan apa yang disembunyikan oleh jarak dan waktu. Karena kita makhluk 3 dimensi yang masih berpikir dalam skala mulai dari ordinal sampai semantic differential, maka sesuatu yang “baru” itu pasti berkonotasi “jauh” dan berwaktu tempuh “lama”.

Dimana konsep ini mungkin menjadi bahan tertawaan makhluk lain yang berada di tesseract, di mana waktu adalah materi geometri tingkat tinggi yang melahirkan dimensi ruang. Jadi bisa dilihat, dilipat, dibolak-balik, dan diperlambat serta dipercepat a.k.a fast forward dengan bantuan instrumen seperti gravitasi.

Dan itu semua menunjukkan bahwa ada pola dan hukum yang bekerja sebagai prasyarat untuk hadirnya sebuah fenomena. Sebagaimana di matematika kita mengenal pesona bilangan prima, bilangan genap yang tak terbagi kecuali oleh 0,1, dan dirinya sendiri.

Konsep bilangan prima ini pada gilirannya telah melahirkan Hipotesis Riemann yang mengimplikasikan bahwa bilangan prima tidak muncul secara acak, tetapi mengikuti sebuah pola yang dideskripsikan oleh fungsi Riemann zeta. Hipotesis Riemann juga menyatakan bahwa semua akar-akar fungsi zeta Riemann hanya terletak pada bilangan genap negatif dan pada bilangan kompleks dengan bagian nyata 1/2.

Pada tahun 1914, matematikawan Inggris Godfrey Harold Hardy membuktikan bahwa terdapat jumlah solusi tak terhingga dari ζ(s) = 0 pada garis kritis x = 1/2.

Distribusi statistik nol fungsi zeta Riemann mirip dengan nilai eigen matriks Hermitian acak, alat yang digunakan dalam studi quantum chaotic dan fisika nuklir. Ini mengisyaratkan adanya sistem kuantum hipotetis yang tingkat energinya mencerminkan nol zeta. Model spekulatif membuka peluang bahwa sistem seperti itu mungkin dapat maujud dalam teori gravitasi kuantum atau teori fundamental lain. Misal, pada Hamiltonian quantum (operator energi) yang jika nilai eigen nya adalah nol zeta dapat menjadi jembatan antara teori bilangan dan fisika.

Konjektur Hilbert-Pólya adalah contoh lain bagaimana masalah matematika abstrak (Riemann Hypothetic) bisa bersinggungan dengan mekanika quantum (ruang Hilbert). Pembuktian RH melalui jalur ini mungkin dapat mengungkap pendekatan fisika atau struktur matematika baru. Hukum fundamental alam semesta mungkin terkait erat dengan struktur matematika seperti fungsi zeta, hingga dapat menunjukkan kesatuan antara matematika murni dan realitas fisika.

Pendekatan vektor dalam konteks matematika untuk memahami konsep ruang-waktu fisika misalnya, dapat dipelajari di ruang waktu Minkowski. Di mana Minkowski space adalah gagasan matematika Minkowski; dengan menggunakan vektor yang memungkinkan orang mengukur jarak dalam ruang-waktu, dua hal yang sudah terintegrasi menjadi satu kesatuan.

Tahun 1907, Minkowski mengungkapkan bahwa karya Lorenz dan Einstein akan lebih mudah dipahami lewat konsep ruang non-Euclidian. Menggagas ruang dan waktu, yang awalnya disangka dapat dipisahkan, ternyata menjadi “pasangan abadi” dalam dimensi keempat dari ‘kontinuum ruang-waktu’. Temuan ini digunakan sebagai kerangka acuan dalam elektrodinamika. Karya-karya Minkowski ini dipublikasi dalam Raum und Zeit (1907) dan Zwei Abhandlungen uber die grundgleichungen der Elektrodynamik (1909).

Salah satu objek di alam semesta yang dapat menjadi model integrasi matematika murni dengan fisika quantum dan kajian teori lainnya adalah lubang hitam.

Lubang hitam adalah bagian dari ruang waktu yang memiliki gravitasi paling kuat, bahkan cahaya sekalipun tidak dapat menghindar. Teori relativitas umum memprediksi bahwa diperlukan massa yang besar untuk menciptakan sebuah lubang hitam yang berada di ruang waktu. Di sekitar lubang hitam terdapat permukaan yang disebut event horizon atau horizon peristiwa. Objek ini disebut “hitam” karena menyerap apapun yang berada di sekitarnya dan tidak dapat kembali lagi, termasuk cahaya.

