Dunia yang Berubah
Di Jumat pagi ini, tepatnya usai sholat Subuh, saya menikmati secangkir kopi robusta dengan ditemani tayangan video pengajian Gus Baha di salah satu kampus yang diunggah ke platform You Tube.
Kajian Gus Baha pagi ini menjadi begitu menarik karena rasanya amat relevan dengan kondisi yang tengah kita hadapi saat ini; perang tarif dan adanya fluktuasi pada bursa saham dan nilai tukar mata uang asing sebagai efek kolateralnya.
Ternyata ada masa-masa di zaman Rasulullah SAW pasca hijrah ke Madinah, dimana kondisi dan situasi ekonomi tergolong cukup sulit. Ada kenaikan harga pada beberapa komoditas pokok yang berimbas pada terjadinya proses semacam resesi yang ditandai dengan penurunan drastis daya beli yang berdampak pada eskalasi berbagai persoalan sosial. Untuk itu para sahabat berkonsultasi, bahkan meminta kebijakan untuk mengendalikan harga pasar. Kebijakan tarif dan intervensi fiskal mungkin ya.
Tapi Rasulullah justru menyampaikan sebuah pesan dalam hadist yang berbunyi demikian;
Dari Anas, ia berkata: “Orang-orang berkata, ‘Wahai Rasulullah, harga-harga sudah melambung tinggi, maka tetapkanlah harga-harga untuk kami.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya, Allah Yang Maha Tinggi adalah yang menetapkan harga, yang memampangkan rezeki. Sesungguhnya, aku berharap akan bertemu dengan Allah, dan tidak ada di antara kalian yang menuntutku atas darah atau harta yang kurang adil.” (HR Abu Dawud).
Dimana intinya oleh para ulama dan ahli ekonomi ditafsirkan pada azas keadilan berdasar mekanisme pasar.
Di beberapa periode setelahnya, dunia mengenal Laissez-faire, yang merupakan konsep ekonomi dengan penekanan minimnya campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi. Konsep ini, yang secara harfiah berarti “biarkan saja” dalam bahasa Prancis, berupaya membiarkan pasar berfungsi secara bebas dan alami tanpa regulasi atau intervensi pemerintah yang berlebihan.
Laissez-faire beranggapan bahwa pasar bebas, yang diatur oleh kekuatan penawaran dan permintaan, merupakan mekanisme yang paling efektif untuk mengalokasikan sumber daya dan menentukan harga. Konsep ini muncul di Prancis pada abad ke-18, dan dipopulerkan oleh para ekonom klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo. Pada awalnya, konsep ini digunakan untuk menentang merkantilisme, yang menekankan peran pemerintah dalam mengatur perdagangan dan ekonomi.
Sementara dalam Hadits yang dikutip oleh ‘Ali bin Husain Al-Hindi dalam Kanzul ‘Ummal, Rasulullah menekankan solusi pada aspek kebersamaan (semangat komunal dalam kolaborasi/sinergi potensi) dan gotong royong dalam optimasi pemanfaatan sumber daya yang tersedia. Sedangkan niat buruk atau manipulatif, pada gilirannya akan larut dalam pusar kebaikan, sebagaimana garam yang akan larut dalam volume tertentu air.
Jika kita menelaah situasi, kondisi, dan posisi kita saat ini, ada banyak hal menarik terkait upaya-upaya kongkret di berbagai sektor, termasuk sektor riil, terkait dengan situasi politik ekonomi global yang tengah diwarnai penerapan mekanisme proteksi seperti penetapan tarif dan bea masuk produk impor lintas negara. Multiplier effect nya tentu punya ekor panjang yang saling terkait dalam suatu reaksi berantai (reaction change), yang pada gilirannya baik langsung atau tidak langsung menyasar pada kondisi ekonomi di negara kita ini.
Di ranah kimia, reaksi berantai terjadi ketika reaksi kimia pertama menghasilkan suatu intermediat yang kemudian bereaksi dengan reaktan asli atau reaktan lain untuk menghasilkan produk baru. Produk baru ini kemudian dapat bereaksi kembali, menciptakan rantai reaksi yang berlanjut.
Sementara reaksi berantai dalam pembakaran yang melibatkan O2 dan CO2, terdapat beberapa langkah sebagai berikut; inisiasi, di mana reaksi dimulai dengan suatu reaksi yang menghasilkan radikal bebas, seperti oksigen atau radikal organik. Dilanjutkan dengan mekanisme propagasi, dimana radikal bebas akan bereaksi dengan molekul bahan bakar dan menghasilkan radikal bebas baru. Radikal bebas baru ini kemudian bereaksi dengan molekul oksigen, menghasilkan produk dan radikal bebas lain, dan seterusnya.
Fase akhir adalah tahap terminasi:, yaitu kondisi dimana reaksi akan berhenti ketika radikal bebas bereaksi satu sama lain atau dengan molekul lain dan menghancurkan radikal bebas serta mengakhiri rantai reaksi.
Jika kita sejenak menelaah kondisi kita saat ini, tampaknya dinamika dan volatilitas ekonomi dunia dengan berbagai letupan emosi dan katarsis tekanan yang berdampak pada gonjang-ganjing termodinamika ekonometrika menjadi menarik untuk dikaji bukan?
Tidak hanya berfokus pada penyebabnya, melainkan juga pada dampak yang ditimbulkannya. Wa bil khusus pada kita di Indonesia. Kita sama-sama telah mengetahui bahwa pada trimester awal 2025, Presiden USA telah mengumumkan kebijakan “Fair and Reciprocal Plan”, yaktu suatu kebijakan tarif resiprokal yang berdampak pada keseimbangan perdagangan global.
Kebijakan ini jika kita cermati lebih mendalam, ternyata bukan sekadar strategi ekonomi semata, melainkan juga dapat menjadi cerminan dinamika kompleks antara nalar, emosi, dan permainan kekuasaan. Bagaimana otak manusia dan teori permainan menjelaskan eskalasi kebijakan ini? Mari kita telusuri melalui lensa neuroekonomi dan matematika strategi yang akan saya bahas dalam kesempatan kali ini.
Dari PoV atau sudut pandang berbasis game theory, tarif dapat berperan sebagai senjata dalam permainan klasik yang dikenal sebagai “Prisoner’s Dilemma”. Kebijakan tarif suatu negara dapat dimodelkan sebagai permainan non-cooperative antara negara tersebut dengan mitra dagangnya. Dalam Prisoner’s Dilemma, setiap negara memiliki dua pilihan: kooperasi (bebas tarif) atau defeksi (instrumen menaikkan tarif).
Model payoff (manfaat) untuk kedua negara dapat digambarkan dalam beberapa skenario berikut; jika keduanya kooperasi: X = +5, Y = +5, sedangkan jika X defeksi dan Y kooperasi: X = +7, Y = -3. Jika Y yang defeksi dan X kooperasi: X = -3, Y = +7, dan jima keduanya defeksi: X = -1, Y = -1.
Nash Equilibrium sebenarnya dapat terjadi saat kedua negara memilih defeksi, meski hasilnya suboptimal. Ini menjelaskan mengapa perang dagang 2 negara atau kubu/aliansi/blok dapat terus bereskalasi, dimana aspek kognisi dan afeksi individu justru berpotensi menghasilkan kerugian kolektif. Misal ada pemimpin negara yang memilih untuk menggunakan “strategi tit-for-tat” (membalas setiap tarif) untuk memaksa lawan kooperasi, misalnya. Meski mengetahui bahwa dalam konteks psikologi persuasi dan diplomasi memiliki resiko deadlock tinggi. Akibatnya terjadi kejumudan dalam konteks melambatnya perputaran ekonomi secara global.
Misal ketika negara Xmemberlakukan tarif 100% pada negara Y, efeknya menyebar seperti domino ke negara lain. Model network game theory menunjukkan bahwa gangguan pada satu simpul (negara) akan mempengaruhi seluruh jaringan melalui efek substitusi, misal Indonesia bisa mengambil alih pasar X yang ditinggalkan negara Y. Atau yang agak kontraproduktif, dan tampaknya saat ini mulai diterapkan adalah revenge effect, di mana negara Y membalas tarif negara X, hingga memicu multiplier effect yang berimbas pada eskalasi kerugian di kedua belah pihak.
Kajian dari aspek neurosains menunjukkan bahwa sebagian besar keputusan strategis terkait dengan kebijakan suatu negara, amat bergantung pada aspek neurofisiologi key person yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Studi fMRI pada pemimpin dengan gejala narcissistic traits menunjukkan adanya aktivasi ventral striatum yang tinggi saat merasa “menang” dalam negosiasi atau diplomasi, bahkan jika kemenangan itu bersifat ilusif. Koneksi yang lemah antara amigdala di sistem Limbik dan dlPFC di daerah korteks prefrontal menjelaskan mengapa kita dapat mengabaikan analisis resiko.