Secara teoritis, lubang hitam dapat memiliki ukuran sebesar apapun, dari mikroskopik sampai ke ukuran alam raya yang dapat diamati. Teori medan kuantum dalam ruang-waktu melengkung memprediksi bahwa horizon peristiwa memancarkan radiasi disekitarnya dengan suhu yang terbatas. Suhu ini berbanding lurus dengan massa lubang hitam. (Wikipedia)

Salah satu contoh Black Hole adalah lubang hitam supermasif di dalam inti galaksi elips superraksasa Messier 87 di konstelasi Virgo. Massanya diperkirakan mencapai miliaran kali lipat massa Matahari. Yang fotonya dapat diambil secara langsung oleh Event Horizon Telescope serta dirilis tanggal 10 April 2019.

Stephen Hawking dalam Hawking, S. W.; Penrose, R. (1970), “The Singularities of Gravitational Collapse and Cosmology”, Proc. R. Soc. A, 314 (1519): 529–548, Bibcode:1970RSPSA.314..529H, doi:10.1098/rspa.1970.0021 pernah membahas secara mendalam tentang singularitas ruang waktu di mana singularitas adalah lokasi di ruang waktu pada saat bidang gravitasi benda langit diprediksi akan menjadi tak berhingga oleh relativitas umum dengan cara yang tidak bergantung pada sistem koordinat.

Kuantitas yang digunakan untuk mengukur kekuatan medan gravitasi adalah invarian skalar kelengkungan ruang waktu, yang mencakup ukuran kerapatan materi. Karena jumlah seperti itu menjadi tak terbatas dalam singularitas, hukum ruang waktu normal yang kita kenal saat ini tidak bisa digunakan.

Teori lain terkait hubungan gravitasi dengan ruang waktu adalah GKS (gravitasi kuantum simpal) atau loop quantum gravity yang merupakan teori fisika untuk menjelaskan sifat-sifat kuantum dari gravitasi. Ia juga merupakan teori ruang-waktu kuantum, karena, berdasarkan teori relativitas umum, geometri ruang waktu adalah efek dari gravitasi itu sendiri.

GKS adalah salah satu teori untuk menggabungkan mekanika kuantum dan relativitas umum. Dari teori ini, dapat ditunjukkan bahwa secara fisis, ruang-waktu bersifat granular/diskrit. Di mana kediskritan ruang-waktu ini merupakan konsekuensi dari kuantisasi kanonik. Hal ini mirip dengan kediskritan foton (partikel cahaya) dalam elektrodinamika kuantum, dan juga mirip dengan kediskritan tingkat energi pada atom.

Dalam GKS, ruang dapat dianggap terdiri dari garis-garis medan gaya yang membentuk kurva tertutup (disini disebut simpal/loop). Simpal tersebut saling berkaitan dan saling berpotongan satu sama lain, sehingga membentuk kumpulan simpal yang disebut dengan jejaring spin (spin network). Secara matematis, jejaring spin tidak lain merupakan suatu graf. Evolusi jejaring spin terhadap waktu disebut dengan busa spin (spin foam). Ukuran dari simpal yang membentuk jejaring spin ini diperkirakan sangat kecil, yaitu dalam orde 10−35 meter, yang disebut dengan skala Planck. Menurut GKS, tidak ada pengukuran yang bisa dilakukan dengan skala yang lebih kecil dari skala Planck. Dengan demikian, GKS memprediksi bahwa, tidak hanya materi, melainkan ruang itu sendiri memiliki struktur diskrit seperti atom. (Wikipedia)

Dalam konteks matematika struktur diskrit antara lain dapat ditinjau dari teori Graf. Dimana Euler menciptakan teori graf di tahun 1735 saat ia hendak memecahkan masalah Königsberg Bridge. Saat ini, teori graf menjadi komponen integral dari ilmu komputer, rekayasa buatan, pembelajaran mesin, ilmu data, serta jejaring sosial. Graf dilambangkan sebagai G (V, E), di mana G adalah adalah struktur data non-linier, yaitu pasangan setting (V, E).