Sementara sebagai penyelenggara negara, pemerintah perlu menurunkan aktivitas amigdala masyakat, melalui kepastian regulasi dan insentif, sambil merangsang nucleus accumbens dengan narasi peluang atau kesempatan yang dapat di bangun melalui kerja keras dan kreativitas.
Di sisi lain ada peran ventromedial prefrontal cortex (vmPFC) yang memproses nilai subjektif dan rasa keadilan. Area ini menghadirkan sensasi dizhalimi atau diperlakukan secara tidak adil dan mendorong lahirnya upaya konstruktif untuk mengubah atau setidaknya memperbaiki keadaan. Dalam konteks ‘mirroring’, kita akan memperlakukan pihak yang memperlakukan kita, setimpal dengan nilai subjektif yang telah kita rasakan.
Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi ekonomi global pasca-perang tarif dan disrupsi teknologi digital seperti kecerdasan buatan (AI) akan menghadirkan kompleksitas baru dalam memahami keseimbangan (equilibrium). Tulisan kita pagi ini akan mencoba untuk menganalisis konsep equilibrium ekonomi melalui 3 lensa: neurosains (proses pengambilan keputusan), fisika (keseimbangan dinamis), dan teori permainan Nash.
Melalui pendekatan deskriptif-naratif, tulisan ini saya maksudkan untuk menyoroti bagaimana interaksi manusia, kebijakan global, dan teknologi membentuk ulang keseimbangan ekonomi yang adaptif namun rentan. Hasil analisis menunjukkan bahwa equilibrium di era modern bukan lagi titik statis, melainkan proses dinamis yang dipengaruhi oleh rasionalitas terbatas, kompetisi strategis, dan percepatan inovasi.
Neurosains mengungkap bahwa pengambilan keputusan ekonomi manusia tidak sepenuhnya rasional. Dalam situasi ketidakpastian (seperti perang tarif atau disrupsi AI), otak manusia mengandalkan heuristic (pemrosesan cepat) dan emosi (aktivasi amigdala) alih-alih analisis kalkulatif. Studi fMRI menunjukkan bahwa ketidakpastian ekonomi meningkatkan aktivitas di korteks prefrontal dorsolateral/dlPFC, area yang terkait dengan perencanaan resiko.
Dalam konteks pasca-perang tarif, ketidakpastian kebijakan memicu respons fight or flight atau juga freeze di kalangan pelaku ekonomi. Misalnya, produsen yang terdampak tarif cenderung mengalihkan rantai pasok (reshoring) atau mengadopsi AI untuk mengurangi biaya. Di sini, equilibrium tidak lagi dicapai melalui mekanisme pasar murni, tetapi melalui adaptasi neuropsikologis terhadap resiko eksternal.
Sedangkan dalam konteks fisika, equilibrium termodinamika merujuk pada keadaan di mana tidak ada aliran energi bersih dalam sistem tertutup. Namun, ekonomi global adalah sistem terbuka yang terus menerima input (seperti inovasi teknologi) dan output (seperti inflasi). Konsep dynamic equilibrium lebih relevan:
sistem terus beradaptasi untuk mempertahankan stabilitas meski terjadi gangguan eksternal.
Disrupsi teknologi AI dan otomatisasi dapat dianalogikan sebagai “entropi” yang meningkatkan ketidakteraturan sistem ekonomi. Misal, penggantian tenaga manusia oleh AI menciptakan pengangguran struktural (disorder), tetapi di saat bersamaan membuka lapangan kerja baru di sektor digital (reduksi entropi). Perang tarif, di sisi lain, bertindak sebagai gaya gesek yang memperlambat aliran perdagangan, dan memaksa sistem mencari equilibrium baru melalui diversifikasi pasar.
Nash equilibrium dalam game theory menggambarkan adanya situasi dimana pelaku ekonomi memilih strategi optimal berdasarkan antisipasi tindakan pihak lain. Di dunia pasca-perang tarif, negara dan korporasi terlibat dalam permainan non-kooperatif untuk memaksimalkan utilitas. Contoh, kebijakan subsidi chip semikonduktor AS (CHIPS Act) dan respons Tiongkok dengan investasi besar-besaran dalam AI adalah bentuk kompetisi Nash, di mana kedua pihak tidak memiliki insentif untuk mengubah strategi selama lawan tetap agresif.
Pada gilirannya disrupsi teknologi memperumit permainan ini. AI tidak hanya mengubah payoff matrix (hasil yang diharapkan), tetapi juga memperkenalkan pemain baru seperti perusahaan rintisan berbasis algoritma. Dalam hal ini, equilibrium bergeser dari kompetisi manusia-manusia ke manusia-mesin, di mana AI bisa menjadi “pemain rasional” dengan kemampuan prediksi melebihi manusia.
Konvergensi ketiga perspektif di atas mengungkap bahwa equilibrium ekonomi pasca perang tarif dan disrupsi digital akan bersifat: dinamis, di mana keseimbangan dapat tercapai melalui iterasi terus-menerus, bukan titik tetap. Multiskala, yang akan terbentuk dari interaksi mikro (individu/neuron) hingga makro (kebijakan/teknologi), dan Ko-evolusioner, dimana manusia dan mesin (AI) akan saling mempengaruhi dalam menciptakan keseimbangan.
Equilibrium ekonomi di era disrupsi bukanlah akhir, melainkan proses terus-menerus yang dirajut oleh interaksi kompleks antara keputusan manusia (neurosains), hukum sistem dinamis (fisika), dan strategi kompetitif (Nash). Perang tarif dan AI telah mengajarkan bahwa keseimbangan tidak lagi dapat dipertahankan melalui pendekatan sektoral, tetapi memerlukan kolaborasi interdisipliner untuk merancang kebijakan yang adaptif dan inklusif.
Contoh nyata adalah kebangkitan ekonomi hijau, biru, dan putih. Tekanan tarif atas produk berbasis karbon dan adopsi AI untuk optimasi energi mendorong perusahaan dan negara beralih ke energi terbarukan. Sedangkan di tingkat neurosains, kesadaran konsumen akan keberlanjutan (aktivasi korteks insula) akan mempercepat proses adaptasi dan transisi ini. Sementara di tingkat makro, kebijakan hijau, biru, putih akan menjadi strategi dominan baru dalam permainan Nash global.
Apakah gerangan hijau, biru, dan putih itu? Menurut opini saya pribadi, dengan kondisi yang saat ini tengah kita alami, dimana turbulensi global adalah keniscayaan yang nyata kita hadapi, akan terjadi shifting pada pengelolaan sumber daya yang semakin efektif dan berkelanjutan, ini hijau.
Lalu laut, angkasa, dan hidrogen adalah masa depan. Negara dan perusahaan yang dapat mengambil kesempatan dengan menjadi pionir dan inovator dalam konteks maritim, angkasa, dan hidrogen mungkin akan menjadi negara yang mandiri dan berdikari. Lihatlah konsep konstelasi satelit komunikasi orbit rendah yang digagas Elon Musk, ataupun inovasi Toyota di mesin bercatudaya hidrogen, serta potensi asupan asam. amino dari biota dan vegetasi laut, juga kapasitas laut sebagai penjaga keseimbangan karbon di permukaan bumi. Untuk itu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi krusial sekali. Ini biru.
Sedangkan putih akan tercapai pada saat tingkat kesadaran manusia akan esensi eksistensinya terdisrupsi oleh teknologi hasil invensinya sendiri yang semula ditujukan sebagai bagian dari konstruksi solusi untuk berbagai permasalahan yang muncul akibat pola interaksi, konsumsi, dan manipulasinya sendiri. AI dan rekan seangkatannya akan mengguncang kesadaran kita akan makna kehadiran, keberadaan, dan peran. Pada saat itulah dimensi putih akan menjadi genre baru tapi lama yang lahir kembali dari rahim peradaban.
Maka menurut prakiraan saya, dalam waktu dekat akan lahir suatu kondisi yang mencerminkan kerinduan akan pengalaman spiritual yang meneduhkan dan menenangkan, di tengah derap takikardia (denyut jantung cepat) dinamika dunia yang dipenuhi letupan akibat gesekan yang terkadang menafikan bahkan menistakan nilai-nilai inti kemanusiaan sebagaimana yang kini tengah terjadi di beberapa kawasan, seperti di Palestina dan di beberapa negara Afrika, terlepas dari diversitas akar masalah yang mendasarinya.
Kita semua pasti akan merindu akan hadirnya suasana syahdu, di saat kita tak lagi merasa perlu untuk terlalu terpaku pada hal-hal yang sekedar mendamba kaku pada standar baku tentang nilai ideal kehidupan yang berpusar pada materi dan otoritas melulu. 🙏🏾🙏🏾🇲🇨