V merupakan himpunan titik-titik (Points) yang tidak kosong. Sedangkan E adalah himpunan sudut seperti ranting atau garis seperti mapping f: E →V contohnya dari himpunan E menuju elemen-elemen V yang teratur atau tidak teratur. Jumlah graf dan sudut disebut ukuran graf G (V, E). Graf terdiri dari tiga jenis, yaitu graf tidak berarah, berarah, dan berbobot. Intinya, teori graf mempelajari hubungan antara simpul dan tepi atau koneksi yang berbeda. (Binus University)

Kembali ke buku Matt Haig, dimana di dalamnya digambarkan secara fiktif, bahwa kaum dari peradaban masa depan kurang berkenan dengan terobosan yang dilakukan manusia melalui pendekatan matematika yang dapat membawa ummat kita mulai menguak tabir-tabir realita semesta. Kondisi ini unik, mengingat adanya kekhawatiran terhadap akselerasi pengetahuan pada manusia yang dapat berdampak sistemik dengan munculnya efek destruktif di peradaban lain. Tapi sekaligus juga relevan, bukankah suku Inca dan Maya di Amerika Selatan dan Tengah punah karena invasi dan penyakit yang dibawa oleh kaum yang “tercerahkan” secara pengetahuan hingga mengenal ilmu navigasi, kartografi, teknik perkapalan, hingga ilmu amunisi (detonasi) dan artileri.

Legenda terkait asal-usul Suku Inca sendiri termaktub di kisah tiga gua, yakni Gua di Tampu T’uqu (Tambo Tocco) bernama Qhapaq T’uqu, Gua Maras T’uqu (Maras Tocco) dan Sutiq T’uqu (Sutic Tocco). 4 pasang manusia, lelaki dan perempuan keluar dari gua tengah. Mereka adalah Ayar Manco, Ayar Cachi, Ayar Awqa (Ayar Auca), Ayar Uchu, Mama Ocllo, Mama Raua, Mama Huaco dan Mama Qura (Mama Cora), yang kemudian menjadi nenek moyang Suku Inca.

Ke delapan manusia Inca pertama ini dipercaya sebagai keturunan Dewa Inti (Dewa Matahari). Melalui serangkaian konflik dan kontestasi kekuatan, Ayat Manco membunuh saudara laki-lakinya, hingga kemudian ia memimpin keempat saudara perempuannya melewati hutan. Mereka akhirnya akhirnya menetap di lembah subur di dekat Cusco, Peru, pada sekitar 1200 M. Setelah itu, Ayar Manco dikenal sebagai Manco Capac, Kaisar Suku Inca yang pertama.

Kemajuan teknologi manusia di benua Eropa pada masa itu menghadirkan petaka bagi bangsa Inca yang justru mengembangkan teknologi untuk kesejahteraan bersama; astronomi dan pertanian yang presisi bahkan sudah dikenal oleh bangsa Inca pada masanya.

Bangsa Spanyol yang dipimpin oleh Francisco Pizarro berhasil menculik kaisar Inca dan menaklukkan rakyatnya karena persenjataan mereka yang canggih. Mereka pun membawa penyakit “dunia lama” yang dikenal sebagai cacar. Penyakit yang diakibatkan oleh virus Variola yang sangat menular. Akibat wabah dan invasi, sebagian besar suku bangsa Inca musnah. Saat ini, keturunan Suku Inca yang masih ada, hidup sebagai petani dan tetap berbahasa Quechua, bahwa asli peradaban Inca, di Pegunungan Andes.

Maka wajar jika dinilai dari perspektif tersebut, ada peradaban yang meski punya tingkat dimensi berbeda dan berteknologi super tinggi, khawatir dengan sepak terjang ummat manusia dengan segenap kapasitas manipulatifnya yang luar biasa.

Tentu ini dapat menjadi bahan renungan bagi kita bersama, bahwa kompetensi dan kapasitas prokreasi yang melekat pada diri kita, juga merupakan potensi yang dapat menghadirkan kemampuan eksploitatif tanpa batas yang bersifat destruktif bahkan katastropik. Maka menjadi khalifah yang senantiasa diharapkan mampu menghantarkan rahmah ternyata memang tidak mudah. Tapi justru karena sulitnya ujian itulah, maka kita “menjadi” manusia. Yes, We are the Humans 🙏🏾🙏🏾

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts